Share

5 | First Love, First Hurt

Bagian V

🖤

"Ci! Hari ini aku mau ke galeri. Kamu mau ikut nggak?" tanya Lalisa kepada Rheshylla setelah gadis itu selesai mandi. 

"Ngapain ke galeri?"

"Persiapan pameran. 'Kan setelah wisuda aku mau ngadain pameran. Gimana sih!?"

Rheshylla memutar otak mencari memori kapan Lalisa pernah mengatakan perihal pameran ini. Namun, sepertinya nihil. Dia tak dapat mengingat apapun. Rheshylla pun menatap Lalisa dengan tajam. 

"Kamu belum ngomongin ini sama aku by the way," sarkas Rheshylla. 

Lalisa pun terkejut karena bisa-bisanya dia lupa memberi Rheshylla kabar tentang pameran ini. Dia hanya bisa menunjukkan cengirannya karena malu. 

Hal itu membuat Rheshylla memutar bola matanya malas. "Ya udah, ayo!"

Segera Rheshylla dan Lalisa bersiap untuk pergi ke galeri seni milik Lalisa. Tak ada persiapan khusus, hanya celana jeans dan kaus polos yang melekat di tubuh keduanya. Dua gadis muda ini memang tak pernah risau soal penampilan. Asalkan masih pantas dan nyaman, mereka akan dengan senang hati mengenakannya. Toh, Rheshylla dan Lalisa akan terlihat sangar cantik dengan pakaian apapun. 

Sampai di galeri seni, Lalisa langsung sibuk dengan timnya untuk mengatur tata letak ruangan. Dia meninggalkan Rheshylla seorang diri hingga gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan sembari melihat beberapa lukisan dan karya seni lain yang telah dipajang.

Rheshylla merasa sangat bosan. Dia pun mengambil ponsel dari dalam tas selempang dan membuka aplikasi chatting online. Entah kebetulan atau apa, sebuah pesan baru dari pria dewasa yang dia tunggu-tunggu masuk baru saja. Tentu Rheshylla dengan semangat membacanya. 

[How was your day, Cutie?]

Rheshylla tersenyum membaca pesan singkat dari pria dewasa satu-satunya yang berbicara normal dengan dia di aplikasi kencan online. Seolah mendapat perhatian dari pria seperti yang sejak lama dia impikan. Segera Rheshylla mengetik pesan balasan untuk pria itu. 

[All good I guess. Just a little bored]

Rheshylla ingin mengetik pesan lanjutan bahwa dia tengah menemani sahabatnya ke galeri seni. Namun, sebuah pesan baru dari Jeremy sudah lebih dulu masuk. Rheshylla pun mengurungkan niatnya mengirim pesan  yang telah dia ketik. 

[Bored?]

Rheshylla ragu untuk mengetik pesan balasan. Namun, mengingat kedekatan mereka yang meningkat cukup signifikan karena panggilan telepon kemarin, dia justru memberanikan diri untuk menekan tombol panggil. 

"Hey! Miss me?" tanya Jeremy dengan sangat percaya diri. 

"Ti-tidak."

"Benarkah? Mengapa aku merasa kalau kau sedang berbohong?"

Rheshylla tak berkutik dengan pertanyaan Jeremy yang sayangnya tepat sasaran. Dia memang merindukan pria dewasa tersebut. Namun, tentu saja Rheshylla tak berani mengakuinya. Lebih baik dia bungkam dan membiarkan Jeremy dengan praduganya. 

"Ha ha ha! Kau diam berarti aku benar, Cutie!"

"Hey!" protes Rheshylla tetapi tidak dia lanjutkan. 

Jeremy berhenti tertawa dan kembali bertanya, "What are you doing now?"

"Menemani sahabatku ke galeri seni. Dia akan mengadakan pameran minggu depan," jawab Rheshylla sembari berjalan menepi dari orang-orang yang tengah berlalu-lalang. 

"Have fun?"

"No. I'm bored. Dia sibuk sekali."

Jeremy kembali tertawa mendengar keluhan Rheshylla. 

Mereka terus berbincang. Entah bagaimana mulanya, pembicaraan mereka semakin mengarah ke kehidupan pribadi. Jeremy yang berada di usia matang begitu memahami rasa kesepian yang mendera Rheshylla saat gadis itu bercerita jika dia hanya memiliki sahabatnya di dunia ini. Jeremy dengan penuh perhatian pun menawarkan telinganya untuk mendengarkan Rheshylla bercerita. Bahkan jika memungkinkan, Jeremy tak keberatan meminjamkan pundaknya untuk Rheshylla bersandar dan menangis. 

Rheshylla yang baru kali ini mendapat perlakuan manis seperti itu pun tentu saja merasa bahagia.

"Thank you, Jerry!" kata Rheshylla seraya menghapus air mata. Dia telah puas menceritakan kerinduannya akan sosok orang tua dan keluarga. Pertama kalinya dia menangis di depan orang selain Lalisa, dan rasanya cukup membahagiakan. 

Rheshylla merasa tak menyesal telah memilih untuk mempercayai Jeremy.

"No problem! Jangan terlalu lama bersedih, Cutie! Wajahmu yang manis tidak cocok dengan air mata," ucap Jeremy. 

"Hmmmm ....."

"Anyway, I have to go right now. Maaf hanya bisa berbicara singkat denganmu. My family is waiting for me."

"Family?" Rheshylla mengutuk bibirnya yang tidak dapat mengatup dengan rapat. Untuk apa juga dia perlu mengetahui urusan pria asing itu? Memang gila Rheshylla ini!

"Hmmm! Istri dan putriku sudah menunggu di rumah."

Deg! Hati Rheshylla tiba-tiba terasa sangat sakit saat mendengar bahwa pria tampan yang membuat hatinya bergetar telah berkeluarga. Seharusnya dia telah menduga hal ini sebelumnya. Bagaimana pun pria itu memang sudah cukup matang untuk menikah. Apalagi gadis-gadis di luar sana pasti banyak yang sudah mengantre untuk membuka selangkangannya demi pria tampan ini. Tak heran jika Jeremy sudah berstatus sebagai suami sekaligus ayah dari seorang putri.

Sedangkan Rheshylla? Hanya gadis dalam sangkar yang tidak tahu apa-apa. Wajar jika kemarin Jeremy bercanda mengenai panggilan Daddy. Sepertinya Rheshylla memang hanya dianggap seperti putrinya sendiri meski usia mereka tidak terpaut jauh. Bukan sebagai pasangan kekasih. 

Kalau begitu, mengapa Jeremy memberi perhatian yang akan membuat Rheshylla salah paham? Bukankah lebih baik jika Jeremy menjadi b**ingan seperti pria asing lainnya? 

Arrrgh! Rheshylla memang benar-benar sudah gila karena memiliki pemikiran seperti itu! 

Air mata Rheshylla yang tadi telah mengering sontak kembali mengalir dengan deras membasahi pipinya. Dia menangisi kenyataan bahwa Rheshylla sudah patah hati bahkan sebelum dia mulai jatuh cinta. Hatinya terasa teramat sakit. Seperti jutaan ton batu tengah menghimpit dadanya. 

Rheshylla mundur tiga langkah karena kakinya tidak sanggup menahan beban tubuh. Lama kelamaan Rheshylla bahkan tak sanggup untuk berdiri lagi. Dia terduduk di lantai teras galeri sembari menangis tanpa suara. 

"Sa-sakit sekali, Ya Tuhan ...."

🖤

Di belahan bumi yang lain, tengah terjadi sebuah pertengkaran besar antar sepasang suami dan istri. Suara mereka sampai menggema ke seluruh penjuru rumah. Bahkan seorang anak remaja sampai harus menutup telinganya rapat-rapat dengan menggunakan telapak tangannya. 

"Shut up your fucking mouth, Isabelle! Berhenti berbicara omong kosong! Aku pulang karena ingin istirahat. Aku lapar dan ingin memakan sesuatu yang dimasakkan istriku! Tapi kau bahkan tidak menyentuh dapur dan malah menuduhku yang tidak-tidak!" seru seorang pria dewasa kepada sang istri yang berdiri menantang di hadapannya.

"Kau yang harus tutup mulut, Jer! Aku tahu kau pulang hanya demi merebut perhatian Bri agar dia berpihak kepadamu!  Kau yang menginginkan perceraian ini sehingga kau mencari-cari alasan agar bisa menceraikanku tanpa kompensasi! Kau pasti memiliki selingkuhan, 'kan!?" balas si wanita tak kalah lantang. 

Pria yang dipanggil Jer itu tampak mengetatkan rahang menahan amarah yang sudah sejak lama bersemayam dalam dadanya. 

"Kau dan pemikiranmu memang gila! Terserah kau saja! Aku muak berbicara dengan wanita sepertimu!" pungkas pria tadi sudah terlalu lelah menghadapi sang istri. 

Memiliki istri cantik nan seksi tentunya menjadi harapan setiap pria. Menyenangkan mata, membuncahkan rasa bangga dalam dada, bahkan membuat kebutuhan sebagai seorang pria akan tersalurkan dengan nyata.

Namun, bukan itu yang Jeremy inginkan. Dia hanya membutuhkan seorang istri penurut yang tidak tergoda hingar bingar dunia. Hanya menginginkan istri yang fokus melayani keluarga, bukan yang terus mengejar karir sampai lupa bahwa dia sudah memiliki seorang putri yang beranjak remaja. Hanya membutuhkan istri yang ketika Jeremy menatapnya selepas kerja, akan meluruhkan setiap lelah yang dia rasakan.

Hanya itu. 

"Mau pergi ke mana lagi kau, Jeremy!" jerit Isabelle saat melihat sang suami kembali menuruni tangga dan tergesa-gesa keluar dari rumah.

"Bukan urusanmu!"

"Berhenti kau, Jeremy sialan!"

Sepasang suami istri itu tidak sadar bahwa di balik sofa terdapat seorang gadis remaja yang tengah meringkuk sembari terisak. Gadis itu merasa sedih, tiada hari di mana orang tuanya tidak bertengkar meski hanya karena hal-hal kecil. 

Soal perceraian, sudah sejak lama gadis itu mendengar dan memendam kesakitannya seorang diri.

Ah, betapa malangnya gadis itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status