Share

The Rich Man Passion
The Rich Man Passion
Author: Maria Goreti

01. Restoran Uenak Food

     Di Restoran Uenak Food dengan suasana yang hangat. Menu yang tersedia di sini merupakan menu makanan sehat. Orang-orang tertentu yang datang ke sini karena makanannya.

“Aga, mana sayurnya?” teriak salah satu Chef bernama Risky.

“Iya, iya, saya akan bawakan,” jawab Aga berlari dengan membawa wadah tempat sayur yang sudah dibersihkan di kedua tangannya.

     Brukkk.

“Auw,” teriak Aga yang jatuh tersungkur ke lantai dengan sayur juga ikut jatuh di lantai.

     Chef yang lain; Rafa dan Reno melihat Aga jatuh ke lantai dengan menahan sakit.

“Apa yang kamu lakukan? Cepat bangun!” teriak Rafa.

“Iya. Aku berusaha untuk bangun.”

“Bawakan lagi sayur yang baru. Kamu mau pakai sayur yang jatuh ini untuk dimasak?” tanya Reno sengit.

“Iya. Aku akan bawakan yang baru.”

“Cepat!” teriak Rafa.

     Aga terjatuh karena kaki salah satu dari Rafa atau Reno menghalangi jalannya.

“Mana Aga?” tanya Risky melihat sekelilingnya.

“Pergi ke belakang mengambil sayuran lagi,” jawab Reno.

“Apa? Ambil sayur lagi? Mau tambah berapa lagi pengeluaran gara-gara dia ceroboh.”

“Kembalilah ke dapur. Kita berdua yang akan urus,” kata Rafa menengahi.

     Aga berjalan tergopoh-gopoh dengan membawa sayur-sayur yang sudah dibersihkan di wadah. Sayur-sayur masih terlihat basah dan air masih menetes ke lantai.

“Ini, sayur-sayurnya,” kata Aga dengan napas terengah-engah.

“Berikan pada Risky,” ucap Rafa.

“Kamu tidak akan bisa jadi chef,” kata Reno sinis.

     Aga tidak membalas perkataan Reno dan memberikan sayur-sayur pada Risky, tetapi selalu disambut dengan tatapan sengit darinya.

“Sisa sayur letakkan di meja,” kata Risky.

“Iya,” jawab Aga lembut.

     Aga menutup dengan piring transparan supaya sayur tidak kotor dan terkena debu. Dia berjalan ke luar dari dapur menuju gudang untuk mengambil buah dan membersihkannya.

“Kamu mau ke mana?” tanya Risky tidak melihatnya.

“Aa, aku mau ke gudang.”

“Iya bagus.”

     Aga berjalan dengan langkah gontai menuju gudang, tempat yang seharusnya dia tidak berada di sana dan di sini tempat yang juga seharusnya dia tidak di sini.

     Aga berada di Restoran Uenak Food karena ingin membiayai hidupnya. Dia diminta oleh Papa As, Papanya untuk mengelola perusahan. Jika dia menolak akan dijodohkan. Hasilnya Aga menolak dan berakhir di Restoran Uenak Food.

“Aga!” teriak Risky.

“Iya,” jawab Aga tanpa membalas dengan teriakan.

     Ketiga temannya yang bekerja sebagai chef selalu meremehkannya karena dia tidak bisa bekerja dengan baik. Itu menurut mereka karena selalu mengacaukan pekerjaan Aga.

     Aga berlari kecil menghampiri Risky.

“Bawakan buahnya mana? Aku mau buat salad,” pinta Risky berteriak.

“Iya. Aku masih mengupas, belum mencucinya.”

“Cepat! Bawakan sekarang!”

     Aga berlari lagi ke gudang untuk menyelesaikan mengupas buah. Helaan napas panjang mengiring Aga berlari ke gudang. Dia menyadari jika lahir dengan sendok emas di tangannya. Wajar saja jika dia kesulitan setelah ke luar dari rumah.

“Aga, mana buahnya?” teriak Risky karena menunggu Aga yang tidak kunjung datang.

“Iya,” jawab Aga membawa wadah yang berisi buah-buahan sampai kesulitan membawanya karena banyak dan berat.

     Aga melihat Rafa dan Reno duduk santai tanpa mengerjakan apa pun. Padahal di luar banyak pesanan menanti. Dia ingin rasanya mengumpat, tetapi tidak bisa mengingat posisinya. Dia harus memanjangkan kesabarannya untuk bertahan hidup dengan dinamika kehidupan yang harus dijalani.

     Kartu kredit dan kunci mobil diminta oleh Papa As. Aga harus tetap bekerja dengan segala tekanan yang ada. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk bertahan hidup.

“Aga!” teriak Rafa memanggilnya.

“Iya. Katakan apa yang harus saya lakukan?” tanya Aga dengan polosnya.

“Catat pesanan di luar. Tidak ada yang melakukannya.”

“Iya,” jawab Aga dengan menahan sesak.

     Aga mencuci tangan lebih dahulu. Dia berjalan mendekati kasir.

“Menunya mana?” tanya Aga sopan.

“Ini. Jangan lupa dicatat yang benar,” kata kasir dengan sinisnya.

“Iya. Aku akan mencatat dengan jelas,” jawab Aga dengan sedikit nada tinggi.

     Aga berjalan ke pelanggan yang menanti untuk memesan. Mereka datang bukan karena makanan yang enak, tetapi alasan utama adalah Aga. Kenapa Aga? Karena wajahnya yang menarik perhatian kaum hawa.

“Permisi,” sapa Aga pada kedua wanita yang senyum-senyum melihat Aga.

“Iya, Mas. Kami mau pesan salad. Ada salad apa saja?” tanya salah satu wanita.

“Banyak pilihan salad kok. Ada juga pilihan makanan yang lain. Ini menunya. Silakan dilihat.” Aga meletakkan di meja, buku menu.

“Terima kasih.”

     Kedua wanita tersebut melihat menu. Sementara Aga menunggu pesanan dan mencatat untuk segera pergi dari hadapan mereka.

“Ini saja, Mas.”

“Baik, aku akan mencatatnya.”

“Hanya itu saja?” tanya Aga memastikan pesanan.

“Ada lagi.”

“Apa? Biar saya mencatatnya lagi.”

“Nomor ponselmu berapa?” tanya salah satu dari mereka berdua.

“A, itu.” Aga gugup jika ditanya nomor ponsel.

     Aga melihat nomor ponsel yang tertera di buku menu, nomor ponsel restoran. Dia memberitahu mereka.

“Jangan lupa hubungi. Aku permisi untuk memberitahu pesanan,” kata Aga tersenyum.

“Terima kasih, Mas. Baik sekali."

     Aga senyum-senyum sendiri, bukan maksud untuk menjahili mereka. Hanya saja Aga tidak tahu memberitahu nomor ponsel siapa. Di saat ponselnya dalam keadaan non aktif. Mereka berdua pasti akan datang terus hanya untuk meminta nomor ponsel.

      Aga berjalan ke dapur dan dilihat dengan tatapan sinis oleh mereka bertiga.

“Ini pesanannya.” Aga memberikan kertas kecil.

“Letakkan saja di situ,” kata Reno.

     Aga berjalan ke luar dari dapur.

“Mau ke mana?” tanya Risky melihat ke arahnya.

“Mau ke dapur. Membersihkan sayur dan buah. Mereka pesan salad buah dan sayur. Kamu hanya perlu siapkan tuna dan bumbunya,” jawab Aga berlalu dari mereka.

“Kok jadi dia yang memerintah saya?” tanya Risky bingung.

     Tidak ada suasana tenang di Restoran Uenak Food. Baik itu di dapur dan di gudang. Mungkin di hadapan pelanggan beda ceritanya.

“Sampai kapan aku seperti ini?” tanya Aga mencuci buah-buahan.

“Ikhlas dan sabar saja dengan begitu mudah menjalani hidup ini. Aku tidak akan menyesal keluar dari rumah,” ucap Aga mencoba untuk tidak mengeluh.

     Aga berjalan ke dapur untuk memberikan buah-buahan dan sayur-sayuran pada mereka bertiga yang ada di dapur.

     Hari semakin malam, matahari tidak terlihat lagi. Aga memilih untuk mandi di saat ketiga temannya sedang asyik makan malam.

     Di kamar mandi, Aga menahan perut yang sakit minta diisi. Dia baru bisa makan setelah mereka selesai. Dia hanya tidak mau berdebat dengan mereka. Seharian bekerja tanpa henti membuat dia merasa lelah. Dia melakukannya kurang lebih dua tahun.

“Sudah selesai,” kata Aga melihat meja makan bersih tidak tersisa satu pun makanan di piring.

“Sabar,” ucap Aga lagi mencoba menenangkan dirinya.

     Aga berjalan ke luar dari tempat tinggalnya bersama dengan ketiga temannya, mungkin tidak bagi mereka. Dia berjalan ke warung yang tidak jauh dari restoran.

“Malam, Bu,” sapa Aga pada Ibu yang menunggu warung.

“Ei, Nak Aga. Mau beli apa?” tanyanya.

“Aku mau beli roti, Bu.”

“Tunggu sebentar Ibu ambilkan, Nak Aga.”

“Ini rotinya. Tidak makan nasi?”

“A, tidak Bu. Nasinya sudah habis. Aku beli lima ya, Bu.”

“Iya. Ini Ibu lebihkan dua untuk sarapan besok.”

“Terima kasih, Bu. Aku permisi,” kata Aga setelah membayar.

     Mata Aga berkaca-kaca berusaha menahan yang akan jatuh ke pipi, hembusan napas yang berat, dan juga sesak. Alhasil dia meneteskan air matanya, mengusap, dan berjalan kembali ke restoran dengan langkah yang berat. 

     Malam yang panjang bisa menemani Aga dengan perut yang terisi. Dia makan roti sebanyak tiga bungkus, sisanya untuk besok pagi sarapan. Dia pasti tidak akan mendapatkan nasi dan sayur lagi. Setelah kemarin malam juga begitu.

     Tepat pukul 4 pagi, di saat mereka masih tidur. Aga sudah bangun dan berada di dapur.

“Berantakkan sekali dapur ini. Perasaan semalam sudah aku bereskan. Apakah mereka makan lagi?” tanya Aga yang tidak tahu jawabnya.

“Aku lagi yang membereskan dan membuang kantong sampah ini,” keluh Aga.

     Aga berjalan ke luar dari dapur dengan membawa dua kantong sampah di sisi kanan dan kirinya.

     Aga menghentikan langkahnya. Dia melihat seorang pria yang dikenalinya.

“Waduh kok ketemu juga,” bisik Aga mengernyitkan dahi.

“Pasukannya mengerikan,” kata Aga mencoba berpikir dia harus bagaimana.

     Seorang pria yang dikenali Aga datang dengan empat pria yang lain memakai pakaian hitam walaupun gelap Aga mengenalinya.

     Aga hanya diam dan terpaku, dia melihat mereka dengan pemikirannya sendiri.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jalal Bonjeruk
Novel terpendek konflik belum selesai sudah tamat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status