Share

4

Bab 4

Cat berwarna hitam juga ornamen ornamen vintage mendominasi ruangan yang pencahayaannya remang-remang ini. Di dalamnya, duduklah seorang pria yang sedang mengisap rokoknya sambil menghadap tembok. Memperhatikan lukisan yang baru saja ia beli.

Setelah mengetuk pintu, satu pria lain masuk ke dalam ruangan. Ia adalah asisten sekaligus tangan kanan dari pria yang masih duduk itu.

"Info penting apa?" tanya pria yang sedang duduk itu dengan santai.

"Polisi udah mulai nyari nyari kita," balasnya.

Pria itu pun tersenyum meremehkan. "Jadi, Wolf Eagle datang atas perintah polisi?"

"Nope. Awalnya gue juga mikir begitu, tapi ternyata ada yang lain ...." Ia seperti menggantungkan kata katanya.

"What's wrong?"

"Wolf Eagle datang, atas perintah Widhibrata."

Pria itu langsung membalikan badannya. "Widhibrata?" Ia tertawa terbahak-bahak, sedangkan asistennya hanya diam saja.

"Sejak kapan Wolf Eagle turun kasta melayani sampah seperti Widhibrata? Hahahaha."

Ia kemudian mengambil sebilah pisau yang berada di atas meja.

"Mereka udah ngacauin semua rencana gue semalem." Pria itu terdiam sebentar. "Kayaknya kita harus ngirim peringatan perang ke pihak mereka?"

***

Rayana terjatuh di atas dada bidang milik Bima. Saat keduanya bertatapan, Rayana merasakan debaran yang luar biasa. Menatap wajah tampan Bima dari jarak yang sangat dekat, sedangkan lawannya juga menatap Rayana dengan tatapan yang datar.

"Mau sampai kapan ngeliatin gue?" ucap Bima yang sudah mulai kesakitan dengan posisinya.

Mendengar itu Rayana langsung mencoba untuk berdiri. "Sorry. Gue lupa."

Bima hanya meliriknya. Sejujurnya, Bima juga sangat salah tingkah saat menatap wajah Rayana. Wajahnya sangat halus, tak ada sedikit pun bekas luka.

"Ayo keluar, kita berangkat sekarang sebelum lo makin kena masalah gak laporan," ucap Bima.

"Eh, tunggu dulu ...." Rayana memegang lengan Bima. Tetapi langsung ia lepaskan lagi karena Bima meliriknya dengan tatapan datar seolah olah berkata "Apaan lagi sih" , Rayana jadi terlihat seperti ragu-ragu untuk berbicara.

"Gue perlu ke kamar mandi," ucapnya. Ia berada disini semalaman tentu saja ia sangat ingin buang air kecil. Rayana juga perlu membasuh wajahnya yang sudah kusam, sebelum pergi ke kantornya.

"Kamar mandinya disana." Bima langsung berjalan duluan dan Rayana mengikutinya dari belakang.

Rayana sangat kagum melihat rumah sebesar ini bak istana. Rumah dengan konsep modern klasik, dengan dindingnya yang berwarna putih.

Ia sedikit terkejut dengan banyak orang orang berpakaian hitam sedang duduk di ruang tengah termasuk pria yang membuatnya pingsan semalam. Seperti sedang rapat?

Rayana menjadi tidak nyaman, terlebih mereka semua malah menatapnya dengan tatapan aneh. Setelah menjauh dari tempat itu, Bima menunjukan letak kamar mandinya. Setelahnya Rayana langsung masuk ke dalam kamar mandi itu untuk melegakan perutnya yang menahan buang air kecil.

Ia juga mencuci wajahnya dengan air seadanya, dan menguncir ulang rambutnya agar lebih rapih. Rayana menghela nafasnya sebentar, melihat pantulan wajahnya dicermin. Rayana harus mempersiapkan diri untuk bertemu komandannya nanti. Ia hanya berharap pria itu memberikan alasan yang logis agar tidak di curigai.

Ia pun memutar kunci pintu dan membukanya, dan betapa terkejut nya ia saat seorang pria bertubuh besar berada dihadapannya.

