Share

7. Mata yang Melihat, Hati yang Tersentuh

Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya.

Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu.

"Selamat pagi, Pak," sapanya.

Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya.

"Bapak baik-baik saja?" tanya David.

"Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berkaca-kaca.

"Lupa pulang?" David agak heran dengan jawabannya. David duduk di sisinya. "Bapak tinggal di mana?"

"Di rumah bagus ... jauh ... tapi aku lupa di mana," katanya.

"Bapak kok bisa sampai sini?" David makin penasaran.

Bapak tua itu yang ternyata bernama Pak Amin. Pak Amin sebenarnya tinggal dengan anak dan menantunya. Sebelumnya dia tinggal di tempat lain, di rumahnya sendiri dengan anaknya yang satu lagi. Dengan lancar Pak Amin menceritakan bagaimana dia bisa keluar rumah lalu bingung tidak tahu jalan pulang. Dia ingin membeli kacang di warung tidak jauh dari rumah anaknya. Sayangnya, dia tidak ketemu warung itu, tidak juga bisa menemukan jalan kembali ke rumah. David merasa iba dengan Pak Amin yang sudah pikun itu.

David mengeluarkan roti dari tasnya, diberikannya pada Pak Amin. Roti itu langsung dilahap. Gigi pak Amin sudah tinggal beberapa, lucu jadinya kalau mengunyah. Selesai makan roti, Pak Amin mengeluarkan kertas dari sakunya. Dia gunakan kertas itu untuk melap mulutnya.

"Pak, ini kertas, bukan tisu. Sebentar ...." David mengambil tisu dan diberikan pada Pak Amin. Lalu kertas di tangan Pak Amin diambilnya.

Hampir saja dia buang, tapi terbaca oleh David tulisan nama Amin Haryoso. Dia lebarkan kertas itu. Itu nama dan alamat Pak Amin. Sepertinya anak Pak Amin yang menulis dan menaruh di saku.

David mengeluarkan botol air mineral, dia berikan pada Pak Amin. Begitu diterima, Pak Amin langsung meneguknya sampai setengah. Dia benar-benar haus dan lapar rupanya.

"Pak Amin mau pulang?" tanya David lagi.

"Iya. Aku mau tidur. Capek," jawabnya sambil mengangguk.

"Ayo, aku antarkan, Pak." David berdiri. Dia mengulurkan tangan membantu Pak Amin berdiri dan menuntunnya ke mobil.

"Ke rumah yang besar. Bukan rumahku, rumah anakku," katanya.

"Iya, Pak." David tersenyum.

David mengantarkan Pak Amin sesuai alamat yang tertera di kertas itu. Benar juga, rumahnya besar memang. Sepertinya anak Pak Amin ini orang sukses. Tapi bagaimana bisa Pak Amin lolos keluar rumah? Jelas ada sekuriti yang selalu berjaga di depan rumah besar itu.

Di depan pagar besar dan tinggi, David berhenti. Menemui sekuriti yang berjaga di sana. Setelah tahu tujuannya, langsung David diminta masuk. David membawa mobil ke halaman dan dia parkir di sana.

"Betul. Ini rumahnya. Kamu teman anakku, ya?" kata Pak Amin begitu turun dari mobil. Terlihat wajahnya berubah gembira karena bisa kembali pulang. David hanya tersenyum mendengar kata-kata Pak Amin.

"Itu dia. Fani ... anakku." Pak Amin tersenyum.

Fani menyambut Pak Amin dengan cemas bercampur rasa lega. Segera dia mengungkapkan kecemasannya karena tidak berhasil menemukan Pak Amin. David tersenyum melihat reaksi Fani begitu Pak Amin pulang.

"Dokter David?" Fani menatap David kaget. Fani salah satu pasien yang pernah David rawat. Sama sekali tidak dia sangka, dokter tampan favoritnya ini yang menemukan Pak Amin. Berulang kali Fani mengucapkan terima kasih karena David mau mengantar ayahnya, sebenarnya ayah mertuanya.

Fani memanggil seorang pembantunya untuk membawa Pak Amin ke dalam agar segera beristirahat. Lalu dia menceritakan jika kemarin sore, saat ada truk barang datang ke rumah, Pak Amin lolos. Semua sibuk membantu mengangkat barang, termasuk sekuriti. Tidak ada yang mengawasi Pak Amin. Fani sadar Pak Amin hilang ketika waktu makan malam mertuanya sudah tidak ada di rumah. Sudah beberapa kali Pak Amin sempat tersesat. Karena itu Fani selalu menulis nama Pak Amin dan alamat rumah lalu dia masukkan di kantung baju Pak Amin, berjaga-jaga jika kejadian seperti ini.

"Jiwa melayani Pak dokter memang luar biasa. Bukan cuma yang di rumah sakit yang bayar, yang diperhatikan. Tapi bisa peka sama orang tua di pinggir jalan. Mata yang melihat, hati dokter tersentuh. Tuhan memberkati selalu, ya Dok," ujar Fani dengan hati penuh kelegaan.

"Amin ...." David mengangguk.

"Aku doakan dapat jodoh gadis yang punya hati sama. Peduli sama orang lain." Senyum Fani melebar.

"Terima kasih sekali lagi, Bu. Saya permisi. " David berpamitan.

Dia meninggalkan rumah besar itu dan pulang. Sampai rumah jam delapan pagi. Kakaknya, Diana dan suaminya, Hero sedang sarapan. David segera bergabung makan bersama mereka. Diana bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan dan Hero adalah seorang pilot. Jadi dia lebih jarang ada di rumah karena harus mengembara di udara.

Pernikahan Diana dan Hero sudah hampir empat tahun, tetapi belum juga dikaruniai seorang anak. Mereka sudah mencoba berkonusltasi dengan dokter kandungan melihat semua kemungkinan agar segera mendapat momongan. Tapi belum juga anak tampak hasilnya.

"Anak itu berkat, Kak. Kalau sudah waktunya, pasti Tuhan kasih," kata David, saat Hero dan Diana sedikit mengeluh masih belum juga Tuhan anugerahi keturunan.

"Kamu bicara kayak bukan dokter tahu," sahut Hero. "Dokter pasti jawabnya, coba konsul dokter kandungan. Mungkin ada hormon atau, apa namanya yang bermasalah. Jika perlu tes ini, itu, atau kalau mungkin bayi tabung."

David terkekeh mendengar itu. "Kakak sudah pernah melakukan semuanya. Kecuali bayi tabung. Kak Hero sama Kak Diana sehat, ga ada masalah. Ya, cuma soal waktu. Kalau Kak Hero sering di rumah kali, bisa cepat berhasil.  Haa ... haa …."

Hero tidak mau kalah. Dia goda David balik.  "Lalu, kamu kapan mau cari cewek lagi?"

Jika ditanya soal ini David seketika tidak bersemangat. Mukanya berubah jadi lesu. "Ga mau mikir, Kak."

"Dave, kamu harus yakin, jika memang dia jodohmu pasti balik, kalau ga, terbukalah. Lihat sekeliling, pasti ada hati yang punya cinta lebih besar buat kamu." Hero menasihati David. David mengangkat kedua bahunya dan tersenyum kecut.

Suasana sedikit sendu jadinya. Mereka tidak banyak bicara lagi sambil menghabiskan makanan di piring masing-masing.

"Baiklah, aku dan Diana mau jalan dulu. Kamu jangan meratapi nasib terus." Hero berdiri, menepuk pundak David dan menuju ke kamarnya.

"Tenang saja, kamu seganteng ini, masa ga ada yang mau." Diana masih menggoda adiknya. David nyengir mendengar ucapan Diana.

Diana mengusuk kepala David dan menyusul suaminya. Tak lama terdengar kendaraan mereka meninggalkan rumah.

"Aku tuh ga muluk-muluk pinginnya. Dapat istri wanita sederhana. Bisa jadi tempat curhat, sabar dengerin aku. Misal mau berkarir, oke, tapi yang utama ya keluarga." David bergumam sendiri. Ternyata mikir juga Pak Dokter ganteng?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Raisya Baby
i like this story
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status