Share

Nine - Reconciliation

Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.

Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. 

Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan kuhadiri itu, sepertinya mereka lupa untuk memamerkan rupa mempelai pria calon pengantin wanita ini.

Hubunganku dengan Ai dan Ali … masih agak kaku, tapi sudah lebih baik. Mereka berusaha membuktikan padaku bahwa mereka benar-benar ada di pihakku dan tidak ada maksud apa-apa di belakangku.

“Aku menerima telepon mamamu karena itu mamamu. Tidak mungkin kalau aku tidak menjawabnya, ‘kan?” terang Ali beberapa hari yang lalu saat dia dan Ai datang ke rumah Madame Fatima untuk menemuiku.

Hari itu, aku merasa tidak enak badan, jadi, pulang kuliah, aku langsung pulang tanpa menyapa mereka. Bukan, bukan aku menghindari mereka. Walaupun masih ada sedikit rasa enggan, tapi aku tidak menghindar. Kalau tidak salah, saat itu Ai sedang ada bimbingan Tesis dengan professor Ilya dan Ali, seperti biasanya, langsung teralihkan begitu melihat pujaan hatinya.

“Itu benar, Kay! Kami tidak mungkin ….”

“Ai, pelankan suaramu,” tegur Ali saat melihatku mengernyit mendengar lengkingan suara Ai yang kadang kurasa mampu membangunkan orang mati. 

Di saat biasa, sungguh, aku tidak keberatan. Namun, saat ini, rasanya sedikit lengkingan saja mampu memecahkan kepalaku. Aku sedang sensitif.

Ai merengut mendengar teguran Ali. Tentu saja, dia tidak suka dibantah, tapi dia menghentikan dirinya sendiri saat melihatku yang mengernyitkan kening dengan tatapan kosong ke depan. Rasanya, capek lahir batin. Padahal, sejak tadi aku hanya tidur dan tidak melakukan apa pun.

Ai mendekat dan langsung memelukku. “Maafkan aku, Kay. Sungguh, aku tidak berniat jahat padamu.” Dia berkata lirih, tapi sebentar kemudian aku merasakan dia sudah terisak di bahuku sambil menyembunyikan wajahnya.

“Kenapa menangis?” tanyaku sedikit kaget saat merasakan bahuku basah.

“Itu karena satu-satunya sahabat perempuanku mendiamkanku dan membuatku menderita mengharap maaf darinya.” Ai menerangkan tersendat-sendat di sela isakannya.

Aku menatap Ali yang juga menatapku sambil menggeleng putus asa. Mendesah pasrah, aku menepuk lengan Ai lembut beberapa kali dan berkata, “Sudahlah Ai. Aku sudah tidak terlalu memikirkannya lagi.”

“Bohong! Lalu kenapa kau selalu terlihat murung dan menghindar dari kami?”

“Kapan aku ….”

“Kau langsung pulang tanpa berpamitan padanya tadi,” sela Ali. “Dia histeris sesorean di kampus mencarimu.” Hmm, karena ini Ali, entah kenapa aku tidak kaget mendengarnya. “Dia baru tenang saat aku mengajaknya ke sini.”

Aku menoleh pada Ai yang masih terus menangis di bahuku. Memang tidak sekencang tadi, tapi masih cukup heboh. Untungnya, saat ini kami sedang berada di patio kecil halaman rumah Madame Fatima. Agak jauh dari jalan, jadi, tidak ada yang melihatnya seperti ini.

“Aku pusing dan merasa tak enak badan. Kalian tidak terlihat di dekatku, jadi aku langsung pulang. Sesimpel itu.” Aku menerangkan sambil mengangkat bahuku, membuat Ai terpaksa mengangkat kepalanya dari sana. 

“See, kau dengar sendiri? DIa tidak marah lagi pada kita. Jadi berhenti menangis. Nih, keringkan hidungmu.” Ali memberikan sapu tangan yang baru saja diambil dari saku celananya pada Ai.

Aku merotasikan mataku dalam hati, Pendapatku tentang kedua orang ini selalu sama sejak bertemu keduanya bertahun-tahun lalu. Mereka adalah pasangan yang cocok. Ai dan segala kemanjaannya dan Ali yang cuek dan dingin. Namun, kali ini aku cukup bijak untuk menyimpannya dalam hati saja. Mereka selalu saja menyangkal tentang bagaimana mereka bukan tipe ideal satu sama lain.

Oh, ayolah! Memangnya kalau bertemu tipe ideal lalu bagaimana? Tidak lantas pencarianmu berakhir, ‘kan? Banyak yang akhirnya berakhir tidak dengan tipe ideal mereka. Aku contohnya, aku harus mengakui ini dengan getir.

“Kau tidak enak badan? Haruskah kami mengantarmu ke dokter?” Aku menggeleng. “Cava?” Ai bertanya lagi untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.

“Aku hanya ….” Bagaimana mengatakannya? Aku mendesah pasrah, lalu menunduk menekuri kuku jari tanganku. “Mungkin aku hanya nervous.”

“Nervous?”

“Malam ini aku akan menikah, ingat?”

Seandainya aku tahu reaksi Ai dan Ali, aku tidak akan mau mengatakan alasannya! Sungguh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status