Share

05

last update Last Updated: 2021-02-16 08:36:01

Mia dan laki-laki itu masih berpandangan. Dunia seolah berhenti berputar di sekitar mereka. Terlebih lagi Mia yang masih tak percaya bahwa ternyata, pria yang dia cari sedari tadi justru melihat semuanya. Detik itu juga Mia sadar bahwa hidupnya tak kan lagi sama. Bukan karena perasaan cinta, melainkan perasaan malu yang akan melekat pada Mia hingga lulus sekolah.

"Eh, Mia! Ayo ke aula!" seru Rossa berjalan lebih dulu. Mia bersusah payah mengejar dari belakang.

"Jangan bengong mulu! Nanti dihukum lagi, lho." Rossa menasehati Mia yang sudah di sampingnya.

"Iya, Cha."

Sesampainya di aula sekolah yang sangat luas dan cat tembok putih, para siswa dipersilahkan duduk bersila beralaskan karpet tipis biru tua. Di depan aula terdapat panggung setinggi setengah kaki. Beberapa senior terlihat duduk santai di pinggir panggung. Di aula inilah kegiatan MOS yang sesungguhnya akan dimulai.

Ada berbagai macam kegiatan yang akan mereka lalui hingga tiga hari ke depan. Namun, sebagai anak rumahan yang manja dan masih kekanakan, berdiri di depan banyak orang karena melakukan kesalahan, merupakan hal baru bagi Mia. Jangankan berbuat bandel, hampir terlambat saja sudah membuatnya keringat dingin.

Mia masih agak syok meski sudah setengah hari berlalu. Ingin sekali rasanya menangis dan berlari pulang. Namun, bagaimana caranya? Apalagi seumur-umur Mia belum pernah naik angkot untuk pulang ke rumah.

"Sekarang keluarkan semua bekal kalian!" perintah kaka kelas yang menjadi pemandu acara MOS hari ini.

Serentak seluruh peserta MOS mengeluarkan bekal makan siang yang telah ditentukan panitia, yaitu bakwan dan nasi kuning. Begitu pula dengan lima belas orang senior panitia MOS yang menyebar ke penjuru ruangan. Mereka seperti gangster yang sedang mengawasi sanderanya.

"Nasi apaan nih yang kamu bawa?!" tanya seorang kaka kelas pada salah satu siswi yang merupakan anggota kelompok lain di sebelah Mia.

"Nasi kotak, Kak." Siswi berkacamata itu hanya menunduk. "Kan, nasi berkat dari orang meninggal," lanjutnya.

"Hahahaa!" Dua senior yang menghampiri gadis itu tergelak. "Terus ini beneran nasi tahlilan jadinya?" tanya salah satu dari mereka.

Gadis itu menggeleng pelan sebelum akhirnya senior yang lain bertanya, "Terus ini nasi apa?"

"Nasi warteg biasa, Kak. Cuma ditaro dalam kardus nasi kotak." Gadis itu menunduk makin dalam.

"Wuidiiiih, pinter juga dia," cemooh salah satu senior sambil tertawa lebar. "Maju ke depan!"

Mia memejamkan mata melihat gadis berkacamata itu dibawa ke depan aula karena merasa bernasib sama.

"Bakwannya mana?!" tanya seorang kaka kelas yang lain pada salah satu siswi dari kelompok Mia. Siswi tersebut langsung menunjukkan bakwan jagung miliknya.

"APAAN NIH!?" Tanpa hujan angin, kaka kelas tersebut langsung membentak. Kali ini suaranya sampai membuat Mia gemetaran.

"Itu bakwan jagung, Kak," jawab siswi yang belakangan Mia baru ingat namanya Sari.

"Kamu baca gak petunjuknya?" tanya si senior.

"Baca, Kak."

"Apa?" Si senior mengangkat dagu, seraya melirik ke bawah dengan sinis.

"Sop kering, Kak," jawab Sari keheranan lantaran tak tahu kesalahannya.

