Sejak saat itu, Drew tampak lebih sering diam. Ia kembali menjadi sosok angkuh dan dingin, bahkan saat di dapur. Lucunya, Jena tampak biasa saja, ia justru asik menteraktir para karyawan restoran dengan membelikan kopi. Jena ingin berbagi rejeki sebelum ia pergi dari sana beberapa hari lagi.
Keputuaan Jena untuk lebih cepat berhenti bekerja dari perjanjian sebelumnya, membuat Abie cukup terkejut dengan hal itu. Bahkan ia menanyakan apa Drew dan Jena sedang bermasalah. Jena justru tertawa dan menolak pendapat Abie.
Drew berjalan di belakang Jena saat wanita itu sedang berbincang dengan pelayan restoran sambil ke arah pintu belakang. Tanpa menyapa, Drew berjalan cepat melewati Jena. Wanita itu melirik ke arah Drew, kemudian lanjut berbicara dengan rekannya itu.
***
Malam begitu larut, suara denting gelas berisi wine mahal terdengar dari beberapa pria yang sedang bercengkrama satu sama
Drew menepati janjinya, ia sudah mengosongkan jadwal selama satu minggu. Dave sudah mengatur itu sedemikan baik. Bahkan, Dave merasa heran dengan model di bawah asuhannya itu, Jena memberi perubahan di hidup Drew begitu cepat.Tas koper besar sudah di bawa Jena, ia berdiri di depan bangunan apartemennya untuk menunggu Drew yang janji menjemputnya. Tak lama, mobil truk modern berjenis Sierra menghampiri. Pengemudi itu turun, tersenyum menampilan deretan gigi putihnya sambil berjalan menghampiri Jena. Kaos pres body warna hitam melekat di tubuhnya begitu seksi. Sapaan dan kecupan singkat di bibir Jena diberikan Drew. Ia membantu membawa tas koper Jena kemudian meletakkan di bagasi belakang.Beberapa paparazi mengabadikan momen mereka itu, Jena tampak risih, namun Drew menenangkan dengan merangkul sambil membawanya masuk ke dalam mobil. Tak lupa, Drew menyapa ramah para paparazi itu."Aku lupa jika dirimu
Jena tak berani menyahut panggilan ibunya, akhirnya justru Drew yang beranjak dari tempat tidur guna menjawab panggilan itu. Jena mewanti-wanti untuk tidak memberitahu jika ia berada di dalam kamar Drew. Pria itu merapikan kaosnya, lalu mengecup singkat bibir Jena sebelum berjalan ke arah pintu, sementara Jena kembali memasang bra yang sudah terlempar entah ke mana, begitu pun dengan baju tidurnya. Ulah Drew membuat Jena malu sekaligus terkejut karena tak pernah ia melakukan hal itu kepada pria mana pun.“Drew! Apa kau lihat putriku?” suara ibu terdengar, Jena masih diam berdiri di balik pintu kamar, sedangkan Drew mengalihkan pencarian ibu dengan berbincang di lantai satu rumah. Jena membuka pintu perlahan lalu menyusul ke lantai bawah tak lama setelah Drew berbincang.“Sapi yang mana, Bu?” sambar Jena, Drew tersenyum saat melihat wanita itu sudah tampak rapi.“Sapi yang di kandang
Suara langkah kaki Jena menuruni anak tangga terdengar jelas di telinga keda orang tuanya. “Hai anak cantik Ayah!” sapa ayah saat melihat Jena sudah berdiri di dekat pintu menuju ke ruang makan. Wanita itu berjalan mendekat dan merangkul leher ayahnya, lalu berganti memeluk ibunya.“Ada apa? Mimpinya indah sepertinya?” tanya ibu. Jena mengambil gelas dan ia isi dengan kopi yang sudah berada di teko alat mesin pembuat kopi otomatis lalu menambah sedikit gula diet bubuk.“Apa aku terlihat bahagia, Dad .. Mom?” lirik Jena. Kedua orang tua mereka saling melirik dan tersenyum. Jena duduk, melihat meja makan sudah berisi banyak makanan, roti gandum dengan selai jeruk hasil panen buah perkebunan, sudah menjadi ciri khas keluarga Jena. Matahari sudah meninggi, jam di dinding juga sudah menunjukan pukul Sembilan pagi. Kedua mata Jena bahkan mencari sosok kekasih hatinya.“Jika kau mencari
Pasar buah diadakan di dekat kantor Walikota sejak dua hari lalu, Jena dan Drew ikut sibuk membantu memanen buah-buahan dari perkebunan. Membawa dengan cara diangkut menggunakan truk kecil khusus buah-buahan. Drew dan Jena begitu menikmati kebersamaan mereka, bahkan Billy dan tunangannya juga ikut memanen. Kebun seluas tiga hektar itu sangat subur ditumbuhi pohon buah. Dahan-dahan pohon yang tidak terlalu tinggi, juga memudahkan siapa pun yang ingin memetik buah tanpa harus susah payah menaiki tangga yang tinggi. Drew menghampiri Jena, kedua orang tuanya, Billy dan tunangannya di halaman depan rumah, semua sudah bersiap berangkat ke pasar buah itu. Dengan menggunakan kemeja kotak-kotak warna biru dan hitam, celana jeans dengan dedikit robekan di kedua lutut, sepatu berbahan kulit mahal dengan sol tebal berwarna cokelat, membuat Drew tampak sederhana tapi tetap gagah dan tampan. Jena mengenakan baju berkerah warna biru langit, seragam dengan semua anggota kelua
Kepindahan Jena tidak diketahui kedua orang tuanya yang menganut pemahanan jika seseorang tinggal bersama dengan kekasihnya itu tidak baik, lebih baik menikah dahulu. Apalagi, banyak yang tau siapa keluarga Jena. Ia kali ini harus berbohong, menyeberang batas pembatas keluarganya untuk hati dan dirinya sendiri. Drew membantu Jena berkemas, tak banyak barang yang wanita itu miliki, raut wajah Drew begitu bahagia, hari-harinya sudah terbayangkan akan begitu lengkap dengan adanya wanita itu setiap hari disisinya, ia bahkan mengabaikan soal perjanjian yang dibuat bersama beberapa rekan-rekannya. “Sudah semua?” tanya Drew. Jena mengangguk. Mereka berjalan menuruni tangga, mobil Drew sudah terparkir di depan apartemen Jena, wanita itu pamit kepada beberapa penghuni yang ia kenal. Mereka turut bahagia karena Jena memiliki seseorang yang spesial, seperti Drew yang mereka lihat memiliki predik
Hari pertama Jena bekerja di restoran Pie, dijalani Jena dengan begitu bersemang, bukan urusan dapur, kali ini ia sebagai pelayan. Gajinya cukup untuk pegangan hidupnya, apalagi sekarang tinggal bersama Drew, tak mungkin juga Drew membuatnya kelaparan. Uang gajinya akan ia kirim untuk mencicil hutang kepada keluarganya, akan tetap begitu hingga hutang lunas.“Selamat datang di Danny’s Pie--” Jena berhenti menyapa. “Maden?” ujar Jena. Maden tampak terkejut bisa bertemu Jena di restoran itu, karena hampir setiap hari ia membeli pie dan kopi untuk sarapan.“Hai, Jen…” sapanya. Jena mengangguk, ia mengeluarkan catatan untuk pesanan pelanggan. “Kau baru di sini?” tanya Maden. Jena mengangguk. “Kenapa berhenti bekerja di tempat …, kekasihmu itu?” li
Apa yang dipikirkan Jena? Ia sendiri tak paham, hanya mencoba mengikuti naluri dan perasaan di hatinya saja. Ia larut dengan semua yang ada pada diri Drew, hingga menyerahkan apa yang ia jaga seumur hidupnya ini, sedangkan Drew, di pemain yang mahir melakukan, justru akan memberikan Jena kesan yang tak akan bisa ia lupakan seumur hidupnya.Jena pasrah, membiarkan Drew mulai mencumbui dirinya, hanya jemari tangan dan desahan pelan yang ia lakukan saat bibir Drew menghisap leher kanan dan kirinya bergantian, tak peduli apa akan membuat bekas tanda atau tidak. Jena hanya ingin pengalaman pertamanya ini ia lukan bersama pria yang ia cintai dan membuatnya tenggelam ke dalam diri seorang Drew.“Katakan padaku, jika memang aku harus berhenti Jena, aku tidak mau kau menyesal. Tolong bilang sekarang, jika tidak, aku tidak ak
"Morning," suara serak itu terdengar di telinga Jena yang sedang berdiri di depan kompor. Ia sedang membuat sarapan pagi dan bekal yang akan ia bawa sebagai menu makan siangnya di tempat kerja. Bosan dan malas juga jika ia harus makan siang di luar tempat kerja."Kamu nggak mau ikut aku ke pertemuan itu, Babe?" bisik Drew yang sudah rapi dengan kemeja lengan pendek pres body warna putih, dan celana jeans. Ia juga terus menciumi leher dan bahu Jena yang mulus juga wangi."Aku harus masuk kerja, Drew, kau saja ya," lalu Jena mengecup singkat bibir kekasihnya itu. Dua tangan kekar Drew memeluk leher Jena dan membalas dengan ciuman hangat dan lama di pipi kanannya."Baiklah, nanti aku jemput ya, aku juga ada rapat dengan staf di resto, karena jika kontrak dengan brand ternama itu aku dapat dan kontrak sebagai juri di acara lomba masak itu juga menjadi milikku, maka aku tidak mungkin mengelola resto