"Silahkan, Nona. Anda harus masuk ke dalam mobil sekarang. Mari saya antar," ucapnya.

Nona apanya? Pikir Rayana.

Rayana hanya mengikutinya untuk keluar dari rumah itu. Ia melihat tidak ada lagi kumpulan pria yang sedang rapat itu. Ia juga tidak melihat pria yang sedari tadi bersamanya. Siapa nama nya? Ia berbicara lama dengannya tetapi tidak mengetahui siapa namanya. Ah sudahlah.

Bahkan halaman rumahnya pun sangatlah megah, seperti lobi hotel untuk menerima tamu. Rayana juga harus menuruni tangga untuk bisa sampai ke depan mobil.

Pria tadi pun membukakan pintu mobil untuk Rayana.

"Terimakasih." Hanya itu yang bisa Rayana katakan. Saat ia masuk ke dalam mobil pun terlihat lagi seorang pria berbadan besar berada dikursi pengemudi.

Rayana hanya diam saja, menunggu pria itu datang. Tatapannya kemudian terpaku kepada 3 botol air mineral yang berada dikeranjang sebelah kursi pengemudi. Betul juga, pikirnya. Ia belum makan dan minum bahkan sejak kemarin sore. Ia terlalu sibuk untuk memikirkan manusia anonim yang membebani pikirannya itu.

Rayana menarik nafasnya sebentar. "Permisi, ehm ...."

Pria itu hanya melirik dari kaca spion diatasnya.

"Apa boleh saya minta air mineral itu?" ucapnya dengan hati-hati.

Pria itu kembali menatap ke depan. "Jangan melakukan sesuatu tanpa ada izin dari Tuan Bima. Lebih baik, kamu tidak banyak bertingkah."

Bertingkah katanya? Rayana hanya meminta air mineral itu, apakah sangat merepotkan? Cih.

Tunggu.

Siapa namanya?

Bima! Jadi nama pria itu adalah Bima? Pikir Rayana. 

Rayana kembali terdiam, canggung dengan pria di depannya ini. Mengapa Bima lama sekali? Apakah dia merias wajah dulu sampai selama ini?

Saat menunggunya hingga bosan, Rayana teringat ia belum mengaktifkan ponselnya. Ia merogoh kantung celana dan jaketnya, tidak ada ponsel miliknya. Pasti Bima. Huh.

Ia menatap keluar jendela, melihat Bima keluar dengan jas yang rapih lengkap dengan sepatu pantopelnya. Huh? Mengapa dia rapih sekali?

Bima kemudian seperti berbicara sesuatu dengan penjaga yang ada di depan pintu masuk nya. Setelah itu ia turun dan masuk ke dalam mobil, duduk disamping Rayana. Mereka pun berangkat menuju kantor BIN tempat Rayana bekerja.

Rayana tetap diam saja, bahkan tidak menatap Bima. Ia hanya melihat ke arah jendela, melihat jalan raya yang begitu ramai pagi ini.

"Nih ...." Bima menyodorkan ponsel milik Rayana.

Rayana langsung mengambilnya dan menyalakan ponselnya. Tidak bisa. Sepertinya baterai nya habis.

"Itu baterainya habis, jadi gak bisa nyala. Lupa gue charger," ucap Bima.

Rayana mendengus dan kembali diam. Ia sangat ingin sekali minum air, tenggorokannya sudah kering dan mulai sakit. Ia melihat Bima, sedang sibuk dengan tab ditangannya.

Rayana kemudian menyentuh lengan Bima dengan jari telunjuknya, membuat Bima langsung menoleh menatapnya. "Apa?" ucap Bima.

"Itu ... Boleh gue minta minum itu?" Rayana menunjuk kearah botol air mineral.

"Ya minum aja, ada yang ngelarang?"

Rayana melirik pria yang sedang menyetir itu. "Ah, enggak. Gue kan izin dulu aja.. Thank you. ", ia kemudian mengambil dan meminumnya.

Sejujurnya, ia memang kesal dengan sikap sopir itu tetapi Rayana tidak ingin membuatnya dalam masalah. Toh, dia hanya bertugas yang memang menjadi tugas dia.

