Home / Romansa / The Hero of My Life / 5. Surat dari Lintang

Share

5. Surat dari Lintang

last update Last Updated: 2021-08-05 23:45:34

Sudah lewat jam enam pagi. Lintang dan Wulan belum keluar kamar. Mak Imah jadi heran. Biasanya setengah enam paling siang mereka bangun. Mak Imah pergi ke kamar kedua anak itu. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Mak Imah memanggil keduanya beberapa kali, tetap tak terdengar apa-apa. Sepi.

“Lintang! Wulan!” panggil Mak Imah lagi.

Mak Imah membuka pintu kamar. Kamar masih gelap. Tapi bisa terlihat tidak ada siapa-siapa di ranjang. Tempat tidur rapi. Lalu ke mana mereka? Mak Imah membuka pintu lemari pakaian. Masih ada, tapi ... tas mereka tidak ada. Buku-buku ada di meja. Ini masih libur sekolah, tidak mungkin mereka ke sekolah.

Mak Imah memastikan lagi lemari pakaian. Coba dia ingat pakaian anak-anak itu. Ya ... berkurang. Beberapa pakaian mereka tidak ada. Mak Imah menoleh lagi ke kasur. Boneka beruang besar Wulan tergeletak di sana. Tapi Mak Imah sudah menangis. Dia tahu dua anak manis itu pergi.

Mak Imah lari keluar kamar, menemui majikannya. Pak dan Bu Lurah sedang di kamar, bersiap mau pergi ke kelurahan. Tepat Bu Lurah keluar kamar akan ke dapur. Bu Lurah kaget melihat Mak Imah menangis. Pak Lurah yang mendengar itu pun keluar kamar.

"Aduh ... Pak, Bu ... Lintang dan Wulan ndak ada ...." Mak Imah tersedu-sedu.

"Ndak ada? Ndak ada gimana?" Pak Lurah kaget.

"Kamarnya kosong. Tasnya, bajunya …." gugup Mak Imah menjawab, di tengah tangisnya, mengatakan apa yang dia lihat di dalam kamar Lintang dan Wulan.

Pak Lurah dan Bu Lurah segera ke kamar Lintang dan Wulan. Benar! Kosong. Ada sebuah amplop di meja. Bu Lurah mengambilnya, dia berikan pada suaminya. Hatinya langsung galau. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mereka pergi diam-diam? Pak Lurah membuka amplop itu dan mulai membaca surat dari Lintang. Bu Lurah ikut membacanya.

*

Kepada Bapak dan Ibu yang sangat baik,

Lintang mohon maaf yang sangat dalam dari lubuk hati Lintang. Lintang dan Wulan pergi tanpa pamit. Kami sangat berterima kasih atas semua kasih sayang Bapak dan Ibu selama ini. Bukan maksud kami tidak tahu berterima kasih, tetapi kami tidak bisa tinggal lebih lama bersama Bapak dan Ibu.

Mas Mito tidak nyaman dengan kami. Kami tidak ingin menjadi pengganggu dan membuat Mas Mito tidak betah di rumah saat pulang. Jika kami pergi, Mas Mito akan tenang di rumah. Sampaikan maaf kami pada Mas Mito.

Juga buat Mak Imah, kami minta maaf. Terima kasih sudah banyak membantu dan mengajari kami selama ini.

Bapak dan Ibu tidak perlu kuatir, kami pasti baik-baik saja. Kami yakin doa Bapak dan Ibu selalu menjadi penguat kami. Sekali lagi terima kasih untuk semuanya.

Salam dari putrimu,

Lintang

*

Tangan Pak Lurah gemetar memegang kertas itu. Dia merasa tubuhnya lemas. Bu Lurah sudah menangis tersedu-sedu. Tak menyangka ini yang terjadi. Hatinya sangat sedih dan cemas. Bagaimana mungkin kedua gadis itu bisa nekat begini?

"Aku harus bicara dengan Mito." Pak Lurah keluar kamar, memanggil Mito. Pemuda itu baru selesai mandi dan berganti pakaian.

"Mito!" Suara Pak Lurah datar, agak bergetar. Wajahnya merah padam menahan marah. Sedang hatinya sangat cemas. "Aku mau bicara denganmu."

Pak Lurah duduk di ruang tengah. Mito ikut duduk di sana, di depannya. Pak Lurah memberikan surat Lintang pada Mito. Membaca surat itu, dia tertegun. Kedua anak itu kabur? Mereka pergi? Dan dia penyebabnya. Mito tertunduk.

"Katakan, apa yang sudah kamu lakukan pada Lintang dan Wulan?!" tanya ayahnya tegas.

"Maafkan aku, Ayah," kata Mito. Mito tidak mengira kedua gadis itu nekat kabur. Ini benar-benar masalah.

"Jawab pertanyaanku!" sentak Pak Lurah.

"Aku memukul mereka," jawab Mito. Dia mulai ketakutan.

"Apa? Kamu pukul?!!" Pak Lurah kaget mendengar itu. "Apa lagi yang kamu lakukan?!"

Pak Lurah memaksa Mito bicara apa saja yang dia lakukan pada Lintang dan Wulan hingga kedua gadis itu ketakutan dan memilih minggat. Berulang kali Pak Lurah bergumam karena geram. Tangis Bu Lurah makin jadi. Dia menyesal tidak peka dengan apa yang terjadi. Dia pernah memergoki Mito bertindak kasar pada keduanya. Dia bukan bertanya mencari duduk permasalahannya, malah mengira Lintang dan Wulan yang tidak bisa bersikap baik pada Mito.

"Mak! Mak tahu kelakuan Mito sama Lintang dan Wulan?" tanya Pak Lurah, melihat Mak Imah yang dari tadi berdiri agak jauh melihat ke arah majikannya. Mak Imah mengangguk takut-takut.

"Kenapa Mak Imah ndak bilang sama aku?" Pak Lurah geram sekali sampai tidak tahu apa yang terjadi di rumahnya sendiri.

"Lintang ndak mau saya bilang sama Bapak dan Ibu. Takut ribut sama Mas Mito," jawab Mak Imah. Dia mengusap pipinya yang basah dengan tangan gemetar.

Seandainya dia berani bicara, seandainya dia tidak mengikuti permintaan Lintang. Kenapa dia tidak bisa membela kedua gadis malang itu?

"Aaah ... kenapa begini???!!" Pak Lurah benar-benar merasa marah.

"Sebenarnya apa yang membuatmu merasa terganggu sama mereka, Mito!?" Pak Lurah kembali melihat anaknya itu. "Mereka salah apa sama kamu?!!"

Dengan suara yang tidak bisa keluar dengan keras, Mito menceritakan apa yang memicu dia berbuat kasar pada Lintang, dan akhirnya Wulan pun mengalaminya. Kekasihnya sangat mirip dengan Lintang. Mereka berpacaran lebih dua tahun. Sayangnya, Mito hanya dipermainkan. Kekasihnya pergi dengan pria lain yang lebih mapan dan berduit. Mito sangat terluka, dendam, dan marah karena itu.

Saat bertemu Lintang, dia terkejut karena Lintang mirip dengan mantannya. Seolah-olah ada kesempatan dia melampiaskan semua rasa marah dan kecewa pada Lintang.

"Ya ampun! Kamu ndak punya otak? Gara-gara dia mirip mantanmu kamu buat hidupnya menderita sampai pergi tanpa pamit?!" Pak Lurah tidak tahu bagaimana bisa anaknya punya pikiran seaneh itu. Dia ingin sekali menempeleng Mito rasanya.

"Seperti apa Risa, aku mau tahu," geram Pak Lurah.

Mito mengeluarkan HP dan menunjukkan foto Risa. Pak Lurah melihat foto yang terpampang di layar HP itu. Dia tertegun. Memang mirip. Hanya Risa lebih putih, lebih lancip dagunya, dan rambutnya berwarna coklat terang. Semua kejadian ini benar-benar membuat Pak Lurah kalang kabut.

Dia segera bergegas mencari Lintang dan Wulan. Mumpung mereka belum lama pergi.

******

"Bimo!" panggil wanita empat puluhan itu. Bimo keluar kamar. "Ada surat buat kamu. Dari Lintang. Ibu temukan di bawah pintu. Aneh."

"Surat?" Bimo juga merasa aneh. Dia menerima amplop itu, segera membaca isinya.

*

Sahabatku Bimo,

Aku dan Wulan pergi. Kami tidak tahan lagi lebih lama di rumah Pak Lurah. Mas Mito makin jahat. Aku ga sanggup lihat Wulan dipukul. Aku ga kuat, Bim. Wulan selalu ketakutan.

Doakan kami, supaya kami baik-baik. Aku berharap kamu juga selalu baik. Aku ga mungkin lupa sama kamu. Kamu sahabat terbaik buatku. Kumohon jaga makam ibuku. Kamu ga keberatan, kan? Maafkan aku yang sering menyusahkan kamu.

Sahabatmu,

Lintang

*

Bimo terdiam. Tapi cemas segera merajai hatinya. Lintang pergi ke mana? Bimo marah sekali pada Mito. Kalau saja waktu itu dia berani berbuat sesuatu, Lintang dan Wulan tidak akan pergi. Jelas-jelas Lintang sudah mengatakan tindakan jahat Mito. Bimo merasa bodoh dan menyesali semuanya.

Bimo memutuskan mencari Lintang. Dengan bersepeda dia pergi ke makam. Dia berharap Lintang masih sempat ke sana. Di sana ada seorang laki-laki berjongkok di depan nisan. Itu Pak Lurah.

"Bapak mencari Lintang?" tanya Bimo.

Pak Lurah menoleh cepat dan berdiri. "Ya, kamu tahu di mana dia? Katakan, Nak, kamu teman sekolahnya, kan?"

"Ya, Pak. Saya Bimo, teman Lintang. Tapi saya tidak tahu dia di mana. Dia hanya meninggalkan surat untuk saya. Selama ini dia sangat menderita karena Mas Mito," jawab Bimo.

"Aku menyesal terlambat tahu semua ini," ujar Pak Lurah sedih.

Pak Lurah dan Bimo berbicara memperkirakan berbagai kemungkinan di mana Lintang dan Wulan. Apakah ada teman yang dekat dengannya yang sangat mungkin menjadi tempat Lintang bersembunyi? Bimo hampir yakin tidak akan mungkin. Lintang tidak dekat dengan siapapun di sekolah. Dia memang berteman dengan semua. Tetapi teman akrab, hanya Bimo saja.

Hingga muncul di pikiran Bimo, apakah mungkin Lintang ke kota. Jika dia memang memilih pergi dan tidak ingin diketemukan, Lintang akan pergi sejauh mungkin. Pak Lurah awalnya merasa pikiran Bimo terlalu jauh. Tapi dia akan simpan itu. Dia akan mencari Lintang dan Wulan di desa ini, bahkan di desa sebelah. Kota adalah pilihan terakhir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Hero of My Life   Home Sweet Home

    'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi

  • The Hero of My Life   137. You Are Really My Hero

    Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab

  • The Hero of My Life   136. Teringat Lagi Dua Gadis Kecil Itu

    Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau

  • The Hero of My Life   135. Buah Jatuh Dekat Pohonnya

    "Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg

  • The Hero of My Life   134. Ternyata Bukan Cuma Lintang

    Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.

  • The Hero of My Life   133. Bawaan Bayi Atau Mama yang Manja?

    Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng

  • The Hero of My Life   132. Strategi yang Tepat

    "Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu

  • The Hero of My Life   131. Senyum Makin Lebar

    "Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.

  • The Hero of My Life   130. Selamat, Sayangku

    David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status