Papa? Tidak biasanya Papa menelpon. Biasanya, Papa hanya akan menyuruh Mama yang menghubungiku, dan menagih kabarku setelahnya.Ada apa? Kenapa sekarang Papa menelpon?
Aku bertanya - tanya saat berjalan menjauh untuk menjawab panggilan Papa.
"Halo, Pa?"
"Halo Rara? Kamu sehat di sana?" Suara Papa yang teduh dan dalam menyapa indera pendengaranku.
"Baik, Pa. Papa, Mama dan keluarga di rumah juga sehat kan?" Jawabku yang langsung disambung dengan pertanyaan lainnya.
"Baik - baik, kami semua di sini baik - baik saja."Ada keheningan menulikan yang menjadi jeda sebelum akhirnya Papa melanjutkan.
"Ada yang ingin Papa bicarakan sama Rara, sebenarnya." Okay, ini dia inti dari panggilan telpon Papa. "Sebentar lagi umur Rara dua puluh enam tahun."Hah? Lalu? Jadi Papa melakukan panggilan internasional untuk ini? Karena dua bulan lagi aku akan meninggalkan angka seperempat abad dan berumur dua puluh enam? Seriously? Lalu aku harus menjawab bagaimana ini? "Ra?"
"Ya Papa?"
"Kamu akan segera menikah." Dan seiring dengan kalimat yang diucapkan Papa, semua yang ada di sekitarku mendadak berhenti. Deru nafasku, dan bahkan detak jantungku kalau itu mungkin. Maksud Papa apa?
"Papa?"
"Sebenarnya lamaran ini Papa terima sejak sebelum kepergian kamu ke sana dua tahun lalu. Tapi Mamamu menolak, Mama bilang kamu masih terlalu muda untuk menikah."
Yes! Yes i am, Papa! I am! "Aku menjerit dalam hati. Kabar ini benar - benar mengejutkan bagiku. Aku bahkan sempat berhenti bergungsi selama beberapa detik tadi.
Papa melanjutkan sebelum aku sempat menjawab atau menanggapi apapun. "Akad nikahnya akan dilangsungkan akhir bulan ini. Setelah itu, suami kamu akan terbang ke Paris menyusul kamu di sana. Jadi Mama dan Papa nggak lagi khawatir karena sudah ada yang menjaga Rara di sana."
Oh shoes! Aku harus menjawab seperti apa di waktu seperti ini?! Otakku seperti macet dan tidak bisa berpikir apapun.
Tentu saja, aku akan menikah suatu hari nanti, nanti setelah beberapa goal yang aku set di hidupku tercapai. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau aku akan menjadi seorang istri secepat ini! Terlebih lagi, aku tidak tahu siapa yang akan menjadi suamiku!!! Apa dia ganteng? Oh, come on, jaman sekarang, penampilan itu tetap yang utama kalau kamu belum kenal dengan orang tersebut. Jadi good-looking tetap yang utama. Tentu saja, seiring waktu aku mengenal personality nya hal itu mungkin akan berubah.
Tapi tetap saja, punya suami yang ganteng akan menjadi nilai positif. Lanjut lagi. Berapa umurnya? Lebih muda? Seumuran atau malah jauh lebih tua dari umurku? Memikirkan itu membuatku merinding.
Ini sebenarnya rahasia, tapi akan kukatakan hanya pada kalian. Tipe idealku adalah pria yang sedikit lebih tua dariku. Tiga hingga lima tahun, misalnya? Apa pekerjaannya saat ini? Aku sama sekali tidak tahu! Dan aku diharapkan hidup dengannya sampai maut memisahkan.
"Rara rencananya mau balik ke Indonesia kalau thesis Rara udah selesai, Pa." Ucapku pelan, saat akhirnya aku menemukan kembali suaraku yang tadi hilang.
"Kamu yakin?"
Aku mengernyitkan alisku heran. Yakin sekali! Aku sudah sangat ingin pulang ke Indonesia. Bukan berarti aku tidak betah di Paris. Tapi seenak - enaknya di negeri orang, negeri sendiri tetaplah yang terbaik! Bukan begitu? Terlebih, menjadi kelompok minoritas do suatu daerah dengan hak - hak yabg terus menerus dibatasi membuatku amat menderita di sini.
"Ya Papa," jawabku mantap. "Rencana Rara, Rara akan pulang dari Paris akhir tahun nanti." Tambahku mantap. Siapa tahu dengan begitu pernikahannya akan dibatalkan.
"Papa dengar kamu bilang Mama kalau kamu dapat tawaran internship selama satu tahun di sana."
Ya! Tapi itu hanya JIKA aku lolos tesnya. Yang bahkan aku amat pesimis karena banyak faktor. Aku ingat, aku memang bilang hal ini pada Mama waktu beliau menelpon bulan lalu. Saat kepercayaan diriku ada di puncaknya. Saat itu, aku amat yakin bahwa baku akan lolos salah satunya. Dan sekarang, setelah satu bulan tanpa ada kabar apapun, tentu saja harapanku jadi ikut terkikis pupus.
"Kayaknya Rara nggak lolos kualifikasi deh, Pa." Bisikku malu.
Sebenarnya aku dan adikku, Rasyid, kami dekat dengan Papa. Hanya saja, kami tidak bisa menunjukkannya sebebeas itu pada beliau karena kami amat menghormatinya. Biasanya, untuk urusan yang lebih personal, kami membicarakannya dengan Mama. Beliau adalah pendengar yang amat baik. Walaupun kadang tidak bisa memberikan solusi apapun karena kadang beliau bahkan tidak paham hal apa yang kami keluhkan. Hanya saja rasanya selalu melegakan setelah berbicara banyak dengan Mama.
"Rara bisa selalu coba lagi, kok. Jangan menyerah. Jalan Rara masih panjang. Yang semangat, ya. Papa tutup dulu telponnya. Papa telpon cuma mau ngabarin Rara itu aja. Jadi Rara tau kalau Rara akan jadi seorang istri. Selamat ya, Nak. Gadis kecil Papa sekarang udah besar. Nanti kami kabarin kalau dia sudah siap terbang ketemu Rara."
Apakah aku punya pilihan sekarang ini? Bolehkah aku bilang tidak? Tunggu, jika kalian berpikir Papaku adalah seorang diktator, maka kalian salah. Papa tidak pernah memaksa. Hanya saja kami diajari untuk tidak membantah tanpa alasan yang solid, valid dan logis. Misalkan seperti 'Tidak mau! Aku belum ingin menikah'.
Walaupun bagi beberapa orang alasan tersebut amat solid dan valid, tapi sayangnya tidak bagi keluargaku. Menikah memang hak kita sebagai manusia, tapi juga merupakan kesempatan untuk menyempurnakan separuh agama kita. Terlebih, usiaku sudah amat cukup, dan sudah ada calon yang mengajukan diri.
Apa? Tidak bebas lagi setelah menikah? Kupikir itu tentang cara pandang saja. Contohnya Papa Mama. Papa tidak pernah membatasi karir Mama, lingkungan pergaulan Mama, selama Mama bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai Istri. Dan sebaliknya Mama juga tetap mengijinkan Papa untuk sesekali melakukan hobinya dan berkumpul dengan temannya, asal tidak kebablasan. Dan lihat, mereka harmonis hingga sekarang, di usia pernikahan mereka yang ke dua puluh delapan tahun.
Dan sebagai anak mereka, tentu saja aku bangga dan ingin juga pernikahanku nanti harmonis dan langgeng seperti itu. Tapi kalau begini caranya... Apa bisa?
Panggilan telepon itu akhirnya terputus. Menyisakanku yang masih membisu, mencerna semua hal yang terjadi secara tiba - tiba ini.
Aku menikah!! Astagaaaa.Ini nyatakah,? Atau ini ternyata hanya sebuah prank? Kamera tersembunyi? Aku menoleh ke segara arah mencoba mencari sosok atau objek mencurigakan. Tidak ada!
"Kyra! Kamu sudah selesai belum? Pesanan makan siang kita sudah datang! Kita bisa terlambat kelas kalau tidak cepat - cepat." Seruan Ai menyadarkanku bahwa ini memang nyata. Bukan prank dan sejenisnya. Ya Tuhan, imy Getting married!
"O-oh! Iya! Aku datang segera!
Aku pulang kembali ke rumah Madame Fatima sekitar pukul delapan malam ini. Seperti biasanya. Aku biasa mengakhiri hariku kira - kira di antara jam segitu. Yang berbeda hanyalah, hari ini badanku terasa sejuta kali terasa lebih lemas, lebih berat dan lebih capek dari biasanya. Yes! Ini semua gara - gara berita pernikahanku. Aku tidak membicarakan tentang hal ini sedikit pun kepada Ai maupun Ali tadi di kampus. Jujur saja, aku bingung, aku harus memulai dari mana untuk memberi tahu mereka. Ini terlalu... berita ini terlalu besar! Dan terlalu tiba - tiba. "Madame?" Bisikku saat memasuki dapur, yang harus kulalui sebelum menemukan tangga untuk naik ke kamarku. Aku tidak menemukan Madame Fatima di bawah, tidak juga mendengar sahutannya atas panggilan pelanku, jai mungkin beliau sudah beristirahat di kamarnya. Sepertinya itu fenomena yang wajar untuk mereka yang sudah mulai senior, mereka cinderung beristirahat lebih cepat dan bangun lebih pagi dari kami yang lebih muda. Selain aku, ada
Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Kepalaku penuh dengan kemungkinan - kemungkinan. Dan aku harus bertemu dengan Madam Fatima pagi ini. Tidak boleh ditunda lagi atau aku besok malam, aku akan menjadi semakin parah. Dan mungkin lusa paginya aku akan berubah menjadi zombie.Well, tentu saja itu pemikiran ngawur. Zombi tidak terbentuk semudah itu hanya karena orang - orang mengalami gangguan tidur. Tapi penampakannnya memang mirip. Jadi hari itu aku tidak tidur lagi setelah subuh. Tepat jam enam pagi, aku turun menghampiri Madame Fatima yang sudah memulai rutinitas paginya."Bonjour.""Bonjour, Cherie. Tidurmu nyenyak?" Tanyanya.Sayangnya tidak, Madam. Tapi aku hanya mengangguk mengiyakan."Mau Teh?" Tawarnya.Aku mengangguk lagi mengiyakan. Wanita ini sungguh amat baik. Mungkin jika sosok ibu peri itu benar - benar ada, maka akan terlihat seperti Madam Fatima. Rutinitas paginya dimulai seperti ini. Membuat teh, kem
Tatapan mata Ai seperti jenderal perang yang siap menghadapi bahkan seribu pasukan pun, sendirian. Aku melirik Ali yang ada di belakangnya. Dia hanya mengedikkan bahu. Aku yakin, Kami yang dimaksud Ai tadi hanya mengacu pada dirinya. Bukan pada mereka berdua, karena Ali hanya mengangkat bahunya pasrah."Bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku amat lelah." Bujukku."Tidak! Kau harus...""Ai, jangan memaksa." Ali mengingatkan pelan"Tapi..." Gadis itu seperti cacing kepanasan sekarang. Dia tahu Ali benar di satu sisi, tapi di sisi Ai , rasa penasarannya butuh pelampiasan. Dan sekarang dia terbelah di antaranya."Aku yakin saat Kay siap, dia akan menceritakan padamu, oke, pada kita, sedetail mungkin. Tunggu saja, okay? Apa kau tak kasihan melihat wajahnya yang memelas itu? Give her a break. Let's call it a day. Ayo kita semua pulang" Aku memberikan tatapan penuh rasa terimakasih pada Ali. Sungguh. Hari ini, aku merasa amat beruntung karena di
Beberapa hari selanjutnya berlalu biasa saja bagi kami. Kadang, aku mendapati Ai yang masih saja menatapku dengan pandangan prihatin, tapi tak kuhiraukan. Aku tak mau terbelenggu pada pusaran mengasihani diri sendiri. Ini memang bukan seperti yang aku rencanakan, tapi, aku yakin, semua hal di dunia ini bisa di kompromikan, benar, kan? Lagi pula, aku masih menganggap ini semua adalah mimpi, dan setelah akhir bulan berlalu, aku akan tahu kalau Papa tidak setega itu padaku.Dan kalau ternyata benar - benar terjadi... hmm... ya sudahlah. Aku tak berbicara tentang cinta setelah menikah dan sebagainya. Orang tua jaman dulu bilang, cinta datang karena terbiasa, tapi... kalau tidak bagaimana? kalau cinta itu datang, tak masalah, tapi bagaimana kalau tidak? Jadi aku menganggap ini hanya sebagai sesuatu ujian yang sulit saja. Seperti caraku menerima Gee, yang walaupun aku tak terlalu suka, bukan berarti aku tidak mencoba menerimanaya. Yah, begitu saja lah. Dan lebih baik kufokuskan pik
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka
Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri."Hai, I'm sorry. Can
Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan