Sayang sekali, wanita penghibur itu harus dihabisi. Dia terkapar dengan luka tembak di kepala. Arron bilang, pelayanannya kurang memuaskan. Jadi sudah sepantasnya wanita itu lenyap.
Suara tembakan tadi, berhasil menarik pusat perhatian para anggota klan Dare Devil. Dua penjaga di depan pintu saling pandang. Ben keluar.
"Kalian, urus mayatnya!" Ben memberi perintah pada bawahannya lalu lekas menyusul Aaron. Menanyakan apa yang diinginkan tuannya itu.
Mengingat pria itu belum puas. Pasti Aaron menginginkan pelampiasan lain. Tetapi, Ben salah kira. Aaron malah menuju ke ruang kerja. Ben mengira pria itu akan pergi ke Paviliun, tempat para wanita piaraannya berada.
"Ben," panggil Aaron.
"Ya, Tuan." Ben maju satu langkah.
"Bagaimana dengan Nick?"
"Nick sudah di sini sejak tadi, Tuan," jawab Ben. Aaron terperanjat.
"Apa, lalu kenapa kau...." Ucapan Aaron terhenti, Ben menatap tuannya. Aaron mendecak. Hampir saja Aaron memarahi Ben. Ini karena dirinya terlalu sibuk bermain dengan wanita. Tetapi permainannya malah tidak memuaskan. Buang-buang waktu saja.
"Biarkan dia masuk," ucap Aaron akhirnya. Nick dipanggil, tak butuh waktu lama bagi Nick untuk bergabung dengan Aaron dan juga Ben.
"Kau terluka?" tanya Aaron memastikan.
"Tidak, Tuan." Ketiga pria itu duduk di sofa. Nick adalah seorang agen ganda yang mengintai musuh dengan cara masuk ke wilayah mereka.
Kepulangan Nick tentu membawa berita besar, karena bila tidak maka misinya dianggap gagal dan sebagai gantinya, ia akan dilenyapkan.
"Ada fakta yang mengejutkan, Tuan."
"Apa itu."
"Selama ini, Rossmoss memiliki anggota yang disembunyikan." Nick menyampaikan hasil penyelidikan dan berhasil membuat Aaron memandangnya. "Seorang wanita, dia adalah otak dibalik kemenangan Rossmoss, Tuan."
"Siapa dia?" Aaron bertanya, sedangkan Ben menyimak.
"Namanya tidak diketahui. Sepertinya Markus menyembunyikannya dengan sangat rapat, tapi saya berhasil mencari tahu ciri-ciri fisiknya. Dia memiliki bola mata berwarna merah terang."
Aaroon menggosok dagu. Baru kali ini ia begitu penasaran terhadap sesuatu. Ia pikir kenapa klan yang sangat kecil seperti Rossmoss bisa berevolusi menjadi begitu besar dalam waktu singkat. Ternyata, mereka memiliki satu otak yang sangat cerdas.
"Jika Dare Devil memilikinya, sudah pasti kita bisa meng-invasi klan Madeva, Tuan," kata Ben.
"Kau benar. Kita butuh strategi yang cerdik." Aaron menimpali. Nick terdiam "kita rebut dia, kita peras otaknya untuk memperkaya Dare Devil." Aaron tertawa setelah mengatakan itu. Ia begitu senang membayangkan keinginannya itu akan tercapai.
"Baik, Tuan."
"Ben kau hubungi agen ganda kita yang lain, sudah waktunya Nick untuk beristirahat. Kerja bagus, Nick. Sebagai imbalan, kupinjamkan wanita untuk menyenangkanmu. Pilih salah satu dari wanita kesayanganku, asalkan jangan Lucia."
"Baik, Tuan."
Imbalan akan didapat bagi siapa saja yang bisa menyenangkan hati Aaron Salvatore. Tetapi, sebaliknya. Hukuman akan menghampiri siapa saja yang membuat suasan hati Aaron buruk.
Jangankan membuat Aaron marah, mengusik ketenangan Aaron saja, akan fatal akibatnya. Bisa-bisa nyawa akan menjadi taruhannya.
Di sisi lain, Rosene tengah bersiap untuk keberangkatan ke sisi barat berbatasan laut Tyrrenhia. Sampai di sana, ia akan naik ke sebuah kapal untuk sampai di kota Roma, di mana wilayah Klan Dare Devil berada.
"Kau sudah siap?" tanya Jack.
"Seperti yang kau lihat." Rosene menjawab dengan ketus kemudian masuk ke dalam mobil. Jack menggeleng. Dasar wanita keras kepala.
Dari balik kusen jendela. Markus memandang kepergian Rosene. Ini tidak seperti yang direncanakan. Markus salah perhitungan. Ia pikir, rencananya akan berhasil. Tetapi, cita-cita bodoh itu lebih penting dari adiknya.
Apa gunanya memiliki otak cerdas bila tidak tidak digunakan. Wanita itu malah memutuskan untuk menjalankan misi yang sangat mustahil dilakukan oleh seluruh anggota klan Rossmoss ataupun klan lainnya.
Dalam sejarah dunia gelap. Dare Devil adalah yang terkuat. Tak ada yang mampu menembus dinding pertahanan mereka walau hanya sekedar menjadi mata-mata. Masuk ke sana sama saja menghantar nyawa.
Klan terbesar, terkuat, dan terkaya yang memiliki jangkauan wilayah yang paling luas termasuk Amerika tengah. Kenapa ia berpikir bahwa Rosene bisa masuk ke wilayah mereka tanpa ketahuan.
"Sial!"
Markus benar-benar dibuat gila oleh gadis itu. Lain halnya dengan Melanie, ia terlihat santai dan abai.
"Kau tidak ingin mengantar kepergian kakakmu?" Martin mencoba membujuk Melanie yang sejak tadi hanya sibuk makan dan tidur.
Memang apa lagi yang bisa dilakukan Melanie selain itu. Kakinya tidak memungkinkan untuk dia pergi shooping, apalagi traveling. Seperti yang biasa dilakukan gadis itu di hari-hari sebelumnya.
"Dia tidak ingin melihatku." Melanie masih kesal bila ingat pertengkaran mereka.
"Kalau begitu kau saja yang melihatnya. Paling tidak untuk yang terakhir kali"
"Kau ini bicara apa, dia pasti akan kembali," debat Melanie. Martin mendecak.
"Kau tidak tahu Dare Devil, mereka tidak berbelas kasih."
"Rosene akan selamat."
"Terserah kau saja, dia menitipkan ini untukmu." Martin menjejalkan tangan pada saku celana kemudian ia membawa sesuatu dari sana.
Benda itu milik Rosene. Peninggalan mendiang ayahnya. Benda yang tidak boleh disentuh oleh siapapun termasuk dirinya. Bila itu sampai ditinggalkan, itu artinya....
"Martin, bantu aku berdiri."
Melanie menyambut uluran tangan Martin. Terseok langkah kakinya menuju pintu keluar. Namun, ia terlambat. Mobil Jack telah melaju meninggalkan kawasan markas Rossmoss.
"Rosene!"
Lewat kaca spion. Rosene melihat wanita yang berteriak itu. Lekas ia memalingkan wajah.
”Lebih cepat lagi, Jack."
Jack menambah kecepatan. Mobil melaju kencang menuju area pelabuhan pantai Tyrrenhia.
"Kau masih bisa berubah pikiran." Jack membuka percakapan. Butuh waktu tiga puluh menit untuk tiba di pelabuhan. Jack akan berusaha membujuk Rosene, di sisa waktu terakhir.
"Aku tidak mau menjadi budak napsu Markus." Rosene mencuri lirik pada Jack yang tengah menyetir. "Sudah cukup aku mengikutimu, Jack." Kali ini Rosene berkata lirih. Ia tak pernah lupa, karena siapa ia bergabung dengan Rossmoss.
Ia tak sadar akan cinta butanya kepada Jack. Sedangkan Jack tak pernah serius. Malahan pria itu memberikan dirinya pada Markus seperti barang.
"Biarkan aku memilih jalanku sendiri."
"Kau akan gagal, Rose. Kau tidak tahu siapa Aaron."
"Aku tahu, dia pria kejam dan tak berperasaan."
"Dia bukan hanya penjahat di dunia gelap, tetapi juga penjahat wanita." Jack berusaha menakuti Rosene dengan fakta yang ada. Tentu Rosene tidak akan takut hanya karena hal itu. Bahkan Rosene semakin penasaran.
"Setidaknya dia tidak memberikan kekasihnya pada pria lain." Rosene menyindir. Jack memandang Rosene, bolehkah ia menyuntikkan obat bius pada wanita itu. Keras kepala tiada yang menandingi.
Mobil berhenti, keduanya telah sampai di tempat tujuan. Rosene lekas keluar dari mobil disusul kemudian oleh Jack. Kapal sudah siap. Rosene harus segera berangkat.
"Rose." Wanita itu berhenti lalu menoleh ke belakang. "Kau tidak harus melakukan ini."
Rosene menarik sebelah sudut bibir. "Aku titip Melanie. Anggap saja dia adikmu, ajari dia bersenjata dan beladiri, katakan bahwa dia harus terbiasa tanpa aku." Rosene menepuk pundak Jack.
"Aku pergi, Jack."
Jantung Rosene berdetak cepat. Bukan karena cinta atau apa, tetapi karena dirinya akan segera menginjakkan kaki di wilayah Dare Devil. Kelompok klan mafia terbesar di kota Roma. Di hadapan Jack maupun lainnya, ia bisa saja bersikap tenang dan seolah tak takut pada klan tersebut. Tetapi, kenyataannya, ia begitu gugup. Bagaimana bila penyamarannya terbongkar sebelum misi dimulai. Ia dengar Dare Devil begitu sadis saat membunuh musuhnya. Apakah itu artinya dirinya akan berakhir di sini. Ah, kenapa dirinya begitu pesimis. Setidaknya Rosene harus tetap mencoba. Demi Melanie. Sebelum tiba, Rosene harus sudah menyamarkan penampilannya. Ia harus berganti pakaian ala gadis Roma. Dan satu yang pasti, ia harus menggunakan lensa kontak untuk menutup warna bola matanya yang menurut sebagian orang terlihat menakutkan. Sejak kecil, Rosene mengalami kelainan. Bola matanya berwarna merah terang layaknya makhluk penghisap darah. Hal itu pulalah yang menyebabkan dirinya dibenci oleh Sang Ibu dan
Mendengar nama Aaron saja, membuat kepala berdenyut nyeri. Apalagi ketika berhadapan dengannya. Rosene menghembuskan napas. Menata degup jantungnya yang tidak beraturan. Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Ternyata apa yang ia dengar tentang Aaron bukan hanya rumor semata. Iblis berwajah malaikat. Perumpamaan itulah yang cocok buat Aaron. Rencana yang telah ia susun dengan matang, harus berjalan lancar. Dan semoga saja, Aaron memakan umpan yang ia berikan. Rosene memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya meremas pinggiran westafel. Ini tidak seperti dirinya. Gugup dan takut. Tapi ia harus menyelamatkan Melanie. "Aku harus bersiap."Rosene memasang kembali lensa kontak yang sudah ia lepas. Jangan sampai kelemahan yang satu ini terlihat oleh orang luar apalagi bila sampai ketahuan oleh anggota klan Dare Devil. Mobil berhenti. Ben turun terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk sang Tuan. Aaron menapakkan kaki ke tanah. Rumah sederhana ter
Rosene langsung terduduk. Ia memegang pinggang. Ngilu ia rasakan di sana. Tidak tanggung-tanggung ngilu itu sampai terasa ke perut. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Ini sungguh di luar dugaanAaron malah menyunggingkan senyum. Ia melangkah maju, mendekati Rosene. Ia tarik dagu wanita itu dan membuat Rosene seketika tersentak. "Selamat datang, Sayang." Rosene menenggak ludah, Aaron memandang Rosene. Begitu juga sebaliknya. Tatapan itu terlihat bengis dan memikat di saat bersamaan. Jantung ini tak berhenti berdetak, rencana yang ia susun seketika buyar setelah berhadapan langsung dengan Aaron."Kau...." Rosene tergagap. Pertama kalinya merasakan ketakutan dalam hidupnya adalah saat ini. "Kita bertemu lagi, Sayang." Aaron hendak menyatukan bibir, tetapi Rosene malah mendorong dada bidang itu hingga membuat Aaron termundur ke belakang. "Tuan." Ben menarik senjata api. Aaron buru-buru mengangkat tangan dan membuat Ben berhenti bergerak. Suasana berubah mencekam karena gerakan Ben menar
Rosene memandang Berta dari pantulan cermin. Apa yang baru saja wanita itu katakan. Rosene tidak salah dengar? Apakah itu artinya Rosene akan ketahuan?Melihat reaksi Rosene, Berta segera menyela. "Aku tidak akan mengatakan pada Tuan. Tapi cepat atau lambat, kau harus menyerahkan tubuhmu pada Tuan, karena untuk itulah kau di sini." Rosene merinding mendengarnya. Dibandingkan dengan Melanie, dirinya memang tidak tahu apa-apa soal pria. Apalagi soal hubungan ranjang. Rosene memang memiliki impian untuk hidup normal, menikah, dan memiliki anak. Tetapi, menyerahkan mahkotanya pada Aaron bukan rencananya. Ia kemari untuk menjadi mata-mata, bukan menyerahkan tubuhnya. Kalau begini, sama dengan ia keluar kandang harimau lalu masuk kandang buaya. Nyaris tidak ada beda antara Aaron dan Markus. Keduanya sama-sama pemimpin dunia bawah, dan sama-sama penyuka wanita. Rosene tidak bisa menyerahkan tubuhnya dengan orang macam itu. Tetapi, bukankah itu sudah menjadi resiko yang harus ia terima ke
Dalam hati Rosene mengucap syukur bahwa itu bukanlah Aaron. Rosene mengerutkan dahi. Siapa wanita ini? Tiba-tiba main masuk saja dan membuatnya kaget. Bila dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan pelayan. Tetapi, siapapun dia, pasti orang di luar sana tidak akan tinggal diam 'kan. Benar saja, beberapa detik setelahnya, tergopoh-gopoh Berta muncul. Ia berhenti tepat di samping Lucia yang tengah berdiri memandang ke arah Rosene. "Nona, mohon jangan seperti ini. Tuan bisa marah." Lucia menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Berta. "Dia tidak akan marah kalau kau tidak mengadu." Setelah mengatakan itu, Lucia maju selangkah. "Lagi pula aku kemari karena mendengar bahwa ada koleksi baru. Jadi itu kau." Lucia memandang Rosene sedikit mengejek. "Koleksi?" "Ya, apa lagi jika bukan koleksi. Wanita yang akan dipakai sekali, selebihnya akan dijadikan koleksi." Lucia berkata seraya mengangkat kedua bahu. "Nona," panggil Berta. Lucia mendecak. "Ya, ya aku akan pergi, Berta." Ka
Batuk-batuk itu reda setelah diberikan seteguk air. Aaron mengamati gerak-gerik Rosene. Segala sesuatu yang dikerjakan wanita itu sungguh menarik perhatiannya. Untuk ukuran seorang wanita, Rosene terlalu kaku. Tatapannya juga sedingin es."Kau tidak dengar aku bicara." Rosene menoleh untuk bisa memandang Aaron. Keduanya saling menatap. Aaron dapat melihat bola mata kehitaman itu. Sedikit aneh karena terdapat warna merah di bagian tepi menyerupai cincin. Meski samar, tetapi Aaron dapat melihatnya. Entah itu asli atau tidak. Yang jelas, Aaron baru menemui wanita yang seperti ini. Dan jika diperhatikan lagi. Rosene ini memiliki postur tinggi kira-kira 170 sentimeter, tubuh ramping, kulit putih sesuai dengan selera Aaron. Untuk soal wajah, sudah jelas tidak diragukan lagi. Dia lebih segalanya dari wanita yang ditemuinya. Dan yang membuat Aaron tidak bisa berhenti memandangnya adalah, cekungan di kedua pipi. Sadar terlalu lama bersitatap, Rosene memutus kontak mata terlebih dahulu kemu
Aaron mengibaskan tangan. Berta jelas tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memberi kode pada dua pelayan lainnya untuk berbalik dan meninggalkan ruangan. Pintu ditutup, dan dijaga oleh dua orang pengawal lainnya. Mereka harus selalu siap siaga jika terjadi sesuatu di dalam sana. Ben pun sama halnya, ia turut berjaga di depan kamar. Di dalam kamar tinggal berdua, Rosene bersama dengan Aaron. Ini jelas bukan hal yang Rosene inginkan. Berada di dekat Aaron membuat Rosene seketika gugup. Aura Aaron membuat Rosene jadi kerdil. Aaron berjalan mendekat. Pria yang sudah berpakaian rapi dengan setelan jas itu berdiri di hadapan Rosene. Ia raih dagu wanita itu membuatnya sedikit mendongak. "Kau mencariku, Sayang." Rosene langsung menepis kuat tangan itu dan membuat pemiliknya seketika melotot. "Jangan sentuh aku!" Sungguh, Rosene menyesal karena sudah datang ke sini. Ia tidak sudi jika harus menyerahkan tubuhnya pada Aaron. Karena ia pun datang bukan itu. "Really? Kau bercanda, Sayang." T
Peluru melesat ke arah lampu tidur. Untungnya, Aaron segera bangkit dan menepis tangan Ben dan membuat tembakan itu meleset. Sementara Rosene terlihat syok. Ia memang terbiasa dengan luka tembak, dan ia pernah menerimanya. Tetapi, jika peluru tadi sampai mengenai kepala, maka bisa tamat riwayatnya. Mendengar suara gaduh, Berta dan pelayan yang biasa melayani Rosene muncul. Sama seperti Ben, mereka kaget dengan situasi yang terjadi. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" Berta hendak menghampiri Sang Tuan, tetapi langsung dicegah. "Jangan pedulikan aku, tangkap wanita itu lalu kurung dia." Bukan hanya Berta, tetapi pengawal lainnya lekas menghampiri Rosene. Wanita itu tidak memberontak. Ia pasrah dengan apa yang dilakukan terhadap dirinya. Jika Aaron kata dikurung, maka Rosene benar-benar dikurung. Namun, ia bukan hanya sebatas dikurung biasa. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan besi dan rantai kemudian rantai itu terhubung pada dua sisi dinding tersebut.Tali rantai itu tidak cukup panj