Share

6. Apa Ada Tempat Buat Kami?

Bu Lurah menunggu suaminya di teras, waktu Pak Lurah datang. Wanita setengah baya itu tahu, suaminya tak menemukan kedua putri asuh mereka. Dia pulang sendirian dengan wajah lesu.

Pak Lurah duduk di ruang tamu. Dia selonjorkan kakinya. Rasanya pegal berkeliling sepanjang hari mencari Lintang dan Wulan. Dia bahkan meminta beberapa orang untuk membantu mencari mereka. Tidak ada hasil. Bu Lurah makin galau. Hari sudah sore, sebentar lagi gelap. Lintang dan Wulan akan menginap di mana? Mereka tidak punya saudara.

"Mito mana?" tanya Pak Lurah.

"Dia belum pulang. Entah ke mana saja dia mencari. Kuharap dia berhasil." Bu Lurah menghela nafas. Berat sekali rasanya semua ini.

Hari makin gelap waktu Mito datang. Dia juga tak berhasil menemukan Lintang dan Wulan. Wajahnya tampak kusut. Dia kelelahan.

"Ndak ada?" tanya Bu Lurah, ikut lesu.

Mito menggeleng. Dia pergi ke sekolah Lintang, menanyakan alamat semua temannya. Mito mendatangi setiap rumah teman Lintang satu per satu. Tak ada yang tahu. Mereka terakhir melihat Lintang sebelum libur sekolah.

Mito terduduk di kursi. Dia sandarkan punggung dan meluruskan kaki yang terasa sangat pegal.

"Mungkin Bimo benar," ujar Pak Lurah.

"Bimo? Bimo siapa?" tanya Mito cepat.

"Teman Lintang juga. Apa kamu ndak ke rumahnya?" Pak Lurah memandang Mito. "Anaknya hitam manis, rambutnya cepak. Tingginya hampir sama dengan kamu."

"Aku ingat. Namanya Wijaya Bimo Prakoso," kata Mito.

"Bimo sepertinya yang paling dekat dengan Lintang. Lintang menulis surat buatnya. Dia berpikir Lintang pergi ke kota," ujar Pak Lurah.

Bu Lurah dan Mito kaget mendengar itu. Rasanya tidak mungkin jika Lintang nekat ke kota. Kota bukan tempat yang aman buat gadis kecil seperti mereka. Kehidupan yang sangat keras dan kejam yang menanti. Jika benar Lintang membawa Wulan ke sana, alamat mereka berdua akan celaka.

"Aku akan cari mereka ke kota. Aku pasti menemukan mereka," kata Mito serius.

Mito langsung mengatur keperluan untuk segera berangkat. Dia tidak akan menunda lagi. Secepatnya dia harus bisa menemukan kakak beradik yang pergi dari rumah gara-gara dia. Dia harus berhasil membawa mereka pulang untuk menebus kesalahannya.

*****

Hari mulai gelap. Lintang dan Wulan duduk di warung Bu Ali, seperti tadi pagi. Mereka beli makanan lagi. Sambil makan, Lintang mengasah otaknya. Malam ini dia mau tidur di mana? Tidak mungkin dia tidur di emperan toko. Itu menakutkan dan dia tak tega jika Wulan harus tidur seperti itu.

"Permisi, Bu. Aku mau mengambil pesanan ibu." Seorang anak laki-laki hampir seumuran Lintang masuk warung itu.

"Oh, Praja! Sebentar, ya? Ibu siapkan dulu. Biar hangat. Pasti ibumu senang," kata Bu Ali.

"Makasih, Bu Ali," jawab anak itu. Dia duduk di dekat Bu Ali. Lintang memandangnya. Anak itu tersenyum pada Lintang. Lintang menunduk lagi melanjutkan makan.

Makanan Lintang dan Wulan sudah habis. Setelah membayar, Lintang menuntun Wulan menuju jalanan. Berjalan perlahan, tanpa bicara. Keduanya sudah lelah. Dan rasanya ingin segera berbaring, tapi di mana?

"Tidak adakah tempat buat kami di kota yang begini besar?" batin Lintang. Dia lihat Wulan yang sudah letih.

"Hei! Kalian mau ke mana?" Tiba-tiba ada yang menyapa Lintang dari belakang.

Lintang menoleh. Ternyata anak laki-laki yang di warung Bu Ali tadi. Lintang tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya memandangi anak lelaki itu.

"Jangan takut sama aku. Aku Praja. Aku tinggal ga jauh dari sini. Di gubuk darurat dekat rel kereta api." Tangan Praja menunjuk arah rumahnya.

Lintang menatap Praja. Dia agak kotor. Tapi wajahnya ceria dan ramah.

“Kalian mau pulang?” Praja bertanya sambil menatap Lintang. Dia belum pernah melihat Lintang dan Wulan di sekitar sini. Praja hafal anak-anak jalanan yang biasanya ada di daerah itu.

"Kami baru sampai kota ini, baru datang tadi pagi," lanjut Lintang.

"Kalian ke kota ini mau apa? Mencari siapa?" Praja penasaran. Waktu di warung Bu Ali dia bisa menduga kedua gadis di depannya ini bukan dari sini.

Lintang terdiam. Dia tak tahu, apa tidak apa-apa jika bercerita pada Praja siapa dirinya. Dia belum kenal anak itu.

"Maaf, kalau kamu ga suka aku bertanya, ga usah dijawab.” Praja mengerti Lintang belum nyaman dia bertanya banyak hal. Tapi Praja tahu kedua gadis itu pasti butuh tempat menginap. Dia menawarkan mereka ikut dengannya.

“Aku tinggal dengan ibuku. Gubuk kami kecil. Tapi kalau cuma untuk tidur masih bisa. Daripada kalian tidur di jalan, atau emperan toko. Banyak orang jahat. Gimana?" kata Praja.

Lintang menoleh pada Wulan. Wulan mengeratkan genggaman tangannya pada Lintang. Akhirnya Lintang menerima tawaran Praja. Tidak ada pilihan. Setidaknya bersama Praja ada tempat untuk dia dan Wulan berteduh malam ini.

Mereka mengikuti Praja ke rumah darurat. Rumah itu terbuat dari papan dan kardus yang ala kadarnya. Praja masuk ke dalam rumah kecilnya.

"Ibu ...." panggil Praja. Seorang wanita hampir empat puluh tahun, duduk di dalam rumah itu.

"Sudah pulang, Ja?" Dia tersenyum. Lalu melanjutkan menjahit sepotong baju yang dia pegang.

"Ayo, masuklah ...." ajak Praja pada Lintang dan Wulan.

Kedua kakak beradik itu masuk. Rumah kardus itu hanya satu ruangan. Tapi cukup terang di dalam. Ibu Praja memperhatikan dua gadis yang dibawa pulang putranya. Keduanya manis. Tetapi terlihat lusuh dan lelah. Mereka memandangnya dengan wajah sedikit takut dan malu-malu.

"Siapa ini, Ja?" Ibu Praja memandang Lintang dan Wulan.

Praja mengatakan siapa dua gadis yang dia temui di warung Bu Ali. Ibu Praja merasa iba melihat mereka. Dia tidak keberatan jika Lintang dan Wulan menginap di gubuk mereka.

"Panggil aku Bu Rasti. Ga usah sungkan, ya?" Bu Rasti tersenyum.

Praja membuka makanan yang dia bawa dari warung. Sementara menikmati makan malam sederhana itu, Bu Rasti dan Praja bertanya ini itu pada Lintang dan Wulan. Lintang hanya menjawab seperlunya saja. Dia belum nyaman jika mengatakan semua kisah perih yang dia lalui.

Praja ternyata setahun lebih muda dari Lintang. Dia naik kelas 11 tahun ajaran baru nanti. Dia sekolah di sekolah murah untuk anak tidak mampu tidak jauh dari tempat itu. Meskipun dengan keadaan begitu minim, Praja punya semangat mengejar cita-citanya. Sebelum sekolah Praja berjualan, menjadi pedagang asongan. Pulang sekolah kadang dia mengumpulkan barang bekas untuk dijual. Kisah Praja sedikit membangkitkan semangat Lintang. Dia pasti bisa juga tetap sekolah. Dia akan mencari kerja, sambil sekolah seperti Praja.

Bu Rasti menggelar tikar untuk mereka tidur. Lalu dia berikan selembar kain lusuh pada Lintang dan Wulan untuk dipakai sebagai selimut. Wulan yang sudah sangat lelah segera merebahkan badan. Tentu saja tidak nyaman, tapi dia tidak bicara apa-apa. Sekalipun badan terasa pegal, dia pejamkan mata dan berusaha segera tidur, dengan beralaskan tas sekolah sebagai bantal di kepalanya.

Lintang masih duduk, di sisi Wulan. Dia elus kepala Wulan, berharap dengan begitu adiknya akan terasa lebih nyaman.

"Kamu ga tidur?" tanya Praja pada Lintang. Praja duduk di sisi pojok yang lain.

"Aku ga akan bisa tidur," ucap Lintang.

Praja tersenyum. Dia duduk bersandar pada dinding kardus di belakangnya. Lintang memperhatikan Praja. Dia kelihatan baik. Ibunya juga. Mereka mau menampung dia dan Wulan padahal belum kenal dan belum pernah bertemu.

"Kalian nekat sekali. Di kota, hidup itu susah. Apa kamu ga berpikir mereka akan mencarimu?" sahut Rasti yang sudah mendengarkan kisah Lintang.

"Saya tidak tahan melihat adik saya dipukul." Lintang kembali ingat kekerasan yang Mito lakukan.

"Dipukul? Keterlaluan sekali. Aku bisa paham kalau kamu takut tetap di sana," lanjut Rasti. Dia ikut geram jadinya.

"Misal mereka menemukanmu?" tanya Praja.

"Aku ga akan mau kembali. Ini keputusanku. Susah atau senang aku tetap ga akan kembali ke sana." Lintang memastikan yang dia putuskan.

Dia sadar, yang dia pilih ini berat. Tapi dia harus kuat menjalani pilihannya.

"Jangan ... jangan pukul ... aku takut ... jangan ... Kak ...." Terdengar Wulan mengigau. Rupanya rasa takut Wulan belum juga hilang.

Lintang mendekat ke Wulan, memeluknya. "Tidak apa-apa. Ini sama kakak. Mas Mito ga ada di sini. Tidurlah ...." bisik Lintang. Wulan memeluk Lintang erat, tetap memejamkan mata.

Praja dan ibunya melihat kedua gadis itu dengan iba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status