“Yang kudamba hanya kamu. Yang kutakutkan hanya satu. Kau menghilang dari pandanganku.”
***
Walter’s house.
Selena berdiri di depan pintu rumah dengan tangan bersedekap. Wajahnya yang dingin ditambah dengan ekspresi tidak suka ketika melihat Matt dan Henry yang keluar dari mobil sambil tertawa. Sementara tak jauh dari dua saudaranya, ada Bianca yang pulang diantar oleh seorang lelaki dengan motor bisingnya.
Sekelebat dia memiliki rasa iri pada tiga saudaranya yang tidak pernah merasa sedih, sakit hati atau benci dengan keadaan mereka yang menjadi abadi ini.
“Hai, Elle … ada apa?” tanya Henry dengan senyum ramahnya.
“Darimana saja?” Selena balik bertanya.
“Whoa … tumben sekali seorang Selena ingin tahu kita habis darimana,” sindir Bianca yang melenggang langsung masuk ke dalam rumah. Melewati Selena dengan gaya angkuhnya. Selena benci itu.
“Kami habis dari pusat kota. Melihat-lihat kota Breavork, apakah ada yang menyenangkan disini. Dan kau harus tebak apa yang kami temukan,” jelas Henry dengan penuh semangat.
Selena hanya mengerutkan keningnya. Ada rasa tertarik namun ditutupi oleh gengsi dan ego yang tinggi hingga akhirnya membuat dirinya mengangkat kedua bahu dengan wajah sedikit tidak menyenangkan.
“Ah, baiklah.” Henry akhirnya mengurungkan niatnya untuk menceritakan hal menarik yang dia dan Matt temukan tadi, kemudian memilih untuk masuk ke rumah mengikuti Bianca.
Sementara Matt masih berdiri dengan ekspresi penuh penyesalan karena belum mendapatkan maaf dari Selena.
“Elle,” sapa Matt canggung.
“Apa yang kalian dapatkan di pusat kota?” tanya Selena pada Matt.
Matt mengangkat kedua alisnya, sedikit terkejut karena Selena penasaran dengan cerita Henry. Ini adalah hal baru dan langka untuk seorang Selena.
“Umm … sebenarnya tidak terlalu menarik bagiku. Hanya saja Henry menanggapi itu adalah hal‒.”
“Katakan saja!” potong Selena dengan ketus.
“Baiklah … Henry menemukan tiga makanan … uumm, maksudku tiga gadis yang bisa dia dapatkan dalam waktu yang cepat,” jelas Matt yang sedikit kesal pada dirinya sendiri karena sudah salah menyebutkan status gadis baru itu.
“Makanan, ya?” ulang Selena dengan nada sinis.
“Dengarkan aku, Selena … manusia memang makanan untuk kita. Wajar saja kalau aku mengatakan itu,” papar Matt membela dirinya sendiri.
“Yaa … wajar untuk kamu dan yang lainnya.” Selena membalikkan badannya dan ingin pergi menuju tangga.
Matt dengan cepat mengikuti langkah kecil Selena. Dia mengekori gadis itu di belakang. “Lalu, kamu sendiri kenapa berada di luar kamar? Kamu menunggu kami?” tebak Matt.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Aku menunggu ayah pulang,” jawab Selena mulai menginjakkan kakinya di anak tangga.
Matt sedikit heran dengan jawaban Selena. Sejak kapan adiknya itu menunggu kedatangan ayah mereka.
“Ada masalah apa?” tanya Matt penasaran.
“Bukan urusanmu,” jawab Selena dingin.
“Elle, dengarkan aku!” Matt menahan tangan Selena.
Selena diam dan membalikkan badannya. Dia melihat Matt yang berdiri lebih rendah satu anak tangga dari pijakan kakinya. Karena badan Matt yang tinggi, membuat mereka tampak sejajar.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Selena.
“Aku minta maaf,” ucapnya tulus.
Selena sebenarnya bisa merasakan kalau Matt memang sudah sangat menyesal dengan kejadian itu. Hanya saja dendam yang ada dalam dirinya sudah begitu berkarat sehingga susah untuk dihilangkan apalagi dibersihkan. Matt adalah sumber kekacauan di hidupnya. Itulah alasan kenapa dia begitu membenci sekarang.
“Apa kamu tidak lelah terus meminta maaf seperti itu?”
