Aga dan Ben masuk ke mobil. Aga berada di belakang sedangkan Ben mengendarai mobil.
“Kita mau ke mana Mas Aga?” tanya Ben lagi di dalam mobil.
“Pabrik.”“Mereka?”“Tidak perlu ikut. Aku juga tidak membutuhkan mereka di pabrik. Jadi buat apa juga ikut. Aku mengajak yang mau bekerja denganku saja.”“Benar. