Share

EP 04 - The Overthikers

"Ohhh, Jennifer? Dia sepupunya Joanna, sih." ujar Joshua santai sembari mengaduk mie ayamnya di kantin.

"Lo nggak bilang ke gue, brengsek. Gue kira yang dateng gebetannya Lingga," umpat Ethan kasar. Ia duduk bersama Joshua di tegah ramainya jam istirahat makan siang.

Joshua tertawa pelan. "Tapi Jennifer juga oke, kan?"

Ethan sontak memalingkan wajah, ikut tertawa pelan. "Sialan."

Melihat temannya yang salah tingkah itu, sontak saja Joshua tertawa. "Kenapa? Akuin aja kali. Badannya bagus."

"Iya, anjing, iya. Nggak diladenin makin ngeres lo."

"Ngeres? Gue ngeres apa, coba. Gue tau kali, apa yang lo pikirin." kata Joshua menyuapkan mie ayam ke mulutnya. 

Ethan hanya tersenyum tipis. Berbeda dengan Joshua yang perut karet, Ethan hanya memainkan sedotan es susu cokelat miliknya. Suasana hati dan rumah yang buruk membuat nafsu makan Ethan turun drastis akhir-akhir ini. Sampai ia melihat sosok Lingga memasuki kantin, Ethan melirik pemuda itu diam.

Raut wajah Lingga sedang suram. Dan memang itu yang Ethan mau. Bukan melihat Lingga dengan senyum lebarnya itu bergaul ke sana kemari dengan teman banyak. 

"Kenapa? Mikirin rencana apa?" tanya Joshua yang menyadari tatapan Ethan.

Ethan hanya tertawa pelan. Lalu memalingkan pandangan. "Lo bener-bener punya telepati sama otak gue, ya."

"Elah, namanya juga temen, Than. Gue kan nggak kenal lo dari F*."

Ethan kembali tertawa. Kali ini ia merunduk menatap es susu cokelatnya. Ethan memandang pantulan dirinya dari sana, kemudian tersenyum menyeringai. 

Ethan sudah memikirkan bagaimana ia akan menjadikan Jennifer sebagai batu loncatan untuk mendekati Joanna. Lalu merayu Joanna agar menyuruh Lingga untuk mengikuti turnamen futsal semester ini. Agar fokus Lingga dari program beasiswa teralihkan. Dan dengan begitu nama Ethan akan jadi kandidat paling kuat yang bertahan di sana.

"Lo masih serius mau nyingkirin Lingga?" tanya Joshua, seakan bisa membaca pikiran Ethan dan segala akalnya itu.

"Serius, lah. Kalo udah jadi ACE di futsal ya futsal aja. Nggak usah ngurusin program beasiswa segala. Bikin repot aja,"

"Ck, bokap lo kan orang mampu, tiap hari lo bawanya mobil. Nggak usah segitunya ngejar beasiswa kali, Than. Kasian mereka yang ngerjar beasiswa emang karena nggak mampu."

Ethan sontak tertawa. "Gue juga nggak mampu."

Nggak mampu dapet pengakuan di keluarga gue sendiri.

Joshua mengernyit ketika Ethan meneguk es susu cokelat dengan tenangnya. Joshua tak pernah tahu. Hidup bagi Ethan adalah kompetisi. Bahkan sejak lahir, ia harus berjuang mendapatkan perhatian orang tuanya. 

Bagi Ethan, yang menyenangkan dari sebuah kompetisi bukan persaingannya. Tapi bagaimana menjatuhkan lawan dalam diam, bahkan tanpa pergerakan. Ethan menyukai itu. Raut kecewa di wajah mereka, Ethan sangat menikmatinya. Perasaan hilang harapan dan putus asa itu, Ethan ingin orang lain merasakannya sampai ke tulang.

**

Sudah terhitung 3 hari sejak Abian mampir ke rumah. Dan ini hari pertama Ella kembali masuk sekolah setelah absen satu hari. Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, Ella baru bisa memalingkan pandangan dari punggung Abian yang duduk di bangku deret depan.

"Mata lo ke sana mulu, kayaknya." tegur Lucy menyikut Ella pelan sembari mengaitkan ranselnya ke pundak.

Ella pun tersentak kecil. Ia mengejap tersadar beberapa kali. Mengingat pikirannya memang agak kacau beberapa hari terakhir. 

Kalau dibilang khawatir, Ella khawatir. Sisi itu yang tak pernah Ethan lihat. Ethan hanya terus menganggap Ella menyambut kehadiran Abian di rumah. Ethan tak pernah tahu Ella juga khawatir Abian melihat Ethan. Selama sakit juga Ella berpikir bahwa Abian sudah menyebarkan tentang kehadiran saudara kembar Ella, Ethan. Namun melihat suasana kelas yang kondusif begini, Ella jadi ragu dengan segala tuduhannya.

"Abian bilang sesuatu nggak, pas gue nggak masuk?" tanya Ella.

"Nggak. Nggak ada apa-apa, sih. Kenapa emang?" tanya Lucy balik.

