Home / Urban / The Moment Of Us / Two - Shocking News

Share

Two - Shocking News

Author: Veedrya
last update Last Updated: 2021-10-11 17:56:06

Papa? Tidak biasanya Papa menelpon. Biasanya, Papa hanya akan menyuruh Mama yang menghubungiku, dan menagih kabarku setelahnya.Ada apa? Kenapa sekarang Papa menelpon?

Aku bertanya - tanya saat berjalan menjauh untuk menjawab panggilan Papa.

"Halo, Pa?"

"Halo Rara? Kamu sehat di sana?" Suara Papa yang teduh dan dalam menyapa indera pendengaranku.

"Baik, Pa. Papa, Mama dan keluarga di rumah juga sehat kan?" Jawabku yang langsung disambung dengan pertanyaan lainnya.

"Baik - baik, kami semua di sini baik - baik saja."Ada keheningan menulikan yang menjadi jeda sebelum akhirnya Papa melanjutkan.

"Ada yang ingin Papa bicarakan sama Rara, sebenarnya." Okay, ini dia inti dari panggilan telpon Papa. "Sebentar lagi umur Rara dua puluh enam tahun."

Hah? Lalu? Jadi Papa melakukan panggilan internasional untuk ini? Karena dua bulan lagi aku akan meninggalkan angka seperempat abad dan berumur dua puluh enam? Seriously? Lalu aku harus menjawab bagaimana ini? "Ra?"

"Ya Papa?"

"Kamu akan segera menikah." Dan seiring dengan kalimat yang diucapkan Papa, semua yang ada di sekitarku mendadak berhenti. Deru nafasku, dan bahkan detak jantungku kalau itu mungkin. Maksud Papa apa?

"Papa?"

"Sebenarnya lamaran ini Papa terima sejak sebelum kepergian kamu ke sana dua tahun lalu. Tapi Mamamu menolak, Mama bilang kamu masih terlalu muda untuk menikah."

Yes! Yes i am, Papa! I am! "Aku menjerit dalam hati. Kabar ini benar - benar mengejutkan bagiku. Aku bahkan sempat berhenti bergungsi selama beberapa detik tadi.

Papa melanjutkan sebelum aku sempat menjawab atau menanggapi apapun. "Akad nikahnya akan dilangsungkan akhir bulan ini. Setelah itu, suami kamu akan terbang ke Paris menyusul kamu di sana. Jadi Mama dan Papa nggak lagi khawatir karena sudah ada yang menjaga Rara di sana."

Oh shoes! Aku harus menjawab seperti apa di waktu seperti ini?! Otakku seperti macet dan tidak bisa berpikir apapun.

Tentu saja, aku akan menikah suatu hari nanti, nanti setelah beberapa goal yang aku set di hidupku tercapai. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau aku akan menjadi seorang istri secepat ini! Terlebih lagi, aku tidak tahu siapa yang akan menjadi suamiku!!! Apa dia ganteng? Oh, come on, jaman sekarang, penampilan itu tetap yang utama kalau kamu belum kenal dengan orang tersebut. Jadi good-looking tetap yang utama. Tentu saja, seiring waktu aku mengenal personality nya hal itu mungkin akan berubah.

Tapi tetap saja, punya suami yang ganteng akan menjadi nilai positif. Lanjut lagi. Berapa umurnya? Lebih muda? Seumuran atau malah jauh lebih tua dari umurku? Memikirkan itu membuatku merinding.

Ini sebenarnya rahasia, tapi akan kukatakan hanya pada kalian. Tipe idealku adalah pria yang sedikit lebih tua dariku. Tiga hingga lima tahun, misalnya? Apa pekerjaannya saat ini? Aku sama sekali tidak tahu! Dan aku diharapkan hidup dengannya sampai maut memisahkan.

"Rara rencananya mau balik ke Indonesia kalau thesis Rara udah selesai, Pa." Ucapku pelan, saat akhirnya aku menemukan kembali suaraku yang tadi hilang.

"Kamu yakin?"

Aku mengernyitkan alisku heran. Yakin sekali! Aku sudah sangat ingin pulang ke Indonesia. Bukan berarti aku tidak betah di Paris. Tapi seenak - enaknya di negeri orang, negeri sendiri tetaplah yang terbaik! Bukan begitu? Terlebih, menjadi kelompok minoritas do suatu daerah dengan hak - hak yabg terus menerus dibatasi membuatku amat menderita di sini.

"Ya Papa," jawabku mantap. "Rencana Rara, Rara akan pulang dari Paris akhir tahun nanti." Tambahku mantap. Siapa tahu dengan begitu pernikahannya akan dibatalkan.

"Papa dengar kamu bilang Mama kalau kamu dapat tawaran internship selama satu tahun di sana."

Ya! Tapi itu hanya JIKA aku lolos tesnya. Yang bahkan aku amat pesimis karena banyak faktor. Aku ingat, aku memang bilang hal ini pada Mama waktu beliau menelpon bulan lalu. Saat kepercayaan diriku ada di puncaknya. Saat itu, aku amat yakin bahwa baku akan lolos salah satunya. Dan sekarang, setelah satu bulan tanpa ada kabar apapun, tentu saja harapanku jadi ikut terkikis pupus.

"Kayaknya Rara nggak lolos kualifikasi deh, Pa." Bisikku malu.

Sebenarnya aku dan adikku, Rasyid, kami dekat dengan Papa. Hanya saja, kami tidak bisa menunjukkannya sebebeas itu pada beliau karena kami amat menghormatinya. Biasanya, untuk urusan yang lebih personal, kami membicarakannya dengan Mama. Beliau adalah pendengar yang amat baik. Walaupun kadang tidak bisa memberikan solusi apapun karena kadang beliau bahkan tidak paham hal apa yang kami keluhkan. Hanya saja rasanya selalu melegakan setelah berbicara banyak dengan Mama.

"Rara bisa selalu coba lagi, kok. Jangan menyerah. Jalan Rara masih panjang. Yang semangat, ya. Papa tutup dulu telponnya. Papa telpon cuma mau ngabarin Rara itu aja. Jadi Rara tau kalau Rara akan jadi seorang istri. Selamat ya, Nak. Gadis kecil Papa sekarang udah besar. Nanti kami kabarin kalau dia sudah siap terbang ketemu Rara."

Apakah aku punya pilihan sekarang ini? Bolehkah aku bilang tidak? Tunggu, jika kalian berpikir Papaku adalah seorang diktator, maka kalian salah. Papa tidak pernah memaksa. Hanya saja kami diajari untuk tidak membantah tanpa alasan yang solid, valid dan logis. Misalkan seperti 'Tidak mau! Aku belum ingin menikah'. 

Walaupun bagi beberapa orang alasan tersebut amat solid dan valid, tapi sayangnya tidak bagi keluargaku. Menikah memang hak kita sebagai manusia, tapi juga merupakan kesempatan untuk menyempurnakan separuh agama kita. Terlebih, usiaku sudah amat cukup, dan sudah ada calon yang mengajukan diri.

Apa? Tidak bebas lagi setelah menikah? Kupikir itu tentang cara pandang saja. Contohnya Papa Mama. Papa tidak pernah membatasi karir Mama, lingkungan pergaulan Mama, selama Mama bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai Istri. Dan sebaliknya Mama juga tetap mengijinkan Papa untuk sesekali melakukan hobinya dan berkumpul dengan temannya, asal tidak kebablasan. Dan lihat, mereka harmonis hingga sekarang, di usia pernikahan mereka yang ke dua puluh delapan tahun.

Dan sebagai anak mereka, tentu saja aku bangga dan ingin juga pernikahanku nanti harmonis dan langgeng seperti itu. Tapi kalau begini caranya... Apa bisa?

Panggilan telepon itu akhirnya terputus. Menyisakanku yang masih membisu, mencerna semua hal yang terjadi secara tiba - tiba ini.

Aku menikah!! Astagaaaa.

Ini nyatakah,? Atau ini ternyata hanya sebuah prank? Kamera tersembunyi? Aku menoleh ke segara arah mencoba mencari sosok atau objek mencurigakan. Tidak ada!

"Kyra! Kamu sudah selesai belum? Pesanan makan siang kita sudah datang! Kita bisa terlambat kelas kalau tidak cepat - cepat." Seruan Ai menyadarkanku bahwa ini memang nyata. Bukan prank dan sejenisnya. Ya Tuhan, imy Getting married!

"O-oh! Iya! Aku datang segera!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Moment Of Us   Fifteen - Deep Talk

    Tring!Suara ponselku yang menerima pesan menjadi satu-satunya suara yang ada di antara aku dan Ali. Maksudku, benar-benar di antara kami. Meskipun saat ini kami sedang berada di dalam metro yang ramai, tapi sejak tadi aku dan Ali sama sekali tidak berbicara. Sama sekali.Dan ini aneh. Ali memang pendiam. Namun, hanya pada orang yang tidak dikenal atau orang yang menarik perhatiannya. Jaim, kalau kata orang Indonesia. Mencoba menarik perhatian dengan mencoba menjadi orang yang terlihat cool. Karena aku tahu, Ali tidak mungkin sedang berusaha menarik perhatianku, kediamannya ini membuatku bingung. Untungnya, saat masuk ke metro tadi, kami berdua masih mendapatkan tempat duduk. Karena ini weekend, jsdi metro hari ini tidak terlalu sedak. Hanya beberapa orang saja yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada nomor asing yang menghubungiku dan mengirimkan gambar. Siapa?Unknown: /Hi, Ra. Ini nomorku. Disimpan ya.

  • The Moment Of Us   Fourteen - Alif

    Suara berat dan dalam yang mengucap salam padaku membungkam semua protesku. Membuatku secara otomatis menjawab salamnya dengan suara pelan dan lembut, "Waalaikumsalam."What … the … heck!Suaranya … Tuhan, sekarusnya suara dalam, berat dan seksi seperti itu, haram nggak sih, buat dimiliki cowok? Cowok mana pun? Suara itu tuh, bikin … bahkan aku nggak kepikiran lagi apa yang sebenarnya aku pikirin. Suara salam pria tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, kuputar lagi dan lagi karena menurutku suaranya candu sekali. Bahkan, aku lupa kalau suara itu milik seseorang yang sudah bertitle suamiku!"Salam kenal, Ra. Aku Alif … suamimu."Kesadaranku kembali pulih sejuta persen saat kata 'suami' disebut. Aku memang sudah pasrah menerima perjodohan ini, sudah pasrah menerima pria ini, siapa pun itu sebagai suamiku, tapi bukan berarti aku harus menyukainya, 'kan? Aku masih belum berencana menjadi istri yang berbakti begitu saja pada suami. Lihat nantilah, bagaimana perlakuan dia padaku se

  • The Moment Of Us   Thirteen - I Know Nothing

    Semalam, chatku dengan Mas Jo tak berlangsung lama. Aku segera mengakhirinya dengan alasan capek. Hal yang amat jarang kulakukan saat bertukar pesan dengan pria yang kutaksir itu.Namun, etah kenapa semalam rasanya berbeda. Aku bete saat Mas Jo malah dengan enteng mengucapkan selamat padaku dan mendoakan kebahagiaanku setelah menyandang status yang baru. Belum lagi fakta bahwa dia lebih tahu tentang kapan 'suamiku' akan datang menemuiku di sini. Semua itu membuat moodku jelek seketika.Ini hari Sabtu. Pada dasarnya, aku tidak ada jadwal kuliah apa pun hari ini. Namun, aku sedang tidak ingin berada di rumah karena mood ku terus tak terkendali. Rasanya aku sudah hampir membanting dan melempar apa pun yang ada di dalam jangkauanku. Ya, sejelek itu. Padahal, semalam kurasakan mood ku sudah baik-baik saja. Aku sudah sangat pasrah menerima nasibku yang menikah muda dengan pria antah berantah yang hingga kini masih asing bagiku.Jadi, daripada aku makin menggila, kuputuskan untuk ke kampus

  • The Moment Of Us   Twelve - Ideal Type

    Lucu sekali saat menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang suamiku; namanya, wajahnya, apa pekerjaannya, kenapa dia menikah denganku, dan kapan dia akan ke sini menyusulku.Menyadari bahwa moodku bisa berubah jelek dan akan merusak suasana malam ini, Ali hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi."Kabari saja dan aku akan membantumu.""Merci, Ali."Percakapan berlanjut lagi dengan hal-hal yang kami lalui sehari-hari. Tentang gadis yang sedang dikejar Ali saat ini dan juga tentang Ai yang masih menunggu pangerannya."Ehm, aku perlu ke toilet. Awas kalau kalian memulai dessert tanpa aku," ancamnya seketika berdiri dan beranjak ke toilet.Aku mengernyitkan alis heran. "Kenapa, dia? Kita ada salah bicara? Kenapa wajahnya begitu?"Ali mengedikkan bahunya sambil lalu, tangan kanannya menyuapkan suapan terakhir di piringnya ke mulut. "Biarkan saja. Sebentar lagi juga dia akan seperti biasa lagi. Sepertinya ayahnya menghubunginya lagi.""Ada masalah?" tanyaku cepat. Ai dan ay

  • The Moment Of Us   Eleven - Celebration

    "Lho? Halo? Rasyid? Halo? Yah …."Hanya saja, sinyal dan keadaan sepertinya belum memihakku. Sedetik setelah pria itu berbalik, aku masih belum terbiasa dan belum rela memanggil dia suamiku, entah sinyalku atau sinyal Rasyid menghilang, membuat panggilan video kami akhirnya terputus.Dengan wajah lesu, aku kembali ke mejaku. Sudah ada Ali dan Ai di sana. Ai sedang mengomel sambil membenarkan dasi dan kerah kemeja Ali. Melihat mereka, seperti melihat pasangan suami istri yang sudah hidup bersama lama sekali. "Sudah selesai? Apa kata mereka?" Ali bertanya dengan suara pasrah dan kepala yang tidak digerakkan. Hanya matanya saja yang melirik padaku."Well, apa lagi. Je suis marié. Akadnya udah sah," jawabku.Ai selesai membenarkan dasi dan kemeja Ali, keduanya kini kembali pada posisi duduk mereka berhadapan denganku. "Félicitations, Kay. Selamat atas pernikahanmu. Atau seharusnya kami memanggilmu Madame …."Aku mengangkat bahu, membuat keduanya mengernyit. "Aku tidak tahu siapa nama su

  • The Moment Of Us   Ten - The Wedding Day

    "Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status