Esok pagi yang sejuk nan damai menyambut Evan, untuk hari ini dia dan sang ayah hendak pergi ke kota untuk menjual senjata yang sudah mereka buat sebelumnya.
Kejadian kemarin pun tak luput di ceritakannya kepada sang ibu, alhasil kini tempat pengrajinan senjata keluarga mereka berpindah tempat ke dekat rumah.
Meskipun bising tiap hari, ibu Evan memaklumi itu, mereka bersyukur untuk keadaannya karena semuanya adalah bagian dari tanggungjawab.
"Ibu kami pergi dulu" ujar Evan mencium pipi ibunya.
Karena keluarga mereka hanya memiliki satu direwolf, Evan membiarkan sang ayah yang mengendarainya. Dirinya sendiri terbang biasa dengan sayap nya.
Wush!
Evan dan ayahnya pun pergi.
Sebenarnya Evan malas jika harus menunjukkan sayapnya, dia tak terlalu suka orang-orang memperhatikan yang berujung berspekulasi.
Pernah dulu waktu kecil dia disangka dewa percobaan karena sayapnya yang besar, melebihi usianya. Karena itu dia tak mau menunjukkannya lagi.
"Kenapa wajah mu murung?" tanya sang ayah.
Evan tak bergeming, dia hanya tersenyum sekilas menatap ayahnya.
"Biar ayah yang terbang" ujar sang ayah.
"Tidak ayah, sebenarnya bukan karena itu" timpal Evan.
"Lantas kenapa? Ayah tahu kamu tak nyaman dengan sayap itu"
"Tapi aku harus terbiasa, tak mungkin aku membuat sayap ku lumpur karena sering tak di gunakan" ujar Evan tertawa pelan.
"Tidak seperti itu konsepnya" timpal sang ayah.
"Ayah sebaiknya aku yang membawa senjata itu, aku dan sayap ku bisa lebih cepat sampai di kota" ujar Evan mengalihkan topik pembicaraan.
"Tapi nanti-"
"Sudah aku bilangkan jika aku harus terbiasa, lagipula sayap ini harus aku syukuri. Tak buruk juga karena badan ku yang besar membuatnya seimbang" ujar Evan memotong ucapan ayahnya.
"Baiklah," Evan pun mengambil barang-barang dari punggung direwolf dan membawanya sendiri.
Setelah berpamitan dan berjanji akan bertemu di kota, Evan terbang tinggi dengan sayap indahnya.
Wush!
Wush!
"Kenapa rasanya angin ini hidup" gumam Evan.
Sret!
Tangannya tak sengaja digerakkan, dan hal selanjutnya membuat dia terkejut. Tangannya mengendalikan angin.
"Woah! Ternyata aku ini sangat kuat" gumam Evan tersenyum lebar.
Lelaki itu bertambah semangat mengepakkan sayapnya.
Ditempat lain, Kanagara baru saja terbangun dari tidurnya, jika bukan karena sang adik mungkin dia masih terlelap.
"Ada apa Samantha? Jangan mengganggu kakak, kamu tahu tengah malam aku terbangun dan tak bisa tidur lagi" keluh Kanagara.
Pasalnya bukan hanya membangunkan, akan tetapi perempuan bernama Samantha itu menariknya berlari ditengah lorong kerajaan yang sepi.
"Kakak harus melihat ini!" ujar Samantha semakin cepat mengajak kakaknya berlari.
Tap!
Tap!
Tap!
Mereka berlari dan berhenti tepat didepan sebuah kamar.
"Kamar kak Sabitah?" tanya Kanagara tak mengerti.
"Iya! Kakak tahu tadi aku melihat mahkota biru didalam sana bercahaya!" pekik Samantha girang.
"Apa kamu masuk kedalam kamar kak Sabitah?" tanya Kanagara dingin.
Seketika raut wajah Samantha berubah, tadinya dia senang tapi sekarang takut setelah mendengar nada suara kakaknya. Samantha melupakan sesuatu.
"Kamu tahu kan kita tak boleh masuk kedalam kamar ini!" ujar Kanagara tegas.
Sret!
Lelaki itu melepaskan tangannya kasar, Samantha langsung tertunduk takut. Ya, peraturan pertama bagi mereka adalah, pantang memasuki kamar pangeran Sabitah.
"Jika ibu tahu kita bisa dalam masalah!" ujar Kanagara masih emosi.
"Kamu pasti sering masuk kemari kan? Jawab jujur!" imbuhnya.
"T-Tidak.. aku hanya tak sengaja m-masuk. Tadi pintunya tak sengaja terbuka" cicit Samantha.
Kanagara mengiyakan alasan itu, baginya cukup masuk akal karena setiap hari dirinya melewati kamar ini, pintunya selalu dalam keadaan dikunci kekuatan. Dan baru pagi ini terbuka, entah oleh siapa. Mungkin karena kekuatannya mulai melemah.
"Kembali ke kamar mu!" titah Kanagara.
Tak ingin jadi santapan kakaknya, Samantha memilih pergi dari tempat itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Ada-ada saja kelakuan anak itu" keluh Kanagara.
Bang!
Sret!
Kanagara mengeluarkan sedikit kekuatannya untuk mengunci kamar itu, lantas dia pun kembali ke kamarnya dengan perasaan sedikit kesal.
Tanpa dua orang itu sadari, sebuah mahkota berbatu biru nan indah didalam ruangan itu, melayang-layang sembari mengeluarkan cahaya biru memutari kamarnya.
Wush!
Wush!
Sret!
Evan sendiri sudah sampai di kota, lelaki itu menarik perhatian banyak orang karena sayapnya. Tak ingin diperbincangkan lebih jauh, lelaki itu langsung menutup sayapnya dan menggelar dagangan ditempat biasa.
Beberapa dewi terlihat mengedipkan mata dan tertawa manis memperhatikan Evan, sedangkan lelaki itu hanya bersikap biasa dan terkesan tak terganggu dengan itu.
"Hey, dimana ayah mu?" tanya seorang lelaki menepuk bahu Evan.
"Beliau masih dijalan," jawab Evan. Dia sedikit mengingat dewa pertani itu. Dia dan sang ayah berteman cukup baik.
"Apa dia membicarakan sesuatu dengan mu?" tanyanya lagi.
"Tentang? Ayah tidak bilang apa-apa pada ku" jawab Evan.
"Ah, pasti dia menyimpannya sendiri. Aku memesan sebuah pedang untuk anak ku" ujar dewa petani itu.
"Dia berhasil masuk seleksi tentara kerajaan, aku ingin memberikannya hadiah" imbuhnya tersenyum senang.
"Wah, selamat kalau begitu untuk anak mu" ujar Evan.
Ditengah-tengah perbicangan itu tiba-tiba terjadi keributan.
Brak!
Prang!
Kumpulan penjahat datang menyerang dan menghancurkan beberapa dagangan juga melukai warga.
"Kami ingin minuman merah! Cepat sediakan atau kami hancurkan tempat ini!" teriak salah seorang dari mereka.
Sepertinya dia adalah pemimpin penjahatnya. Dewa petani itu tak mempunyai barang yang diminta penjahat itu, jadi dia pun diam tak melawan. Sedangkan Evan melihat situasi itu dengan heran.
Tap!
Tap!
Tap!
Sret!
Lalu tiba-tiba salah seorang dari mereka datang mendekati Evan, dia juga mengambil senjata dagangannya.
"Harganya lima koin, itu terbuat dari campuran kayu istimewa" ujar Evan mengajukan harga.
Tapi penjahat itu malah tak terima dengan tindakan Evan, dia menendang meja yang dipakai alas Evan berjualan.
Brak!
Tapi untungnya lelaki itu mampu menahannya.
"Sialan! Kamu tidak tahu siapa aku hah?! Berani sekali membicarakan harga didepan wajah ku" teriak penjahat itu menimbulkan ketakutan diwajah semua orang.
Dewa pertani tadi mencoba menolong Evan tapi justru tangannya ditepis sampai ia terjatuh ke dagangannya sendiri.
"Tuan jangan kasar kepada orangtua" ujar Evan membantu teman ayahnya itu berdiri.
"Dan jangan sentuh dagangan milik ku. Karena itu bukan milik mu" imbuhnya tegas.
Hal yang dilakukan Evan mengundang kemarahan semua penjahat, mereka langsung mengerubungi Evan dengan sikap siap menyerang.
"Sebaiknya kalian pergi" ujar Evan tenang.
"Lihat mulut besar mu, tak lama lagi aku akan merobeknya!" timpal salah satu penjahat. Mereka semua kompak tersenyum miring.
"Aku sudah memperingatkan kalian" desis Evan dingin.
Sret!
Mata Evan tiba-tiba berkilat biru, tanpa memberikan aba-aba dia menyerang semua penjahat dengan mengunci sebagai tubuh mereka dengan tanah yang tiba-tiba bergetar.
Wush!
Sreng!
Sreng!
Alat-alat senjata yang terjejer rapi tiba-tiba terbang oleh yang berputar, benda-benda tajam dan runcing itu berotasi memutari semua penjahat. Evan tersenyum melihatnya.
"Jadi, mau kalian pergi sendiri, atau aku yang sekalian mengusir jiwa kalian" ujar Evan.
"K-KAMI PERGI! KAMI MOHON LEPASKAN KAMI!"
"AHH! JAUHKAN TOMBAK ITU DARI KU!"
"LEPAS! KAMI BERJANJI TAK AKAN DATANG KEMARI LAGI!"
"KAMI MOHON!"
Teriakan penjahat itu cukup membuat Evan menghentikan aksinya, dengan kekuatan angin dia kembali menyusun senjata dagangannya dan melepaskan semua penjahat itu.
"Cepat pergi sebelum aku berubah pikiran" ujar Evan.
Wush!
Wush!
Wush!
Mereka semua langsung terbang dengan cepat, Evan melihatnya hanya menggelengkan kepala. Semua orang kemudian tersadar dan mereka hendak berbicara. Namun suara Evan membuatnya bungkam.
"Kekuatan ku adalah mengendalikan semua elemen, mereka hanya kebetulan tak memiliki kemampuan bertarung jadi aku mudah mengusir nya" ujar Evan.
Akhirnya semua orang pun kembali kepada aktivitas mereka, dewa petani tadi takjub dengan kemampuan Evan.
"Benar cerita ayah mu jika kamu punya kekuatan yang besar. Lantas kenapa tidak menjadi bagian tentara saja" ujarnya.
"Saat keributan tadi saja tak ada tentara yang datang membantu. Lagipula dewa penjahat seperti mereka harusnya tak bisa masuk kesini," jawab Evan.
"Aku lebih suka bebas daripada terikat dengan aturan paman" imbuhnya tersenyum canggung.
Achilles tak menyangka akan mengatakan kalimat seperti itu, dan mirisnya lelaki yang ditolongnya mengatakan pernyataan setuju.Memang sepintas tak merugikan, Achilles menyediakan tempat sedangkan orang yang ditolongnya menyediakan tenaga."Jadi siapa nama mu?" tanya lelaki itu.Achilles mendongak, nafasnya sedikit memburu karena menggendong seekor kijang yang ternyata lumayan berat."Achilles" jawabnya.Lelaki itu mengangguk, dia tidak terlihat kesusahan sama sekali. Padahal dia membawa banyak hewan buruan dan keranjang buah. Achilles sampai ternganga jika kalian tahu."Lalu nama mu siapa?" benar sekali, Achilles sampai lupa menanyakan hal serupa itu padanya."Aku.." ujar lelaki itu menggantung."Kenapa? Apa jangan-jangan kamu lupa ingatan saat terjatuh itu!" pekik Achilles."Haha, benar sekali tapi tidak juga" ujar lelaki itu
"Nggh.."Achilles tergugu ketika suara lenguhan menyapa telinganya.Matanya yang masih mengantuk dipaksakan terbuka dan melihat sekitar, ternyata lelaki yang diselamatkannya mulai sadarkan diri.Sontak Achilles langsung menghampirinya. Dengan pelan dan apatis dia menggoyangkan bahunya."Hey.. bangun.." ujar Achilles."Hm.. ahh" lelaki itu meringis memegangi kepalanya yang pusing."Dimana aku?" tanyanya."Kamu sudah sadar?" timpal Achilles bertanya."Aku ingin pingsan saja, dan tidak bangun lagi" ujar lelaki itu."Hah? Kalau begitu mati saja" timpal Achilles.Lelaki itu menggeleng, mati? Bukan, bukan itu kemauannya."Tidak. Aku hanya ingin tidur dengan waktu yang lama. Agar aku tak perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dunia ini dan aku melupakan semua rasa sakit yang ada" ujar lelaki itu.
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.