Seorang chef bernama drew menjadi dekat dengan Jena seorang food vlogger setelah ia mengkritik masakan drew. Keduanya saling tertarik, namun keterlibatan seseorang menjadi penghalang dan membuat Drew pergi dari Jena setelah wanita itu memberikan mahkotanya.
Lihat lebih banyak"Good morning" ucap Reese saat ia sampai di rumah Jena yang sudah ia sewa selama tiga bulan kebelakang. Jena menoleh kearah pintu dengan muka jengah serta tangan sibuk mengoleskan selai coklat dan ia menuangkan susu kedelai less sugar kedalam dua gelas.
Ia berjalan ke lemari es lagi untuk mengambil beberapa potong buah strawberry, dan kiwi yang semalam ia sudah potong-potong dan dimasukan kedalam mika kedap udara untuk menjaga kesegarannya supaya tidak teroksidasi udara. Ia meletakan di atas dua piring berbeda, karena ia membuat sarapan untuk Reese juga.
"Sepertinya kau sedang bad mood , Jen?" Reese duduk di meja makan sambil menatap Jena yang terlihat mendengus.
"Café ku harus tutup sepertinya Reese, aku bangkrut." Jawab Jena sambil membenamkan wajahnya diantara dua lutut kakinya yang ia tekuk saat duduk di kursi meja makan.
"Benar tidak bisa diselamatkan Jen?" Reese menggeser tempat duduknya supaya dekat dengan Jena, ia lalu mengusap-ngusap pundak Jena.
"Mereka menyitanya, siang ini, aku merasa begitu buruk, Reese" Jena sesenggukan. Reese tau bagaimana Jena membangun café yang sebelumnya dikelola keluarganya. Ia generasi kedua tetapi gagal mempertahannya.
"Apa kau sudah memberitahu kedua orang tuamu, Jen?"
"Belum, dan tidak akan. Ini semua salahku yang tidak becus mengelolanya. Aku begitu bodoh, mudah percaya dengan manajer keuanganku itu."
"Dia bukan seorang manajer, terasa kurang pas menyebutnya, bagusnya, mmm.. oh, si tikus." Reese menepuk-nepuk pundak jena.
"Kau bisa lalui ini Jen, bukankah kita akan mereview restaurant baru itu 'kan?" Reese mengalihkan pembicaraan, supaya Jena tidak terlalu bersedih. Setidaknya pundi-pundi uang Jena masih ada yang bersumber pada konten food vlogger yang ia kelola sendiri.
"Ya," jena menatap roti dihadapannya yang baru ia makan sedikit. "jadi. Makan sarapanmu reese"
"Tapi, kau duluan sampai disana tidak masalah kan? Aku harus pergi ke tempat adik angkatku dulu"
"Ya, tidak masalah" jawab jena lalu kembali memakan sarapannya. Ia juga tidak suka membuang makanan. Terlalu sayang dan tidak mensyukuri.
***
Jena stress, ia uring-uringan setelah menandatangani surat penyegelan dan menyakatan kalau dirinya bangkrut. Ia melipat kedua tangannya diatas meja dan memendamkan wajahnya juga. Sesekali ia mendengus kesal.
"Permisi, ini pesanan anda, Potatoe baked with mozarela cheese and springkle with grill smoke beef. Lalu ini salad resep otentik restaurant kami," pelayan meletakan pesanan diatas meja. Jena mendongakan kepalanya menatap ke pelayan lalu mencoba tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.
"Selamat menikmati." ucap pelayan itu lalu pergi berlalu. Jena menatap makanan yang ada dihadapannya, ia mengernyitkan kening lalu berdecih. Ia mengeluarkan ponsel dan mengabadikan makanan yang ada dihadapannya.
"Mengapa penataannya harus seperti gini. Kalau saja smoke beef nya di potong lebih kecil seperti ini dan sprinkle diatasnya, jauh lebih bagus," Jena berbicara sendiri sambil menyobek-nyobek smoke beef dengan jemarinya. Ia lalu memegang pisau dan garpu lalu mulai membuka kentang yang diatasnya terdapat lelehan keju mozarela dan cedar cheese. Ia mendengus kesal lagi. Lalu melirik ke arah dapur. Ia menggelengkan kepala seraya membelah kentang lalu dengan pisau ditangannya membuat potongan lembaran-lembaran kentang seperti ia mengerok isi daging kepala lalu mencampurnya dengan lelehan keju. Setelah kegiatan menata ulang makanan dihadapannya, ia mengabadikan lagi dan memakannya.
Setelah makan, Jena mengeluarkan laptop dan mulai membuat ulasannya. Ia menatap sekeliling interior ruangan restaurant, makanan, minuman, service dan banyak hal. Restaurant bergaya eropa modern dengan interior di dominasi warna abu-abu tua, hitam dan silver membuat kesan misterius tapi nyaman.
Jena memiringkan kepalanya sesekali saat mengetik ulasannya. Wajahnya menoleh ke kiri saat melihat seorang berdiri disudut ruangan sambil berbicara dengan seorang karyawan. Mengenakan jaket Chef berwarna hitam, rambut berwarna kecoklatan dengan kulit putih membuat Jena tersenyum sedikit saat menatapnya.
"Eh..!" Jena kembali menatap layar laptopnya, ia terkejut karena sosok yang sedang ia amati justru balik menatapnya dengan kedua bola matanya yang tajam dan aura sedingin es.
Jena tak menampik, sosok itu begitu mendominasi area restoran. Ia mencoba fokus membuat ulasan dan akan di masukan ke akun media sosial khusus miliknya. Selain penulis artikel lepas tentang makanan, ia juga seorang food vlogger yang sudah banyak membuat konten makanan.
Followernya sudah banyak, dan juga namamya sudah cukup terkenal, namun sayang, uang yang di hasilkannya masih tak mencukupi kebutuhannya untuk tinggal di kota sebesar NewYork.
Jena beranjak setelah selesai dengan kegiatannya makan dan untuk mereview makanan dari restoran itu. Ia berjalan ke meja kasir, lalu melakukan pembayaran.
"Bisa aku meminta tolong padamu nona," ucap Jena masih berdiri di depan meja kasir. Wanita berambut pirang itu mengangguk.
"Sampaikan ke koki kalian, belajar lah untuk menghias sajian makanan di atas piring. Hanya untuk menu yang tadi ku pesan, hah ... sudahlah, suruh dia belajar. Permisi," wanita berambut pirang itu terkejut dan menganga.
Selama ini, tak ada yang berani berkomentar seperti itu kepasa koki dan pemilik restoran itu. Drew Sebastian. Terkenal sempurna dan pemikir keras dalam menciptakan masakan yang menjadi ciri khasnya.
Piring yang masih terisi setengah sisa makanan, di bawa pelayan ke dapur. Drew menoleh, ia terkejut karena konsumennya tak menghabiskan makanan yang di pesan, padahal, menu itu merupakan salah satu menu andalan di restoran tersebut.
"Apa ini! Kenapa dia bisa tidak menghabiskannya!" Teriak Drew marah. Semua berhenti bekerja. Menoleh serempak ke Drew yang melotot bak raja iblis yang marah.
Pelayan menunduk, namun ia memberi tau jika petugas di kasir sempat berbicara dengan konsumen yang memesan makanan tersebut. Drww berjalan keluar dari dapur, menghampiri karyawan di bagian kasir dan menanyakan hal tersebut.
Drew diam seribu bahasa. Ia kembali berjalan ke dalam dapur dan terus memikirkan ucapan wanita itu dengab sangat serius.
***
Jena berjalan santai, tujuannya kali ini, ia harus mencari apartemen dengab biaya murah untuk tempat tinggalnya, tak mungkin ia berlama-lama tinggal di tempat sebelumnya.
Helaan nafas terdengar begitu gusar, Jena duduk di bangku taman kawasan central park, ia mengipas-ngipas dirinya dengan tangan. "Aku jatuh miskin," gumamnya putus asa. Ia lalu menggeleng cepat.
"Tidak. Aku pasti bisa membuktikan kalau aku bisa bertahan hidup di sini tanpa cafè dan mengembalikan uang kedua orang tua ku yang ku pinjam sebagai modal membangun usaha cafè itu. Jena, kau pasti bisa!" Ia berteriak menyemangati dirinya sendiri.
Ia kembali beranjak, melihat seorang penjual minuman dingin yang tampak begitu bersemangat, usianya tak lagi muda, mereka sepasang suami istri.
"Hai, aku pesan satu," tunjuk Jena ke gambar yang menunjukan minuman soda di campur es krim.
"Tentu. Tunggulah 'Nak, kami buatkan," ucap sang suami. Wanita di sebelahnya duduk dan tersenyum menatap Jena setelah ia memberikan uang.
"Kau tampak lelah, apa yang kau kerjakan?" Tanya wanita itu. Jena terkekeh.
"Aku sedang mencari apartemen baru untuk ku tinggali, yang ... murah," Jena menunduk. Ia lalu menerima monuman pesanannya dan mencicipinya. "Ini enak tuan, nyonya, wow .... " Jena kembali meminumnya.
"Terima kasih, apartemen seperti apa yang kau butuhkan, maksud saya, biayanya,"
Jena berfikir sejenak. Ia lalu memggeleng, "Entahlah, aku harus melihat lokasinya juga, Tuan, baru aku bisa hitung," Kekehan Jena membuat kedua orang tua itu ikut terkekeh.
"Bukannya, apartemen di depan kamar kita kosong, Sayang," pria itu menatap ke istrinya yang dijawab anggukan.
"Ya, benar. Datanglah 'Nak, siapa tau cocok dengan mu, walau tak sebagus lokasi lain, tapi, lingkungan bersih dan nyaman, kami sudah sepuluh tahun ada di sana,"
TRING!
Jena mendapat lampu yang menyala terang di kepalanya. Ia mengangguk cepat seraya menanyakan alamat yang di maksud. Dan, hari Jena yang di sambut lagi hari dengan tangisan pun, berakhir dengan senyum mengembang di wajah cantiknya.
To be continue,
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen