Share

Three - My Life Change Upside Down

Aku pulang kembali ke rumah Madame Fatima sekitar pukul delapan malam ini. Seperti biasanya. Aku biasa mengakhiri hariku kira - kira di antara jam segitu. Yang berbeda hanyalah, hari ini badanku terasa sejuta kali terasa lebih lemas, lebih berat dan lebih capek dari biasanya.

Yes! Ini semua gara - gara berita pernikahanku.

Aku tidak membicarakan tentang hal ini sedikit pun kepada Ai maupun Ali tadi di kampus. Jujur saja, aku bingung, aku harus memulai dari mana untuk memberi tahu mereka. Ini terlalu... berita ini terlalu besar! Dan terlalu tiba - tiba.

"Madame?" Bisikku saat memasuki dapur, yang harus kulalui sebelum menemukan tangga untuk naik ke kamarku.

Aku tidak menemukan Madame Fatima di bawah, tidak juga mendengar sahutannya atas panggilan pelanku, jai mungkin beliau sudah beristirahat di kamarnya. Sepertinya itu fenomena yang wajar untuk mereka yang sudah mulai senior, mereka cinderung beristirahat lebih cepat dan bangun lebih pagi dari kami yang lebih muda.

Selain aku, ada satu orang mahasiswa lainnya yang juga menyewa kamar di rumah Madame Fatima ini. Namanya Brigitta, Kami memanggilnya Gee. Gee berasal dari Vietnam. Dan berbeda dari aku maupun Madame Fatima, dia bukan seorang muslim. Tapi dia juga sama sepertiku yang ditolak hampir semua boeadring house yang 'layak' di Paris. Tapi jangan tanyakan padaku apa alasannya. Aku tak tahu.

Aku tidak terlalu dekat dengannya sebenarnya, tapi bukan benci juga. Hanya saja, mungkin karena kepribadian kami amat bertolak belakang; dia sering membawa temannya ke sini, kadang hingga amat malam, sedangkan aku lebih memilih bertemu di luar sebelum jam sembilan malam. Dia suka berdandan dan aku tidak. Dia suka sekali dengan musik, dan aku tidak. See, kami amat bertolak belakang, jadi kami tidak terlalu banyak berinteraksi. Karena itulah kami tidak dekat. Kamarnya tepat berada di kamarku. Kami berbagi kamar mandi di ujung lorong. Saat aku melewati kamarnya, lagi - lagi suara musik yang berdentam keras langsung terdengar. Sebenarnya kami, aku dan madame Fatima, sudah berkali - kali mengingatkannya untuk memelankan volumenya, tapi selalu saja diulanginya lagi dan lagi, dan akhirnya kami pun bosan sendiri. Biarlah dia melakukan apa yang dia suka. Aku dan dia hanya ngobrol sesekali saat kebetulan sarapan bersama, atau berpapasan di lorong. Hanya itu saja interaksi kami.

Untuk melindungi gendang telingaku dari dentuman musik di kamarnya, akhirnya aku membeli busa untuk kutempel di celah - celah pintu kamarku sehingga suara bising dentaman musik tak begitu menggangguku. Sepertinya Madame Fatima melakukan hal yang sama untuk mengamankan indera pendengarannya. Saat Ied tahun lalu, aku sempat memberinya hadiah beberapa pieces ear plug, dan dia terlihat luar biasa senang, jelas sekali kalau benda itu bukan hal yang asing untuknya.

"Ya Tuhan, bagaimana ini!!!!" Aku memekik di balik bantal saat sampai di kamarku.

Mendadak banyak sekali hal yang memenuhi pikiranku. Aku butuh tempat berbagi! Bisa meledak kepalaku kalau terus - terusan seperti ini!

Selain Ai dan Ali, dan juga Adikku, aku punya satu lagi teman yang biasa ku kontak saat aku sedang butuh suara ketiga. Hanya saja, sayangnya, dia tidak berada di Prancis, jadi untuk menghubunginya, aku harus benar - benar memberhatikan waktu. Sekarang jam setengah sembilan waktu Prancis. Dengan perbedaan waktu sekitar enam jam, di Indonesia mungkin sekarang jam tiga pagi.

"Mari kita coba saja!" Ucapku gusar menyambar ponselku dan mendial nomornya.

Kalau beruntung, orang itu akan terbangun untuk melaksanakan ibadah malamnya, kalau tidak, aku hanya perlu meninggalkan pesan, dan mungkin satu hingga dua jam lagi, orang tersebut akan menelponku balu. Dia termasuk orang yang rajin beribadah. Benar, tidak sepertiku yang hanya sekedarnya saja.

