Janeth kalah cepat dari Jack. Pria itu sudah mengongkang senjatanya sejak awal sampai di kamar Rosene. Dan setelah melihat Janeth berada di sana tentunya.
Dia curiga saat melihat Janeth sedang menuju ke kamar Rosene, hingga ia pun mengikutinya. Jack juga sempat mendengar mereka berdua berdebat..
Bertahun-tahun perang dingin terjadi antara dua anggota wanita klan Rossmoss. Tentu menyita perhatian semua anggota klan itu sendiri. Terlebih Janeth terang-terangan menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada Rosene di depan klan.
Dingin, angkuh, keras kepala, dan congkak. Beberapa faktor penyebab wanita bermata merah itu tidak disukai anggota klan Rossmoss lainnya terutama Janeth.
Alasan lainnya, yaitu Rosene merupakan anggota kesayangan Markus, Pemimpin klan. Tidak menyimpan kemungkinan bila Jack menyukai wanita itu juga.
Rosene menatap Jack penuh emosi. Wajar, karena pria itu yang telah menembak adiknya. Lantas apa maksud kedatangan pria itu sampai repot-repot datang kemari.
"Akhiri ini, Janeth. Kau tidak ingin mati di tangan pria yang kau sukai 'kan." Rahasia lainnya jika Janeth sebenarnya menyukai Jack.
"Dan kau, jika ingin membunuh orang jangan di sini. Jangan kotori kamarku dengan darah."
Rosene menatap Jack dan Janeth secara bergantian. Rosene menutup resleting tasnya. Dada Janeth bergemuruh, sial sekali dirinya harus tertangkap oleh Jack. Bisa semakin benci pria itu pada dirinya.
"Kau beruntung kali ini." Janeth menurunkan senjata. Rosene kembali menatap Janeth.
"Ya, aku selalu beruntung." Terselip nada profokasi yang sukses membuat Janeth mengepalkan tangan. Ini bukan waktu yang tepat untuk menghabisi saingannya itu.
Kemudian Janeth menoleh ke arah pria yang masih menodongkan senjata. "Kau puas sekarang." Setelah mengatakan itu, Janeth berlalu dari hadapan keduanya.
"Kau menyakitinya." Rosene memandang sekilas Jack lalu kembali menyibukkan diri dengan persenjataan.
"Aku tidak peduli padanya. Aku hanya peduli padamu." Rosene mendengkus, kata-kata itu terdengar lucu. "Kau tidak harus pergi, Rose. Kau terima saja tawaran Tuan Markus."
Rose diam. Ia memeriksa senjata api lalu mengongkangnya. Mencoba membidik ke sembarang arah, memutar lalu berhenti tepat di kepala Jack.
"Bicara satu kali lagi, kutembak kepalamu." Gila saja, Jack malah menyuruhnya tidur dengan Markus. Sebagai mantan kekasih yang masih mencintai, Jack tidak harus berkata begitu.
Meski Rosene tidak yakin jika Jack masih mencintainya. Bila dilihat dari perhatian yang diberikan diam-diam, sudah pasti Jack masih menginginkannya. Namun, sayang dia malah mengalah dari Markus.
"Rose, dengarkan aku dulu." Rosene melirik kesal pada Jack. Ada apa dengan nada bicaranya. Seperti bukan Jack saja. Di hadapan Markus dia bertindak dingin. Tapi sekarang, dia mengemis ingin diperhatikan.
"Aku mendengarkanmu, Jack." Rosene memang sibuk, tapi telinganya tidak tuli. Ia mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kekasihnya itu.
"Gagalkan misi. Aku bersedia memberikan posisiku padamu." Rosene mendecak. Harus Rosene katakan berapa kali, bahwa ia ingin mundur dari dunia hitam. Rosene ingin hidup normal tanpa musuh. Ia tidak ingin menjadi pembunuh.
"Jika kau kemari hanya ingin bicara omong kosong lebih baik pergi siapkan mobil, satu jam lagi kita berangkat."
"Rose." Jack meraih lengan Rosene yang hendak menyingkir. Tetapi malah tangan Jack yang dipelintir. Rupanya Jack salah perhitungan.
"Rose, jika kau tidak ingin melihatku tak masalah. Lihatlah adikmu, dia butuh kau."
"Kau yang menembaknya, bukan aku." Rosene membalikkan ucapan Jack. Sedikit menekan pergerlangan tangan pria itu. Jack meringis. Sial, kuat sekali wanita itu. Sampai-sampai Jack tidak tahan sakitnya.
Pantas saja Rosene ditakuti oleh semua anggota Rossmoss. Jack yang dikenal paling kuat saja dapat ditaklukkan, apalagi yang lain.
"Hentikan, Rose. Aku hanya ingin yang terbaik."
"Pergi atau kupatahkan tanganmu!" Dalam sekali hentakan, Rosene berhasil mendorong Jack sampai keluar dari pintu. Beberapa anggota klan yang sedang bertugas jaga sampai kaget dibuatnya.
"Sial!" Jack mengumpat. Bisa-bisanya ia kalah dari seorang perempuan.
Rosene tak lagi menanggapi Jack. Ia harus mandi dan mempersiapkan diri. Misi ini perlu dilaksanakan dengan otak dingin.
***
Di lain tempat, nampak seorang wanita bergerak maju mundur di atas tubuh seorang pria. Usianya sekitar tiga puluhan. Tubuhnya ramping, berkulit putih. Wajahnya cantik, dengan bulu mata lentik. Make up tebal, bibir tipis yang dilapisi lipstik berwarna merah merona.
Sedikit berantakan, mungkin karena berulang kali dilumat dengan sesama bibir. Milik seorang pria yang tengah mengerang penuh kenikmatan di bawahnya.
Sementara tangan jahilnya meremas tubuh belakang dengan sesekali menepuk bagian bawah punggung agar wanita itu lebih cepat bergerak.
"Lebih cepat lagi!" seru Aaron disela-sela erangannya. Sementara sang wanita sudah terengah-engah. Ia sudah lelah dan hampir sampai.
Tetapi Aaron masih belum apa-apa. Pria itu belum mencapai puncak. "Kau payah!" Dengan tak sabar Aaron bangun lalu menghempaskan tubuh wanita itu ke belakang.
Wanita itu meringis kesakitan. Selain karena benturan. Bagian belakang punggungnya terluka akibat Aaron menancapkan kukunya di sana. Tetapi ia tidak bisa mengeluh. Jika itu sampai terjadi, maka ia bisa mati.
Ia tahu kebiasaan Aaron. Permainan yang kasar dan sangat menyiksa. Tetapi, tetap saja nekat ingin ditiduri oleh pria itu. Ya ingin sekali. Siapa yang tidak ingin jatuh dalam pelukan seorang Aaron Salvatore.
Seorang pemimpin mafia terkuat di Italia dengan wilayah lebih dari separuh Benua Eropa berada di bawah kepemimpinannya termasuk Austria. Pria yang kini berusia 31 tahun itu memiliki bentukan fisik yang sempurna.
Matanya cokelat tajam. Wajahnya tampan, alisnya tebal melintang, kulitnya putih, hidung mancung dan bibir sedikit berisi.
Posturnya tinggi 183cm, lengannya kekar, dadanya bidang. Pinggangnya ramping. Bagian depan perutnya berbentuk kotak-kotak yang membuatnya terlihat sangat seksi.
Pengalamannya di dunia bawah pun tak diragukan lagi. Siapa yang tak kenal Aaron Salvatore. Pengusaha muda yang memiliki banyak perusahaan. Itu adalah pekerjaan sampingan. Tetapi sesungguhnya dia adalah ketua kelompok klan Dare Devil.
Aaron bangun dari posisinya turun dari ranjang, meraih jubah satin yang jatuh ke lantai lantas memakainya. Kemudian ia berjalan ke arah nakas.
Aaron mengambil amplop berisi uang lalu dilempar pada wanita yang kini hanya menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Ini bayaranmu!"
Merupakan salah satu yang diinginkan para wanita. Yaitu, uang. Aaron adalah pria yang royal. Selagi dia puas maka apapun akan diberikannya.
"Terimakasih, Tuan." Wanita itu tersenyum tipis lalu mulai mengintip isi dalam amplop. Aaron mendecak melihatnya kemudian berjalan ke arah pintu.
"Buka pintunya." Aaron memberi perintah pada dua penjaga di depan pintu kamar. Pintu terbuka, Aaron keluar.
"Ben," panggilnya. Seorang pria dengan setelan jas hitam muncul. Dia adalah Ben kaki tangan Aaron. Usianya satu tahun di bawah Aaron.
"Ya, Tuan."
"Permainannya buruk." Setelah mengucapkan itu. Aaron berlalu. Apa yang dikatakan Arron merupakan sebuah kode. Ben tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Ben menarik senjata api. Menatap dua penjaga lalu mengangguk. Pintu kembali dibuka. Tengah asyik menghitung jumlah uang, sang wanita penghibur dikejutkan oleh kedatangan seseorang.
Bola matanya hampir lepas saat melihat moncong senjata api sudah mengarah tepat ke arahnya.
Dorrr!
Sayang sekali, wanita penghibur itu harus dihabisi. Dia terkapar dengan luka tembak di kepala. Arron bilang, pelayanannya kurang memuaskan. Jadi sudah sepantasnya wanita itu lenyap. Suara tembakan tadi, berhasil menarik pusat perhatian para anggota klan Dare Devil. Dua penjaga di depan pintu saling pandang. Ben keluar. "Kalian, urus mayatnya!" Ben memberi perintah pada bawahannya lalu lekas menyusul Aaron. Menanyakan apa yang diinginkan tuannya itu. Mengingat pria itu belum puas. Pasti Aaron menginginkan pelampiasan lain. Tetapi, Ben salah kira. Aaron malah menuju ke ruang kerja. Ben mengira pria itu akan pergi ke Paviliun, tempat para wanita piaraannya berada. "Ben," panggil Aaron. "Ya, Tuan." Ben maju satu langkah. "Bagaimana dengan Nick?" "Nick sudah di sini sejak tadi, Tuan," jawab Ben. Aaron terperanjat. "Apa, lalu kenapa kau...." Ucapan Aaron terhenti, Ben menatap tuannya. Aaron mendecak. Hampir saja Aaron memarahi Ben. Ini karena dirinya terlalu sibuk bermain dengan wan
Jantung Rosene berdetak cepat. Bukan karena cinta atau apa, tetapi karena dirinya akan segera menginjakkan kaki di wilayah Dare Devil. Kelompok klan mafia terbesar di kota Roma. Di hadapan Jack maupun lainnya, ia bisa saja bersikap tenang dan seolah tak takut pada klan tersebut. Tetapi, kenyataannya, ia begitu gugup. Bagaimana bila penyamarannya terbongkar sebelum misi dimulai. Ia dengar Dare Devil begitu sadis saat membunuh musuhnya. Apakah itu artinya dirinya akan berakhir di sini. Ah, kenapa dirinya begitu pesimis. Setidaknya Rosene harus tetap mencoba. Demi Melanie. Sebelum tiba, Rosene harus sudah menyamarkan penampilannya. Ia harus berganti pakaian ala gadis Roma. Dan satu yang pasti, ia harus menggunakan lensa kontak untuk menutup warna bola matanya yang menurut sebagian orang terlihat menakutkan. Sejak kecil, Rosene mengalami kelainan. Bola matanya berwarna merah terang layaknya makhluk penghisap darah. Hal itu pulalah yang menyebabkan dirinya dibenci oleh Sang Ibu dan
Mendengar nama Aaron saja, membuat kepala berdenyut nyeri. Apalagi ketika berhadapan dengannya. Rosene menghembuskan napas. Menata degup jantungnya yang tidak beraturan. Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Ternyata apa yang ia dengar tentang Aaron bukan hanya rumor semata. Iblis berwajah malaikat. Perumpamaan itulah yang cocok buat Aaron. Rencana yang telah ia susun dengan matang, harus berjalan lancar. Dan semoga saja, Aaron memakan umpan yang ia berikan. Rosene memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya meremas pinggiran westafel. Ini tidak seperti dirinya. Gugup dan takut. Tapi ia harus menyelamatkan Melanie. "Aku harus bersiap."Rosene memasang kembali lensa kontak yang sudah ia lepas. Jangan sampai kelemahan yang satu ini terlihat oleh orang luar apalagi bila sampai ketahuan oleh anggota klan Dare Devil. Mobil berhenti. Ben turun terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk sang Tuan. Aaron menapakkan kaki ke tanah. Rumah sederhana ter
Rosene langsung terduduk. Ia memegang pinggang. Ngilu ia rasakan di sana. Tidak tanggung-tanggung ngilu itu sampai terasa ke perut. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Ini sungguh di luar dugaanAaron malah menyunggingkan senyum. Ia melangkah maju, mendekati Rosene. Ia tarik dagu wanita itu dan membuat Rosene seketika tersentak. "Selamat datang, Sayang." Rosene menenggak ludah, Aaron memandang Rosene. Begitu juga sebaliknya. Tatapan itu terlihat bengis dan memikat di saat bersamaan. Jantung ini tak berhenti berdetak, rencana yang ia susun seketika buyar setelah berhadapan langsung dengan Aaron."Kau...." Rosene tergagap. Pertama kalinya merasakan ketakutan dalam hidupnya adalah saat ini. "Kita bertemu lagi, Sayang." Aaron hendak menyatukan bibir, tetapi Rosene malah mendorong dada bidang itu hingga membuat Aaron termundur ke belakang. "Tuan." Ben menarik senjata api. Aaron buru-buru mengangkat tangan dan membuat Ben berhenti bergerak. Suasana berubah mencekam karena gerakan Ben menar