Bima tiba-tiba menyodorkan sebuah kotak makan kepada Rayana. "Makan, dari semalem lo belum makan kan?"

What the fuck? Ia berbicara dingin tetapi malah membuat hati siapapun yang mendengarnya menjadi hangat.

Rayana menerima kotak makan itu. "Makasih." Ia kemudian membukanya dan terlihat beberapa potong roti coklat dan ada buah apel yang sudah dipotong-potong. Rayana tersenyum kecil, dan mulai memakan roti coklat itu.

Bima yang melihat itu merasa lega. Walaupun Rayana terlihat tenang dan berani, Bima dapat melihat sorot matanya menunjukan ketakutan saat ia menginterogasinya.

Mereka tidak banyak berbicara. Hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lagi pula tidak ada yang perlu di bicarakan.

Sesampainya dikantor BIN yang sangat luas dan megah, mereka berdua memasuki gedung tersebut. Tetapi sampai di lobi, ada beberapa tahapan yang hanya pegawai BIN yang dapat mengakses.

Bima menahan Rayana agar tidak masuk terlebih dahulu. "Gue bakal hubungi komandan, biar kita bisa sama sama masuk."

Rayana hanya mengangguk. Ia memperhatikan sekelilingnya, sangat ramai karena ini adalah hari kerja. Beberapa rekannya pun menyapa Rayana dan berkata bahwa komandan mencarinya.

Setelah Bima selesai bicara, ia di beri akses masuk untuk menuju ruangan komandan pasukan BIN itu. Rayana begitu terkejut melihat ekspresi komandannya yang terlihat seperti marah kepadanya.

"Astaga, Raya ... Kamu ini darimana saja, huh? Tidak bisa dihubungi dan tidak memberikan laporan. Kamu tidak mengalami hal sulit kan?" ucap Aresa Raymond - Komandannya.

"Maaf komandan ...." Hanya itu yang bisa Rayana katakan untuk saat ini.

"Tapi tunggu, mengapa kalian datang bersama? Kalian sudah saling kenal?" tanya Ares.

"Ehm ... Begini komandan .... " Rayana seperti ragu-ragu untuk menjawabnya.

"Kami bertemu karena kesalahpahaman." sela Bima. Komandan Ares dan Rayana kompak menengok kearah Bima. "Aku bertemunya di jalan saat sedang mencari bukti tentang kasus yang saat ini ku tangani. Saat itu bukti yang kami cari, berada ditangan Rayana. Jadi, aku membawanya ke markas," lanjutnya.

"Benar itu Raya?" tanya komandan Ares.

Rayana mengangguk. "Maafkan saya, komandan. Saya tidak memberi laporan yang jelas. Maafkan saya." Ia kemudian membungkukan badannya.

Komandan Ares hanya menghela nafasnya. "Kau sedang menangani kasus apa, Bim? Pembunuhan anonim itu?"

Bima mengangguk. "Betul."

"Saya tidak suka kamu membahayakan dirimu seperti ini Raya. Saya belum memberikan perintah apapun, apalagi kasus pembunuhan seperti ini. Apa yang kamu cari, huh?" tanya komandan Ares.

"Ehm, komandan ... Rayana hanya tidak sengaja berada di tkp dan terjadi kesalahpahaman antara pihak ku dan dia. Tolong jangan memarahinya terlalu keras." ucap Bima dengan hati-hati.

"Baiklah ... Baiklah. Raya, lebih baik kamu membersihkan dirimu dahulu lalu mulai bekerja lagi saat badan mu tidak lelah. Jangan memaksakam dirimu kerja saat lelah, mengerti?"

Rayana memberikan hormat kepada komandan nya itu. "Siap, Komandan." Ia lalu bergegas pergi dari ruangan itu dan menuju mejanya.

Ia menuju meja kerjanya yang berada di lanta 5 yang bernama divisi 5, bagian teknologi. Saat ia sampai di ruangan kerjanya, teman seprofesinya datang menyambut dengan suara lantang bak toa kampanye.

"RAYAAAA, LO KEMANA AJA GAK ANGKAT TELEPON GUE?!" ucap Zevanya Grace -- Sahabat Rayana.