Matt menggelengkan kepalanya. “Tidak. Sampai aku mendapatkan maaf darimu, aku tidak akan menyerah.”
“Kalau begitu teruslah berharap!” sinis Selena lalu menyentak tangannya yang dipegang Matt kemudian melangkah naik meninggalkan Matt.
“Ergh! Shit!” maki Matt pada dirinya sendiri.
***
Di lain tempat. Sebuah rumah besar yang tidak terawat dengan penerangan seadanya, Rain berdiri berhadapan dengan tiga lelaki besar berotot kekar.
“Dia tidak ada di sini,” ucap Rain getir. Dia menelan ludahnya dan ada sedikit ketakutan dalam dirinya. Bukan takut pada tiga lelaki yang sering datang ke tempatnya itu, melainkan karena sekarang tengah gerimis kecil.
“Aku harus masuk sekarang,” kata Rain lagi dengan buru-buru. Dia membalikkan badan dan ingin masuk ke dalam rumah.
“Hey, tunggu sebentar!” tahan seorang lelaki berkulit hitam legam dengan wajah seperti preman, begitu menakutkan.
“Ada apa? Ayahku tidak ada di rumah. Bukankah kalian tahu kalau‒.”
Bugh! Satu pukulan keras langsung menghantam bagian perut Rain hingga membuatnya membelalakkan mata karena kaget bercampur sakit.
“Itu adalah bayaran atas nama ayahmu,” kata lelaki berkulit hitam itu dengan bengis.
Rain hanya bisa memegang perutnya yang sangat sakit. Rasanya dia tidak bisa bernapas dan jantungnya terhenti sejenak setelah tinjuan itu melayang ke perutnya.
“Kamu harus mencari ayahmu, kalau tidak ingin mendapat siksaan lagi!” ancam salah satu lelaki yang memakai kacamata hitam.
Rain tidak dapat menjawab, dia terus meringis kesakitan dengan setengah napas yang tersisa di paru-parunya. Begitu sakit, pikirnya.
Tiga lelaki yang menjadi suruhan oleh seorang rentenir kejam itu langsung pergi dan tidak menghiraukan Rain yang berusaha meraih gagang pintu rumahnya sendiri. Bagi mereka, entah Rain hidup atau mati itu tidak masalah.
Sementara dari jauh tanpa Rain sadari ada sepasang mata yang memperhatikan apa saja yang baru saja terjadi di rumah tak terawat tersebut.
***
Kediaman keluarga Walter.
Selena mengetuk pintu kamar ayahnya. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Sebagai makhluk yang tidak pernah mengantuk apalagi tertidur itu, Selena selalu menyibukkan diri di malam hari dengan membaca atau melakukan kegiatan apapun untuk mengusir rasa suntuknya.
Tok, tok, tok!
“Buka!” terdengar suara John dari dalam.
Selena memutar kenop pintu dan menahan kakinya di depan kamar John. Dia tidak akan masuk sebelum John mempersilakannya lagi.
“Selena?” heran John yang tadinya sibuk dengan buku-buku jurnal miliknya langsung berdiri menyambut kedatangan putri dinginnya. “Silakan masuk,” ucapnya hangat.
Selena melangkah tanpa bicara. Dia menutup pintu kamar ayahnya, kemudian duduk di salah satu kursi kayu yang ada di dalam ruangan itu.
“Ada apa, Elle?” tanya John yang tidak dapat menutupi rasa senangnya karena ini pertama kalinya Selena berada di dalam kamarnya.
“Aku … ingin bertanya sesuatu,” ucap Selena tanpa ragu.
“Silakan.” John duduk berhadapan dengan Selena sambil melipat kakinya dan siap menyimak pertanyaan dari Selena.
“Ini mungkin pertanyaan aneh.”
“Tidak masalah sama sekali, aku akan berusaha menjawab semua pertanyaanmu itu, Elle. Katakanlah.”
Selena sempat melemparkan tatapan matanya pada sebuah bingkai foto kecil yang ada di atas meja kerja John. Sebuah foto yang menunjukkan John dengan seorang perempuan cantik berdarah eropa. Hidungnya mancung dengan bibir mungil. Begitu cantik dan terlihat sangat bahagia.
“Uuum … sebenarnya aku hanya ingin memberikan satu pertanyaan.”
“Ya?”
