Hati menerima dengan penuh suka cita, namun logika dengan tegas menolaknya.
Itulah tepatnya kontradiksi yang dirasakan oleh Trixie, atas kemunculan Leon yang tiba-tiba dan begitu nyata di depannya. Jika orang yang kamu cintai dengan sepenuh hati direnggut begitu saja darimu, maka dia pun akan turut membawa serta bagian dari dirimu. Lalu hakikat dirimu pun tak lagi sama, karena ada sisimu yang turut menghilang. Terbang jauh, tiada bersama jiwa yang tercinta. Dan saat ini, Trixie seolah mendapatkan kembali bagian dari dirinya yang telah lenyap bersamaan dengan tewasnya Leon setahun yang lalu. Karena kini, sosok yang sangat ia rindukan setengah mati itu telah kembali. Trixie tahu bahwa yang ia harus lakukan sekarang adalah memeluk Leon erat-erat, agar lelaki itu tidak akan menghilang lagi. Seolah semua derita yang ia rasakan setahun ini musnah sudah. Hatinya yang selalu menjeritkan nama Leon dan batinnya yang selalu menangis setiap malam hingga akhirnya tertidur, seolah kini itu semua hanyalah masa lalu kelam yang tak ingin ia ingat-ingat lagi. Bahwa semua gangguan kejiwaan akibat kehilangan sungguh tak lagi membebaninya. Trixie telah merelakan masa-masa sulit untuk mengembalikan jiwanya yang porak-poranda akibat kematian Leon, jika di ujung penderitaan ini ia memetik buah manis untuk semua kesakitannya. Trixie mendekap kuat tubuh atletis itu, dengan sengaja menenggelamkan diri ke dalam kehangatan dada bidang dengan ototnya yang keras, dan memberikan kecupan mendalam penuh kerinduan. Wanita itu bahkan tak peduli ketika Leon tak juga membalas ciumannya. Lelaki itu seolah tak mengenalnya, dan hanya diam terlihat enggan. Tapi Trixie yang telah dibutakan oleh rasa rindu, terus menyesap bibir lelaki itu. Hingga akhirnya terdengar suara geraman kasar dari mulut Leon, disertai dengan lelaki itu yang kini menyergap bibir manis Trixie dan melumatnya dengan sepenuh gelora. Yang disambut oleh Trixie dengan sepenuh suka cita. Karena ia tahu kalau bibir ini, dan tangan yang sedang mendekap wajahnya ini, adalah milik Leon. Dia benar-benar Leon! Meskipun... Trixie sedikit mengernyit ketika merasakan sesuatu yang sedikit berbeda. Apakah ia saja yang perlahan mulai melupakan Leon karena berlalunya waktu, yang sedikit demi sedikit telah membuat ingatannya sirna? Wajah lelaki ini begitu sama, begitu serupa... tapi... Trixie mendesah antara kaget dan bingung ketika lelaki yang ia kira Leon, kini semakin memperdalam pagutannya dengan menggebu-gebu bagai diburu waktu, seakan hari ini juga dunia akan hancur tak bersisa. "L-Leon~" Ucapan Trixie pun tertelan oleh ciuman ganas dan membabi-buta dari lelaki di depannya. Leon bagaikan orang yang sedang kehausan dan kelaparan, dan bibir Trixie pun telah menjadi pelepas dahaga sekaligus hidangan terlezat yang terhidang di depan mata. Aneh. Leon yang Trixie kenal tidak pernah begini. Leon selalu menyukai cumbuan yang lembut dan mesra, pelan dan tidak terburu-buru. Trixie merintih lirih merasakan sengatan dari sebuah gigitan di bibirnya. Leon tidak pernah menggigit bibirnya sekuat ini sebelumnya, tapi tak mengapa. Walaupun merasakan perbedaan, tapi wanita itu lebih memilih mengabaikannya. Trixie membiarkan lelaki di hadapannya ini melakukan apa pun kepada dirinya. Dan walaupun berbeda, tapi Leon yang ini... telah membuatnya benar-benar melayang. Trixie begitu larut dalam ciuman penuh gairah yang mulai dihembuskan oleh Leon. Logikanya yang semula meneriakkan tanya tentang keberadaan seseorang yang telah tiada, kini telah terdiam dibungkam asa. Leon, dan hanya Leon yang kini ada di dalam pikirannya. Hingga... Trixie memekik kaget ketika tiba-tiba Leon melepaskan ciuman mereka, lalu mendorong tubuhnya hingga kembali terbaring ke atas sofa. Manik biru safir wanita itu yang semula sayu karena hasrat, sontak membelalak lebar ketika melihat Leon mengeluarkan sepucuk senjata dari balik mantelnya. Senjata? Sejak kapan Leon memilikinya? Yang Trixie ingat, Leon sangat anti dengan senjata. Lelaki itu memiliki kemampuan menguasai berbagai jenis olahraga bela diri, dan lebih suka mengandalkan kemampuannya itu jika dalam kondisi bahaya. Lelaki itu mengacungkan lurus senjatanya ke satu titik, dan dua suara letusan berperedam pun terdengar merobek udara. Trixie yang ketakutan pun serta merta memejamkan kedua mata dan menutup kedua telinganya. Apa yang barusan di tembak oleh Leon? Apakah seseorang? Siapa?? Dan kenapa?? "Diam di sini." Trixie hanya terpaku ketika mendengar Leon berucap dengan suara yang sangat ia ingat. Tapi alih-alih lembut, nada suara Leon kali ini justru terdengar sangat dingin dan kaku, seperti juga tatapan dari manik segelap malam tanpa bintang yang menyorotnya tajam. Karena terlau takut, Trixie pun tak bergeming dan tetap berbaring di sofa. Ia membiarkan Leon yang perlahan bangkit menuju ke arah pintu. Trixie tak dapat lagi melihat Leon, karena posisinya yang rebah dan terhalang sandaran tangan sofa. Namun wanita itu pun memekik kaget, ketika mendengar suara gedebug keras dan suara seperti seseorang yang tengah berkelahi. Ya Tuhan. Ada apa ini?? ***Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim