Share

The Real Successor
The Real Successor
Penulis: Azra Tyas

1 | Di Belakang Pasar

          Hari ini isi jalanan begitu buruk. Kami semua, yakni kaum aspal dan kaum lampu merah berjibaku dengan asap, pekatnya lumpur jalanan dan guyuran hujan. Di atas kepala kami, guruh yang menggema berbarengan dengan rintik hujan, membersihkan legamnya tubuh kami yang biasanya berpeluh. Hujan lebat menerpa mulai dini hari, betah sekali turun hingga tengah hari. Untungnya daerah kami tidak mudah banjir. 

       Sudah dari tengah malam aku sudah terjaga karena aku hanya bisa makan sebungkus nasi kucing kemarin. Jadilah semalaman perutku perih melilit. Aku tidak dapat tidur karena itu. Di siang hari ini, melihat kenyataan uang yang aku dapatkan dari hasil mengamen di lampu merah juga begitu cekak. Paling tidak bisa aku gunakan untuk membeli nasi kucing untuk mengganjal perihnya perutku.

       Hujan yang turun dari semalam seolah tidak rela berhenti begitu saja membiarkan aku mendapatkan uang hingga siang ini. Mungkin ia tahu aku sedang flu. Jadi memang seharusnya aku tidak keluar hari ini. Hujan ini seperti diperintahkan turun untuk membuatku diam beristirahat di dalam kontrakanku yang sangat kecil. Tapi mau bagaimana lagi, tuntutan pusaran hidup, menjurusku menghimpun recehan sebanyak yang aku bisa.

      Setelahnya, aku hitung uang yang aku dapatkan total hanya dua puluh lima ribu rupiah. Sungguh jumlah ini masih kurang untuk membayar hutang kopi ku di warkop langgananku. Aku harus mencari tambahan lagi. Jika tidak, maka aku harus tidur dengan perut keroncongan lagi.

     Aku putuskan berlanjut dari rumah ke rumah. Aku jadi memikirkan ulang jika harus singgah di depan pintu para 'donatur terpaksa' saat harus berbasah kuyup di teras rumah mereka. Pastinya itu bisa membuat mereka jengkel karena kaki kotorku. Kenapa aku bilang 'donatur terpaksa'? Jelas saja, karena pastinya ada di antara mereka yang terpaksa memberikan walau sekedar recehan kepadaku.

    "Permisi!" aku mulai memberi sinyal kedatanganku, mulailah kupetik ukulele yang sama lusuhnya dengan kemejaku.

     "Lewatin aja, Mas! Gak ada receh!" teriak wanita pemilik rumah dari dalam.

     Hingga aku berpindah lagi ke rumah yang lain. "Permisi!" aku lakukan lagi, lalu mulai bernyanyi.

    Tapi Byurrr! Tiba-tiba aku rasakan guyuran air mungkin sebanyak satu ember tepat jatuh menggebyur di atasku, "Haacihhh ...! Hah!" aku pun kembali basah dan mulai bersin-bersin.

    "Ya ampun, Mas! Maaf ya, aku nggak tahu ada orang di bawah!" ucap seorang wanita pemilik rumah dari lantai atas yang kepalanya menjulur keluar melihatku dari jendela kamarnya.

    Rasanya aku ingin mengumpat. Pakaianku baru saja setengah kering. Namun, aliran darahku biasa tertahan dengan semua keadaan ini. Jadinya, kuabaikan sajalah.

     "Lagi pula ini ngapain sih ini ngamen di sini? Saya telpon Pak RT saja kamu supaya di usir dari sini! Harusnya lingkungan ini bersih dari para pengamen semacam kamu ini, pergi sana!" celetuk Pria paruh baya lain dari arah dalam yang sepertinya suaminya, yang baru saja keluar tapi malah mengusirku.

    Dan begitu saja terus, dari sejumlah rumah yang aku datangi, hanya ada sebelas rumah saja yang memberiku recehan. Yang lain menolak. Aku pasrah jika mungkin tidak bisa mendapatkan banyak dengan nyanyian suaraku yang serak karena batuk dan flu ku masih kuderita ini.

     Badanku kembali meriang gara-gara guyuran ibu tadi. Padahal flu ini sudah menyerangku lima hari ini. Sambil berjalan di kawasan Pasar Besar, aku menghitung beberapa uang logam seribuan yang aku genggam di tangan. Dari jumlah yang telah aku sisihkan, sudah cukup untuk membayar hutangku di warung makan langgananku. Juga selembar uang dua ribuan yang basah karena genggamanku yang kuyup.

      "Ampun, Mas! Mau bagaimana lagi? Wong dapatnya ya cuma segitu!" suara teriakan seorang pemuda aku dengar mengerang dari balik pagar yang ku lewati.

    "Sedino ki bayar telung puluh ewu, wes paling sitik, liyane malah seket ewu saben dino!" (Sehari itu bayar tiga puluh ribu, sudah paling sedikit, yang lain malah lima puluh ribu sehari!)  terdengar suara Narko salah seorang preman pasar dengan nada lebih tinggi.

     Lalu dilanjut dengan suara gedebuk pukulan dan tendangan. Ditambah lagi erangan si korban yang merintih kesakitan. Membuatku tertarik untuk melihat lebih lagi. Sebenarnya aku tidak mau berurusan dengan gerombolan preman satu ini. Bukannya takut, tapi aku tidak mau menambah masalah hidupku. Sudah cukup bagiku kesulitan yang aku alami, aku tidak mau menambah ceritanya menjadi lebih pahit lagi.

    Aku mencoba memanjat dan aku melihat seorang pria berbadan kecil sedang diangkat terbalik oleh Narko yang berbadan tinggi besar dengan lengannya yang besar berotot kekar dan legam. Pria kecil yang ditenteng terbalik itu tampak pasrah saat semua isi kantongnya berjatuhan berceceran di lantai tanah. Pemandangan yang ironi memang. Tapi sudah kebiasaan mereka berbuat seperti itu.

     Anak buah Narko pun memunguti uang dan beberapa barang yang berjatuhan itu dan menyita yang mereka anggap berharga. Termasuk ponsel pria kecil itu. Setelah semua barang mereka sita, pria kecil itu dijatuhkan dengan entengnya oleh Narko. Setelah itu Narko melenggang pergi tanpa mau menengok korbannya lagi.

    "Mas, itu hape saya satu-satunya, Mas! Jangan diambil, Mas! Buat telpon embok dan adek saya di desa!" ujar pria itu kemudian mengejar Narko saat ia menyadari ponselnya lolos dari kantong celananya.

   "Kowe kuwi wis paling tak penak ne kok sek kurang ae! Sadhuk ae iki sing paling tepak!!" (Kamu itu sudah tak mudahkan kok masih kurang saja! Tendang saja ini yang paling pantas!) seru Narko seraya menepuk anak buahnya yang berbadan sama kekarnya dengan dia menyuruhnya menendangi pria pemilik ponsel itu.

    Kasihan sekali aku melihatnya. Kebetulan ada beberpa ulat bulu yang melintas melewati pagar di depan mataku. Aku ambil saja ulat itu dengan daun kering. Sedangkan Narko dan tiga anak buahnya yang lain masih sibuk menghantam berkali-kali. Hingga saat terakhir mereka akan menyudahinya dengan beberapa tendangan tubuh pria kurus itu. Sambil merekamnya diam-diam, aku tenang saja di tempatku mengintip, aku jatuhkan satu per satu ulat bulu yang aku temukan itu ke atas kepala mereka tanpa mereka tahu. Aku masukkan kembali ponselku ke kantong setelah beberapa kali mengambil gambar dan video pemukulan itu. Aku melanjutkan perjalanan ku dan aku melewati pria kecil yang masih terisak kesakitan itu.

       "Opo iki? Aku gatal kabeh rasane!" (Apa ini, gatal semua rasanya!) celetuk salah satu anak buah Narko rupanya dia mulai merasakan ruam di lengannya.

      "Eh aku iyo, iki gegerku panas! Guatal banget!" (Aku juga ini punggungku rasanya panas! Gatal banget!) celetuk Narko menggaruki punggungnya.

     "Lha iki uler Boss! Ning klambine sampean! Uler geni koyok'e!" (Lha ini ulet, Boss! Di bajumu! Ulat api kayaknya) sahut anak buahnya yang lain mengibaskan ulat itu dari bahu Narko.

     Aku cekikikan sendiri di balik pagar menertawakan berhasilnya aku menggagalkan kejahatan mereka itu. Rasakan saja mereka kali ini. Mereka memang pantas mendapatkannya. Mereka sering menindas orang yang lebih lemah, meminta uang kepada pedagang atau anak sekolah yang lewat. Bahkan melakukan pencurian kendaraan bermotor yang lupa tak dikunci oleh pemiliknya.

      "Uler thok ning kene! Ayo bali ae ning pasar besar! Hapemu tak sita, kowe kudu bayar hutangmu dino iki tambah jatah sesok! Baru hapemu iso balik!" (Banyak ulat di sini! Ayo balik saja ke Pasar Besar! Hapemu saya sita, kamu harus bayar hutangmu hari ini ditambah dengan jatah besok! Baru hapemu bisa kembali!) ujar Narko ke hadapan pria malang itu.

   Setelah para preman itu menyerah dan segera meninggalkan pria malang itu. Aku pun menghampiri untuk melihat keadaannya. Ia menatapku dengan tajam, menatap tubuhku yang tinggi dan tulangku yang tegap dan besar, aku rasa ia mengira jika aku salah satu dari anak buah Narko mungkin. Di wajahnya lebam dan membiru, begitu juga sekujur tubuhnya. Aku mengulurkan tangan padanya.

    "Jangan, Mas! Jangan! Aku sudah nggak punya apa-apa lagi!" serunya seraya menutupi wajahnya dengan kedua lengannya.

    "Ayo, aku bantu berdiri!" sahutku sembari mengangkat tubuhnya.

   Ia pun mengerjap, menatap tanganku yang meraih lengan kurusnya itu. Dengan masih ragu ia pun berdiri dan mengambil tas lusuhnya. Lalu aku berdirikan sepedanya dan membenarkan posisi kotak penyimpan alat jahit sepatunya.

   "Aman, nggak ada yang tercecer!" ucapku setelah melihat kondisi kotak penimpanan di sepedanya itu masih utuh, tidak terbuka sama sekali.

    "Terima kasih, Mas!" ujarnya padaku. Mungkin pandangannya padaku sudah mulai berubah sekarang.

      Aku mengeluarkan sedikit uang ku, dua gapit uang dua ribuan yang tiap gapitnya aku isi dengan sepuluh lembar. "Aku hanya punya ini!" aku memasukkannya ke dalam kantung hemnya yang kumal itu.

      Matanya memandangku diiringi dengan rembesan air, "Terima kasih, Mas!"

      Aku mengangguk dan melenggang pergi setelahnya. Ini sudah lepas siang hari, sudah waktunya aku untuk mencuci piring di warung makan Bu Asih. Tapi sedari tadi pria kecil itu masih mengekor di belakangku sambil menuntun sepedanya. Saat aku menengok ke arahnya ia membuang pandangan ke arah lain.

     Apa dia mengikutiku? Tapi untuk apa?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Pengajar Natal Kristiono
sementara menyimak dulu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status