Tak lama, mereka bergerak, setelah Tio sudah bangun. Hero dan David langsung menenggelamkan diri di air, berenang ke sana sini nampak senang sekali. Diana menggelar tikar di bawah pohon, lalu meninggalkan Tio di sana dengan Lintang. Baru dia berlari dan melompat ke air nyusul suami dan adiknya. Sementara Wulan dan Farid asyik di tepi pantai, membuat istana pasir. Sesekali terdengar tawa Wulan yang lepas karena girangnya. "Tio, mau main air juga?" Lintang memegang badan Tio. Anak kecil itu memaksa ingin turun ke pantai. Lintang menahannya agar dia tidak lepas dari pegangannya. "Maamma ... mammaaa ..." gumam Tio. "Nanti mama ke sini kalau sudah selesai," ucap Lintang. "Tatak ... ttaataakk ..." Bocah lucu itu memanggil Wulan. "Kak Wulan lagi main. Kamu mau ke sana?" Lintang mencoba menahan. Tio malah nangis karena tidak diajak main ke pantai. Akhirnya Lintang menggendong Tio dan membawanya ke dekat Wulan dan Farid. Begitu dekat Wulan, Tio tertawa. "Taattaakk ..." panggilnya. "Hei
David menatap Lintang yang membuat dia terpana. Dengan gaun putih gading, leher V, lengan sesiku, pas di badan dan melebar di pinggang hingga di bawah lutut sedikit. Kaki Lintang dibalut sepatu senada, heels agak tinggi. Sungguh luar biasa. Anggun dan tampak sangat dewasa. Lintang jadi gugup dilihat detil dari atas sampai bawah. Jelas tatapan penuh kagum dan cinta yang besar yang menerpa dari dokter tampan itu. "Kak Dave ..." sahut Wulan yang berdiri tidak jauh dari Lintang. David menoleh pada Wulan. "Hmm?" "Biasa aja lihatnya. Ini masih Kak Lintang yang tadi pagi. Belum berubah, hee ... hee ..." Wulan makin sering usil sama kedua sejoli itu. "Ulan ..." Lintang makin malu digoda adiknya begitu. "Tukang foto, sini cepat abadikan, sebelum kami keringatan," perintah David pada Wulan. Dengan semangat Wulan mulai mengambil ancang-ancang mengabadikan momen manis David dan Lintang. Diana dan Hero tersenyum melihatnya. Wulan kalau sudah pegang kamera, apa aja jadi bagus hasilnya. Gadis
Libur masih tiga minggu lagi berakhir. Daripada tidak ada kegiatan selain beres-beres rumah, Lintang mencoba beberapa resep roti dan cookies. Wulan dengan semangat membantunya. Dia akan foto hasil karya kakaknya itu. Lalu dia posting di sosmed-nya. David yang mengajarinya, agar jepretannya bisa dikenal dan siapa tahu mendatangkan keuntungan untuknya. "Kak, lihat..." Wulan menunjukkan sebuah komen di akun sosmednya, setelah dia posting gambar beberapa menit sebelumnya. "Ih, cantik banget kuenya, ini order bisa ga, ya ..." itu komennya. Lintang membacanya dan tersenyum. "Come on, Chef! Your first chance and challenge!" ujar Wulan. "Kenapa, Lan?" Diana muncul dari kamarnya, baru menidurkan anaknya. Dia menghampiri Lintang dan Wulan. "Ada yang order kue kakak," jawab Wulan. "Sambut sudah, berani, ayo!" bujuk Diana. "Oke. Ini sebagai percobaan, ya?" Lintang tersenyum dan mengangguk. Wulan pun menjawab komen itu, bahkan menawarkan jika yang lain juga mau order. Dan mereka open order
Lintang menjelaskan kaki kanan Listy digips, tidak bisa menapak, dia mengenakan kruk untuk menopang tubuhnya. David terus menatap jalanan, tidak memberikan komentar apa-apa. Tapi dalam hati muncul juga pertanyaan, apa yang terjadi dengan Listy. "Aku berhenti di depan situ saja, Kak. Kak Dave langsung ke klinik, kan?" Lintang menunjuk waralaba di depan mereka. David meminggirkan mobilnya. Lintang melepas sabuk pengaman. "Alin ..." panggil David. Lintang menoleh. David menggeser badannya ke kiri dan mencium pipi Lintang sekilas. "Kakak ..." Lintang kaget. "Aku cuma sayang sama kamu. Pegang itu baik-baik, tanamkan dalam di hati kamu. Okay?" kata David. "Iya, aku tahu." Lintang tersenyum. "Bilang apa?" David melihat Lintang yang bersiap turun. "Aku sayang Kak Dave juga," kata Lintang dan cepat turun, menutup pintu mobil. David tersenyum lebar. "Kamu menggemaskan sekali," gumam David. Mobilnya kembali melaju, Lintang memesan ojol dari depan waralaba itu dan pulang. Sampai di klin
David terkekeh. "Emang Alin suka ngangenin." Syifa ngakak mendengar itu. Dia senggol lengan Lintang, sedang Lintang pura-pura cuek, padahal mukanya sudah memerah. "Ih, Nona ini serius amat, kayak ga ada orang di sekitarnya." Syifa menyenggol lengan Lintang lagi. “Jangan usil. Kak Dave udah lapar pasti. Biar cepat selesai," ujar Lintang pura-pura ngambek. "Segitunya, demi cinta." Syifa mencibir. "Apaan sih?" Lintang manyun. "Hee... hee... maaf!" ujar Syifa. David ikut ngakak. "Tarraaa ... jadi!" Lintang mengangkat piring di depannya. Dia plating gado-gado dengan manis. Tampilannya beda dengan biasanya. Semua isian ditata rapi, membuat mata melek lebar melihatnya. "Wooww, cantiknya! Bisa saja ya, bikin kekasih senang." David tersenyum lebar menerima piring itu. "Buat aku mana?" Syifa menoleh pada Lintang. "Ini." Lintang mengambil dua potong wortel dan menyuapi Syifa. "Aah, curang ..." gerutu Syifa. "Ha.. haa..." Lintang tertawa. "Kamu plating sendiri." Syifa memajukan bibir,
"Maaf, aku ga mampir, buru-buru mau ke klinik sore itu," kata David, menjelaskan dia tidak menemui Hesty saat mengantar Lintang. "I see ..." Hesty tersenyum ketir. Dia tahu David pasti tak mau ke rumah mereka lagi. Hesty sangat tahu sakitnya David saat Listy meninggalkan dia dan memilih mengejar karir. "Sejak kapan kamu kerja jadi MC, Hesty?" David ganti bertanya. Lama David tidak berkomunikasi dengan Hesty juga karena hubungannya dengan Listy rusak. "Sudah hampir setahun. Awalnya iseng sih, tapi ternyata seru. Aku juga tinggal skripsi aja, jadi ga terlalu padat di kampus." Hesty menjelaskan. "Asyik juga kamu bawain acara. Anak-anak happy banget." David tersenyum. "Udah biasa sekarang. Waktu baru mulai, kikuk, kaku, tegang, gitu, deh!" Hesty tertawa lirih. "Baiklah, aku mau menemui tuan rumah. Kurasa sudah saatnya kami pulang," ujar David. "Oke." Hesty tersenyum lagi. "Mari, Mbak." Lintang mengangguk pada Hesty. Hesty ikut mengangguk sambil tersenyum ramah. David menggandeng t
"Iya, baiklah ..." Lintang menyimpan lagi semua bahan yang dia sudah letakkan di meja karena sebenarnya dia bersiap memasak buat sarapan. David mengambil minum dan meneguk hingga gelasnya kosong. "Sepuluh menit lagi jalan. Aku tunggu di depan. Oke?" Tak lama David, Lintang, dan Wulan sudah di teras siap berangkat jogging. Mumpung bisa, karena Lintang dan Wulan belum masuk, belum sibuk urusan sekolah dan kuliah. Jarang mereka bisa pergi begini. "Kalau kalian mau beli makan di luar ga apa-apa. Aku mau masak sendiri, buat Kak Hero. Lama ga masak," kata Diana saat David pamitan. "Oke, deh," ujar David. Lalu mereka berangkat, jogging keliling kompleks. Dan makin jauh. Akhirnya sampai di taman kota. Masih pagi, sepi. Hanya beberapa orang duduk di sana. Ada yang lain sekedar melintas memotong jalan menuju ke tempat yang ingin didatangi. "Lama ga ke sini." Wulan tersenyum. Lintang melihat Wulan. Ya, saat awal datang di kota ini, Wulan paling senang main di taman ini, mengejar burung-bur
David menatap Listy. Lalu melangkah pelan mendekat pada mantan tunangannya itu. Kasihan juga Listy nekat mencari David ke rumah sakit. "Duduklah." David mengajak duduk di kursi panjang di dekat mereka. Listy duduk di sana. Dia letakkan kruk di samping kursi, kakinya yang cidera dia luruskan, masih dibungkus, belum bisa ditekuk. David duduk di kursi yang sama, di ujung seberang Listy duduk. "Kenapa kamu terus menghindari aku, Dave?" tanya Listy. David memandang Listy. Dia terlihat tenang, memandang lurus ke mata Dave. "Kamu tahu aku sibuk. Selalu begitu," jawab David. Entah kenapa, David merasa tidak nyaman bersama Listy. "Dave, aku ..." Listy ingin menyampaikan sesuatu, tapi ternyata tidak semudah yang dia rancang untuk bicara saat belum bertemu. "Katakan saja," tandas David. Tidak ada gunanya menghindar. Mungkin lebih baik dia beri kesempatan Listy bicara. "Aku minta maaf. Aku telah melakukan kesalahan besar dalam hidupku," kata Listy. David menatap Listy. Apa maksud kata-kat