Share

Four - What Do You Think About Marriage

Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Kepalaku penuh dengan kemungkinan - kemungkinan. Dan aku harus bertemu dengan Madam Fatima pagi ini. Tidak boleh ditunda lagi atau aku besok malam, aku akan menjadi semakin parah. Dan mungkin lusa paginya aku akan berubah menjadi zombie.

Well, tentu saja itu pemikiran ngawur. Zombi tidak terbentuk semudah itu hanya karena orang - orang mengalami gangguan tidur. Tapi penampakannnya memang mirip. Jadi hari itu aku tidak tidur lagi setelah subuh. Tepat jam enam pagi, aku turun menghampiri Madame Fatima yang sudah memulai rutinitas paginya.

"Bonjour."

"Bonjour, Cherie. Tidurmu nyenyak?" Tanyanya.

Sayangnya tidak, Madam. Tapi aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Mau Teh?" Tawarnya.

Aku mengangguk lagi mengiyakan. Wanita ini sungguh amat baik. Mungkin jika sosok ibu peri itu benar - benar ada, maka akan terlihat seperti Madam Fatima. Rutinitas paginya dimulai seperti ini. Membuat teh, kemudian membuat adonan roti yang biasa dia siapkan untukku dan Gee. Untuk makan siang dan makan malam, kami boleh menggunakan dapurnya, dan untuk sarapan, beliau dengan sukarela membagi kami roti. Baru setiap harinya.

"Madam, bolehkan aku bertanya?" Aku memulai saat dia memberikan cangkir teh bagianku.

"Biensur, Cherie." Dia mempersilakan.

"Bagaimana menurut anda tentang pernikahan?"

Madam Fatima tidak langsung menjawab. Dia mengambil waktunya untuk menyesap tehnya dan membenarkan duduknya sebelum menghela nafas dalam dan menoleh padaku sambil tersenyum.

"Aku punya dua pernikahan. Yang pertama amat buruk. Buruk sekali. Dan yang kedua, Amat menyenangkan. Sampai sekarang, saat dia sudah tak bersamaku lagi, kebahagiaan yang dia tinggalkan untukku masih saja dapat kurasakan. Kau ingin mendengar yang mana?"

Em... "Yang mana saja? Yang anda tidak keberatan menceritakannya kepadaku."

"Baiklah, aku akan menceritakan keduanya." Dia tersenyum lembut padaku. "Aku pertama kali menikah saat umurku masih tujuh belas tahun." Wah! Muda sekali! Rasanya seperti aku kembali ke jaman Siti Nurbaya! Aku bahkan lupa kalau Madame Fatima pastinya sudah tak muda lagi. "Dia adalah teman bermainku. Awalnya Ayahku menjodohkanku dengan orang lain, tapi aku menolaknya. Aku sudah terlanjur tergila - gila pada pemuda ini. Pemuda nakal, ceria, namun dimataku dia bersinat lebih terang dari bintang kejora." Wah... ada yang bucin.

Tapi aku diam saja. Tidak memberikan komentar apapun, hanya tersenyum, menyemangatinya untuk melanjutkan.

"Tapi pernikahan yang kami kira dilandasi dengan cinta itu, tidak berlangsung lama dan bahagia. Awalnya tentu saja, karena masih baru menikah. Tapi lambat laun, ego mulai menguasai kami dan tak ada yang ingin mengalah. Saling menyalahkan, hingga rasanya rumah bukan lagi tempat berlindung, tapi berubah menjadi medan perang yang mengerikan."

Kulihat matanya berkaca - kaca penuh kesedihan mengingatnya. Aku jadi merasa tak enak sendiri. Aku sudah akan menghentikannya saat dia kembali melanjutkan, membuatku kembali terdiam dan menyimak.

"Sampai akhirnya kami berdua merasa tak sanggup lagi melanjutkan pernikahan itu. Dan akhirnya kami pun berpisah. Rupanya, kami sama - sama belum siap dan belum dewasa untuk menjalani pernikahan impian kami. Dunianya masih ingin bermain, sedangkan aku ingin menjadi pusat dunianya. Begitulah, Cherie, bagaimana pernikahan pertamaku berakhir."

"Maaf Madam, Aku tak bermaksud membuat anda sedih."

Dia menggeleng. "Tidak. Tidak sama sekali. Bagaimanapun, aku punya banyak sekali pelajaran dari sana. Jadi aku tak seharusnya merasa bersedih. Kesalahan ada untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk terus - terusan disesali." Katanya bijak. "Aku melanjutkan pendidikanku seletah berpisah. Dan akhirnya setelah tiga tahun, menjelang akhir pendidikanku, aku menikah kembali. Dengan orang yang dulu dijodohkan oleh Ayahku."

Waw. "Dia masih menunggu anda?!"

"Tidak tepat begitu. Hanya saja, dia belum menikah sejak lamarannya kutolak terakhir kali. Dia jauh lebih dewasa dariku. Dia banyak mengalah. memanjakan tapi juga membimbing. Dengannya, aku merasa menjadi wanita seutuhnya."

"Apakah anda mengenalnya sebelumnya?"

