Azra Current POV
Akhirnya malam ini datang juga. Malam yang dinanti – nanti Azra. Malam dimana dia dan Icha akan melangkah selangkah lagi lebih dekat menuju kebersamaan yang halal. Icha nggak bilang apa – apa padanya tentang ini pada awalnya. Dia baru bilang sore tadi, saat dia dan Mama sudah mendarat di YIA. Karena berniat kasih surprise ke Icha, dia bilang kalau dia nggak bisa dateng ke Jogja hari ini dan dia ikut saja apapun nanti hasilnya.
Dia sudah tau terlebih dulu tentang acara malam ini dari Bulik Indah. Katanya Icha kemaren mampir ke rumah pulang kerja dan bilang kalau dua hari lagi keluarganya mau datang. Nggak bilang apa maksudnya, Cuma bilang mau menindaklanjuti lamaran Azra beberapa minggu kemarin.
Mendengar itu, Mama langsung bilang akan terbang ke Jogja dan bakal terima sendiri tanggal yang diberikan Pak Joko. Bagaimana pun, Mama yang akan mantu. Tapi tentu aja Azra nggak mau ditinggal. Dia yang mau menikah, tentu dia
Icha Current POV Tanggal sakralnya sudah ditentukan. Beberapa hal pokok juga sudah diambil keputusannya. Kabar baiknya disambut gembira oleh Nisya, Ida dan Hafid. Bahkan kemarin Ida dan Hafid mengirim gambar mereka sedang makan malam bareng sama Azra, membuatnya iri setengah mati. "Kan ada akuuu. Biasa deh, suka nggak dianggep." Niysa mencebik kesal. Ini hari minggu, Bapak dan Ibu pergi dengan Bulik Indah untuk testing food bakal pernikahan mereka. Mas Eka lembur dan dek Iyo jalan sama teman – teman klub sepak bolanya. Icha sengaja memanggil Nisya untuk menemaninya karena hari ini dia kebetulan juga sedang kosong. Barusan dia memperlihatkan foto dari Ida saat makan malam bersama Hafid dan Azra. Dan reaksi Nisya membuatnya merasa tidak enak. "Maksudnya bukan gitu, Nisyaaaa." Nisya masih ingin lebih lama mengerjainya. "Abisan kalo sama aku biasa aja, pas liat mereka jalan kamu ngiri! Emang aku apaan." "Y
Nisya’s Current POV Mereka bertiga duduk canggung dalam diam. Nisya sengaja tidak beranjak dari sana dan membiarkan dua orang ini sendiri. Dia tau Amyra dari cerita Icha tempo hari saat Azra pertama kali melamar. Dan melihat orangnya langsung, bertatapan dengannya pertama kali, membuat Nisya tau kenapa Icha sempat gamang menjawab Azra. Amyra gadis yang cantik. Cantik banget sampe bikin dia yang cewek aja minder mungkin kalo jadi temennya. Pembawaannya tenang. Dan tatapannya tajam saat menatap Icha dan juga dirinya. Tatapan itu, tatapan penuh tantangan dan ajakan perang. Walaupun akhirnya kalah juga. Icha di sisi lain, terlihat gugup bertemu dengan Amyra. Selama ini dia selalu berusaha seminim mungkin berinteraksi dengan Amyra, yang setelah pertemuan pertama mereka, seakan terang - terangan mengabaikannya seolah dia tidak ada. Dia sampai menolak ajakan Azra ke kantor Jakarta beberapa kali karena tidak ingin bertemu dengan Amyra dan
Azra's Curret POV "Kamu ngirim foto apa, sih, Sayang?" Tanyanya saat wajah Icha sudah muncul di layar ponselnya. Iya, mereka sedang melakukan video call. "Foto." Icha menjawab. Ya memang, calon istrinya itu barusan memang mengiriminya foto. Tapi bukan itu yang dia ingin tanyakan. Melainkan maksud Icha mengiriminya foto tersebut. Di latar belakang, dia bisa mendengar suara Nisya terkikik. "Kamu lagi sama Nisya? Lagi di luar? Dimana?" Dikap posesifnya ikut absen mengecek keberadaan Icha. "Abis muter - muter. Makan Carbonara di Moses. Tadi Nisya pengen itu, terus lanjut nge mall window shopping sama nonton film. Ini lagi mau pulang, tapi Nisya bilang pingin cobain kedai kopi baru. Ini kita masih disini." "Itu foto apaan? Kamu ngap
Azra Current POV Mereka, Azra dan Amyra, sudah sampai di bandar udara Cengkareng. Masih ada cukup waktu untuk check in dan mungkin membicarakan hal - hal yang harus dibicarakan, mengingat mereka berdua sedari tadi hanya saling diam sepanjang perjalanan kemari. Tidak biasanya, karena Amyra bukan tipe yang diam dan menyukai kesunyian. Dia seperti radio yang siap siaran penuh dua puluh empat jam. Tidak peduli yang diajak ngobrol sudah berada diawang - awang sekalipun karena mabok mendengar suaranya. Tapi hari ini, selain sapaan dan kalimat 'ah, lo dateng juga ternyata' mereka sama - sama bungkam. "Thanks, ya." Akhirnya Amyra bersuara. Saat mereka hampir sampai di gate check-in
Icha Current POV Icha menutup dada bagian atas dan pundaknya yang kini terekpos bebas. Dia risih. Memang sih, yang di sini perempuan semua, tapi kalau gaun ini yang jadi pilihannya, dia akan memakainya nanti di depan ratusan orang di acara pernikahannya. Mental Breakdown lah! Dia nggak pernah pakai baju yang seterbuka ini. Di depannya, Bulik Indah bertepuk tangan heboh. Terlihat puas dengan hasilnya. "Bulik udah ngira, kamu bakal cocok banget pake gaun model ini!" Dia meringis. "Nggak dipakein lengan Bulik? Nanti Icha masuk angin." Tanyanya pelan. Takut menyinggung perasaan buliknya. "Masuk angin apa. Ini cuma baju buat resepsi kok, salah satunya nanti pake baju - baju ini nanti." Icha mendelik saat asisten Bulik Indah membawa dua baju lagi untuk dicoba. "Pas akad na
Azra's Current POV Mereka melewati hari yang berkualitas berdua selama Azra ada di Jogja. Besoknya Icha yang menemani Azra gantian fitting jas pengantin. Nggak banyak, cuma tiga, sama seperti Icha. Beskap (baju adat laki - laki jawa - jas lengan panjang, blangkon dan Jarik) yang akan dipakai saat resepsi sudah paten, hanya tinggal menyesuaikan ukuran saja. Kata Bulik Indah, lengannya perlu sedikit di pendekin biar yang pakai merasa nyaman. Mereka nurut saja. Yang tau soal baju kan memang Bulik Indah. Beliau pakarnya, jadi manut saja lah sama pakarnya. Undangan juga sudah dimasukkan ke cetak. Persiapan pernikahan mereka sudah delapan puluh persen. Dua puluh persen nya ada pada hari H. Intinya, persiapannya sudah amat matang. Sebulan lagi, malah nggak sampai. Dua puluh tujuh hari lagi karena sekarang sudah bulan Maret awal. Sore itu, saat Azra menjemput Icha untuk mengantarnya pulang ke Bandara, dia ketemu
Azra's Current POV Masa pingitannya berlalu alot bagi Azra. Dia dilarang oleh Bulik Indah dan Neneknya untuk berhubungan dengan Icha dalam bentuk apapun. Mama sih santai. Nggak percaya sama yang begitu. Bapak juga lebih ke nggak boleh ketemu dulu tapi masih boleh berhubungan, teknologi katanya. Tapi tiap malam salah satu dari mereka, Bulik Indah dan Nenek selalu mengeceknya. Dan dia tidak bisa berbohong pada orang - orang terdekatnya. Lebih gampang walk out daripada mencari alasan untuk berbohong. Makanya dulu saat ada masalah dengan Icha dia lebih memilih menghindar. Oke, itu memang karena dia pengecut. Tapi kira - kira seperti itulah alasannya. Tapi apakah dia menurutinya? Tentu saja... nggak. Kangennya lebih besar! Dia lihat polanya Bulik Indah dan Neneknya kalau bertanya. "Hari ini nggak telpon Icha, kan? Wasapan? Sms?" Hanya seputar tiga itu. Dia nggak menyebutkan skype an di sana. Jadi, Azra
Azra's Current POV Dia menurut, mengikuti Jijah masuk kembali ke mobil dengan masih bertanya - tanya. Kok Hafid sama Ida di sini? Mereka sakit? Sakit apa? Kok nggak ngabarin apa - apa. Dia pulang masih setengah memikirkannya. Jalanan macet. Seperti biasa. Bukan Jakarta kalau nggak macet. Tapi mereka sampai rumah tepat waktu. Nggak terlalu malam. Mama sudah menunggunya di dalam, sedang menata meja makan yang sekarang penuh dengan makanan. Mereka berdua segera masuk dan salim Pada Mama sebelum bebersih dan kembali turun untuk makan malam bersama Mama. "Whuiiih pesta kita ini pesta... bentar." Jijah yang awalnya heboh excited melihat isi meja mendadak memegang dagunya. Kepala ditelengkan ke kiri. Gayanya sok mikir. "Kok Jijah perhatiin ini semua makanan kesenengannya Mas Azra aja? Kesenengannya Jijah mana Mama?" Dia mulai protes. "Dasar nggak bersyukur. Udah dimasakin padahal sama Mama capek - capek." Azra menjambak pelan rambut adiknya ya