"Lo liat dua cewek tadi?"
"Ha?" Ella yang baru saja tiba sembari menyedot boba mengernyit melihat raut panik Ethan. "Siapa? Yang mana?"
"Bule. Rambut coklat bergelombang."
"Enggak, nggak tau. Nggak liat. Gue abis ngantri beli boba," jawab Ella apa adanya, sambil dua tangannya menunjukan boba brown sugar yang ia beli.
Mendengar jawaban itu, Ethan bersandar pada mobil sembari menghela napas lega. Ia memegangi dadanya sembari mengambil napas panjang. Antrian boba memang cukup panjang. Kalau pun mereka berpapasan, maka seharusnya Jenn atau Joanna hanya melihat punggung Ella saja.
"Besok cat rambut lo." kata Ethan masuk ke mobil.
"Hah?" Ella tersentak kecil. Dan ikut masuk lewat pintu samping. "Cat rambut gimana? Gue kan masih sekolah, kena peraturan dong, El."
"Terserah. Yang penting lo nggak keliatan mirip gue." jawab Ethan sembari menyalakan mesin mobil.
"Lo nggak mau keliatan mirip? Ya udah, lo aja yang semir."
Ethan melirik. "Kenapa lo jadi nyuruh gue?"
"Ya lo sendiri kenapa ngatur-ngatur warna rambut gue?"
Ethan dan Ella saling melempar tatapan sinis. Dua saudara kembar yang dibesarkan dengan badai, punya kepala sama-sama keras, tidak suka diatur dan tidak ingin mengalah.
"Lo tau, La? Gue nggak pernah berharap terlahir jadi saudara kembar lo."
"Terus lo kira gue pernah berdoa buat punya saudara kembar kayak lo?" balas Ella melepas emosi di titik didihnya. "18 tahun hidup yang lo lakuin cuma nyalahin keadaan. Lo tau? Lo itu cowok tercemen yang pernah gue kenal, Emmanuel."
Ella membuka pintu mobil, lalu keluar dengan membantingnya kasar. Ella beranjak pergi menjauh. Langkahnya mengarah ke halte bus. Sementara Ethan terdiam di tempat sembari mengepalkan tangan.
"BRENGSEK!" umpatnya sambil memukul stir.
Sementara Ella terus berjalan. Ia tidak peduli apa yang terjadi di belakang dan terus berjalan ke depan. Ella tak punya keinginan untuk menoleh. Ia memasuki halte yang sudah sepi seiring sore dan duduk sendirian di sana.
Ella merunduk. Ia memasang earphone dan memutar lagu di ponselnya. Ella merunduk untuk menyibukkan diri. Lantunan Perahu Kertas oleh Maudy Ayunda terdengar. Tak lama kemudian disusul dengan suara klakson berkali-kali.
Ella sudah muak. Itu bukan suara klakson bus, mungkin saja itu klakson Ethan. Tapi Ella sudah tidak ingin melihat wajah kakak kembarnya itu hari ini. Namun suara klakson terus menganggu Ella, sampai mau tak mau gadis itu pun mengangkat kepalanya. Lalu terdiam.
Mendapati cinta pertama sekaligus sahabat lamanya. Di sana. Di atas motor. Ekspresinya agak terkejut namun bibirnya membentuk sebuah senyuman manis yang Ella rindukan.
"Seno?"
**
Linda yang sedari tadi sudah menunggu di bangku taman itu seketika langsung berdiri ketika melihat bayang-bayang seorang pemuda berjalan mendekat padanya. Linda menatap diam di tempat. Terlihat tenang. Namun kerutan di dahinya tak bisa dibohongi ketika melihat raut wajah lemas Ethan mendekat padanya.
"Kenapa, Sayang? Kenapa?" tanya Linda.
Namun Ethan tak menjawab. Ia hanya langsung menaruh kepalanya di pundak Linda, membiarkan semua rasa lelah di pundaknya itu menguap.
Linda terdiap sesaat. Sampai akhinya ia menghela napas, kemudian mengusap kepala Ethan lembut. "Capek? Kenapa? Masalah saingan beasiswa sama Lingga lagi?"
Ethan masih tak menjawab. Ia justru melingkarkan lengannya ke punggung Linda, lalu mendekap pacarnya itu hangat. Linda hanya diam, tersenyum tipis. Tahu sekali Ethan sedang ada di titik bekunya.
"Semester lalu kamu bisa kalahin dia, kan? Udah tenang aja, Lingga itu bukan apa-apa buat kamu kok."
Ini soal Ella.
Ethan menahan jawaban itu dalam benaknya. Hari mulai makin petang dan orang-orang semakin banyak melintasi taman ini. Membuat Ethan akhirnya termundur. "Stress banget mikirin Lingga. Mana ujian-ujian juga bentar lagi."
Linda tersenyum tipis. "Kamu udah kepikiran mau kuliah di mana?"
"ITB, mungkin. Atau aku ngambil program beasiswa keluar negeri." jawab Ethan masih pelan, lesu. "Terlalu muluk nggak, sih?"
"Enggak lah, kamu kan langganan beasiswa. Aku nggak kaget." kata Linda tenang. "Tapi ya, cuma agak kecewa aja."
"Kecewa?" Ethan mengernyit. "Kenapa?"
"Yaaa, kalo kamu ngambil beasiswa ke luar negeri, berarti kita LDR, kan?" tanya Linda masih mencoba tenang. "Kuliah di Indonesia aja belum tentu kita satu daerah. Apalagi kamu harus ngambil beasiswa ke luar. Aku, aku cuma nggak yakin bisa naggung kangen sebesar itu."
Ethan terdiam. Ia merunduk menatap Linda tanpa jawaban.
Sebut saja Ethan terlalu fokus dengan segala kompetisi dalam hidupnya. Berjuang keras dengan kepala batu untuk menggapai semua tujuan di depan mata pindah dalam genggaman. Sampai Ethan lupa bahwa akan ada orang yang selalu menunggunya untuk pulang. Ethan benar-benar lupa.
"Maaf," kata Ethan. Entah apa yang bisa ia katakan selain itu. "Nanti aku pikirin lagi."
"Joshua gimana?"
"Joshua?"
"Hm."
Ethan menatap Linda heran. "Kamu nanyain dia?"
"Iya. Temen kamu juga, bukan orang lain, kan. Kenapa?"
"Oh iya," Ethan terkekeh pelan. Lalu menepuk keningnya sendiri. Terlalu banyak yang ia pikirkan akhir-akhir ini, sampai Linda menanyai soal orang-orang di sekitarnya saja, Ethan sudah sensitif duluan. "Joshua setauku mau ke UGM. Tapi dia udah siapin univ swasta lain kalo sampai nggak keterima, sih."
"Oh ya? Cepet, ya." puji Linda.
"Cepet?"
"Iya, cepet. Dia udah nenutin keputusan."
Ethan tidak tahu kenapa. Tapi ada air mendidih yang kembali meletup-letup dalam dirinya. Ini gila. Semakin gila. Ethan tertawa pelan dan mundur selangkah. Tak ingin Linda ikut jadi sasaran kemarahan dirinya yang memang sedang sangat emosional beberapa hari terakhir.
**
"Lo pindah? Berarti udah nggak di Surabaya lagi sekarang?"
Seno mengangkat dua alis sebagai jawaban. Sementara mulutnya itu masih dipenuhi dengan chicken pop.
"Sekolah juga pindah? Pindah ke mana?"
Seno tak langsung menjawab. Ia nampak mengunyah chicken pop di mulutnya, menunggu sampai makanan itu turun terlebih dulu. "Jangan kaget tapi," Seno mengelap saus sambal di sudut bibir Ella. "Gue satu sekolah sama elo."
"Hah? Serius?" Ella melebarkan mata seketika.
"Hm. Gue udah ngurus berkas tadi pagi, sekitar jam delapan. Terus gue liat nama lo ada di absen kelas MIPA 3." jawab Seno sembari menyuapkan chicken pop ke mulutnya kembali. "Gue satu jurusan sama elo."
"Hah serius? MIPA berapa?"
"MIPA 1."
"Woah," Ella meneguk ludah. Terkejut dengan jawaban Seno.
Di sekolah Ella, murid masuk ke kelas sesuai dengan nilai ujiannya. Tentu ada ujian lagi sebelum penentuan kelas, isi raport pun juga dinilai. Namun setahu Ella, Seno dulu tidak sepintar itu untuk masuk ke MIPA 1. Tapi yah, semua orang berubah, kan. Apalagi ini sudah bertahun-tahun mereka tak bertemu.
"Bagus. Kelas unggulan. Urut satu, lagi. Gila." pujinya sembari mengangguk-anggukkan kepala, antara bangga, iri, dan masih terkejut juga.
Seno tersenyum tipis. "Lo udah punya pacar, La?"
Ella seketika terdiam. Ia agak membelalak, tak siap ditanya begitu.
Gue nungguin elo selama ini, Sen.
Ella meneguk saliva. Menahan jawaban itu hanya dalam kepalanya. Ella memalingkan wajah, lalu berdeham kecil. "Belum." ujarnya singkat. "Lo sendiri?"
"Belum juga, sama." Seno tertawa pelan. "Emang kita itu best friend goals banget nggak, sih? Gini aja kompak."
Ella ikut tertawa, tawa palsu. Jujur ia agak kecewa kalau Seno hanya menganggapnya teman. Bahkan ketika perasaan Ella amat sangat meledak setelah tidak bertemu Seno beberapa tahun belakangan. Seno juga jadi orang yang membuat Ella mengunci hatinya rapat, tidak bisa menerima orang lain. Bahkan hingga detik ini.
Dan Seno memperjelas bahwa mereka hanya teman. Lucu sekali.
"Gue kangen sama lo, La."
Ella yang tadinya hendak meraih cola seketika menyemburkan minumannya. Ia terbatuk kecil, membuat Seno terkejut dan langsung memberikannya tissu.
"Pelan-pelan, nih tissu." kata Seno maju mendekat. "Minum dulu, minum." sambung Seno memberikan minuman lemon teanya.
Ella menerima tissu pemberian Seno. Ia mundur dan mencoba menenangkan dirinya sendiri. Sementara Seno menatap Ella seksama, membuat Ella kembali meneguk salivanya berat.
Kehadiran Seno benar-benar membuat jantung Ella tidak aman.
Bugh! Pukulan kembali mendarat di pipi kiri Ethan. Membuat dirinya yang kehilangan keseimbangan itu jatuh tersungkur ke lantai. Malam sudah semakin gelap dengan wajah Ethan yang penuh luka. Bahkan sampai sebuah darah kering di sudut bibirnya. Sementara Bunda hanya duduk diam di sofa. Menundukkan pandangan pada layar Tab seakan tak melihat atau mendengar suara anaknya dipukuli sampai jatuh. Ethan diam tak bangkit untuk beberapa saat. Membuat Ayah berjalan mendekat, menatap Ethan tajam. "Kenapa? Udah nggak kuat?" Ethan diam, tak menjawab. "Bundamu lebih capek punya anak yang nggak pernah bisa jaga adiknya." Ethan mengepalkan tangan. Benaknya sudah siap dengan segala macam jawaban, tapi Ethan tetap memilih diam. Berdebat dengan Ayah hanya akan memperburuk suasana. Apalagi sampai lebih berisik dari ini, tetangga bisa datang. Merintih atau meminta ampun juga percuma, Bunda tak akan menoleh. "Nggak ada penyesalannya?"
"Wih, preman gang mana, nih!"Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah.""Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal."Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh.""Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin.""Bentar lagi juga cerai. Liat aja.""Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."
Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh. Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri? "Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih," "Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya. Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?" "Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang. Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak
Minggu pagi, Ella membantu Bunda memotong wortel di dapur. Sajian untuk sarapan sudah selesai, namun Ella ingin menyiapkan sedikit untuk maka siang nanti, juga. "Kak El dibanguinin, sayang. Sama Ayah juga. Suruh turun sarapan, ya." kata Bunda lembut pada Ella. Ella mengangguk patuh. Ia pun berjalan menuju kamar Ayah. Namun belum berapa langkah Ella hendak meninggalkan dapur, Bunda memanggil. "Ella, tangan kamu kenapa, Nak?" kata Bunda mendekat dengan kerutan di dahi. "Kok merah begini?" "Oh, ini," Ella meneguk ludah, memikirkan karangan cerita dengan cepat. "Kepentok tangga di sekolah. Waktu mau upacara kan rame, aku nggak hati-hati." "Ya ampun, kok gitu sih." Bunda menghela napas berat. "Tapi nggak sakit, kan? Atau sakit dipegang begini?" Ella meringis. Menahan rintihan saat Bunda menekan tangannya. "Enggak kok, Bunda." bohongnya. "Aku manggil Ayah sama Kak El dulu." kata Ella bergegas pergi. **
"Lo pulang duluan aja. Gue udah bilang ke Bunda hari ini ada kerja kelompok di rumah temen gue." Tanpa butuh mendengar jawaban dari ujung telepon sana, Ella langsung memutus sambungan telepon. Lalu mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket bomber. Dari sudut tersepi di sekolah, Ella pun berjalan ke parkiran. Menyambut tiga temannya yang sudah menunggu. "Yuk." "La, kita nggak bisa pesen taksi. Kalo lo naik bus sama Abian, gimana?" kata Fara agak tidak enak. "Vouchernya Fara abis. Lo biasa naik bus, kan. Hapal rutenya, dong." kata Lucy menambahi. "Bisa, kan?" "Yaaa, bisa, sih. Hapal." jawab Ella lalu beralih pada Abian. "Tapi lo gimana?" "Gue tadi pagi nebeng kakak gue ke kampus, sih. Gue nggak bawa motor. Jadi ya bareng sama lo naik bus." "Enggak. Bukan itu maksud gue," Ella menggelengkan kepalanya. "Lo nggak masalah naik bus?" "Nggak masalah. Gue nggak mabok, kok." "Hm." Ella sontak mengangkat dua alis, l
"Gue main gitar, deh. Lagu ini kayaknya cocok kalo dibawain pake gitar. Gue cobain chordnya dulu." kata Abian beranjak mengambil gitar, lalu duduk di salah satu bangku di sana.Sementara Ella terdiam di tempat mengulum bibirnya ke dalam. Merasakan perasaan aneh yang merepotkan. Ah, seharusnya sekarang tidak begini.Fara mengangguk setuju. Sebagai orang yang paling kenal musik di ruangan itu, Fara pun dipasrahkan untuk mengatur tiap bagian masing-masing. "Eh, kalau kita semua main alat musik gimana?" celetuknya tiba-tiba. "Lo kan pernah pegang kahon buat band sekolah waktu pensi, Lus. Gue pegang keyboard. Lo gimana, La?""Aish. Gue pengen pegang kahon." Ella mendengus pendek."Ella vokal aja, kali." kata Abian menyarankan."Oke, sama elo, ya. Aransemen dikit ditambahan suara bariton kayaknya cocok." jawab Fara setuju. "Pas bagian reff kalian berdua nyanyi bareng, ya."Ella meneguk ludah, agak merasa tak percaya diri. Namun mereka semua nampak
"Bunda udah nanyain aku." "Hm?" Linda yang baru saja kembali duduk di kursi pada teras rumahnya dengan dua gelas jus jeruk itu menoleh dengan dua alis terangkat tinggi. "Soal apa?" sambungnya sembari memberikan satu gelas ke depan Ethan. "Soal kamu." kata Ethan meneguk ludah. "Kapan ke rumah." ucapnya menatap ke luar, tidak melempar tatap sedetik pun pada Linda. Raut wajah Linda pun seketika berubah. Ia duduk tegak, nampak diam selama beberapa saat dan tidak langsung menjawab. "Gimana ya, Than. Aku..." Ethan menoleh. "Bunda nggak keras, Bunda juga bukan orang yang sempurna banget. Kamu nggak usah insecure, Bunda cuma ingin kamu datang ke rumah, Lin." ucapnya berbohong pada kalimat pertama. Segala tentang keluarganya, Ethan memang tidak pernah terbuka. Jangankan sahabat dekat, Linda yang sudah 5 bulan berpacaran dengan Ethan pun tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah keluarga Rahadi. Setelah kalimat penenang
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa