"Leon...," bisik Trixie takut-takut, dengan posisi yang masih berbaring di sofa. Ia bingung harus bagaimana. Leon menyuruhnya diam di sini, tapi...
Dengan memberanikan diri, Trixie pun akhirnya perlahan bangkit dari sofa dan mengedarkan pandangannya. Lalu kembali memekik terkejut sembari menutup mulutnya dengan tangan. Pemandangan mengerikan terpampang di depan matanya, membuat seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. Ada seseorang yang tergeletak di lantai dengan bagian kepala yang bersimbah darah, sementara Leon berdiri di sampingnya sambil menatap ke bawah, sebelum mendengar suara Trixie. "Sorry about this, Miss Trixie Bradwell," ucap lelaki itu sembari menatap Trixie lekat. "Seharusnya kamu tidak perlu melihat ini semua, tapi sudahlah. Lagipula sudah terjadi." Trixie masih terdiam tak tahu harus berkata apa, ketika melihat Leon yang dengan santai memasukkan kembali senjatanya ke balik mantel. Lelaki itu mengusap bibirnya sendiri dengan ibu jari, sembari melayangkan tatapan nakal ke arah Trixie. "Terima kasih untuk 'sambutan manisnya'. Bibirmu memang semanis wajahmu. Aku sangat menikmatinya." "LEON, TUNGGU!!" Trixie menjerit dan segera berdiri dari sofa ketika melihat lelaki itu membalikkan badannya seolah hendak pergi meninggalkan Trixie sendiri. Namun tiba-tiba saja ia kembali berbalik dan menatap Trixie lekat dengan manik gelapnya yang semakin kelam, seolah tertutup oleh kabut hitam. "Entah siapa Leon yang kamu maksud, tapi aku bukanlah dia. Namaku Aiden. Aiden Miller," gumannya tajam sembari berjalan perlahan mendekati Trixie. Satu tangannya diam-diam menyelinap ke dalam saku mantel, untuk meraih sesuatu di dalam sana. "Ingatlah itu, Miss Trixie Bradwell," ucap Aiden, sebelum kemudian menyemprotkan botol kecil berisi obat bius ke wajah Trixie. Dan hanya butuh beberapa detik sebelum wanita itu kembali tak sadarkan diri. *** Trixie menyentuh kepalanya yang pusing dan berputar-putar, seolah ia sedang menaiki roller coaster tanpa henti. Ia benar-benar shock dan bingung dengan semua yang terjadi hari ini. Kemunculan sosok lelaki yang sangat mirip dengan Leon, dan kematian seorang lelaki asing yang ternyata... "Mungkin itu cuma imajinasimu saja, Trix." Lena yang sejal tadi terus berada di sampingnya, kini membentangkan selimut hangat di atas tubuh Trixie, lalu mengusap pundak sahabatnya itu dengan lembut. "Aku melihatnya, Lena! Aku melihat mayat seorang lelaki dengan kepala yang bocor terbaring di balik pintu!" Ucap Trixie bersikeras. Ia tidak mengerti kenapa jadi begini. Saat Trixie terbangun, Aiden telah menghilang. Begitu pun dengan lelaki bersimbah darah yang terbaring di lantai. Mereka semua seolah hanyalah hayalannya yang memang sering terjadi setahun terakhir ini. Ia sering berkhayal bahwa Leon masih hidup, dan terkadang khayalannya itu terlalu nyata. "Tapi kamu melihatnya kan, Lena? Kamu melihat... lelaki yang sangat mirip... dengan Leon?" Tanya Trixie sambil menatap Lena. Lena mendesah pelan. "Dia hanya mirip dengan Leon, Trix. Tapi dia bukan Leon! Kamu harus ingat kalau Leon sudah tiada, Sayang." Lena mengusap dan merapikan rambut emas Trixie yang terlihat acak-acakan. Trixie pun seketika melamun. Ia masih bingung dengan kemiripan fisik yang hampir 100% ini. Trixie memiliki saudara kembar lelaki, yang bernama Tristan dan Trevor. Bahkan meskipun mereka identik, tapi tetap saja terlihat beberapa perbedaannya detilnya. Lalu kenapa Leon dan Aiden seolah adalah orang yang sama namun dengan jiwa yang berbeda? "Aiden Miller," tanpa sadar, Trixie menyebut nama lelaki itu. Rasanya ia pernah mendengar nama itu di suatu tempat... "Ya, Trixie. Lelaki itu bernama Aiden Miller, seorang CEO dari salah satu perusahaan game besar di dunia yang selama ini tidak pernah menampakkan diri di khalayak publik," sahut Lena. "CEO perusahaan game?" ulang Trixie sambil masih melamun selama beberapa saat. "Lena, apa kamu bisa membantuku?" Trixie pun kembali berucap dengan tiba-tiba. Lena mengangguk pasti. "Ya, Trix. Ada apa? Katakan saja apa yang bisa aku lakukan untukmu." Trixie menghela napas pelan. Ada yang salah di sini, ia pun bisa merasakannya. Dan ia harus mengetahuinya sekarang juga. Apa yang telah sirna dan tiada memang tak dapat ia cegah. Namun ia akan menyelidiki sesuatu yang menyimpan misteri dan belum musnah. "Cari tahu alamat perusahaan milik Aiden Miller, juga alamat tempat tinggalnya," titah wanita bersurai emas itu dengan tatapan yang semula sayu, kini berubah tegas dan penuh tekad. "Dan sampaikan, bahwa Trixie Bradwell ingin bertemu." ***Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim