Home / Young Adult / The Rahadi's / EP 04 - The Overthikers

Share

EP 04 - The Overthikers

Author: Riza Fumiko
last update Last Updated: 2021-07-19 12:10:58

"Ohhh, Jennifer? Dia sepupunya Joanna, sih." ujar Joshua santai sembari mengaduk mie ayamnya di kantin.

"Lo nggak bilang ke gue, brengsek. Gue kira yang dateng gebetannya Lingga," umpat Ethan kasar. Ia duduk bersama Joshua di tegah ramainya jam istirahat makan siang.

Joshua tertawa pelan. "Tapi Jennifer juga oke, kan?"

Ethan sontak memalingkan wajah, ikut tertawa pelan. "Sialan."

Melihat temannya yang salah tingkah itu, sontak saja Joshua tertawa. "Kenapa? Akuin aja kali. Badannya bagus."

"Iya, anjing, iya. Nggak diladenin makin ngeres lo."

"Ngeres? Gue ngeres apa, coba. Gue tau kali, apa yang lo pikirin." kata Joshua menyuapkan mie ayam ke mulutnya. 

Ethan hanya tersenyum tipis. Berbeda dengan Joshua yang perut karet, Ethan hanya memainkan sedotan es susu cokelat miliknya. Suasana hati dan rumah yang buruk membuat nafsu makan Ethan turun drastis akhir-akhir ini. Sampai ia melihat sosok Lingga memasuki kantin, Ethan melirik pemuda itu diam.

Raut wajah Lingga sedang suram. Dan memang itu yang Ethan mau. Bukan melihat Lingga dengan senyum lebarnya itu bergaul ke sana kemari dengan teman banyak. 

"Kenapa? Mikirin rencana apa?" tanya Joshua yang menyadari tatapan Ethan.

Ethan hanya tertawa pelan. Lalu memalingkan pandangan. "Lo bener-bener punya telepati sama otak gue, ya."

"Elah, namanya juga temen, Than. Gue kan nggak kenal lo dari F*."

Ethan kembali tertawa. Kali ini ia merunduk menatap es susu cokelatnya. Ethan memandang pantulan dirinya dari sana, kemudian tersenyum menyeringai. 

Ethan sudah memikirkan bagaimana ia akan menjadikan Jennifer sebagai batu loncatan untuk mendekati Joanna. Lalu merayu Joanna agar menyuruh Lingga untuk mengikuti turnamen futsal semester ini. Agar fokus Lingga dari program beasiswa teralihkan. Dan dengan begitu nama Ethan akan jadi kandidat paling kuat yang bertahan di sana.

"Lo masih serius mau nyingkirin Lingga?" tanya Joshua, seakan bisa membaca pikiran Ethan dan segala akalnya itu.

"Serius, lah. Kalo udah jadi ACE di futsal ya futsal aja. Nggak usah ngurusin program beasiswa segala. Bikin repot aja,"

"Ck, bokap lo kan orang mampu, tiap hari lo bawanya mobil. Nggak usah segitunya ngejar beasiswa kali, Than. Kasian mereka yang ngerjar beasiswa emang karena nggak mampu."

Ethan sontak tertawa. "Gue juga nggak mampu."

Nggak mampu dapet pengakuan di keluarga gue sendiri.

Joshua mengernyit ketika Ethan meneguk es susu cokelat dengan tenangnya. Joshua tak pernah tahu. Hidup bagi Ethan adalah kompetisi. Bahkan sejak lahir, ia harus berjuang mendapatkan perhatian orang tuanya. 

Bagi Ethan, yang menyenangkan dari sebuah kompetisi bukan persaingannya. Tapi bagaimana menjatuhkan lawan dalam diam, bahkan tanpa pergerakan. Ethan menyukai itu. Raut kecewa di wajah mereka, Ethan sangat menikmatinya. Perasaan hilang harapan dan putus asa itu, Ethan ingin orang lain merasakannya sampai ke tulang.

**

Sudah terhitung 3 hari sejak Abian mampir ke rumah. Dan ini hari pertama Ella kembali masuk sekolah setelah absen satu hari. Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, Ella baru bisa memalingkan pandangan dari punggung Abian yang duduk di bangku deret depan.

"Mata lo ke sana mulu, kayaknya." tegur Lucy menyikut Ella pelan sembari mengaitkan ranselnya ke pundak.

Ella pun tersentak kecil. Ia mengejap tersadar beberapa kali. Mengingat pikirannya memang agak kacau beberapa hari terakhir. 

Kalau dibilang khawatir, Ella khawatir. Sisi itu yang tak pernah Ethan lihat. Ethan hanya terus menganggap Ella menyambut kehadiran Abian di rumah. Ethan tak pernah tahu Ella juga khawatir Abian melihat Ethan. Selama sakit juga Ella berpikir bahwa Abian sudah menyebarkan tentang kehadiran saudara kembar Ella, Ethan. Namun melihat suasana kelas yang kondusif begini, Ella jadi ragu dengan segala tuduhannya.

"Abian bilang sesuatu nggak, pas gue nggak masuk?" tanya Ella.

"Nggak. Nggak ada apa-apa, sih. Kenapa emang?" tanya Lucy balik.

"Dibaperin kan lo sama Abian. Terus kepikiran, aaa." goda Fara tersenyum jahil. "Abian belum bilang apa-apa, sih. Belum bilang lo cakep, atau nanyain elo. Tapi tunggu waktu aja, nanti matanya Abian juga sadar kalo lo emang secantik itu."