"Terus kol dan wortel mana? Hah?!" Kaka senior makin meninggikan suara.

"Saya gak suka sayur kol, Kak."

"Hah?! Emang siapa yang suruh makan? Orang cuma disuruh bawa doang. Maju ke depan!"

Kini semua mata tertuju pada tujuh siswa siswi yang berdiri di depan aula. Mereka terlihat pasrah seperti sedang menanti hukuman mati. Meskipun begitu, tetap saja ada tiga orang yang terlihat santai, cengengesan, dan bersenda gurau dengan teman mereka.

Sebagai makhluk hidup pemakan segala, saat ini Mia merasa sangat bersyukur sekali. Karena menurutnya makanan itu hanya ada dua jenis rasa, yaitu enak dan enak banget. Jadi tidak ada makanan yang Mia tidak sukai.

"Huuffh." Mia mengelus dada.

"Kenapa Mia, keselek?" tanya Indira.

"Hehe, enggak. Enggak apa-apa, kok."

Setelah diizinkan makan siang, seluruh peserta MOS akhirnya merasa lega. Ketegangan yang semula tampak tak terlihat lagi. Suasana riuh rendah pun terdengar. Mia dan anggota kelompoknya bahkan saling bertukar lauk, walaupun sama-sama bakwan. Sungguh anak-anak yang aneh.

Sementara tujuh kesatria terpilih yang masih berdiri di depan aula, sedang berjuang berhadapan dengan lima belas pasukan elit sekolah. Mereka diberikan hukuman yang berbeda-beda setiap orangnya. Ada yang bernyanyi, push up, baca puisi, juga nge-gombal. Sayang, Mia tidak bisa begitu jelas mendengarnya, karena posisinya agak jauh.

Selesai makan, beberapa anak terlihat asyik ngobrol di aula maupun di luar aula. Ada juga yang pergi ke kantin sekolah, dan sebagian lainnya memilih untuk sholat. Begitu juga dengan para kaka kelas. Beberapa di antara mereka ada yang tidur di atas panggung.

"Cha, sholat, yuk!" Mia hanya mengajak Rossa sholat, karena Indira beragama Kristen. Sementara Kayobi, dia sudah dari tadi tak terlihat. Begitu juga enam orang lainnya, yang lebih memilih beristirahat bersama teman satu sekolahnya dulu.

"Aku lagi gak sholat, Mi," jawab Rossa yang celingukan mencari Kayobi.

"Nyari siapa, sih?"

"Oh, enggaaakk."

"Ya udah aku sholat dulu, ya." Mia pamit dan segera keluar dari aula tanpa membuka ember kecil yang masih bertengger di atas kepalanya.

Mia agak kebingungan kenapa orang-orang terus memperhatikannya sepanjang perjalanan menuju tempat wudhu. Hingga lima belas detik kemudian dia mendengus. "Huuff!! Pantes aja pada ngeliatin!" gerutu Mia sambil membuka ember dengan kasar. Mau tidak mau, Mia harus membawa ember itu. "Gak banget, sih, hari ini!" sungut Mia sambil menenteng ember menuju mushola.

Setibanya di mushola, Mia terkesima melihat banyaknya siswa siswi yang masih mengingat sholat. Terlebih lagi SMA BAKTI NUSA merupakan salah satu sekolah elit di Jakarta Selatan; sebuah wilayah yang cukup terkenal dengan pergaulannya. Setidaknya itu yang Mia tahu selama ini.

Selesai sholat, tanpa sengaja Mia melihat bangku panjang yang berada di depan ruang administasi, tempat dia duduk bersama ibunya untuk mendaftar sekolah seminggu yang lalu. Mia jadi teringat alasan mengapa dia memilih sekolah yang jauh dari rumah. Mia ingin jadi pemberani dan tidak manja lagi.

"Hey! Jangan depan pintu!" seru seorang laki-laki yang seketika mengentakkan bahu Mia. Ternyata laki-laki itu adalah Rangga. Kedua ujung netra mereka kembali bertemu. Namun, mereka sama-sama cuek.

Rangga yang berwajah ganteng, tetapi terkesan dingin dan galak, makin membuat Mia merasa muak. Kok bisa mirip-mirip gitu ya sama yang di film? ucap Mia dalam hati yang kesekian kalinya dan memilih untuk tak memedulikannya.

Saat hendak memakai sepatu di depan mushola, Mia kembali melihat ke bangku panjang itu lagi. Di sana cukup sepi. Hanya sesekali ada orang yang lalu-lalang. Karena itu Mia memutuskan membawa sepatu dan tak lupa ember kesayangan, yang akan menjadi bagian dari Mia selama tiga hari ke depan di sekolah.

Mia menghempaskan diri pada bangku kayu tanpa sandaran, kemudian mengembuskan napas. Cukup sulit bagi Mia mencerna segala hal yang hari ini dialami. Sekarang, menyendiri adalah hal yang paling ia inginkan.

Sambil mengayun-ayunkan kaki, Mia tampak menikmati momen itu. Namun, baru lima menit merasakan ketenangan, dua siswi yang baru datang terburu-buru, membuat jantung Mia tersentak.

"Waduh, aku harus cepet-cepet balik, nih!" Mia bangkit dari sandarannya di dinding.

Karena tak ingin maju ke depan untuk ke dua kali, Mia meraih sepatu dengan tergesa, hingga sikutnya menyentuh ember dan terjatuh. Benda itu menggelinding sangat jauh dan berhenti saat mengenai dinding.

"Duuh, ntar dulu, deh," gumam Mia.

Dia memilih terus mengikat tali sepatunya, sampai tak sadar ada seseorang yang datang. Tanpa mengucapkan sepatah kata, orang itu langsung menuju ember dan mengambilnya. Kemudian saat tali sepatu Mia telah tersimpul dengan rapi, Mia bangit dari duduk. Namun, apa yang terjadi selanjutnya membuat jantung Mia seolah berhenti sejenak.

Betapa terkejutnya Mia hingga tak bisa merasakan kakinya menapak. Karena kini laki-laki yang belakangan memenuhi isi kepalanya itu, hanya berjarak setengah meter di hadapan Mia. Ember di tangan si pria sampai tak terlihat oleh Mia—seolah tembus pandang. Ini benar-benar seperti sinetron atau FTV; kurang backsound romantis saja, di mana dua insan manusia dengan gejolak yang sama saling berpandangan, tanpa kata, tanpa suara untuk waktu yang terasa lama. Namun, sayang, ada garis tak kasat mata di antara mereka yang tak kan mampu ditembus.

Sebagai orang yang lebih dewasa usianya, pria itu jelas dapat mengendalikan diri lebih baik. Lantas dia mulai berjalan mendekati Mia. Tentu saja dengan senyum lembut menghiasi bibirnya. Sedangkan Mia si cewek lugu, hanya bisa mematung. Jangankan untuk membalas senyuman, bahkan Mia saja belum sepenuhnya mengerti, dengan apa yang dia rasakan.

Makin pria itu mendekat jantung Mia berdegup kian hebat. Hingga saat mereka hanya berjarak sejengkal, Mia dapat mendengar suara detak jantungnya yang hampir menembus dada. Pria itu diam sedetik, sebelum dengan luwesnya dia menaruh ember rumbai-rumbai di atas kepala Mia. Ini sungguh gila sekaligus aneh. Karena untuk pertama kali dalam hidup Mia, dia merasa dengkulnya begitu lemas. Bahkan jauh lebih lemas dibanding tadi pagi. Namun, entah mengapa bisa-bisanya dia masih berdiri tegak. Aneh bukan?

"Hanamia? betul, kan?" tanya pria itu sambil mengalungkan tali rafia pada ember di bawah dagu Mia.

Mia mengangguk samar.

"Panggilannya Hana, atau Mia?"

"Mia. Aku biasa dipanggil Mia," jawab Mia yang mulai menyatu jiwa dan pikirannya.

Pria itu tersenyum kian lebar lalu menepuk pelan ember itu. "Sudah, cepat kembali ke aula."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Line Between Us   18

    Sebagai satu-satunya pria, Kayobi berinisiatif mempin dua temannya untuk menyebrang jalan. Dia agak khawatir kalau-kalau dua bocah itu belum bisa membedakan waktu yang tepat untuk melintas di jalan raya seperti ini. Sesampainya di sebrang, mereka berdiam diri di depan supermarket yang dimaksud."Terus sekarang, apa?" tanya Mia dengan polosnya."Dih! mana kita tau," protes Kayobi. "Kan elo yang tadi bilang pengen ke sini."Mia menatap ke sebrang jalan. Di sana, terlihat angkot yang tadi dia berhentikan masih menunggu penumpang lain. Itu artinya mereka masih di sana."Itu angkot yang tadi, kan?" Mia mencoba meyakinkan meski stiker THE ME IS THREE berwarna hijau stabilo berukuran hampir sepanjang mobil, terihat jelas dari sini."Ya udah, kita masuk aja dulu kalau gitu," ujar Kayobi yang langsung mengerti maksud Mia."Gak mau, ah." Ocha menolak."Aku takut pulangnya kesorean. Sekarang aja udah mau jam empat.""Iya, Kay. Aku juga gak berani

  • The Line Between Us   17

    Beberapa detik berlalu, tawa mereka berangsur-angsur reda. Namun tiba-tiba, Poof! balon itu meletus! Mia dan Ocha lebih tak tertahankan lagi. Mereka terbahak sejadi-jadinya. Begitu juga dengan Kayobi yang sudah memendamkan kepalanya. Jika tak salah, Mia juga mendengar seseorang berdehem pelan hampir bersamaan dengan meledaknya tawa mereka saat balon liur itu meledak. Bukannya buru-buru membangunkan Mas Pacar, Si Perempuan malah diam mematung menyaksiakan kekasihnya menjadi bahan tertawaan. Menyaksikan Mia dan Ocha saling memukul karena tertawa geli. Sepertinya dia shock hingga tak bisa berbuat apa-apa. Saat gelombang tawa Mia dan Ocha yang kali ini belum sepenuhnya reda, angkot kembali mengalami guncangan. Kali ini lebih hebat dari yang sebelumnya. Beberapa penumpang bahkan ada yang mengaduh kesakitan karena kepalanya terbentur atap angkot. Saat itu juga Si Pria akahirnya bangun. Benar-benar langsung bangun dan duduk tegak. Dia terlihat mengumpulkan segenap jiwa raga

  • The Line Between Us   16

    Angkot D02 jurusan Lebak Bulus Ciputat semakin jauh meninggalkan terminal. Suara gemuruh supporter bola dari stadion yang lokasinya tepat di sebelah terminal pun tak terdengar lagi. Mia dan teman-teman sudah tak sabar tiba di rumah. Namun, jalanan yang lengang itu seperti biasa harus tersendat ketika sudah memasuki lampu merah Pasar Jumat. Artinya perjalanan mereka yang cukup jauh, akan menempuh waktu lebih lama. Bebarapa menit berlalu angkot Mia belum berada terlalu jauh dari lampu merah Pasar Jumat. Selain karena macet, rupanya supir angkot sengaja memanfaatkan moment itu menunggu penumpang lain. Akibatnya beberapa pengendara mobil pribadi membunyikan klakson tanda protes setiap kali berhasil melewati angkot Mia. Tapi Pak Supir tidak peduli. Ironi memang, sebab dia begini supaya bisa memenuhi kebutuhan anak istri. Semantara mereka yang memaki lewat klakson itu, tidak mungkin menafkahi keluarganya. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, dengan laju lambat me

