Share

6. Serangan

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 13:08:03

Trixie tiba-tiba menjerit histeris, suaranya serak dan mengguncang dinding ruang yang sunyi.

“Leon! Jangan pergi!”

Tangisnya pecah seketika, air mata membanjiri wajahnya yang pucat, meluruhkan sisa-sisa riasan dengan jejak panjang yang basah.

Tubuhnya gemetar, bahunya berguncang tanpa kendali, seolah rasa sakit dan kehilangan yang membenamkan jiwanya tak kunjung berhenti menyiksa.

Aiden memandang wanita itu dengan ekspresi kaku, hatinya bergejolak meski wajahnya tetap tak terbaca.

Ia menarik napas dalam, berusaha memendam rasa simpati yang mulai merayap di tepi kesadarannya.

Namun ketika suara tangisan Trixie semakin keras dan memekakkan telinga, ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menenangkannya adalah melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya ia lakukan.

“Ssh… aku ada di sini.” Suaranya rendah, menenangkan, tapi penuh ketegasan.

Ia bergerak dengan perlahan, seperti seorang lelaki yang dipandu oleh naluri lebih dari pikiran.

Kedua tangannya terulur, menggenggam tangan Trixie yang bergetar. Dan dengan lembut namun penuh keyakinan, ia menarik wanita itu agar duduk.

Tubuh ramping Trixie dengan mudah terjatuh ke dalam pelukannya.

Aiden membiarkannya, merasakan sentuhan tubuh yang hangat dengan kulit yang membara oleh emosi dan keputusasaan.

Dan keajaiban kecil pin terjadi, tangisan Trixie tiba-tiba terhenti.

Hanya untuk sejenak Trixie menarik napas panjang, lalu tubuhnya yang gemetar mulai merapat erat ke Aiden, seolah menemukan jangkar di tengah badai.

Tangannya bergerak perlahan memeluk pria itu dengan intensitas yang mengejutkan. Ia mendesah pelan, lalu berbisik dengan suara serak dan nyaris tak terdengar.

“Leon…”

Aiden terpaku. Manik hitamnya sedikit melebar mendengar nama itu. Leon.

Nama yang sama yang diucapkan oleh asisten Trixie ketika pertama kali melihatnya. Teka-teki pun mulai membentuk gambaran di benaknya.

Leon ini pasti adalah seseorang yang penting bagi Trixie.

Dan dari racauan wanita ini, Aiden dapat menyimpulkan satu hal lagi : Leon telah meninggal, meninggalkan celah kosong yang tak pernah terisi di hati Trixie.

Pikiran itu mengguncang dirinya. Namun sebelum ia dapat merenungkannya lebih jauh, tangan lembut Trixie tiba-tiba menyentuh pipinya.

Lalu, segalanya pun berubah.

Tanpa peringatan, bibir Trixie menempel di bibirnya.

Kecupan pertama begitu ringan, penuh kerinduan yang menyayat.

Trixie mencium dengan sepenuh hati, mengisi kekosongan yang selama ini menyesakkan jiwanya.

Sebutir air mata jatuh di sela kecupan itu, menyentuh kulit Aiden dengan kehangatan yang anehnya terasa dingin di hatinya.

Kecupan kedua datang. Kali ini lebih dalam, lebih lama, seolah Trixie takut kebahagiaan itu akan menguap jika ia berhenti.

Dan Aiden masih bergeming, menutup rapat bibirnya, berusaha keras menahan diri.

Persetan!

Emosi pun bergulat dengan keinginan di dalam dirinya, meski ia pun tahu jika ini salah.

Trixie mengira bahwa dirinya adalah Leon. Ia seharusnya berpegang pada kebenaran dan meluruskan kesalahpahaman ini sebelum semuanya terlanjur jauh.

Tapi... tubuhnya malah memberontak.

Tangan Aiden yang besar dan kuat terangkat, mencengkeram tengkuk Trixie dengan sentakan penuh gairah yang tak lagi bisa ia bendung.

Bibirnya bergerak cepat, merespons kecupan itu dengan hasrat yang membara.

Desahan tertahan lolos dari mulutnya, diiringi suara geraman rendah yang menggetarkan tenggorokannya.

Satu kecupan ringan? Itu tidak cukup. Ia menuntut lebih.

Bibirnya melumat bibir Trixie dengan keras, dengan rasa lapar yang membara seperti seorang lelaki yang kehilangan kendali.

Lidahnya menyusup masuk, menemukan manisnya yang menggoda seperti ceri, membuatnya kecanduan.

“Mmmh…” Trixie mengerang pelan, tangannya meremas bahu Aiden saat ia membalas ciuman itu dengan gairah yang sama besar.

Dirinya tenggelam dalam gairah yang menyesakkan, yakin bahwa pria yang menciumnya adalah Leon, kekasihnya.

Aiden membiarkan dirinya tersesat. Namun di saat puncak kenikmatan itu, kesadarannya menamparnya kembali ke dunia nyata.

Matanya menangkap bayangan samar di cermin besar yang berada di samping meja kerja.

Sebuah bayangan hitam.

Seseorang dengan pakaian serba hitam dan topeng hitam menutupi wajah. Sebuah pistol teracung tegak di depan tubuhnya.

Dalam sekejap, semua hasrat lenyap.

Aiden melepaskan ciumannya dengan kasar. Ia mendorong Trixie ke sofa, tubuhnya tegak dan waspada dalam hitungan detik.

“Diam!” desisnya pelan, tapi penuh perintah.

Trixie menjerit dan menutup kedua telinganya dengan tangan sambil memejamkan mata, ketika Aiden mengeluarkan senjata dari balik mantelnya.

Cahaya senja berkilauan di atas permukaan hitam pistol itu saat ia membidik tanpa ragu.

Satu tembakan berperedam meledak, suara kecil yang membawa maut seperti bisikan tajam yang menusuk dada.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Mafia Billionaire   98. Extra Part

    Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se

  • The Mafia Billionaire   97. Runtuh Dan Bangkit Kembali

    "AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k

  • The Mafia Billionaire   96. Gadisku Yang Manja

    Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent

  • The Mafia Billionaire   95. Tak Lagi Menjadi Buronan

    Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep

  • The Mafia Billionaire   94. Duel Sampai Mati

    Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry

  • The Mafia Billionaire   93. Cinta

    Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status