"Rara?"

Ah! Keberuntungan masih di pihakku ternyata!

"Mas Jo...." Rengekku memanggil nama orang yang sedang kutelepon tersebut.

Bukan, dia bukan kekasihku. Bukan juga orang yang kutaksir. Oke, baiklah, mungkin bagian naksir, hanya sedikit? Dia orang yang kharismatik, dewasa dalam berpikir, tidak panikan dan sangan berwawasan luas. He's my complete opposite. jadi susah untuk tidak terjerat pada pesonanya. Tapi hanya naksir saja, serius. Lagipula, dia juga hanya menganggapku adik. Dia tidak melihatku sebagai seorang perempuan.

"Iya?"

"Temenin Rara bentar ya. Rara pengen curhat." Aduku.

"Curhat apa?" Suaranya yang dalam dan teduh langsung membuatku merasa nyaman dan tenang.

"Rara mau dinikahkan."

"Syukurlah."

Ih, Kok cuma begitu saja reaksinya?

"Mas Jo, Rara mau dinikahkan sama Papa." Ulangku agak emosi.

"Iya, Mas dengar. Lantas dimana masalahnya? Oh," Aku bersorak dalam hati, mengira bahwa dia akhirnya mengerti kegalauanku dan bersiap menghiburku. Aku butuh penghiburan. Ayolah. "Selamat ya, Rara udah mau nikah. Undangannya kapan sampai ke Mas?"

Kok? Jadi begini?

"Rara tidak ingin selamat dari Mas Jo." Jawabku ketus. Merasa agak sebal karena bukannya dihibur dan ditenangkan seperti yang dia inginkan, dia malah diselamati.

"Lalu maunya apa, Ra?"

"Ini terlalu buru - buru nggak sih, Mas? Masa Rara? Nikah?" Aku memancing reaksinya yang lain.

"Emang kenapa? Rara kan sudah amat cukup umur dan dewasa untuk menikah. Kalau sudah ada jodohnya, orang tua juga merestui kalian, kenapa harus menunggu?"

"Bagaimana Rara tau itu jodoh Rara atau bukan kalau ketemu saja tidak pernah? Bagaimana rupa wajahnya saja Rara tidak tahu?" Bantahku cepat, menggebu - gebu.

"Papa yang menerima lamarannya?"

"Hmm."

"Papa kan orang tua Rara. Nggak akan ada orang tua yang memilihkan yang terjelek untuk anaknya. Orang tua yang bertanggung jawab pasti akan selalu mencari dan memilih yang terbaik untuk anaknya. Dan Mas lihat selama ini Papa cukup bertanggung jawab dengan tugasnya."

Ya benar, sih. Tapi mana penghiburanku? Yang aku harapkan adalah reaksi seperti

'Ya Ampun, Ra. Kamu? Nikah? Cepet - cepet banget mau apa? Study kamu gimana?'

Atau yang mirip - mirip seperti itu sehingga dia juga terpancing untuk mengeluarkan keluh kesahnya.

"Terus kalo Rara nikah Rara harus keluar dari rumah Madame Fatima, dong?!"

"Ya, kalau itu, Mas nggak bisa kasih kamu pendapat apapun. Itu hal yang harus Rara diskusikan dengan induk semang Rara di sana. Kalau dia tidak mengijinkan, dengan terpaksa Rara harus pergi dari sana. Bagaimanapun, itu kan sudah keputusan induk semang Rara."

Benar lagi. Aku harus ingat untuk mendiskusikan itu dengan Madame Fatima besok. Atau lusa. Jangan sampai lupa. Akhir bulan hanya tinggal hitungan dua minggu lagi.

"Ya sudah Mas, Rara tutup dulu telponnya. Sudah malam di sini. Bye."

"Bye, Ra."

Panggilan kami pun berakhir. Aku kembali merebahkan diriku di atas ranjang. Memandangi laptop yang terbuka namun tidak menyala tersebut. Seharusnya malam ini dia lanjut lagi untuk mengerjakan Thesis nya. Tapi serius, dia sedang tidak mood menyentuk Thesisnya. Kepalanya penuh hingga hampir meledak.

Hanya dibutuhkan satu panggilan telpon dari Papanya dan dunianya mendadak terbalik tumpang tindih tidak terkendali seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status