Share

Two - Shocking News

Papa? Tidak biasanya Papa menelpon. Biasanya, Papa hanya akan menyuruh Mama yang menghubungiku, dan menagih kabarku setelahnya.Ada apa? Kenapa sekarang Papa menelpon?

Aku bertanya - tanya saat berjalan menjauh untuk menjawab panggilan Papa.

"Halo, Pa?"

"Halo Rara? Kamu sehat di sana?" Suara Papa yang teduh dan dalam menyapa indera pendengaranku.

"Baik, Pa. Papa, Mama dan keluarga di rumah juga sehat kan?" Jawabku yang langsung disambung dengan pertanyaan lainnya.

"Baik - baik, kami semua di sini baik - baik saja."Ada keheningan menulikan yang menjadi jeda sebelum akhirnya Papa melanjutkan.

"Ada yang ingin Papa bicarakan sama Rara, sebenarnya." Okay, ini dia inti dari panggilan telpon Papa. "Sebentar lagi umur Rara dua puluh enam tahun."

Hah? Lalu? Jadi Papa melakukan panggilan internasional untuk ini? Karena dua bulan lagi aku akan meninggalkan angka seperempat abad dan berumur dua puluh enam? Seriously? Lalu aku harus menjawab bagaimana ini? "Ra?"

"Ya Papa?"

"Kamu akan segera menikah." Dan seiring dengan kalimat yang diucapkan Papa, semua yang ada di sekitarku mendadak berhenti. Deru nafasku, dan bahkan detak jantungku kalau itu mungkin. Maksud Papa apa?

"Papa?"

"Sebenarnya lamaran ini Papa terima sejak sebelum kepergian kamu ke sana dua tahun lalu. Tapi Mamamu menolak, Mama bilang kamu masih terlalu muda untuk menikah."

Yes! Yes i am, Papa! I am! "Aku menjerit dalam hati. Kabar ini benar - benar mengejutkan bagiku. Aku bahkan sempat berhenti bergungsi selama beberapa detik tadi.

Papa melanjutkan sebelum aku sempat menjawab atau menanggapi apapun. "Akad nikahnya akan dilangsungkan akhir bulan ini. Setelah itu, suami kamu akan terbang ke Paris menyusul kamu di sana. Jadi Mama dan Papa nggak lagi khawatir karena sudah ada yang menjaga Rara di sana."

Oh shoes! Aku harus menjawab seperti apa di waktu seperti ini?! Otakku seperti macet dan tidak bisa berpikir apapun.

Tentu saja, aku akan menikah suatu hari nanti, nanti setelah beberapa goal yang aku set di hidupku tercapai. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau aku akan menjadi seorang istri secepat ini! Terlebih lagi, aku tidak tahu siapa yang akan menjadi suamiku!!! Apa dia ganteng? Oh, come on, jaman sekarang, penampilan itu tetap yang utama kalau kamu belum kenal dengan orang tersebut. Jadi good-looking tetap yang utama. Tentu saja, seiring waktu aku mengenal personality nya hal itu mungkin akan berubah.

Tapi tetap saja, punya suami yang ganteng akan menjadi nilai positif. Lanjut lagi. Berapa umurnya? Lebih muda? Seumuran atau malah jauh lebih tua dari umurku? Memikirkan itu membuatku merinding.

Ini sebenarnya rahasia, tapi akan kukatakan hanya pada kalian. Tipe idealku adalah pria yang sedikit lebih tua dariku. Tiga hingga lima tahun, misalnya? Apa pekerjaannya saat ini? Aku sama sekali tidak tahu! Dan aku diharapkan hidup dengannya sampai maut memisahkan.

"Rara rencananya mau balik ke Indonesia kalau thesis Rara udah selesai, Pa." Ucapku pelan, saat akhirnya aku menemukan kembali suaraku yang tadi hilang.

"Kamu yakin?"

Aku mengernyitkan alisku heran. Yakin sekali! Aku sudah sangat ingin pulang ke Indonesia. Bukan berarti aku tidak betah di Paris. Tapi seenak - enaknya di negeri orang, negeri sendiri tetaplah yang terbaik! Bukan begitu? Terlebih, menjadi kelompok minoritas do suatu daerah dengan hak - hak yabg terus menerus dibatasi membuatku amat menderita di sini.

"Ya Papa," jawabku mantap. "Rencana Rara, Rara akan pulang dari Paris akhir tahun nanti." Tambahku mantap. Siapa tahu dengan begitu pernikahannya akan dibatalkan.

"Papa dengar kamu bilang Mama kalau kamu dapat tawaran internship selama satu tahun di sana."

Ya! Tapi itu hanya JIKA aku lolos tesnya. Yang bahkan aku amat pesimis karena banyak faktor. Aku ingat, aku memang bilang hal ini pada Mama waktu beliau menelpon bulan lalu. Saat kepercayaan diriku ada di puncaknya. Saat itu, aku amat yakin bahwa baku akan lolos salah satunya. Dan sekarang, setelah satu bulan tanpa ada kabar apapun, tentu saja harapanku jadi ikut terkikis pupus.

"Kayaknya Rara nggak lolos kualifikasi deh, Pa." Bisikku malu.

Sebenarnya aku dan adikku, Rasyid, kami dekat dengan Papa. Hanya saja, kami tidak bisa menunjukkannya sebebeas itu pada beliau karena kami amat menghormatinya. Biasanya, untuk urusan yang lebih personal, kami membicarakannya dengan Mama. Beliau adalah pendengar yang amat baik. Walaupun kadang tidak bisa memberikan solusi apapun karena kadang beliau bahkan tidak paham hal apa yang kami keluhkan. Hanya saja rasanya selalu melegakan setelah berbicara banyak dengan Mama.

"Rara bisa selalu coba lagi, kok. Jangan menyerah. Jalan Rara masih panjang. Yang semangat, ya. Papa tutup dulu telponnya. Papa telpon cuma mau ngabarin Rara itu aja. Jadi Rara tau kalau Rara akan jadi seorang istri. Selamat ya, Nak. Gadis kecil Papa sekarang udah besar. Nanti kami kabarin kalau dia sudah siap terbang ketemu Rara."

Apakah aku punya pilihan sekarang ini? Bolehkah aku bilang tidak? Tunggu, jika kalian berpikir Papaku adalah seorang diktator, maka kalian salah. Papa tidak pernah memaksa. Hanya saja kami diajari untuk tidak membantah tanpa alasan yang solid, valid dan logis. Misalkan seperti 'Tidak mau! Aku belum ingin menikah'. 

Walaupun bagi beberapa orang alasan tersebut amat solid dan valid, tapi sayangnya tidak bagi keluargaku. Menikah memang hak kita sebagai manusia, tapi juga merupakan kesempatan untuk menyempurnakan separuh agama kita. Terlebih, usiaku sudah amat cukup, dan sudah ada calon yang mengajukan diri.

Apa? Tidak bebas lagi setelah menikah? Kupikir itu tentang cara pandang saja. Contohnya Papa Mama. Papa tidak pernah membatasi karir Mama, lingkungan pergaulan Mama, selama Mama bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai Istri. Dan sebaliknya Mama juga tetap mengijinkan Papa untuk sesekali melakukan hobinya dan berkumpul dengan temannya, asal tidak kebablasan. Dan lihat, mereka harmonis hingga sekarang, di usia pernikahan mereka yang ke dua puluh delapan tahun.

Dan sebagai anak mereka, tentu saja aku bangga dan ingin juga pernikahanku nanti harmonis dan langgeng seperti itu. Tapi kalau begini caranya... Apa bisa?

Panggilan telepon itu akhirnya terputus. Menyisakanku yang masih membisu, mencerna semua hal yang terjadi secara tiba - tiba ini.

Aku menikah!! Astagaaaa.

Ini nyatakah,? Atau ini ternyata hanya sebuah prank? Kamera tersembunyi? Aku menoleh ke segara arah mencoba mencari sosok atau objek mencurigakan. Tidak ada!

"Kyra! Kamu sudah selesai belum? Pesanan makan siang kita sudah datang! Kita bisa terlambat kelas kalau tidak cepat - cepat." Seruan Ai menyadarkanku bahwa ini memang nyata. Bukan prank dan sejenisnya. Ya Tuhan, imy Getting married!

"O-oh! Iya! Aku datang segera!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status