Share

Bab 2. Misi Terakhir

Rosene kaget mendengarnya. Dari sekian banyak perintah yang diberikan oleh Markus, baru kali ini yang paling mengejutkan. 

Apa yang ada dipikiran wanita ketika seorang pria mengajak tidur bersama? Jelas bukan hanya sekedar tidur bersama. Tetapi, berhubungan intim yang sama sekali tidak diinginkan oleh Rosene. 

Mungkin bagi wanita lainnya itu adalah hal biasa, namun bagi Rosene itu suatu hal yang besar, dan ia tidak akan memberikannya pada sembarang pria. Apalagi Markus. 

"Bagaimana, Rosene?" 

Markus menatap Rosene penuh cinta. Sedangkan yang ditatap malah biasa saja. Perlahan tangan Markus menelusup memasuki tengkuk lalu menariknya. 

Belum sampai bibir itu menyatu. Rosene segera memalingkan wajah. "Maaf, Tuan. Saya tetap memilih opsi yang kedua."

Semua terlihat kaget. Sudah menjadi rahasia umum jika Markus begitu mendambakan sosok Rosene untuk berada di ranjangnya. Tetapi dengan berani dan keras kepala, wanita itu menolak. Bahkan sampai detik ini. 

Anehnya, Markus membiarkan saja. Melenyapkan adalah cara Markus membalas sakit hati. Tetapi, Markus tidak melakukan itu pada Rosene. 

"Aku salut dengan kegigihanmu, Rosene." 

"Terimakasih, Tuan." Mungkin bukan waktu yang tepat bagi Rosene mengucapkan kata terima kasih di tengah-tengah suasana yang genting begini. Tapi itulah Rosene. Wajah yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi membuat orang di sekitar merasa kesal. 

Bisa-bisanya dia setenang itu, padahal ada seseorang yang nyaris mati karena keputusannya untuk berhenti dan keluar dari klan. Dan sialnya Melanie yang terkena imbas itu. 

"Kau tidak lupa 'kan, kalau dia hanya saudari tirimu?" Markus berusaha membuat Rosene goyah. "Dia anak hasil perselingkuhan ibumu."

Satu kenyataan lain yang membuat Rosene heran dengan keputusannya. Bahwa dirinya dan Melanie bukanlah sedarah. Soal itu, Rosene tidak akan lupa. 

"Terimakasih, Tuan. Anda sudah mengingatkan." 

Markus mendengkus. Bolehkah ia menembak kepala gadis ini. Keras kepala dan begitu congkak. 

"Kau masih bisa merubah keputusanmu, Rosene." Markus betul-betul berharap. 

"Tidak, Tuan." Tangan Markus mengepal. Ia berdiri dari duduknya lalu membalik diri. "Baiklah, kau yang menginginkan ini, Rosene." Markus mulai prustasi. 

"Anggap saja ini misi terakhir. Waktumu tidak banyak, 21 hari. Nanti malam, Jack akan mengantarmu di perbatasan wilayah. Semoga beruntung, Rosene." 

"Terimakasih, Tuan." Hampir tanpa ekspresi Rosene mengatakannya. 

"Bawa dia ke markas." Markus memberi titah pada bawahannya. Terpincang-pincang langkah Melanie ketika didorong oleh bawahan Markus. Sesekali ia menoleh ke belakang. 

Nampak Rosene terdiam di posisi yang sama seperti terakhir kali. Wanita itu bahkan tidak menoleh ke arah saudari perempuannya yang nyaris lenyap dari pandangan. Padahal Melanie sangat ingin Rosene melihatnya.

***

Derap langkah sepatu pantofel bergesekan dengan lantai terdengar memenuhi ruangan. Satu orang pria tinggi diiringi enam orang bawahannya masuk. 

Ben menyambut pria itu. "Selamat datang, Tuan." 

"Ya." Tatapan Aaron langsung tertuju pada seorang pria yang tengah diikat di atas kursi. Aaron menyunggingkan senyumnya. 

"Jelaskan secara detail." 

"Namanya Ramon, dia adalah agen ganda dari Klas Holves, Tuan." Ben menyampaikan laporan yang diberikan bawahannya. 

"Holves? Klan sekecil itu berani mengintai kita?" 

"Ya, Tuan." 

Aaron mengulurkan tangan. "Berikan senjataku." 

Ben segera meletakkan senjata api di tangan Aaron. Langkah bergerak maju. Aaron memandang pria yang sudah babak belur itu. Moncong senjata bergerak mengurut wajah. Kemudian berhenti di kepala.

"Sebegitu inginnya kalian menginvasi klan ku, sepertinya kalian terobsesi menjadi klan besar, tapi sebelum itu terjadi. Aku yang akan lebih dulu mengambil klan kalian." 

Aaron menurunkan senjatanya, kemudian mundur. "Diego, lakukan tugasmu." 

Pria yang dipanggil namanya maju, ia tarik senjata api kemudian melesatkan pelurunya ke arah pria itu. Tiga tembakan didapat Ramon yang langsung membuat pria itu seketika tak bergerak. 

Yang lain tengah khawatir, tapi yang dikhawatirkan malah bersantai di ruang perawatan sembari melumat buah anggur. 

Setelah dibawa dari aula. Markus memberi perintah untuk merawat luka Melanie. Dia adalah titik kelemahan Rosene. Selama Melanie ada di tangannya. Markus masih bisa mengendalikan wanita itu.