Rayana langsung membekap mulut Vanya. "Ssstttt ... Lo tuh ya, ganggu yang lain kerja tau gak?"

Vanya hanya mencibir. "Ya, habis lo gak ada kabar. Pasti lo abis dimarahin komandan kan?"

"He'em."  Rayana langsung duduk ditempat kerjanya. Ada beberapa dokumen yang harus ia periksa.

"Emang lo abis dari mana sih? Kok bisa semalaman gak bisa dihubungi?" tanya Vanya.

Rayana tersenyum kecut. "Gue masih penasaran, soal kematian orangtua gue. Jadi kemarin gue pergi ke suatu tempat untuk nyari  sesuatu. Tapi sialnya, gue malah ketemu sama anggota Wolf Eagle dan gue ditangkap sama mereka."

"What?? Seriously? Berarti lo ke markas mereka dong?"

Rayana mengangguk. Ia sambil memeriksa berkas berkas yang ada di mejanya. Ia melihat bahwa kasus pembunuhan yang terjadi semalam sudah masuk ke dalam daftar tugas untuk divisi 5.

"Tapi, lo gak kenapa-kenapa kan? Lo gak di sakitin mereka?"

Rayana terkekeh. "Ya, enggaklah. Buktinya gue bisa pulang kesini lagi."

"Syukur deh. Btw, semalem pas gue baru mau pulang, teman di club bela diri lo telepon kesini. Gue angkat, sorry ya kalau lancang."

"Ehm ... Gio? Kok sampai nelfon kesini?"

"Ya, kan ponsel lo gak aktif gimana sih. Mungkin dia khawatir sama lo? Cie cie ...." Vanya mencubit kecil lengan Rayana.

"Apaan sih, udah deh gue mau mandi dulu. Bye, ngomong aja sama tembok." Rayana langsung melengos pergi meninggalkan Vanya.

Kantornya memang sangat lengkap dalam fasilitas. Maklum, karena pegawainya sering lembur karena pekerjaan yang sering terjadi dadakan. Terkadang, Rayana bahkan berhari hari tak pulang ke rumahnya karena sibuk di kantor.

Setelah mengambil beberapa pakaian ganti di lemarinya, ia pun bergegas mandi. Menghilangkan rasa penat yang ia rasakan sejak tadi.

Kurang lebih 20 menit Rayana menghabiskan waktunya di kamar mandi, kini ia merasa lebih fresh dan siap untuk bekerja kembali.

Saat baru tiba di mejanya, Vanya berkata bahwa ia dipanggil untuk ke ruangan komandan. Bingung, tetapi Rayana langsung bergegas naik ke lantai 7 untuk menemui komandannya.

Ia mengetuk pintu, dan masuk ke dalam ruangan komandan Ares. Terlihat, Bima yang masih berada disana.

"Mohon maaf saya telat, Komandan. Ada apa memanggil saya?"

Komandan Ares kemudian memberikan selembar kertas kepada Rayana. Ia membaca nya dan begitu terkejut saat melihat isinya.

Ini surat penugasan? batin Rayana

"Mulai hari ini, kamu saya tugaskan untuk mengusut kasus pembunuhan yang terjadi di rumah kosong semalam, tetapi dengan catatan kamu harus bersama tim Wolf Eagle."

"Saya izinkan juga kamu untuk mencari tahu penyebab kematian orangtua mu. Silahkan kamu kemas barang-barang yang kamu butuhkan." lanjut komandan Ares.

Rayana terpaku beberapa saat. Ia tidak bisa tahu harus beraksi seperti apa. Di satu sisi ia sangat senang jika diizinkan untuk mencari tau tentang kecelakaan yang menimpa orang tua nya enam tahun yang lalu, tetapi di sisi lain ia harus bekerja bersama Wolf Eagle. Organisasi dengan anggotanya yang bahkan belum ia kenal.

Mengapa komandan Ares tiba-tiba seperti ini? Ia sangat tidak mengerti. Biasanya, ia sangat sulit melepas Rayana kedalam kasus-kasus yang berbahaya. Apa yang dibicarakan oleh Bima sampai komandan seperti ini? Ia sungguh tidak mengerti.

-bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status