"Dibaperin kan lo sama Abian. Terus kepikiran, aaa." goda Fara tersenyum jahil. "Abian belum bilang apa-apa, sih. Belum bilang lo cakep, atau nanyain elo. Tapi tunggu waktu aja, nanti matanya Abian juga sadar kalo lo emang secantik itu."

"Fara apaan, sih." balas Ella risih.

Namun Fara hanya menaggapi dengan kekehan ringan, Lucy pun juga. Membuat Ella merotasikan mata malas. Ketika mereka beranjak keluar dari kelas, Ella tak sengaja menyenggol lengan Abian. Membuatnya refleks meminta maaf, namun Abian hanya merespons santai. Menjadikan Fara dan Lucy heboh.

Ella semakin risih. Ia mendengus pendek dan berjalan mendahului dua temannya. Yang lalu disusul dengan heboh. 

18 tahun hidup, Ella tidak pernah pacaran. Lucu memang. Tapi dia menghindari segala macam kisah cinta dan segala yang menyebabkannya. Bukan sekali dua kali Ella menerima pernyataan cinta sejak duduk di bangku SMA, tapi tidak ada yang Ella terima. Banyak rumor beredar bahwa Ella lesbian, tapi Ella tak mendengarkan semua itu. Ella tetap menjaga jarak dari semua laki-laki di sekolah. Demi menghindari drama dan segala perasaan menyebalkan yang tidak Ella inginkan.

Orientasi seksual? Bukan. Ethan? Entahlah. 

Yang jelas, Ella melakukan ini bukan untuk sesiapa, melainkan untuk dirinya sendiri. Kalau didengar memang lucu. Ella belum bisa melupakan seseorang yang ia cintai semasa SD. Agak mustahil dan menggelikan. Namun ini yang terjadi. Ella hanya mencoba jujur pada dirinya sendiri ketimbang menjalin hubungan dengan perasaan yang dipalsukan.

Sebab sudah terlalu banyak yang ia palsukan di hidupnya, bukan?

**

"Ethan?"

Ethan melebarkan mata. Tubuhnya membeku melihat Jenn yang ada di depannya. Ini daerah sekolah Ella, dan ada Jenn. Mimpi buruk.

"Kamu... ngapain di sini?"

"Aku? Aku jemput Joanna, dia sekolah di sini." jawab Jennifer menunjuk sekolah elite khusus perempuan di depan sekolah Ella. "Kamu sendiri?"

"Aku— eum, ah, aku beli obat batuk." bohong Ethan sebisanya. Toh, ia ada di parkiran apotek, akan masuk akal, bukan. "Kemarin setelah kita pergi hujan, kan. Aku, aku, agak demam. Uhuk," sambungnya memalingkan  wajah.

Jenn mengangkat satu alis, heran. Namun pada akhirnya ia mengangguk. Hingga tak lama kemudian seorang gadis keluar dari apotek dan mendepati Jenn.

"I'm done. Let's go." katanya merangkul lengan Jenn. Namun beralih pada Ethan, dan menatap Jenn bergantian. "Ini... who?"

"Joshua's friend. Yang gantikan hari Sabtu lalu." kata Jenn menjelaskan. "Than, ini Joanna. My cousin, yang aku bilang waktu itu." 

"Oh, iya." Ethan mengangguk canggung. Lalu mengulurkan tangan. "Ethan." 

 "Joanna." jawabnya menyambut jabatan tangan Ethan. "Maaf, ya. Waktu itu gue nggak bisa datang. Ya lo tau lah—"

"Iya. Gak papa, santai." kata Ethan tersenyum canggung. Perasaannya tidak enak setelah melihat dua test pack dari kantong plastik putih apotek yang dibawa Joanna.

Ah, tidak. Seharusnya tidak ada yang perlu dikejutkan, bukan. Mereka ini dua gadis dari budaya yang berbeda. Ethan tak perlu jadi norak dan canggung begini. Seperti ini adalah hal tabu yang masih sangat baru baginya.

"Gue duluan deh, ya. Salam buat Joshua." pamit Joanna.

"Iya, hati-hati." 

Joanna dan Jennifer pun beranjak pergi dari sana. Mereka menyeberang jalan dan masuk ke mobil yang terparkir di sana. Ethan hanya menatap dua gadis itu dari ujung jalan sampai mereka benar-benar pergi.

Sementara itu, Jenn di kursi kemudi tersenyum tipis.

"Kenapa?" tanya Joanna menyadari hal itu. "You like him?"

Jenn terkekeh pelan. "Menurutmu?" tanyanya balik. "Aku sudah buat keputusan, Jo."

"Untuk?" Joanna mengernyit melihat senyuman di bibir Jenn, apalagi gadis itu juga tak langsung menjawab. Nampak bermain-main. "Liburan musim panas... diperpanjang?"

Lampu lalu lintas menyala merah. Jenn menghentikan mobil tepat di belakang zebra cross, lalu ia menoleh dan menatap Joanna lurus. "Aku pindah ke Indonesia."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status