  • The Line Between Us   15

    "Mas. Mas! emang gak ada tempat lain yang lebih adem untuk ngasih cokelat selain di angkot siang bolong gini?" Protes Mia, tentunya dalam hati."Iiiih Ayang, ini apaaaa?" ucap Si Mbak mendayu-dayu sambil menutup mulutnya. Padahal udah jelas kalau itu cokelat. Mia dan Ocha pun makin kesal mendengar pertanyaan itu.Saat itu juga, Mia dan Ocha langsung berpandangan. Dengan bahasa kalbu dan sedikit tatapan tajam, mereka dapat mengerti isi kepala masing-masing yang terjebak dalam situasi Cringe Moment begini. Lalu mereka serempak menoleh ke Kayobi untuk melihat reaksinya. Dasar cowok, dia terlihat biasa saja dan gak mengerti telepati yang Ocha dan Mia berikan."Ini cokelat Sayang." Si Cowok tersenyum manis dengan tatapan sayu."Buat aku?" Si cewek tubuhnya makin tak bisa diam."Iya lah buat kamu." Suara Si Cowok terdengar lebih menggelikan lagi sekarang.Sambi menerima se kotak cokelat itu, dia bertanya, "Dalam rangka apa?""Dalam rangka V

  • The Line Between Us   14

    Dari dalam angkot, sebenarnya Indira menyadari tatapan tajam dari B Girl. Tiba-tiba saja tengkuknya terasa dingin, dan saat nengok ke belakang. Ada lima orang siswi yang bertolak pinggang juga bersidekap menatap lurus ke dalam angkot. Dari pakaiannya, Indi sudah tahu mereka pasti senior."Eh... eh,rupanya kita diliatin sama mereka dari tadi." Indira berbisik pada teman-temannya."Eh, Iya. Kenapa ya, mereka ngeliatin kaya gitu?" tanya Ocha yang curi-curi pandang ke arah mereka."Lo, ada masalah In sama mereka?" Tanya Kayobi setelah bergantian melihat ke luar angkot."Mana pula aku kenal.""Wah, berarti lo semua dalam masalah.""Lho, emang mereka siapa?" Tanya Mia."Kalian tau gak mereka siapa?" Kayobi bertanya saat menyadari teman bule batakya kikuk setelah bersitatap dengan geng B Girl.Indi, Mia, dan Ocha kompak menggeleng. "Mungkin dari sekolah lain," Celetuk Ocha."Emang kamu tau Kay?" Tanya Mia yang mulai penasaran."Ta

  • The Line Between Us   13

    "Hhhmm..., ya sudah. Ayo saya temani. Tapi sampe perempatan saja ya. Karena ada Pak Karyo yang berjaga di sana. Jadi kalian bisa saya tinggal." ujar Mr.Sani.Tanpa berdebat, empat siswa baru SMA BAKTI NUSA dan satu guru Bahasa Inggris mulai berjalan meninggalkan tempat. Kayobi dan Mr.Sani jalan di depan, sedangkan tiga anak perempuan jalan beriringan di belakang."Gimana, mmm ... Kayobi, hari pertama kamu?" Mr. Sani membuka pembicaraan."Ya lumayanlah, Pak," sahut Kayobi santai."Terus ada yang udah kamu incer belum, Nih?"Kayobi mengangkat bahunya, "Belum, tuh. Murid barunya gak ada yang cakep. Apalagi mereka bertiga nih, kaya anak SD semua. Hahaha.""Hush! Kamu ini." Mr. Sani menepuk pundak Kayobi sambil senyum-senyum.Sedangkan ke tiga cewek langsung melakukan protes massal sambil mendorong Kayobi bergantian hingga korek api yang ada di saku baju Kayobi terjatuh. Kayobi langsung mengabilnya buru-buru karena tak enak berada di sebela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status