Share

RUMAH BATU BERLUMUT

“Setiap tindakan selalu ada konsekuensinya. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan.”

****

Malam itu, setelah Selena bertanya tentang detak jantung seorang vampire, John tidak dapat tenang semalaman. Dia belum bisa menjawab dengan benar dan memuaskan untuk Selena. Dia sendiri tidak menyangka kalau Selena bertanya hal yang belum pernah dia dengar selama beratus-ratus tahun ini. Bahkan Matt yang usianya jauh lebih tua daripada Selena, atau pun Bianca dan Henry yang lebih sering berinteraksi dengan manusia, tidak pernah sekalipun menanyakan itu.

“Ada apa yang terjadi dengan Selena? Apakah dia merasakan hal itu? Kalau memang benar, dengan siapa?” gumam John sambil menatap perapian yang menyala.

Di luar semakin dingin karena hujan mulai turun. Selena terus menatap hujan yang jatuh dari langit sambil bersedekap. Kaca jendela menjadi basah karena bias hujan. Dia sendiri juga berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya.

Sekali lagi Selena mencoba menutup matanya dan berharap bayangan Rain akan muncul seperti sebelumnya. Namun, usahanya sia-sia. Jangankan bayangan wajah Rain, bahkan suaranya saja tidak terdengar.

“Sial!” maki Selena. Dia membuka mata dengan kening berkerut. Percuma saja dia mencoba beberapa kali. Hasilnya tetap sama. Dia harus bertemu langsung dengan Rain untuk menemukan jawaban.

***

Keesokan harinya. Bianca membetulkan posisi pita merah yang mengikat rambutnya. Dia bersenandung kecil dengan tangan yang sibuk. Berjalan menuju ruang tamu karena di sana lah tempat empat saudara itu berkumpul sebelum ke sekolah.

Betapa terkejutnya Bianca saat melihat Selena yang sudah rapi, duduk tenang di atas sofa sambil memakan coklat hitam sebagai sarapannya.

Gosh!” seru Bianca dengan tatapan tidak percaya. Kakinya langsung berlari menghampiri Selena yang tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran saudarinya.

“Kenapa kamu sudah siap, Elle?” tanya Bianca dengan rasa penasaran.

“Tidak apa-apa,” jawab Selena seperti biasanya.

Bianca melihat di atas meja juga sudah ada tas Selena dan sekotak bekal berisi coklat hitam pastinya. “Kamu mengalami pubertas, ya?” tebak Bianca.

Selena sepintas melirik tajam tanda tidak suka pada pertanyaan Bianca. Namun, gadis berpita merah itu tidak peduli apakah Selena terganggu dengan pertanyaannya atau tidak. Dia terus melontarkan beberapa hal yang membuatnya penasaran.

“Apakah ada seseorang di sekolah yang sangat ingin kamu temui?” tanya Bianca lagi.

Selena hampir saja tersedak coklat hitamnya. Tebakan itu memang benar, tapi jangan sampai Bianca menyadari kalau memang Selena ingin cepat bertemu dengan Rain.

“Tidak.” Selena menjawab singkat.

“Atau kamu‒.”

“SELAMAT PAGI SEMUANYAAAA!” sapa Henry.

Suara Henry memotong pertanyaan Bianca dan itu menyelamatkan Selena dari tebakan random. Henry melangkah mendekati Selena dan memberikan sekotak bekal berisi coklat pada saudarinya.

“Buat makan siang,” kata Henry dengan tulus.

Tidak perlu untuk Selena menjawab. Dia cukup mengarahkan tatapan Henry dengan bola matanya ke samping tas yang ada di atas meja.

“Ah, lagi-lagi aku telat memberikanmu bekal makan siang,” gerutu Henry kemudian menyodorkan bekal itu pada Bianca. “Buat kamu saja.”

Bianca dengan cepat menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku masih kenyang,” jawabnya sambil mengelus perut.

“Huh!” Henry mengeluh kesal.

Kemudian seseorang merebut bekal di tangannya sambil berkata, “Aku butuh bekal ini sepertinya.”

Henry dan Bianca menoleh ke belakang dan tampak ada Matt yang sudah rapi dan terlihat tampan seperti biasa. Matt langsung memasukkan bekalnya ke dalam tas dan melemparkan tatapan ke Selena.

“Selamat pagi, Elle,” sapa Matt dengan ramah.

“Pagi,” jawab Selena singkat.

Henry dan Bianca saling pandang. Hubungan Matt dengan Selena memang tidak pernah berjalan mulus dan itu sudah biasa.

“Ayah mana?” tanya Matt melihat ke sekeliling.

“Tidak ada,” jawab Selena yang disambut dengan tatapan tiga saudaranya.

“Kemana?” tanya Bianca.

Selena menutup bukunya. Sejak tadi di tangan kanannya memegang satu kunci. “Hari ini kamu yang menyetir,” kata Selena sambil melemparkan kunci ke arah Matt dan ditangkap sempurna oleh lelaki itu.

“Baiklah,” jawabnya sambil menggenggam kunci. “Tapi, katakan di mana ayah?”

“Dia harus pergi,” jawab Selena, berdiri dan memasang tas ke bahunya.

“Pergi kemana?” tanya Matt lagi.

“Aku tidak diberitahu. Kalau kalian penasaran, telpon saja.” Dengan acuh Selena melangkah keluar rumah dan masuk ke dalam mobil.

Bianca hanya berdecak sebal melihat sikap Selena yang begitu dingin, sementara Henry tidak peduli karena sudah biasa dengan sifat tersebut.

“Bukankah dia sangat tidak sopan?” gerutu Bianca, tangannya bersedekap di dada.

Matt tersenyum. Dia mengacak pelan rambut adik bungsunya dan berkata, “Sudahlah … nanti juga akan terbiasa.”

Bianca merapikan rambutnya dan masih saja bersungut sebal. “Henry … apa kamu tidak merasa risih dengan sikap Selena?”

Henry menggeleng dengan polos. “Dia memang seperti itu, dingin. Aku harus terbiasa dengan kalian. Seperti kamu yang pecicilan dan genit, maka aku harus terbiasa dengan juteknya Selena.”

“APA KAMU BILANG?!” seru Bianca sambil melotot.

Henry hanya tertawa kemudian memilih kabur masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang bersama Selena. Sedangkan Bianca duduk di depan samping Matt.

Selama perjalanan, seperti biasa Selena memilih untuk tidak ikut masuk ke dalam topik obrolan mereka pagi ini. Sambil bertopang dagu dia menatap jalanan lewat kaca jendela. Aspal masih basah dan meninggalkan jejak ban mobil yang melintas.

Sekelebat dia melihat sebuah rumah batu yang berlumut dan sangat tua. Keningnya berkerut kemudian tanpa bisa dikontrol, dia bertanya pada Henry yang duduk di sampingnya.

“Rumah itu tampak menyeramkan, Henry.” Telunjuk Selena mengarah pada rumah batu yang sudah dilewati mereka.

Henry menoleh ke belakang dan tahu rumah mana yang dimaksud Selena. Dia lalu menjawab, “Aku pernah mendengar cerita dari teman sekelasku. Katanya di Breavork ada sebuah rumah angker dan berhantu yang sudah puluhan tahun ditinggalkan pemiliknya. Mungkin rumah itu yang mereka maksud.”

“Hantu? Memangnya ada?” tanya Selena dengan sinis.

“Sama seperti kita … apa mereka percaya dengan vampire?” celetuk Bianca dan membuat Selena menjadi bungkam.

Matt melirik Selena lewat spion tengah, memastikan bagaimana ekspresi gadis itu. Dan bisa ditebak dengan mudah kalau dia tengah diam dan sibuk dengan pikirannya.

“Selama berada di Breavork … kuharap kita bisa berbaur dengan manusia. Tetaplah membuat anggapan bahwa vampire itu hanyalah mitos,” pinta Mattt dengan serius.

“Tenang saja, Matt … meskipun aku terlihat lebih cantik daripada gadis normal pada umumnya, kuusahakan tingkahku tidak mencurigakan,” kata Bianca setengah menyindir Selena.

“Lebih baik diam daripada terlalu banyak bicara,” jawab Selena dengan ketus.

“Apa kau bilang?!” Mata Bianca langsung berubah menjadi merah. Sebagai vampire yang sensitif, dia akan mudah berubah ke wujud aslinya kalau sedang tersinggung.

“Lihat, kan? Siapa yang tidak bisa bersikap normal?” lanjut Selena sambil tersenyum miring.

“KAU!” Bianca mengepalkan tangannya, namun dengan cepat digenggam dan diturunkan oleh Matt. Bianca melihat Matt yang memberikan kode untuk lebih tenang.

“Sudahlah … jangan bertengkar. Kalau ayah tahu, kita semua akan dihukum,” kata Henry berusaha melunakkan suasana.

Bianca memejamkan matanya, mencoba mengembalikan warna matanya yang sudah memerah kembali menjadi hitam. Berhasil. Meskipun dalam dadanya masih saja tidak terima dengan kata-kata menyebalkan yang diucapkan oleh Selena.

-Bersambung-

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
rumah Rain ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status