"Fara apaan, sih." balas Ella risih.

Namun Fara hanya menaggapi dengan kekehan ringan, Lucy pun juga. Membuat Ella merotasikan mata malas. Ketika mereka beranjak keluar dari kelas, Ella tak sengaja menyenggol lengan Abian. Membuatnya refleks meminta maaf, namun Abian hanya merespons santai. Menjadikan Fara dan Lucy heboh.

Ella semakin risih. Ia mendengus pendek dan berjalan mendahului dua temannya. Yang lalu disusul dengan heboh. 

18 tahun hidup, Ella tidak pernah pacaran. Lucu memang. Tapi dia menghindari segala macam kisah cinta dan segala yang menyebabkannya. Bukan sekali dua kali Ella menerima pernyataan cinta sejak duduk di bangku SMA, tapi tidak ada yang Ella terima. Banyak rumor beredar bahwa Ella lesbian, tapi Ella tak mendengarkan semua itu. Ella tetap menjaga jarak dari semua laki-laki di sekolah. Demi menghindari drama dan segala perasaan menyebalkan yang tidak Ella inginkan.

Orientasi seksual? Bukan. Ethan? Entahlah. 

Yang jelas, Ella melakukan ini bukan untuk sesiapa, melainkan untuk dirinya sendiri. Kalau didengar memang lucu. Ella belum bisa melupakan seseorang yang ia cintai semasa SD. Agak mustahil dan menggelikan. Namun ini yang terjadi. Ella hanya mencoba jujur pada dirinya sendiri ketimbang menjalin hubungan dengan perasaan yang dipalsukan.

Sebab sudah terlalu banyak yang ia palsukan di hidupnya, bukan?

**

"Ethan?"

Ethan melebarkan mata. Tubuhnya membeku melihat Jenn yang ada di depannya. Ini daerah sekolah Ella, dan ada Jenn. Mimpi buruk.

"Kamu... ngapain di sini?"

"Aku? Aku jemput Joanna, dia sekolah di sini." jawab Jennifer menunjuk sekolah elite khusus perempuan di depan sekolah Ella. "Kamu sendiri?"

"Aku— eum, ah, aku beli obat batuk." bohong Ethan sebisanya. Toh, ia ada di parkiran apotek, akan masuk akal, bukan. "Kemarin setelah kita pergi hujan, kan. Aku, aku, agak demam. Uhuk," sambungnya memalingkan  wajah.

Jenn mengangkat satu alis, heran. Namun pada akhirnya ia mengangguk. Hingga tak lama kemudian seorang gadis keluar dari apotek dan mendepati Jenn.

"I'm done. Let's go." katanya merangkul lengan Jenn. Namun beralih pada Ethan, dan menatap Jenn bergantian. "Ini... who?"

"Joshua's friend. Yang gantikan hari Sabtu lalu." kata Jenn menjelaskan. "Than, ini Joanna. My cousin, yang aku bilang waktu itu." 

"Oh, iya." Ethan mengangguk canggung. Lalu mengulurkan tangan. "Ethan." 

 "Joanna." jawabnya menyambut jabatan tangan Ethan. "Maaf, ya. Waktu itu gue nggak bisa datang. Ya lo tau lah—"

"Iya. Gak papa, santai." kata Ethan tersenyum canggung. Perasaannya tidak enak setelah melihat dua test pack dari kantong plastik putih apotek yang dibawa Joanna.

Ah, tidak. Seharusnya tidak ada yang perlu dikejutkan, bukan. Mereka ini dua gadis dari budaya yang berbeda. Ethan tak perlu jadi norak dan canggung begini. Seperti ini adalah hal tabu yang masih sangat baru baginya.

"Gue duluan deh, ya. Salam buat Joshua." pamit Joanna.

"Iya, hati-hati." 

Joanna dan Jennifer pun beranjak pergi dari sana. Mereka menyeberang jalan dan masuk ke mobil yang terparkir di sana. Ethan hanya menatap dua gadis itu dari ujung jalan sampai mereka benar-benar pergi.

Sementara itu, Jenn di kursi kemudi tersenyum tipis.

"Kenapa?" tanya Joanna menyadari hal itu. "You like him?"

Jenn terkekeh pelan. "Menurutmu?" tanyanya balik. "Aku sudah buat keputusan, Jo."

"Untuk?" Joanna mengernyit melihat senyuman di bibir Jenn, apalagi gadis itu juga tak langsung menjawab. Nampak bermain-main. "Liburan musim panas... diperpanjang?"

Lampu lalu lintas menyala merah. Jenn menghentikan mobil tepat di belakang zebra cross, lalu ia menoleh dan menatap Joanna lurus. "Aku pindah ke Indonesia."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Rahadi's   EP 21 - Seseorang Yang Muak

    "Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah

  • The Rahadi's   EP 20 - Kecurigaan

    Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,

  • The Rahadi's   EP 19 - Mata Pisau

    "Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.

  • The Rahadi's   EP 18 - Bunga Yang Hancur

    Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua

  • The Rahadi's   EP 17 - Pecah

    Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe. Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu. "Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet. "Hah? Pesen?" "Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?" Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua." "Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d

  • The Rahadi's   EP 16 - Rahadis

    "Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status