"Tidak. Bahkan kami pertama kali bertemu setelah janji pernikahan terucap."

Aku ternganga. "Apa... anda tidak takut? Bagaimana kalau...?"

"Tentu saja. tentu saja. Itu manusiawi. Tapi aku berusaha yakin. Aku sudah pernah mengalami pernikahan yang buruk. Hal buruk apalagi yang tak bisa kuhadapi? Dan ternyata Tuhan tak tak setega itu padaku." Dia terkekeh. Giginya yang sudah tak utuh lagi menyembul dari sela - sela bibirnya.

"Madam..." Ini dia. Akhirnya datang juga waktuku untuk memberitahunya.

"Oui."

"Jika aku menikah... apakah aku masih boleh tinggal di sini? Bersama suamiku?"

"Kau akan menikah?"

Dia bertanya dengan lembut sambil menatapku, membuat wajahku perlahan memerah malu. "Akhir bulan ini. Setelah itu suamiku akan menyusulku ke sini. A-aku pikir, akan sangat mepet kalau aku mencari apartemen sekarang, jadi aku ingin tahu apakah aku boleh..."

"Tentu saja boleh. Aku juga tahu mencari apartement di sini juga tidak mudah. harus menyiapkan deposit dan segala macamnya. Kalian boleh di sini dulu. Katakan pada suamimu untuk jangan sungkan."

"Suami?! Kau akan menikah?!"

Kami berdua menoleh ke arah tangga.

Briggita!!

***

"Selamat Pagi! Lesu sekali! Kenapa? Revisi?"

Panggilan berisik itu... tentu saja, tak lain dan tak bukan adalah milik temanku, Ai. Tadi pagi karena Briggita, kami harus membubarkan diri. Aku mengikuti Madam Fatima untuk menyiram dan menyiangi rumput di taman sebelum akhirnya bersiap ke kampus.

Tentang Briggita, belum. Aku belum ingin memberitahu apapun padanya. Ya biar saja dia mengira sesukanya. lebih baik nanti kalau suamiku datang, aku langsung mengenalkannya saja biar tidak dikira membual.

Tunggu!

Berarti.. Aku mengakui kalau aku benar - benar akan menikah? Aku sudah menerima kenyataan itu?

Semudah itu?

Setelah berbicara dengan Madam Fatima, memang sedikit bebanku terangkat. Setidaknya, aku tak harus ke sana ke mari lagi untuk mencari tempat tinggal. Tapi mengingat dari mana semua kekacauan dalam hidupnya ini berasal, aku jadi kembali tak bersemangat!

"Pagi Ai. Aku sedang tidak bersemangat hari ini. Hibur aku."

Dia malah tertawa. "Tidak mungkin! Aku sudah di sini dan kau masih tidak bersemangat? Kau mengejek eksistensiku!"

Dia bicara apa, sih! Kenapa sampai pada eksistensi segala? Apa hubungannya?

"Tegakkan badanmu. Monsieur Colin sudah masuk."

Dengan tak bersemangat aku menurutinya. Mengikuti kuliahku dengan tak bersemangat. Ai menyenggol sikuku saat aku terus saja menunduk sambil menyangga daguku dengan tangan kanan.

"Kau kenapa, sih." Tanyanya penasaran.

"Nanti saja."

"Non non. Aku bisa mati penasaran kalau kau menundanya. Kenapa, sih?"

Aku lupa sedang berbicara dengan Ai. Orang yang tak akan menanti kata nanti dengan sabar. Apapun yang mengganggu pikirannya, harus dia dapatkan jawabannya dengan segera, atau dia bisa meledak seperti botol cola yang dibuka setelah sebelumnya dikocok hebat.

"Benar revisi?"

"Bukan tentang kuliah."

Mungkin kami sedang beruntung, karena walaupun kami berbisik - bisik sendiri tidak memperhatikan depan, Monsieur Colin selaku dosen tidak menegur kami. Atau mungkin karena kelas sudah berakhir dan kami tak menyadarinya? Kami terlalu asyik sendiri hingga Ali mendekat.

"Ayo, masih ada kelas selanjutnya." Ajaknya.

Dia tadi duduk di barisan lebih belakang lagi dari kami.

"Nanti dulu. Dia mau mengatakan sesuatu tadi. Jadi apa?"

Aku menghela nafas panjang. Putus asa. "Aku akan menikah."

"C'est un blague ou quoi?! Jangan bercanda!"

"Sayangnya, sepertinya dia tidak bercanda."

***

Beruntungnya, hari ini jadwal kuliah kami padat sekali, jadi Ai tidak sempat menodongku dengan penjelasan dan jawaban dari pertanyaan - pertanyaannya yang aku yakin tak ada habisnya itu.

Nanti Ai, nanti. Aku pun masih bingung. Banyak hal yang belum kupunya jawabannya. Jadi bagaimana aku bisa memberikannya jawaban?

Aku sudah bersiap untuk pulang saat Ai menghadangku.

"Kayra. Kau mau kemana? Tidakkan menurutmu kau berhutang penjelasan pada kami?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status