“Setenang dan selembut apapun dirimu, pasti akan ada seseorang yang hatinya bising karenamu.”
***
Kediaman keluarga Walter.
Selena baru saja melewati pintu masuk kembar rumahnya. Sepintas dia melihat Bianca yang duduk sendiri sambil memainkan smartphone miliknya. Jangan heran ketika vampire jaman sekarang sudah mengerti teknologi canggih. Mereka harus membiasakan diri dan beradaptasi dengan perilaku umum manusia.
“Baru pulang? Darimana saja?” tanya Bianca yang langsung berdiri menghampiri Selena.
Sementara Selena terus berjalan tidak berniat menghentikan langkah.
“Bukan urusanmu,” jawab Selena dengan suara datar.
“Habis berburu, ya? Kenapa tidak mengajak kami semua?”
Selena enggan menjawab.
“Elle,” panggil Bianca lagi yang tidak menyerah untuk mengekori langkah Selena.
Selena masih tidak menjawab. Sampai saat dia dan Bianca berada di tangga, lalu berpapasan dengan Matteo. Sekilas Matt bisa melihat sorot tajam mata Selena yang meliriknya. Tatapan tidak suka seperti biasa, hingga membuat Matt membungkam mulutnya meski ingin menyapa Selena.
“Matt, kamu mau kemana?” tanya Bianca pada Matt dan membiarkan Selena terus menaiki anak tangga.
“Aku ingin pergi dengan Henry.”
“Kemana? Aku ingin ikut!” seru Bianca memutar balik langkahnya untuk mengikuti Matt. Dia sudah tidak peduli dengan Selena.
“Bertemu seseorang,” jawab Matt terus berjalan.
“Boleh kan kalau aku ikut kalian?” pinta Bianca yang berjalan mengimbangi langkah Matt.
“Tanya pada Henry. Karena dia ingin bertemu dengan perempuan hari ini,” jelas Matt.
Sekali lagi Bianca menghentikan langkahnya dan berpikir. “Kalau begitu, untuk apa aku ikut dengan kalian?” gumamnya dan membiarkan Matt berjalan menuju pintu keluar.
“Hhh … kenapa aku merasa sangat bosan sekarang?” gerutu Bianca sambil menghentakkan kakinya. “Kemana aku harus menggunakan waktu luangku? Apa aku harus berburu? Tapi‒.” Bianca memegang perutnya dan tenggorokan juga. “Aku tidak lapar atau haus.”
Bianca memilih untuk duduk di tangga sambil bertopang dagu. Sebagai gadis yang memiliki jiwa yang berhenti di masa remaja, Bianca memang lebih sering merasa kebosanan bahkan kadang dia juga memiliki sifat yang plin plan.
Sementara itu di dalam kamar, Selena melempar tas miliknya ke atas tempat tidur. Dia tidak merasa kelelahan sama sekali meskipun sudah berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Dalam pikirannya sekarang penuh dengan Rain.
“Kenapa harus dia?”
Selena duduk di sofa kesayangannya sambil membuka buku novel yang belum selesai dia baca. Berusaha untuk mengalihkan fokus dari lelaki yang memikat itu. Namun, setelah lima menit berlalu dia akhirnya mendengus sebal karena tidak berhasil mengenyahkan wajah dingin Rain.
“Sial!” umpatnya lalu menutup buku dengan kasar.
Selena berdiri dan menatap keluar jendela. Menatap langit yang tak nampak matahari. Memejamkan mata dan membiarkan dirinya terlepas dengan bayangan Rain.
Akan tetapi yang muncul dalam penglihatan Selena adalah tentang sebuah kamar yang mana ada dirinya dan juga Rain di sana.
Selena mengerutkan kening ketika dia melihat dirinya sendiri yang menarik kerah baju Rain kemudian mencumbu lelaki itu. Mengecup bibir Rain dengan perlahan dan lembut sementara lelaki itu bersikap sangat pasif. Seketika panas tubuh Selena membakar setiap sendinya. Dia langsung membuka mata dengan perasaan tidak percaya.
“SHIT!” serunya sambil melangkah mundur.
Selena langsung berlari menuju cermin besar dan menatap pantulan dirinya. Merasa setengah percaya dan tidak dia memegang dadanya. Seolah jantungnya berfungsi kembali setelah beratus tahun tidak berdetak.
“K‒kenapa ini?” herannya.
Tanpa membuang waktu banyak, Selena langsung membuka pintu kamarnya dan setengah berlari keluar mencari siapa pun yang ada di rumah itu hanya untuk menanyakan kejadian aneh yang baru saja dia alami.
Rumah besar seperti kastil itu tampak kosong dan senyap. Tidak ada siapa pun di sana. Entah Bianca yang sebelumnya menggerutu karena merasa kebosanan atau Henry dan Matt yang sepertinya sudah pergi keluar. Selena sempat mendengar itu dari mulut Matt.
“Bia!” teriak Selena bergegas menuruni anak tangga.
Tidak ada jawaban. Bianca memang sudah keluar dari rumah.
“Ayah!” panggil Selena lagi.
Dan sama seperti sebelumnya, masih belum ada jawaban.
“Ergh! Menyebalkan!” maki Selena sambil menjambak rambutnya merasa frustasi. Dia penasaran dengan kondisi aneh pada dirinya. Di saat dia membutuhkan salah seorang dari anggota keluarga angkatnya, tidak ada satu pun yang muncul.
***
Sementara itu di tempat lain.
John tengah sibuk dengan salah satu wanita yang dia kenal dua jam yang lalu. Siapa lagi kalau bukan salah satu guru yang mengajar di SMA High Valley. Sewaktu dia menunggu kepulangan anak-anaknya, John sempat melakukan kontak mata pada perempuan muda berusia 28 tahun berambut pirang dan bertubuh tinggi.
Hal yang biasa dan bisa dikatakan kelebihan oleh para vampire itu adalah ketika mereka melakukan flirting dan tidak pernah gagal akan hal itu.
Buktinya sekarang John dan Rebecca sudah berada di sebuah kamar pribadi. Kamar siapa lagi kalau bukan milik guru sejarah itu.
“Aahh … John ….” Becca menjambak rambut John ketika lelaki itu tengah berada di atas badannya. Menciumi bagian leher Becca dengan agresif sambil satu tangannya sibuk memainkan bagian sensitif perempuan.
“Hmm?” John hanya bisa menjawab panggilan Becca yang bercampur dengan rintihan nikmat. Yang dia fokuskan sekarang adalah menyerap zat feromon yang dimiliki oleh perempuan itu. John bisa merasakan kalau ini bukanlah hal pertama yang dilakukan Becca. Namun, tidak dapat dia pungkiri bahwa perempuan yang memiliki badan putih mulus itu hanya pernah melakukan dengan satu lelaki.
“Ahh … nikmatnya ….” racau Becca sambil mendongakkan kepalanya ketika bagian intimnya sudah dimasuki oleh lelaki berwajah tampan blasteran surga itu.
Seumur hidup Becca, ini adalah pertama kalinya dia bertemu lelaki setampan dan sehebat John. Dia merasa kalau John tidak seperti mantan pacar brengseknya itu. Entah bagaimana bisa Becca langsung percaya dengan rayuan lelaki yang mengaku memiliki empat anak tersebut.
“Aahh … aahhh … ahhh!” rintihan Becca semakin cepat durasinya ketika John semakin agresif melakukan serangan ternikmat itu. Membiarkan Becca terlarut dalam kejantanan yang dia miliki.
“Becca … aku hampir sampai!” seru John yang langsung mengecup bibir Becca tanpa menunggu jawaban dari perempuan yang tengah memainkan lidah di mulut pasangannya itu.
Sambil beradu lidah, Becca terus mengimbangi John yang sudah menjambak mesra rambutnya. Becca merasa akan lebih baik mereka berdua klimaks bersama-sama.
Hingga akhirnya ….
“Aaaakkhhh!!” John dan Becca mengerang bersama.
Becca mengatur napasnya yang naik turun. Belum pernah dia merasakan sensasi pengalaman bercinta sehebat ini sebelumnya. Permainan yang dilakukan John benar-benar membuatnya mabuk kepayang.
John merebahkan badannya di samping Becca. Menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut sementara Becca membiarkan tubuhnya tanpa dilapisi sehelai benang pun.
“Permainan yang hebat, John,” puji Becca dengan suara lirih tepat di samping telinga John.
Senyum manis penuh kharisma yang dimiliki John langsung tersungging. Dia menolehkan kepalanya menatap wajah Becca yang berkeringat.
“Aku masih lapar … apa kamu siap untuk permainan selanjutnya?” tanya John.
Becca hanya tersenyum nakal sambil menggigit bibir bawahnya kemudian mengangguk. Dengan cepat John merengkuh badan perempuan itu dan kembali melakukan serangan kedua.
-Bersambung-
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa