Aga tetap berlari mengejar Mos tanpa memanggil namanya. Napasnya terengah-engah sehingga dia perlu mengatur napas supaya tidak terlihat lemah di depan Mos karena akan semakin bangga dengan meremehkannya.
Sepertinya Mos menyadari Aga mengikutinya. Mereka berdua berhadapan dengan tatapan yang berbeda. Aga melihat dengan tatapan kasih sayang layaknya sesama saudara, tetapi berbeda dengan Mos melihatnya dengan tatapan kebencian seperti seorang musuh yang akan menembaknya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Mos.
Aga belum menjawab pertanyaan Mos justru sebaliknya dia tersenyum pada Mos.“Ada yang mau kamu katakan?” tanya Mos lagi.Aga meyakini jika Mos bisa berubah. Buktinya sekarang, Aga ada di depannya. Namun, Mos tidak mengejek atau marah-marah seperti biasanya. Satu perubahan kecil yang membuat Aga senang. Dia tahu pengaruh baik apa yang datang pada Mos.
“Kamu yakin tidak ada yang mau kamu kat
“Mas Aga tidak papa?” tanya Ben yang cemas melihat bosnya berkeringat.“Tidak papa. Aku baik-baik saja. Antarkan aku pulang, Ben,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Ben memastikan bosnya baik-baik saja. Sepanjang perjalanan, Aga hanya terdiam. Dia menyadari jika Ben tidak fokus dalam mengendarai mobil.“Aku tidak papa, Ben. Kamu fokus saja menyetirnya.”“Iya, Mas Aga. Apa kita mau makan dahulu?”“Tidak perlu. Mama sudah memasak untukku. Kamu ikut makan bersama.”“Tidak, Mas Aga. Aku mau langsung pulang. Mas Aga yakin baik-baik saja?”“Iya. Aku baik-baik saja.”“Mas Aga cukup kuat untuk bertahan, tadi.”“Terlihat begitu?”“Iya, Mas Aga. Di sini, aku merasa cemas. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Mas Aga. Tahu sendiri Mos akan memukul Mas Aga.”“Terima kasih. Kamu sudah cemas denganku.”“Sudah seharusnya begitu.” Aga melihat Ben kembali fokus. Dia hanya tidak ingin membuat Ben cemas.&nb
Aga keluar dari ruangan juga karena Mos. Dia ingin mencari Mos karena dia melihat ke luar. Dia mencari bukan untuk meminta maaf. Tidak akan menyelesaikan masalah juga. Lagi pula, dia mengambil apa yang memang menjadi miliknya.“Huft, aku melakukan kesalahan lagi sepertinya.”“Aku sudah memberitahunya untuk berjaga-jaga atau setidaknya melakukan supaya dipilih jadi direktur utama.”“Siapa Mas Aga?” tanya Ben berada di belakangnya.“Astaga. Kamu memiliki kebiasaan baru mengagetkanku?”“Maaf, Mas Aga. Aku pikir Mas Aga bicara dengan siapa.”“Itu Mos. Aku tidak salah kan Ben?”"Tidak ada yang salah juga dengan Mas Aga ataupun Mos.”“Lalu?”“Kenapa pakai lalu? Yang salah adalah keadaan kalian berdua yang berada di keluarga Kakek Aga.“Wah benar sekali kamu.”“Lalu apa yang Mas Aga lakukan di sini?”“Tidak ada yang aku lakukan. Hanya saja di dalam terlalu banyak asap. Aku merasa sesak. Lagi pula mereka juga sedang mengobrol ringan
Aga berpikir jika dia harus menemui Kakeknya. Jika dia tidak menemui bisa-bisa dia jadi kepiting rebus yang siap disantap. Lagi pula tidak ada salahnya menemui Kakek Aga di saat memang beliau membutuhkannya.“Kakek memanggil Aga?” tanya Aga di samping Kakek Aga. Aga melihat Kakek Aga berjalan mendekat padanya.“Kamu harus menjalankan perusahaan dengan baik. Jangan bermalas-malasan. Ingat itu.”“Iya, Kek,” jawab Aga diikuti anggukkan.“Kakek pulang dahulu. Kamu bisa menyusul nanti.”“Iya, Kek. Tenang saja.”“Malam ini, Kakek mau menginap di hotel.” Kakek Aga memberitahu.“Dengan siapa Kek?”“Sendiri.”“Mau Aga temani?”“Tidak usah. Itu ada mereka yang akan menemani Kakek.” Kakek Aga memberitahu jika ada pengawal-pengawal yang akan menjaganya.“Iya, Kek. Jika terjadi sesuatu hubungi Aga lebih dahulu ya Kek.”“Iya pasti. Kakek pergi dahulu.” Aga melihat Kakek Aga berjalan d
“Mas Aga,” panggil Ben yang sudah berada di mobil. Pagi ini, Aga pergi dengan Ben menggunakan mobil milik Aga. Dia tidak mengetahui jika Ben akan datang ke rumah. Dia pikir Ben akan mau jika menginap di rumah.“Ben, kamu menginap di sini saja. Tidak ada yang kamu temui di rumah?”“Tidak ada, Mas Aga. Bapak dan Ibu sudah tiada.”“Maaf, Ben. Jika mengingatkanmu.”“Tidak, Mas Aga. Sudah lama sekali sekitar sepuluh tahun yang lalu.”“Kamu kuat ya.”“Harus kuat, Mas Aga. Aku berterima kasih pada Pak As yang menemukanku.”“Oh begitu. Aku yang harus berterima kasih denganmu. Belum satu tahun, kamu bekerja. Kamu sudah banyak membantuku.”“Itu pesan Pak As untuk membantu Mas Aga. Ngomong-ngomong, kita mau pergi ke mana Mas Aga?”“Kantor.”“Bagaimana tawaranku untuk pindah ke rumah?”‘Tidak, Mas Aga. Terima kasih untuk tawarannya.” Dalam perjalanan ke kantor, Aga berpikir untuk memberitahu direksi-direksi
Aga berjalan masuk ke ruang rapat. Mereka berdiri untuk menyambut kedatangan Aga.“Silakan duduk kembali.” Aga mempersilakan mereka. Aga menatap satu per satu karena mencoba meyakinkan dirinya bisa melakukannya.“Rapat dimulai.” Aga mengambil sikap duduk yang nyaman baginya. Dia menatap mereka satu per satu dan mengingat wajah mereka. Keinginan yang kuat pasti bisa mengalahkan rasa gugupnya. Dia menatap tajam pada mereka, satu per satu. Aga melihat beberapa dari mereka sibuk sendiri.“Pak, bisa kita mulai rapatnya? Jangan sibuk sendiri.” Aga mengatakan dengan tegas.“Iya,” bisik salah satu dari mereka. Aga tidak berpikir dapat menggunakan cara tegas dan keras pada mereka. Dia tidak berpikir bahwa mereka akan menggunakan cara yang sama untuknya.“Selamat pagi. Terima kasih berkenan untuk datang. Terima kasih kursi di ruang rapat teriis
Aga dan Ben masuk ke mobil. Aga berada di belakang sedangkan Ben mengendarai mobil.“Kita mau ke mana Mas Aga?” tanya Ben lagi di dalam mobil.“Pabrik.”“Mereka?”“Tidak perlu ikut. Aku juga tidak membutuhkan mereka di pabrik. Jadi buat apa juga ikut. Aku mengajak yang mau bekerja denganku saja.”“Benar. Memang harus begitu, Mas Aga.”“Tidak ada untungnya bagiku. Jika mereka tidak ingin ikut. Justru akan membuat susah saja di pabrik.”“Iya, Mas Aga. Jadi kita putuskan pergi ke pabrik?”“Iya, Ben.” Aga membiarkan Ben untuk mengantarnya ke pabrik. Tentu Aga akan membayar gaji berbeda padanya karena sebagai sekretaris dan sopir pribadi. Bukan hal mudah untuk mempunyai dua pekerjaan dengan satu orang.“Mas Aga, baik-baik saja?”“Baik-baik saja, Ben. Aku bisa mengatasi dengan baik.”“Iya. Aku melihat Mas Aga melakukannya dengan baik. Aku juga sempat khawatir. Kalau-kalau Mas Aga akan pingsan di ruang rap
Aga berjalan melewati pimpinan pabrik diikuti Ben berjalan di belakangnya.“Tunggu, Mas Aga,” teriak Ben. Aga mempercepat langkahnya supaya bisa bertemu dengan petani-petani anggur. Dia merasa kesal dengan semua pihak tanpa terkecuali.“Mas Aga, tunggu.” Ben dapat menarik tangan Aga.“Ada apa?” tanya Aga.“Mas Aga tidak bisa menemui mereka dengan perasaan mendidih begini. Mas Aga harus lembut. Mas Aga ingin sambutan baik dari mereka bukan. Lakukan hal yang sama.”“Iya. Aku akan lembut dengan mereka.”“Iya.” Ben memberikan jari jempol sebagai tanda setuju. Aga melihat mereka masih duduk di pinggir. Dia tahu alangkah tidak sopan jika datang pada mereka dengan marah-marah tidak jelas.“Selamat siang, Pak.” Aga menyapa mereka semua.“Selamat siang.”“Boleh duduk di sini?”“Silakan. Duduk saja pemilik pabrik juga tidak akan melarang.” Aga dan Ben saling
Aga mengejar pria tersebut, tetapi tiba-tiba menghilang seperti ditelan bumi. Dia berusaha mengatur napas. Sementara di belakang, sebaliknya Ben mengejar Aga.“Mas Aga,” teriak Ben walaupun Aga sudah berhenti mengejar. Tiba-tiba.“Auw, sakit Ben,” kata Aga mengusap tangannya yang memerah.“Ada apakamu menarikku?” tanya Aga. Aga melihat Ben memberikan ponselnya.“Apa ini?” tanya Aga lagi. Aga melihat Ben menunjuk ponsel. Sementara Ben mengatur napasnya juga.“Ada apa sih?” Penasaran Aga tidak sampai situ saja. Ben membisikkan sesuatu dan raut wajah Aga berubah.“Apa iya?” tanya Aga pada Ben dan dijawab dengan anggukan oleh Ben.“Lihat di sini.” Ben memberitahu dengan napasnya yang masih terengah-engah.“Tunggu. Aku kirimkan saja ke ponsel Mas Aga.” Ben mengambil ponsel miliknya.“Aku tidak percaya, Ben.”“Itu. Aku sud