Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.
Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.
Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras.
"Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
"Good morning" ucap Reese saat ia sampai di rumah Jena yang sudah ia sewa selama tiga bulan kebelakang. Jena menoleh kearah pintu dengan muka jengah serta tangan sibuk mengoleskan selai coklat dan ia menuangkan susu kedelai less sugar kedalam dua gelas.Ia berjalan ke lemari es lagi untuk mengambil beberapa potong buah strawberry, dan kiwi yang semalam ia sudah potong-potong dan dimasukan kedalam mika kedap udara untuk menjaga kesegarannya supaya tidak teroksidasi udara. Ia meletakan di atas dua piring berbeda, karena ia membuat sarapan untuk Reese juga."Sepertinya kau sedang bad mood , Jen?" Reese duduk di meja makan sambil menatap Jena yang terlihat mendengus."Café ku harus tutup sepertinya Reese, aku bangkrut." Jawab Jena sambil membenamkan wajahnya diantara dua lutut kakinya yang ia tekuk saat duduk di kursi meja makan."Benar tidak bisa diselamatkan Jen?" Reese menggeser tempat duduknya supaya dekat dengan Jena, ia la
Langkah kakinya begitu teratur saat menaiki titian anak tangga menuju ke lantai dua apartemen sederhana bersusun lima lantai. Jena bersama seorang pengelola menuju ke unit nomor 2D. Kunci terputar hingga terdengar bunyi bahwa pintu siap terbuka. Pengelola mempersilahkan Jena memutar kenop bulat seperti apel berwarna emas dan membukanya dengan mendorong pelan ke arah dalam. Suasana yang terang karena wallpaper berwarna kuning masih menempel rapih di dinding."Penyewa lamanya seorang mahasiswi disain, jadi ia yang membuat hiasan dinding ini sendiri. Kami memang membebaskan. Bagian dapur, ia juga yang melukis dengan cet, masih tampak rapih, bukan?" Ujar wanita paruh baya itu menatap Jena, ia mengangguk. Harga yang di tawarkan juga pas untuknya."Kapan kita bisa tanda tangan kontrak sewa? Sekarang, bisa?" Jena tersenyum. Penyewa mengangguk.Setelah menandatangai kontrak, Jena memberi tahu Reese melalui sambungan telfon
Jena mengecek semua hal yang harus ia pantau sebelum meninggalkan unit apartemennya. Walau hanya unit kecil model studio, sudah terasa nyaman untuknya tinggali seorang diri. Reese pun akhirnya berfikir untuk menyewa apartemeb dekat dengan tempat Jena, namun Jena melarang, karena hoby sahabatnya itu yang suka membawa kekasihnya ke tempat ia tinggal, membuat Jena risih."Aku hari ini akan berkunjung ke food truck milik rekan lama ku Reese, dan, sepertinya, channel vlog ku mau mu hentikan. Aku harus mencari pekerjaan yang jauh lebih menghadilkan uang," Jena berbicara dengan Reese di ponselnya sambil berjalan menyusuri trotoar, ia baru melihat lowongan kerja sebagai marketing restoran di salah satu sudut kota Newyork, tak ada salahnya ia mencoba peruntungannya."Aku akan mencobanya, doakan aku berhasil Reese, demi menyelamatkan hidupku dari hutang kepada Ayah dan Ibu, dan kembali bangkit," Jena memasukan ponselnya kedalam tas yang ia
Jena begitu riang saat sampai ke rumah megah bak istana itu dengan nuansa eropa yang kental. Parkiran serta halaman yang luas, membuat ia terkesima. Terakhir, setahun lalu, kira-kira, ia masih tak begitu takjub seperti sekarang. Rumah bak istana milik keluarga Maden Hamilton sang penguasa perbankan begitu menakjubkan. Lima mobil mewah berjajar di depan halaman rumah, Jena dan Maden turun dari mobil, mengucap betapa ia terkesima dengan istana itu. Maden hanya terkekeh seraya berjalan dan membukakan pintu besar itu dan meminta Jena masuk terlebih dahulu. "Wow ... Maden, rumah kalian, sungguh luar biasa," Jena menatap sekeliling. Maden menyuruh asisten rumah tangganya untuk mengambil belanjaan di mobilnya dan membawa ke area dapur. Jena berjalan dengan Maden yang sudah membawanya masuk ke dalam rumah megah itu. Interior serba sentuhan Eropa, tak tertandingi. Selera Valery, ibu dari Maden begitu tinggi memang. Suara hak sepatu bersentu
Tepati janji, Jena sudah sampai di rumah megah Maden di jam setengah enam pagi, ia meminta kunci mobil kepada salah satu Maid dan segera berangkat menuju ke pasar grosir. Ia tak mau ke supermarket, karena kualitas kesegaran sayur dan buah terjamin di pasar grosir itu. Tiga puluh menit kemudian, Jena sampai di lokasi pasar. Ia berjalan sambil meminum sisa kopi dan roti yang ia beli diperjalanan tadi.Matanya melirik ke nama toko yang sudah ia hafal betul. King fruits, toko buah-buahan milik Leon, seorang kenalan lama dirinya semenjak pindah ke Newyork. Sapaan hangat diterima Jena dari Leon yang tampak semakin tua dengan waena silver di rambutnya."Apa kabar gadis cantik," sapa Leon sambil menepuk bahu Jena."Baik Paman, Bibi mana? Aku lama tidak ke sini, maafkan aku Paman," Jena mengambil keranjang dan memasukan buah-buahan yang sudah ia catat di dalam kepalanya."Kau sibuk Jen
Maden mendapati Jena yang diam tak berkutik setelah ia meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Pria itu mendekati dan menepuk pelan bahu Jena. Tolehan kepala Jena membuat Maden tersenyum seraya menanyakan kenapa wanita itu diam.Jena menggeleng cepat, ia lalu kembali menyiapkan makanan pencuci mulut seraya meminta Maden kembali ke ruang makan. Jena terkejut karena ternyata Madenlah pria yang selama ini selalu mengirimkan bunga dengan kartu ucapan penyemangat dan kata-kata romantis lainnya. Reese tak mungkin berbohong, ia jauh lebih dekat dan memahami Maden. Mungkin, beberapa rahasia lain juga Maden ceritakan kepada Reese."Duduklah kembali ke tempatmu, Maden, aku akan membawakan es krim strawbery buatan ku, aku baru tau jika kalian memiliki alat pembuat es krim," Jena menoleh dan melemparkan senyum ke Maden. Pria itu mengangguk, lalu berjalan kembali ke ruang makan.Jena menghela nafas manaka
Kepala Jena ia tenggelamkan diantara bantal. Kakinya menghentak-hentak kesal. Drew dengan seenaknya sudah mengambil ciuman pertamanya. Ia lalu duduk di atas ranjang dan mengacak-ngacak rambutnya begitu liar, lalu ia merebahkan kembali tubuhnya. Mencoba tenang dan memejamkan matanya. Hari sudah larut, ia tak mau bangun terlambat.Di tempat lain.Drew duduk dengan gelas wine di tangannya. Menatap keluar jendela besar apartemennya yang menyuguhkan pemandangan kota Newyork malam hari. Ia berfikir, tentang Jena yang sudah membuat masakan sederhana tapi begitu nikmat, tak rumit, dengan bahan sederhana juga.Lalu ingatan Drew berpindah ke saat di mana ia mencium bibir Jena yang membuat reaksi lain di hati dan juga tubuhnya."Sialan!" Geram Drew seraya beranjak dan meletakan gelas wine lalu menyanbar kunci mobil yang tergeletak di atas meja dapur.Apartemen