Berdiri di depan cermin, dengan seragam SMA, rasanya keren. Lintang menyisir rambutnya hingga rapi. Dia siap memulai perjuangan di kelas terakhir di SMA. Wulan juga siap dengan seragam dan tas sekolahnya. Cantik, rambutnya terurai sebahunya. Lalu keduanya keluar kamar, menemui Diana dan David. "Wah, sudah siap belajar. Cantiknya!" Diana tersenyum lebar menatap Lintang dan Wulan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lintang dan Wulan ikut tersenyum. "Hari ini aku bisa antar. Besok Kak Di yang antar. Sepertinya kalau pagi saat berangkat bisa bareng Kak Di, waktu pulang aku yang jemput,” kata David. "Selamat belajar, semangat, ya ...." Diana melambai dari teras. Mobil meninggalkan rumah. Pagi ini David akan mengantar k
"Alin ...." David mendekati Lintang. Gadis itu berusaha berhenti menangis. "Kamu baik-baik saja?" David menatap Lintang yang masih belum bisa bicara. Beberapa kali dia menarik napas dalam mencoba membuat dadanya lebih longgar. Lintang ingin sekali mengatakan semuanya, tapi masih sulit membuka suara. "Bilang sama aku, kenapa?" ujar David lembut. Pertanyaan itu membuat Lintang kembali menangis. David meraih bahu Lintang dan menarik gadis itu ke dadanya. Ya, Lintang butuh bahu untuk dia melepaskan semua penat ini. Dia perlu seseorang memeluknya agar dia tahu, dia tidak sendiri. Itu yang David rasakan. Ada Diana yang selalu siap menguatkan dia dengan memberikan pelukan hangat saat dia merasa hidupnya berat. "Apa Tuhan melihat saya juga, Kak? Apa Tuhan peduli sama saya juga?" kata Lintang di tengah isak tangisnya. Kalimat itu adalah jeritan hati Lintang. "Tentu. Dia sangat peduli." David mengelus rambut hitam dan halus Lintang. Harum rambut Lintang menyentuh penciuman David. Ada sesuat
Waktu tidak pernah berhenti melaju. Meski manusia terseok-seok mengikuti langkahnya, dia tak mengurangi pergerakannya. Justru seperti menantang manusia dan berteriak, hanya segitukah kemampuanmu? Ayo, panjangkan langkahmu!! Lintang kembali bersemangat. Setelah kejadian malam itu, dia tahu, ada hal baik yang menunggunya di depan. Dia tak boleh mudah menyerah. Diana dan David menyekolahkan dia di sekolah sebagus ini, tidak akan dia sia-siakan. Suara sumbang di sekitarnya tak perlu jadi alasan yang bisa membuat dia lemah. Anggap saja seperti nyamuk, cuma nguing sebentar, lalu pergi. Jika mungkin ditepuk lalu mati. Dengan semangat menyala Lintang merasa yang dia jalani setiap hari jadi lebih ringan. Sekarang hampir tiap malam jika David pulang dari klinik, Lintang akan belajar bersamanya. Memang mulai agak malam, bisa hampir jam Sembilan, tapi itu sangat menolong. Mereka jadi makin dekat. Dan Lintang sangat senang. Melihat senyumnya, wajah tampannya, suara lembutnya, ahh ... membuat Lint
Sampai di rumah, Lintang dan Wulan membereskan belanjaan, lalu mereka pergi mandi. Selesai itu Wulan segera memulai belajar. Sedang Lintang menemui David yang ada di ruang kerja. "Kak …" panggilnya. Pintu ruang kerja David sedikit terbuka. "Ya, masuk, Alin!" ujar David. Dia membaca sebuah buku, sedang di depannya juga ada laptop yang menyala. Lintang masuk dan duduk di depan David. "Kenapa?" David meletakkan buku dan memandang Lintang. Segar sekali wajahnya setelah mandi. Bahkan tanpa bedak, asli cantik. Lintang agak takut mau bicara. Dia cemas, setelah bertemu Lintang dan Wulan, Praja pasti memberitahu Mito, dia dan Wulan ada di mana. Dan Lintang mengungkapkan kecemasan itu pada David. David sangat paham mengapa Lintang tidak setuju Praja tahu di mana mereka tinggal. Pasti keluarga Pak Lurah akan tahu akhirnya, jika Lintang dan Wulan ada di rumah ini. Sangat mungkin mereka akan menjemput Lintang dan Wulan pulang. "Aku ga mau balik ke sana, Kak. Aku dan Ulan sudah baik-baik di si
"Bagaimana? Yang bener kamu, Ja?!" Suara Mito berteriak mendengar kabar dari Praja. Praja menjauhkan HP dari telinganya. "Pikiranku sih, Mas. Abis gimana ceritanya dia bisa sekolah di tempat mahal dan tinggal sama dokter keren gitu," ujar Praja. Anak itu sudah mengatakan panjang lebar kejadian tak terduga saat dia bertemu Lintang dan Wulan. "Ada alamatnya?" tanya Mito, masih dengan rasa terkejut. "Ada. Aku kirim, ya?” jawab Praja. "Ya, oke ... makasih uda kabari aku,” kata Mito. Sambungan telepon putus. Praja mengirim alamat David ke ponsel Mito. Dia foto dan kirim di chat. Mito memandang gambar kartu nama yang dia terima. Dari nama dokter itu jelas ini bukan sembarang orang. Bisa jadi benar orangnya keren seperti yang Praja bilang. Mito cepat keluar kamar dan menemui ayah dan ibunya. Dia menyampaikan kalau dia mendapat kabar tentang Lintang dan Wulan. Sayangnya, kabar yang dia dapat tidak begitu menyenangkan. Kakak beradik itu tinggal dengan seorang dokter di kota. "Bagaimana m
Lintang mulai cemas. Pak Lurah dengan tegas mengatakan dia masih bertanggung jawab atas Lintang dan Wulan. Dengan begitu dia akan mengajak keduanya pulang bersama dengannya. David melirik Lintang yang ada di sisinya. Gadis itu terlihat sangat gelisah. "Saya mengerti hal itu, Pak, Bu. Tapi Lintang dan Wulan sekarang menjadi tanggung jawab saya dan kakak saya. Mereka sudah nyaman bersama kami, jadi mereka akan tetap di sini," ujar David tenang. Dia siap menghadapi kedua orang tua asuh Lintang. Dia tidak akan membiarkan Lintang dan Wulan dibawa kembali ke desa. "Atas dasar apa kamu merasa bertanggung jawab? Lintang gadis lugu yang tak tahu kerasnya hidup. Jangan samakan dia dengan wanita lain yang mau diperlakukan seenaknya." Mito yang menyahut. Dari tadi dia memang menatap David dengan sinis. Tidak habis pikir, seorang dokter, yang tugasnya menolong orang, justru punya kelakuan tak bermoral. Itu yang ada di dalam pikiran Mito saat melihat David. "Maksud Mas Mito bagaimana, ya?" David
Rasa haru meliputi Diana dan David melihat ini. Diana dan David tahu, kedua orang tua ini sangat sayang Lintang dan Wulan. Pak Lurah mengajak Wulan duduk di antara dia dan Bu Lurah. Masih ingin melepas rindu pada gadis kecil itu. Pak Lurah dan istrinya mencoba membujuk Wulan agar mau ikut kembali ke desa. Wulan melihat pada David. Dokter baik hati itu tidak bisa berkata apa-apa. Di hatinya hanya berharap Wulan akan tetap memilih tinggal di rumah ini. Dia sudah sayang pada Wulan yang ceria dan menggemaskan. "Kak Dave bilang ini rumahku sekarang. Aku sudah sekolah. Aku punya banyak teman. Ga ada yang mengejek aku lagi," kata Wulan. Ya, teman-temannya baik, mengajaknya bermain dan belajar dengan gembira. "Saya Diana, kakak David. Kami senang Lintang dan Wulan ada di rumah ini," Diana memperkenalkan diri. Dia duduk di sebelah David. "Kami seperti sedang mengulang sejarah hidup kami, Pak." Pak Lurah dan Bu Lurah memandang Diana. Tidak paham yang dia katakan. Diana menceritakan kisah hid
David menoleh pada Diana, mengenalkan kakaknya pada Fani. Diana tersenyum ramah, menyalami Fani. "Saya kira istrinya. Lagi mengandung pula. Pak Dokter masih betah seorang diri?" Fani tertawa. Dia memperhatikan perut Diana yang membuncit. "Belum ketemu yang bikin klepek klepek, Bu, hee ... hee ...." David tergelak. Fani tertawa lepas mendengar itu. Fani masih tidak bisa percaya dengan apa yang dialami kedua gadis itu. Hidup benar-benar penuh kejutan. Siapa yang menyangka mereka yang hidup begitu sulit sekarang mendapat pertolongan dokter baik hati ini. Fani tidak akan lupa, David pernah mengantar pulang ayah mertuanya yang hilang. Di hari itu juga, saat siang, Lintang dan Wulan datang meminta pekerjaan padanya. "Ya, hidup ga bisa diduga, Bu. Saya ketemu mereka, kami minta kerja di rumah. Mereka tinggal sama kami, akhirnya kami putuskan mereka untuk sekolah. Jadi kami merangkap wali mereka," jelas David. "Wah, sama sekali ga saya kira,” kata Fani sambil memandang Lintang. Dia terlih