"Kau ini, Rose sedang khawatir padamu, tapi kau malah asyik makan," seloroh Martin, salah satu kepala anggota medis Rossmoss. 

"Hei aku ini pasien, jadi harus banyak makan agar cepat sembuh. Lagipula aku juga butuh energi untuk bisa lari dari sini," sanggah Melanie bersungut-sungut. 

"Tidak usah banyak gaya, Rosene yang tangguh saja susah lepas dari Tuan Markus." 

"Kau benar juga." Martin menggeleng melihat tingkah Melanie. 

Pintu diketuk, derap langkah kaki terdengar. Melani dan Martin menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita berpakaian serba hitam muncul dan berjalan mendekati ranjang. 

"Rosene." Melanie berbinar melihatnya. Namun, Rosene malah berekspresi datar-datar saja. Itulah Rosene. Dalam situasi apapun ia akan tetap berekspresi sama. Dingin dan tak berperasaan.

"Bagaimana lukamu?" 

"Aku masih bisa menahan rasa sakitnya." Melanie menyentuh pahanya. Ada perban yang melilit di sana. 

"Syukurlah kau masih hidup." 

"Hei, kau ingin aku mati." Melanie protes.

"Kau merepotkan." Melanie terperangah mendengarnya. Ia pikir Rosene betul-betul khawatir padanya. Seperti yang dikatakan Martin tadi. 

"Ya, aku harusnya mati saja!" Melanie berteriak. 

"Itu lebih baik." 

"Kau.... betul-betul jahat!" Rosene menoleh. Ia menatap buah anggur yang dilempar Melanie ke sudut ruangan. Isakan terdengar dari wajahnya yang disembunyikan di antara dua lutut. 

Tega sekali Rosene berkata begitu. Padahal Melanie sangat sayang pada Rosene. Ia tidak ingin Rosene mati, ia tidak mau Rosene pergi ke Dare Devil. 

"Terserah kau mau mengataiku apa. Pesanku, jangan pernah merusak suasana hati Tuan Markus, patuh pada aturan yang dia berikan. Maka kau akan selamat. Selama aku tidak ada, kau harus mengirit. Jangan boros, kau sudah putih. Tidak perlu memakai skincare. Dan satu lagi, jangan merepotkan." 

Sesungguhnya, percuma saja Rosene mengatakan semua itu. Toh Melanie tidak akan ke mana-mana. Dalam dua puluh satu hari ke depan. Melanie akan menjadi tawanan Markus. Sampai misi yang dilakukan Rosene selesai. 

Mendengar penuturan Rosene, Melanie mendongak. Gadis itu bertambah murka. 

"Keluar!" Melanie menunjuk pintu yang terbuka lebar. Martin tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak ingin menjadi sasaran amukan Melanie. Meski tak semenakutan Rosene. 

"Tentu, memang itu yang akan aku lakukan." Rosene menatap pintu lalu berjalan ke arah sana Tepat di ambang pintu. Rosene Menoleh. "Ingat kata-kataku, Melanie." 

"Aku tidak peduli!" Melanie memalingkan wajahnya. Air mata meleleh ke pipi. 

Sejauh mata memandang, Rosene tampak biasa saja. Tapi siapa sangka, Rosene juga menyimpan luka. Sejujurnya wanita berambut hitam legam itu nyaris menangis. 

Tetapi bukan Rosene bila ia menumpahkan air matanya di depan orang banyak. Itu merupakan hal bodoh, dan ia tidak akan pernah melakukan itu. 

Rosene kembali ke kamar. Ia butuh berkemas. Misi ini bukan misi biasa. Tengah memasukkan beberapa barang, derap langkah kaki terdengar. 

"Kau yakin akan pergi?" 

Rosene menoleh, nampak seorang wanita berpakaian serba hitam, dengan mata biru dan rambut sebahu berjalan menghampiri. Rosene memutar bola mata. 

"Seperti yang kau lihat." Rosene kembali sibuk. 

"Kau yakin misimu akan berhasil, begitu kau masuk wilayah Dare Devil, kau akan habis." Janeth menekan dua kata terakhir. Rosene menarik satu sudut bibir. 

"Bukankah itu yang kau inginkan?" Sahut Rosene. Sejak awal ia tahu, bahwa Janeth sudah tidak menyukainya dari pertama kali dirinya bergabung dengan Rossmoss. Terlebih saat Markus menaruh hati pada dirinya. 

Janeth mendecak, dia benci ini. Ia memang senang jika Rosene mati, tapi tidak dengan cara itu. Janeth ingin menghabisi Rosene dengan tangannya sendiri.

"Kau benar, tapi aku ingin menghabisi mu dengan tanganku sendiri." 

Rosene berhenti, lalu menghadap Janeth. "Lakukan jika kau mampu." Rosene berkata remeh. Sampai menyulut amarah Janeth. Wanita yang tengah dikuasai kebencian itu menarik pistol hendak mengacungkan ke kepala Rosene. 

"Berhenti jika kau tidak ingin isi kepalamu berhamburan." Itu bukan suara Janeth, melainkan seorang pria yang lebih dulu mengarahkan moncong senjata ke kepala belakang Janeth. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zhang Mila
uwow... seru bestie. ayo lanjtkan. penasaran di bab Aaron dan Rose bermain di ranjang...wkwkkwkwk....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status