Selena kembali menatap John lalu bertanya, “Apakah vampir bisa merasakan jantungnya berdebar lagi?”
John terlihat sangat kaget dengan pertanyaan itu. Terbukti dengan posisinya yang semula duduk menyandar santai, sekarang langsung tegap dan sedikit gelisah.
“Apa itu yang kamu rasakan, Elle?” tanya John serius.
Selena hanya mengangguk dan menunggu jawaban dari John. Sedangkan yang diberi pertanyaan tengah menyusun jawaban tepat agar anaknya bisa menerima penjelasan darinya.
-Bersambung-
“Setiap tindakan selalu ada konsekuensinya. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan.”****Malam itu, setelah Selena bertanya tentang detak jantung seorang vampire, John tidak dapat tenang semalaman. Dia belum bisa menjawab dengan benar dan memuaskan untuk Selena. Dia sendiri tidak menyangka kalau Selena bertanya hal yang belum pernah dia dengar selama beratus-ratus tahun ini. Bahkan Matt yang usianya jauh lebih tua daripada Selena, atau pun Bianca dan Henry yang lebih sering berinteraksi dengan manusia, tidak pernah sekalipun menanyakan itu.“Ada apa yang terjadi dengan Selena? Apakah dia merasakan hal itu? Kalau memang benar, dengan siapa?” gumam John sambil menatap perapian yang menyala.Di luar semakin dingin karena hujan mulai turun. Selena terus menatap hujan yang jatuh dari langit sambil bersedekap. Kaca jendela menjadi basah karena bias hujan. Dia sendiri juga berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya.S
“Kelebihan yang kau miliki adalah yang diingankan orang lain.”***Valley High School.Selena bergegas mengayunkan langkahnya menuju kelas. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Rain, lelaki yang mengusik pikirannya selama beberapa jam terakhir. Konyol rasanya dia bisa menjadi seperti ini. Bahkan kalau diingat-ingat terasa sangat aneh ketika Selena tidak dapat menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Rain di jalan tempo hari.Di kelas hanya ada beberapa orang saja. Tidak ada Rain di sana.“Selamat pagi!” sapa seorang gadis ceria pada Selena. Tentunya dia adalah manusia.Selena menoleh sebentar kemudian menjawab, “Pagi.” Sambil meletakkan tas miliknya di atas meja.Gadis manusia bernama Syilea itu terus mengikuti Selena hingga duduk di kursi sampingnya. “Kita belum berkenalan secara resmi.”Aku sudah tahu namamu, batin Selena.“Hai, na
“Rasa penasaran bukan hanya bisa dirasakan oleh manusia, melainkan bangsa vampir pun juga.”***Selena berusaha untuk terus menyamakan langkah kakinya dengan Syilea. Dia berpikir apakah manusia selalu berjalan dengan begitu pelannya. Bagi Selena langkah kecil dan pelan seperti ini memakan waktu banyak.“Apa rumahnya masih jauh?” tanya Selena pada Syilea.Gadis yang memakai ransel berwarna putih gading itu menoleh pada Selena sambil memakan crepes rasa coklat keju di tangannya. “Lima menit lagi kita sampai,” jawabnya sambil mengulurkan cemilan di tangannya. “Kamu mau, Elle?”“Tidak. Terima kasih.” Selena menolak dengan suara pelannya. Mana mungkin dia memakan makanan manusia.“Oh iya … apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Syilea.“Ya?”“Kenapa kamu ingin tahu rumah Rain?”Selena tidak perlu
"Sekali lagi mengutuk diri sendiri. Aku benci pada diriku."***Selena melangkah mundur. Ekspresinya begitu kaget dan tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat mungkin. Sementara Syilea terus merintih kesakitan dan mencoba bangun, namun Selena tidak bergeming sedikit pun."Elle … bisa bantu aku?" pinta Syilea sambil meringis.Selena tidak menjawab, sekali lagi dia melangkahkan mundur kakinya."Elle! Kau mau kemana?!" teriak Syilea yang masih duduk di posisi jatuhnya.Selena menggelengkan kepala dengan kuat. Bisikan yang entah darimana datangnya terus menggema di dalam kepalanya. Suara-suara aneh yang menakutkan, memerintahkan Selena untuk mencicipi darah segar di depan mata.Tanpa suara dan pamit, Selena membalikkan badan lalu berlari sekuat mungkin menjauh dari Syilea. Sementara suara Syilea mulai terdengar sayup terdengar memanggil namanya."Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kontrol dirimu, Elle!!" seru Selena
“Pepatah mengatakan untuk jangan rubah dirimu. Namun, bagaimana jadinya apabila bukan aku yang merubah diriku. Melainkan orang lain yang sudah mencampuri hidupku. Apa aku harus tetap membencinya?”***BRUGH!!Bianca terhempas dan terpental jauh ketika Henry mencoba untuk menahannya. Saudarinya benar-benar sudah di luar kendali. Henry sampai kewalahan menjaga Bianca agar tidak masuk ke dalam kamar Selena.Mendengar suara gaduh dari luar, John memerintahkan Matt untuk memeriksa keadaan Bianca dan Henry. Sementara Selena sudah diberi minum darah manusia untuk pertama kalinya.Matt keluar dan melihat beberapa perabotan yang hancur karena perkelahian dua vampir. Bahkan lampu gantung yang berada di tengah ruangan saja jatuh ke bawah dan beberapa vas bunga pajangan yang besar harus pecah berkeping-keping.“ASTAGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” murka Matt dengan wajah merahnya.Henry menoleh dan menyengir sebenta
“Ketika menginginkanmu hanya sebuah ambisi. Maka, biarkan aku terus berjuang meski hanya sendiri.”***Ada keanehan dalam raut wajah Selena setelah sadar apa yang terjadi pada rumahnya. Seluruh perabotan hancur dan sebagian sudah dibersihkan oleh Henry. Matt yang berjalan di belakangnya tidak bersuara. Dia hanya diam dan menunggu Selena bertanya. Tetapi kalau Selena tidak mengajukan pertanyaan, maka Matt tidak perlu mengatakan apapun untuk menjelaskan.“Henry,” panggil Selena.Henry melepas headphone yang terpasang menutupi kedua telinganya. Di tangannya memegang karung berisi pecahan vas bunga. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar melihat Selena yang menyapanya terlebih dulu.“Hey … senang melihatmu baik-baik saja, Elle.” Henry tersenyum tulus seperti biasa. Dia menatap sekilas Matt yang berdiri canggung di belakang perempuan itu.“Apa yang terjadi?” tanya Selen
“Rasa penasaran ini mencambuk hingga membuat memar hatiku.” *** Langit senja begitu mendung. Rain yakin kalau sebentar lagi akan turun hujan. Sebelum keroyokan air dari langit itu menjatuhi bumi, lebih baik dia mengunci pintu depan rumahnya. Sambil memegang sebatang lilin yang diletakkkan dalam wadah mirip gelas berwarna perak, Rain berjalan menuruni anak tangganya. Rumahnya mulai gelap karena tirai-tirai yang tidak pernah lagi dibuka sejak kematian kedua orang tuanya. Uang untuk hidup pun hanya dari sisa-sisa warisan keluarga yang masih bisa disimpannya dengan baik. Itulah sebabnya dia sangat ingin cepat lulus sekolah agar bisa bekerja dan hidup di kota yang jauh dari Breavork. Memulai hidup baru dengan menjadi Rain yang lain. Bukan Rain yang tenggelam karena masa lalu. Tap … tap … tap …. Rain mengerutkan keningnya saat mendengar suara dari depan pintunya. Siapa? … batinnya. Rain memindahkan gelas li
“Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Hanya kau saja yang tidak menyadarinya.”***Syilea masih beringsut ke tepi tempat tidur ketika suara ketukan semakin cepat dan berulang-ulang. Dida tidak yakin kalau itu adalah manusia. Namun, tiba-tiba sebuah suara terdengar dan membuatnya mengernyit.“Lea!” panggilnya dari luar.Syilea menyibak selimut yang melindungi dirinya. Turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan menuju jendela meski sangat ketakutan. Hanya karena dia kenal suara tersebut, makanya dia meyakinkan diri.Krieet … Syilea menggeser tirai dan melihat dari balik kaca. Tampak di bawah ada Selena yang berdiri menatap lurus ke arah jendelanya.“ELLE?!” seru Syilea lalu membuka jendela dan berbicara dari atas. Dia melihat di tangan Selena memegang beberapa kerikil. Ternyata Selena melempari jendelanya dengan benda kecil itu. Malu rasanya ketika Syilea sadar bahwa dia berpikir sudah d