Rosene memandang Berta dari pantulan cermin. Apa yang baru saja wanita itu katakan. Rosene tidak salah dengar? Apakah itu artinya Rosene akan ketahuan?Melihat reaksi Rosene, Berta segera menyela. "Aku tidak akan mengatakan pada Tuan. Tapi cepat atau lambat, kau harus menyerahkan tubuhmu pada Tuan, karena untuk itulah kau di sini." Rosene merinding mendengarnya. Dibandingkan dengan Melanie, dirinya memang tidak tahu apa-apa soal pria. Apalagi soal hubungan ranjang. Rosene memang memiliki impian untuk hidup normal, menikah, dan memiliki anak. Tetapi, menyerahkan mahkotanya pada Aaron bukan rencananya. Ia kemari untuk menjadi mata-mata, bukan menyerahkan tubuhnya. Kalau begini, sama dengan ia keluar kandang harimau lalu masuk kandang buaya. Nyaris tidak ada beda antara Aaron dan Markus. Keduanya sama-sama pemimpin dunia bawah, dan sama-sama penyuka wanita. Rosene tidak bisa menyerahkan tubuhnya dengan orang macam itu. Tetapi, bukankah itu sudah menjadi resiko yang harus ia terima ke
Dalam hati Rosene mengucap syukur bahwa itu bukanlah Aaron. Rosene mengerutkan dahi. Siapa wanita ini? Tiba-tiba main masuk saja dan membuatnya kaget. Bila dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan pelayan. Tetapi, siapapun dia, pasti orang di luar sana tidak akan tinggal diam 'kan. Benar saja, beberapa detik setelahnya, tergopoh-gopoh Berta muncul. Ia berhenti tepat di samping Lucia yang tengah berdiri memandang ke arah Rosene. "Nona, mohon jangan seperti ini. Tuan bisa marah." Lucia menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Berta. "Dia tidak akan marah kalau kau tidak mengadu." Setelah mengatakan itu, Lucia maju selangkah. "Lagi pula aku kemari karena mendengar bahwa ada koleksi baru. Jadi itu kau." Lucia memandang Rosene sedikit mengejek. "Koleksi?" "Ya, apa lagi jika bukan koleksi. Wanita yang akan dipakai sekali, selebihnya akan dijadikan koleksi." Lucia berkata seraya mengangkat kedua bahu. "Nona," panggil Berta. Lucia mendecak. "Ya, ya aku akan pergi, Berta." Ka
Batuk-batuk itu reda setelah diberikan seteguk air. Aaron mengamati gerak-gerik Rosene. Segala sesuatu yang dikerjakan wanita itu sungguh menarik perhatiannya. Untuk ukuran seorang wanita, Rosene terlalu kaku. Tatapannya juga sedingin es."Kau tidak dengar aku bicara." Rosene menoleh untuk bisa memandang Aaron. Keduanya saling menatap. Aaron dapat melihat bola mata kehitaman itu. Sedikit aneh karena terdapat warna merah di bagian tepi menyerupai cincin. Meski samar, tetapi Aaron dapat melihatnya. Entah itu asli atau tidak. Yang jelas, Aaron baru menemui wanita yang seperti ini. Dan jika diperhatikan lagi. Rosene ini memiliki postur tinggi kira-kira 170 sentimeter, tubuh ramping, kulit putih sesuai dengan selera Aaron. Untuk soal wajah, sudah jelas tidak diragukan lagi. Dia lebih segalanya dari wanita yang ditemuinya. Dan yang membuat Aaron tidak bisa berhenti memandangnya adalah, cekungan di kedua pipi. Sadar terlalu lama bersitatap, Rosene memutus kontak mata terlebih dahulu kemu
Aaron mengibaskan tangan. Berta jelas tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memberi kode pada dua pelayan lainnya untuk berbalik dan meninggalkan ruangan. Pintu ditutup, dan dijaga oleh dua orang pengawal lainnya. Mereka harus selalu siap siaga jika terjadi sesuatu di dalam sana. Ben pun sama halnya, ia turut berjaga di depan kamar. Di dalam kamar tinggal berdua, Rosene bersama dengan Aaron. Ini jelas bukan hal yang Rosene inginkan. Berada di dekat Aaron membuat Rosene seketika gugup. Aura Aaron membuat Rosene jadi kerdil. Aaron berjalan mendekat. Pria yang sudah berpakaian rapi dengan setelan jas itu berdiri di hadapan Rosene. Ia raih dagu wanita itu membuatnya sedikit mendongak. "Kau mencariku, Sayang." Rosene langsung menepis kuat tangan itu dan membuat pemiliknya seketika melotot. "Jangan sentuh aku!" Sungguh, Rosene menyesal karena sudah datang ke sini. Ia tidak sudi jika harus menyerahkan tubuhnya pada Aaron. Karena ia pun datang bukan itu. "Really? Kau bercanda, Sayang." T