Evan bergeming ketika ibu dan ayahnya menepuk pundaknya.
"Kamu harus pergi, ayah dan ibu tidak ingin kamu menjadi bagian prajurit perang" ujar Mikaila.
"Aku tidak ingin meninggalkan kalian" timpal Evan.
"Kami juga tak ingin berpisah dengan mu, tapi ini soal keadaan, sejauh apapun kita tinggal di Immortal, pada saat genting seperti ini mereka pasti akan menemukan kita" ujar Austin memberikan pengertiannya.
"Selama aku hidup, tak pernah jauh dengan kalian. Aku tak bisa pergi, tepatnya aku takut sendirian dan meninggalkan kalian" timpal Evan sengit.
"Kami mohon nak, pada akhirnya kamu juga pasti akan pergi" ujar Mikaila menatap penuh maksud isterinya.
"Aku tidak ingin pergi ayah. Pada akhirnya aku juga akan berperang" timpal Evan kesal.
"Tidak Evan, kamu harus pergi. Kamu pintar, tinggal sendirian tak masalah, kamu bisa belajar dengan cepat" ujar Austin.
"Belajar dengan cepat, tapi tidak dengan beradaptasi ibu. Aku mohon jangan paksa aku" timpal Evan.
Sret!
Evan memilih pergi keluar.
"Evan ayah tidak mengajarkan kamu pergi sebelum pembicaraan selesai!" tegas Mikaila.
Tak peduli, anak itu benar-benar meninggalkan kedua orangtuanya dan menyendiri. Kenapa ayah dan ibunya sangat menyebalkan hari ini pikirnya.
"Apa sebenarnya yang mereka pikirkan, tidak ada bedanya aku ikut perang atau pergi mengembara. Bagaimana jika aku mati saat pengembaraan" keluh Evan.
"Apa mereka tidak tahu aku sangat cemas meninggalkan mereka berdua" imbuhnya kesal.
Sedangkan di dalam rumah, Mikaila dan Austin merasa bingung. Jelas ini semua kesalahan mereka karena tidak berkata jujur sejak awal.
Ini semua karena ego yang terus mereka junjung, berlandaskan cinta, kebaikan, dan tanggungjawab, kini semua itu seolah balik menyerang mereka berdua.
Sampai kapan pasangan suami-istri tersebut menyembunyikan semua kebenaran ini? Apa semuanya masih akan sama ketika rahasia itu terungkap?.
Karena ketakutan itulah, Mikaila dan Austin berbohong. Tentang Evan yang bukan anak kandung mereka.
Ya, anak siapa Evan? Yang Mikaila tahu, dia hanya menemukan anak itu sekarat di gunung, dan ketika sadar mengalami lupa ingatan.
Bagaimana reaksi Evan ketika tahu semua itu?.
Ditempat lain, dewi Austin tak bisa diam tenang. Dia sudah mendengar berita tentang Vaneheim, kawasan itu setahunya sudah tak terurus lagi ketika raja tak sadarkan diri.
Dan banyak dewa dewi sihir berkeliaran, baik di pusat kota apalagi tempat terpencil yang jarang dijamah. Pikiran dewi Anggraini penuh dengan prasangka buruk saat ini, dia takut jika kawasan lainnya akan menyusul dan immortal dalam bahaya.
"Kenapa gelisah?" tanya seseorang.
Dewi Anggraini yang sedang menyapu kerajaan sontak mengangkat kepalanya kearah suara, tepatnya diatas tangga. Dewi Chanda sedang bercak pinggang dengan wajah angkuhnya.
"Aku sedang memikirkan berita tentang Vaneheim, bagaimana jika keadaan memburuk dewi?" ujar dewi Anggraini.
"Huh, jangan sok peduli. Jangan bebani pikiran mu dengan sesuatu yang tinggi" timpal dewi Chanda.
Dewi Anggraini terdiam.
"Lihatlah dudukan kita saat ini. Aku diatas kamu dibawah. Filosofi yang tepat, orang rendahan tak perlu terlalu banyak ikut campur dengan urusan orang atas" ujar dewi Chanda angkuh.
"Kamu pikir aku akan diam saja? Aku adalah ratu immortal, tentu semuanya aku pikirkan baik-baik" imbuhnya.
"Ya dewi, maaf sebelumnya, tapi aku hanya benar-benar khawatir. Bagaimana nasib para rakyat, apalagi-"
"Sudah ku bilang jangan terlalu ikut campur!" tegas dewi Chanda.
"Aku sudah menyiapkan prajurit penjaga dan pasukan untuk menyerang bangsa iblis" imbuhnya.
Dewi Anggraini terkejut.
"Apa dewi? Menyerang bangsa iblis? Apa tidak berbahaya ratu? Daripada menyerang, lebih baik kita mempersiapkan diri" ujar dewi Anggraini.
Dewi Chanda menatap dewi Anggraini tak suka.
"Jangan banyak bicara dewi, selesaikan saja tugas mu!" ujar dewi Chanda berlalu pergi.
Tanpa mereka sadari, interaksi keduanya diperhatikan seseorang. Siapa lagi jika bukan si penasehat raja. Aristaeus.
Lelaki itu berjalan menghampiri dewi Anggraini ketika dewi Chanda pergi.
"Ratu dewi Anggraini" sapa Aristaeus.
Dewi Anggraini tak bisa diam ketika sosok yang dia pikirkan muncul, mulutnya sangat menggebu mencerca sang penasihat.
"Aristaeus apa tidak ada yang bisa kita lakukan? Jangan dendam menyerang bangsa iblis" ujar dewi Anggraini.
"Kita tidak tahu seberapa besar persiapan mereka saat ini, yang aku khawatir bukan mereka, melainkan bangsa kita. Kamu tahu kan semenjak raja tak sadarkan diri semua ini berubah" imbuhnya.
"Ya ratu dewi aku tahu, tapi seperti biasa aku tak bisa berbagi apa-apa. Membela mu saja aku tak diberhakkan" ujar Aristaeus.
Dewi Anggraini terdiam. Dia tampak berpikir sejenak.
"Apa tak ada satupun cara yang bisa kamu lakukan?" tanyanya lesu.
"Bahkan sebelum ratu minta aku pasti akan melakukannya, tapi ratu lihat sendiri bagaimana dewi Chanda. Semakin hari dia selalu semena-mena" ujar Aristaeus.
"Maaf sebelumnya, tapi yang merusak immortal sebenarnya bukan bangsa iblis. Melainkan dewi Chanda, dia membuat semuanya tidak seimbang, hanya karena kedudukan dia memandang sebelah mata semua ini" imbuhnya jengkel.
Dewi Anggraini mengangguk, dia sangat setuju dengan apa yang dikatakan Arietaes.
"Ratu, mungkin semua ini akan membaik bila kamu melawan nya" ujar Aristaes.
Dewi Anggraini mendongak kaget.
"Aku tidak bisa" tolaknya cepat.
"Kenapa ratu? Dari segi kekuatan bahkan ratu melebihi dewi Chanda, jika terus membiarkan diri mu tertindas, maka semua hal ini akan berlangsung lama" ujar Aristaes.
"Tidak bisa Aristaeus. Percuma aku jelaskan, kamu tak akan mengerti" timpal dewi Anggraini sembari memalingkan wajahnya.
Aristaeus mendesih, dia tak bisa memaksa sang ratu untuk jujur, tempatnya dia tak berani. Lelaki itu sangat menghormati sang dewi ratu.
"Maafkan aku Aristaeus. Aku juga ikut menyengsarakan immortal" ujar dewi Anggraini.
"Benar kata dewi Chanda, aku tak perlu membebani pikiran ku seperti ini. Karena nyatanya aku ambil bagian dalam merusak immortal" imbuhnya sedih.
"Tidak ratu.. jangan berbicara seperti itu, semua ini takdir. Kita harus bangkit" ujar Aristaeus.
"Keberatan hati ratu sudah menunjukkan, bahwa peduli kamu sangat besar untuk immortal" imbuhnya.
"Aku diancam tidak boleh menyentuh raja lagi, jika melawan" ujar dewi Anggraini pada akhirnya.
Dia memilih menceritakan alasan kenapa dia tak pernah melawan kepada Aristaeus, baginya penasihat itu sudah seperti keluarga. Aristaeus lah membuat dirinya masih baik-baik saja sampai saat ini.
Jika bukan karena dia, mungkin keadaan dirinya lebih buruk daripada sekarang.
"Apa?" pekik Aristaeus.
"Aku terlalu egois, hanya memikirkan perasaan ku sendiri" ujar dewi Anggraini.
"Aku salah Aristaeus, karena cinta ku kepada raja, rakyat menjadi korban" imbuhnya.
Aristaeus tergugu. Dia mengerti betul apa yang dirasakan ratunya itu.
"Aku mengerti ratu, aku juga seperti itu. Saat isteri ku meninggal, semua hal aku lakukan untuk membahagiakannya disaat-saat terakhir" ujar Aristaeus.
"Kita bukan egois, hanya saja terlalu mementingkan pasangan kita" imbuhnya tersenyum sendu.
"Terimakasih untuk semua pengertian kamu Aristaeus. Jangan pernah kapok dengan kerajaan ini"
Achilles tak menyangka akan mengatakan kalimat seperti itu, dan mirisnya lelaki yang ditolongnya mengatakan pernyataan setuju.Memang sepintas tak merugikan, Achilles menyediakan tempat sedangkan orang yang ditolongnya menyediakan tenaga."Jadi siapa nama mu?" tanya lelaki itu.Achilles mendongak, nafasnya sedikit memburu karena menggendong seekor kijang yang ternyata lumayan berat."Achilles" jawabnya.Lelaki itu mengangguk, dia tidak terlihat kesusahan sama sekali. Padahal dia membawa banyak hewan buruan dan keranjang buah. Achilles sampai ternganga jika kalian tahu."Lalu nama mu siapa?" benar sekali, Achilles sampai lupa menanyakan hal serupa itu padanya."Aku.." ujar lelaki itu menggantung."Kenapa? Apa jangan-jangan kamu lupa ingatan saat terjatuh itu!" pekik Achilles."Haha, benar sekali tapi tidak juga" ujar lelaki itu
"Nggh.."Achilles tergugu ketika suara lenguhan menyapa telinganya.Matanya yang masih mengantuk dipaksakan terbuka dan melihat sekitar, ternyata lelaki yang diselamatkannya mulai sadarkan diri.Sontak Achilles langsung menghampirinya. Dengan pelan dan apatis dia menggoyangkan bahunya."Hey.. bangun.." ujar Achilles."Hm.. ahh" lelaki itu meringis memegangi kepalanya yang pusing."Dimana aku?" tanyanya."Kamu sudah sadar?" timpal Achilles bertanya."Aku ingin pingsan saja, dan tidak bangun lagi" ujar lelaki itu."Hah? Kalau begitu mati saja" timpal Achilles.Lelaki itu menggeleng, mati? Bukan, bukan itu kemauannya."Tidak. Aku hanya ingin tidur dengan waktu yang lama. Agar aku tak perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dunia ini dan aku melupakan semua rasa sakit yang ada" ujar lelaki itu.
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.