Bugh!
Pukulan kembali mendarat di pipi kiri Ethan. Membuat dirinya yang kehilangan keseimbangan itu jatuh tersungkur ke lantai. Malam sudah semakin gelap dengan wajah Ethan yang penuh luka. Bahkan sampai sebuah darah kering di sudut bibirnya.
Sementara Bunda hanya duduk diam di sofa. Menundukkan pandangan pada layar Tab seakan tak melihat atau mendengar suara anaknya dipukuli sampai jatuh.
Ethan diam tak bangkit untuk beberapa saat. Membuat Ayah berjalan mendekat, menatap Ethan tajam. "Kenapa? Udah nggak kuat?"
Ethan diam, tak menjawab.
"Bundamu lebih capek punya anak yang nggak pernah bisa jaga adiknya."
Ethan mengepalkan tangan. Benaknya sudah siap dengan segala macam jawaban, tapi Ethan tetap memilih diam. Berdebat dengan Ayah hanya akan memperburuk suasana. Apalagi sampai lebih berisik dari ini, tetangga bisa datang. Merintih atau meminta ampun juga percuma, Bunda tak akan menoleh.
"Nggak ada penyesalannya?" tanya Ayah bersiap kembali memukul Ethan.
"Maaf, Ayah." kata Ethan akhirnya.
Ayah diam menatap Ethan. Tangannya masih melayang di udara. Dan Ethan menunduk, tak berani melihat kepalan tangan itu. Sekarang Ethan tahu, pemandangan seperti ini yang mungkin Ella lihat saat ia melihat tangan Ethan melayang di udara hendak memukulnya. Membuat Ethan sekarang tak tahu, harus kasihan pada Ella atau dirinya sendiri.
"Maafmu bisa kembalikan Ella, nggak?"
Terus harus minta maaf atau enggak?
Ethan menahan semua kalimat itu dan segala bantahan dalam otaknya. Ia menahan keinginan besar untuk berdebat dengan Ayah. Ethan hanya menunduk, tidak memberi jawaban. Lalu satu tendangan keras dari Ayah menyambut ke perut Ethan. Membuat pemuda itu pun terbatuk seketika.
"Jangan bangga, Ethan. Kamu ini bukan siapa-siapa."
Ethan terdiam. Sementara Ayah berbalik dan mengambil kunci mobil.
"Tolong mantel, Bun." kata Ayah.
Bunda pun seketika bangkit dan mengambilkan mantel untuk Ayah.
"Aku cari Ella dulu." pamit Ayah pada Bunda. Kemudian maniknya melirik Ethan yang terkapar lemah di lantai. "Biar anak yang nggak tahu diri di sana itu bisa tau, khawatirnya orang tua itu kayak gimana."
Belum berapa langkah Ayah beranjak, pintu tiba-tiba terbuka dan menampilkan Ella dibaliknya. Gadis itu menatap Ethan, diam mendapati kakak kembarnya yang terkapar lemah penuh bekas luka.
"Ya ampun Ella! Dari mana, Nak?" ujar Bunda langsung mendekat. "Kamu kok nggak bareng Kak El? Kamu pulang naik apa? Ada yang jahatin kamu dijalan?"
Ella masih melirik Ethan. Namun pada akhirnya ia melengos. "Aku pulang naik bus, Bunda." jawabnya singkat. Kemudian beranjak naik meninggalkan segala chaos di ruang tengah.
Ayah dan Bunda yang melihat itu pun terdiam. Bunda menghela napas berat, ia menyusul Ella ke kamar. Ethan mencoba berdiri sendiri. Ella sudah pulang dan seharusnya semua keributan ini selesai. Namun Ayah mengambil jus jeruk Bunda di meja.
PRAK!
Ethan merintih ketika Ayah melempar gelas itu pada pelipisnya. Membuat darah mengalir di sana, dan pandangan Ethan perlahan menjadi kabur.
"Kamu lihat itu? Lihat adikmu?" kata Ayah. "Dia pulang kayak begitu. Bundamu khawatir banget. Kalo kamu nggak punya hati nurani, setidaknya pakai otakmu."
Ethan diam, nampak tak mendengarkan. Kali ini pandangannya fokus pada darah yang ada di tangannya, bekas menyentuh luka di pelipis.
Ayah berjalan mendekat. "Katanya penerima beasiswa keluarga Rahadi? Tapi otaknya nggak jalan."
Ethan tak menjawab. Napasnya hanya semakin pelan dan kepalanya makin tertunduk. Tubuh Ethan sedikit gemetar dengan Ayah didekatnya, tak pernah tahu pukulan akan datang dari mana kali ini. Namun di luar dugaan, Ayah justru beranjak menyusul ke kamar Ella.
Sementara Ethan sendirian di ruang tengah sana. Terluka. Berdarah. Ia duduk lemas di lantai dan merangkak bersandar ke sofa, merasai kepala yang pening bukan main dan darah terus mengucur di sana.
Tapi yang lebih dalam dari luka Ethan di pelipis, adalah perasaannya. Hancur lebur tak berdaya. Terlalu mengidamkan hidup Ella yang sempurna. Dikhawatirkan semua orang, pergi karena marahnya sendiri, lalu orang lain menjadi pelampiasan karena Ella tak pulang tepat waktu.
Ketika orang menganggap keluarga Rahadi sempurna, memang sempurna. Sempurna saat Ella baik-baik saja. Sempurna saat Ella ada di rumah. Sempurna saat Ella bahagia.
Ethan ingin hidup sebagai Ella.
**
"Udah denger belum? Katanya bakal ada murid pindahan dari Surabaya, loh."
Ella yang baru saja menaruh ransel di bangkunya itu menoleh. "MIPA 1, kan?"
"Kok lo tau?" sahut Lucy.
"Iya. Temen SD gue." kata Ella menjawab tenang. Ia duduk di bangkunya sementara Fara duduk di meja.
"Wih, kenalin dong, La!" kata Lucy.
"Lo udah punya pacar. Sadar diri kek, Tan!" ujar Fara menoyor kepala Lucy. Membuat gadis itu mengumpat kasar.
Ella hanya tersenyum tipis. Tak mengikuti perdebatan kali ini. Ia mengambil buku biologi sebagai mapel pertama dan alat tulis dari dalam tasnya.
"Anaknya tinggi, ganteng. Alisnya juga tebel kayak orang India, gitu." cerocos Lucy masih melanjutkan. Yang akhirnya mengundang hujatan dari Fara.
Ella tersenyum tipis. Pesona Seno memang tak bisa dihindari. Dari dulu memang banyak perempuan yang menempel padanya. Sebab Seno menang setampan itu. Teman-teman kelas Seno juga ikut mendapat surat cinta. Tapi semua itu hanya titipan, agar disampaikan pada Seno. Benar-benar seperti cinta monyet anak SD.
Ella juga jadi salah satu orang yang menyukai Seno. Tapi bedanya, Ella tetap diam. Dia tak menunjukkannya sedikit pun. Tak mengirim surat, hanya jadi teman di orbit Seno. Tak lebih.
Jadi kalau sekarang Seno hanya menganggap Ella sebagai sahabatnya, itu bukan sepenuhnya salah Seno. Ella sendiri tak pernah berubah. Dari dulu dia tak pernah berani maju.
Dering bel berbunyi. Menandakan semua siswa harus turun ke lapangan utuk melakukan upacara bendera Senin pagi. Ella pun mengambil topi OSIS di sakunya, dan beranjak keluar bersama Fara dan Lucy.
"Eh, sorry, Bi!" kata Ella saat ia terdorong di antara murid yang lainnya. Tak sengaja hendak menginjak tali sepatu Abian.
"Santai, La. Hati-hati jalannya." jawab Abian tenang.
Ella pun refleks tersenyum tipis dan mengangguk. Untungnya Lucy dan Fara tak menyadari hal itu. Mereka sudah berjalan di depan, kalau Lucy dan Fara tahu, mereka bisa heboh membicarakan Abian seharian.
Ella berjalan ke lapangan dan berdiri di barisan agak depan. Matanya mengedar ke samping, berhenti ke barisan anak MIPA 1. Mencari seseorang di sana. Sampai Ella mendapatinya. Lalu terdiam.
Seno di sana menatap Ella. Dengan senyuman tipis yang khas. Senyuman yang tidak pernah berubah sejak beberapa tahun lalu.
Cinta pertama Ella kini ada di depan mata. Dalam genggamannya.
"Wih, preman gang mana, nih!"Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah.""Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal."Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh.""Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin.""Bentar lagi juga cerai. Liat aja.""Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."
Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh. Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri? "Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih," "Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya. Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?" "Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang. Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak
Minggu pagi, Ella membantu Bunda memotong wortel di dapur. Sajian untuk sarapan sudah selesai, namun Ella ingin menyiapkan sedikit untuk maka siang nanti, juga. "Kak El dibanguinin, sayang. Sama Ayah juga. Suruh turun sarapan, ya." kata Bunda lembut pada Ella. Ella mengangguk patuh. Ia pun berjalan menuju kamar Ayah. Namun belum berapa langkah Ella hendak meninggalkan dapur, Bunda memanggil. "Ella, tangan kamu kenapa, Nak?" kata Bunda mendekat dengan kerutan di dahi. "Kok merah begini?" "Oh, ini," Ella meneguk ludah, memikirkan karangan cerita dengan cepat. "Kepentok tangga di sekolah. Waktu mau upacara kan rame, aku nggak hati-hati." "Ya ampun, kok gitu sih." Bunda menghela napas berat. "Tapi nggak sakit, kan? Atau sakit dipegang begini?" Ella meringis. Menahan rintihan saat Bunda menekan tangannya. "Enggak kok, Bunda." bohongnya. "Aku manggil Ayah sama Kak El dulu." kata Ella bergegas pergi. **
"Lo pulang duluan aja. Gue udah bilang ke Bunda hari ini ada kerja kelompok di rumah temen gue." Tanpa butuh mendengar jawaban dari ujung telepon sana, Ella langsung memutus sambungan telepon. Lalu mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket bomber. Dari sudut tersepi di sekolah, Ella pun berjalan ke parkiran. Menyambut tiga temannya yang sudah menunggu. "Yuk." "La, kita nggak bisa pesen taksi. Kalo lo naik bus sama Abian, gimana?" kata Fara agak tidak enak. "Vouchernya Fara abis. Lo biasa naik bus, kan. Hapal rutenya, dong." kata Lucy menambahi. "Bisa, kan?" "Yaaa, bisa, sih. Hapal." jawab Ella lalu beralih pada Abian. "Tapi lo gimana?" "Gue tadi pagi nebeng kakak gue ke kampus, sih. Gue nggak bawa motor. Jadi ya bareng sama lo naik bus." "Enggak. Bukan itu maksud gue," Ella menggelengkan kepalanya. "Lo nggak masalah naik bus?" "Nggak masalah. Gue nggak mabok, kok." "Hm." Ella sontak mengangkat dua alis, l
"Gue main gitar, deh. Lagu ini kayaknya cocok kalo dibawain pake gitar. Gue cobain chordnya dulu." kata Abian beranjak mengambil gitar, lalu duduk di salah satu bangku di sana.Sementara Ella terdiam di tempat mengulum bibirnya ke dalam. Merasakan perasaan aneh yang merepotkan. Ah, seharusnya sekarang tidak begini.Fara mengangguk setuju. Sebagai orang yang paling kenal musik di ruangan itu, Fara pun dipasrahkan untuk mengatur tiap bagian masing-masing. "Eh, kalau kita semua main alat musik gimana?" celetuknya tiba-tiba. "Lo kan pernah pegang kahon buat band sekolah waktu pensi, Lus. Gue pegang keyboard. Lo gimana, La?""Aish. Gue pengen pegang kahon." Ella mendengus pendek."Ella vokal aja, kali." kata Abian menyarankan."Oke, sama elo, ya. Aransemen dikit ditambahan suara bariton kayaknya cocok." jawab Fara setuju. "Pas bagian reff kalian berdua nyanyi bareng, ya."Ella meneguk ludah, agak merasa tak percaya diri. Namun mereka semua nampak
"Bunda udah nanyain aku." "Hm?" Linda yang baru saja kembali duduk di kursi pada teras rumahnya dengan dua gelas jus jeruk itu menoleh dengan dua alis terangkat tinggi. "Soal apa?" sambungnya sembari memberikan satu gelas ke depan Ethan. "Soal kamu." kata Ethan meneguk ludah. "Kapan ke rumah." ucapnya menatap ke luar, tidak melempar tatap sedetik pun pada Linda. Raut wajah Linda pun seketika berubah. Ia duduk tegak, nampak diam selama beberapa saat dan tidak langsung menjawab. "Gimana ya, Than. Aku..." Ethan menoleh. "Bunda nggak keras, Bunda juga bukan orang yang sempurna banget. Kamu nggak usah insecure, Bunda cuma ingin kamu datang ke rumah, Lin." ucapnya berbohong pada kalimat pertama. Segala tentang keluarganya, Ethan memang tidak pernah terbuka. Jangankan sahabat dekat, Linda yang sudah 5 bulan berpacaran dengan Ethan pun tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah keluarga Rahadi. Setelah kalimat penenang
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa
"Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar