Share

TK 7

Lucifer. Sang pangeran iblis yang sebentar lagi akan menjadikan raja, tertawa senang setelah rencananya berjalan dengan lancar.

Dia tak salah, menjadikan Vaneheim sebagai sasaran pertama dalam melancarkan aksinya. Tempat yang di huni dewa dewi bodoh itu sudah sangat jarang dijaga. 

Dan terbukti, sekarang tempat itu sudah berubah menjadi sarang pasukan bangsanya. lalu siapa sasaran berikutnya?.

"Kehancuran immortal sudah di mulai.." gumam Lucifer menatap pantulan dirinya di air. 

Saat ini dia sedang berada di Vaneheim, salah seorang peramu bangsa iblis berhasil membuat sebuah obat untuk mempercepat pertumbuhan bangsa iblis dengan cepat.

"Setelah bangsa ku menjadi banyak, sisanya akan aku kirimkan ke kawasan penjahat. Mereka akan menjadi bagian baru bangsa iblis" ujar Lucifer tersenyum miring.

Di tempat lain, Evan masih masih merajuk kepada orangtuanya. Namun tetap, karena hari menjelang malam, lelaki itu pulang ke rumah nya. 

Sedari tadi dia sebenarnya tak kemana-mana, hanya diam di pinggir hutan, naik pohon dan merenung disana.

Saat pulang, Mikaila dan Austin menyambutnya dengan senyuman hangat seperti biasa. Untuk saat ini mereka memilih mengesampingkan masalahnya dan makan malam bersama.

"Kami tidak akan membahas soal itu lagi, sekarang kita makan saja seperti biasa ya sayang" ujar Austin mengusap pundak Evan.

"Janji?" timpal Evan.

Austin dan Mikaila hanya tersenyum, tak menjawab dengan pasti pertanyaan anaknya. Mereka berdua memilih duduk lebih dulu di meja makan, Evan hanya bisa mendesih dalam hati.

"Daripada membicarakan masalah perang, ada hal lain yang lebih penting ingin kami sampaikan kepada kamu" ujar Mikaila.

"Tentang?" tanya Evan.

"Diri mu" jawab Austin.

"Maksudnya apa?" tanya Evan tidak mengerti.

"Kita makan saja dulu," ujar Mikaila.

Mereka bertiga pun berhenti bicara dan memakan makanannya. Evan mengunyah masakan sang ibu dengan rasa penasaran, sebaliknya orangtua itu merasakan takut setelah jamuan selesai.

Hal itu tidak mereka sadari satu sama lain, karena semua orang terlarut sangat dalam dengan pikirannya.

Jika saja Mikaila dan Austin bisa melihat masa depan, jika tahu memungut Evan akan berakhir seperti ini, mereka akan memilih tak menolongnya waktu itu.

Lebih baik sakit sekali untuk selamanya, daripada harus bahagia dulu sebelum akhirnya terjatuh kedalam lubang yang dalam. 

Suara dentingan pertama kali berhenti adalah milik Evan, lelaki itu menghabiskan makanannya dengan cepat.

"Aku sudah selesai. Aku akan menunggu ayah dan ibu berbicara malam ini" ujar Evan.

"Tunggulah diruang tamu" timpal Mikaila.

Evan mengangguk dan beranjak pergi, lelaki itu menunggu dengan manis kedua orangtuanya selesai makan.

Degh!

Degh!

Degh!

Tapi entahlah, apa ini hanya perasaan saja. Dada Evan berdebar lebih cepat, menerka kiranya apa yang akan disampaikan oleh sang ayah dan ibu.

Sret!

Atensinya teralihkan setelah orang yang dipikirkannya muncul. Mikaila dan Austin mengambil tempat dihadapan Evan, ekspresi keduanya terlihat sangat serius dan berhasil membuat lawan bicaranya bergetar tak karuan.

"Sebelumnya kami meminta maaf kepada mu" ujar Mikaila.

"Evan.." imbuhnya ragu.

"Minta maaf? Bicara itu aku juga meminta maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti tadi" ujar Evan.

Namun kedua orangtua itu menggeleng menanggapinya.

"Bukan soal itu Evan," ujar Mikaila.

"Semua ini tentang kebohongan besar yang kami lakukan pada mu, sejak lama" timpal Austin membuat Evan bingung.

"Maksud ibu apa? Aku tidak mengerti" ujar Evan.

"Sebelumnya bisa kamu berjanji tak akan membenci kami setelah mengetahuinya?" pinta Mikaila.

"H-Hah?" Evan semakin bingung, persoalan-persoalan seperti ini yang tak pernah dia mau tahu.

"Benci? Apa kebohongan kalian sangat besar pada ku?" tanya Evan diangguki keduanya.

"Kalau begitu aku memilih tak ingin mengetahuinya" ujar Evan.

"Tapi semua ini harus terungkap, kami tidak ingin hidup dalam penyesalan selamanya" timpal Austin.

"Kenapa sih ayah dan ibu bersikap lucu hari ini?" tanya Evan lelah.

"Aku tidak suka hal-hal seperti ini, kalian tahu kan. Cukup kita bertiga, selamanya, seperti biasa, walaupun sengsara aku akan bahagia" imbuhnya tegas.

"Tapi kami tidak Evan" ujar Mikaila.

"Kami tidak ingin hidup selamanya dengan rasa ketakutan, kami akan mengatakan kebohongan ini dan hanya meminta kamu untuk tidak membenci kami selamanya, semoga hal itu bisa membuat kita baik terus seperti biasanya" imbuhnya.

"Kalau begitu cepat katakan ayah, jangan berbasa-basi lagi" ujar Evan tegas.

Mikaila dan Austin langsung terdiam, mereka melemparkan tatapan masing-masing sebelumnya akhirnya menghembuskan nafas siap.

"S-Sebenarnya" ujar Mikaila gugup.

"Sebenarnya kamu b-bukan" ulangnya masih gugup.

Evan menunggu, dengan perasaan tak karuan.

"Sebenarnya kami bukan orangtua kandung kamu" ujar Mikaila dalam satu kali helaan nafas.

Evan terdiam, tunggu sebentar, telinganya tiba-tiba gatal. Butuh beberapa jeda bagi lelaki itu mengerti kalimat yang diucapkan ayahnya.

"Ini tidak lucu sama sekali, jangan bercanda ayah" ujar Evan.

"Tidak nak, kamu memang bukan anak kandung kami" timpal Mikaila.

"Ibu tidak pernah mengandung seorang anak, ibu tidak bisa melakukan itu, usia pernikahan kami sudah lama dan tepat saat kami mengharapkan seorang anak, kamu datang" ujar Austin menahan tangisnya.

Evan menggeleng tak percaya, kenapa dadanya tiba-tiba sakit. Padahal dia sudah menekankan dalam hati tak akan mempercayai hal ini.

"Aku tidak percaya" ujar Evan.

"Dan aku tidak akan mempercayainya!" imbuhnya tegas.

Sret!

Evan bangkit dari duduknya, Mikaila dan Austin melakukan hal yang sama. Mereka sedih dan takut melihat ekspresi Evan seperti sedang menyangkal semua ini. Anak itu berusaha menahan tangisnya.

"Kalian tetap ayah ibu ku, dan aku anak kalian. Semua itu tidak akan berubah!" tegas Evan.

"Jangan seperti ini Evan, bagaimana jika kedua orangtua mu merindukan kamu nak" ujar Austin mencoba menyentuh anak itu.

Sret!

Namun Evan menepisnya, tidak kasar tapi itu berhasil membuat Austin sakit.

"Rindu apa ibu? Orangtua ku adalah kalian" ujar Evan.

"Hentikan semua drama ini" imbuhnya memohon.

Namun Mikaila dan Austin justru tertunduk, hal yang membuat Evan kian kesal dan takut saja.

"Kenapa kalian jahat pada ku.." gumam Evan.

Sret!

Tap!

Tap!

Tap!

Lelaki itu pergi meninggalkan kedua orangtuanya.

Brak!

Evan mengunci diri di kamar, dia tak ingin diganggu oleh kedua orangtuanya. Evan tak ingin mempercayai kebenaran ini, dia tak peduli dengan kedua orangtuanya, karena sayang dirinya hanya untuk Mikaila dan Austin.

Evan menangis didalam kamar. Kenapa takdir mempermainkannya seperti ini?

Tok!

Tok!

Tok!

"Evan, buka pintunya, ibu ingin berbicara" suara Austin terdengar di balik pintu.

Evan menolak, saat ini dia tak ingin dekat dan terikat dengan siapapun. 

"Pergi bu! Aku tidak ingin diganggu. Aku mohon pergi!" teriak Evan.

"Nak, jangan seperti ini. Kita bisa membicarakan semuanya baik-baik" saut Mikaila.

"Ayah aku mohon pengertiannya, pergilah!" tolak Evan.

"Kami selalu sayang pada mu" ujar Mikaila di iyakan Austin.

'Aku juga sayang kalian' jawab Evan dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status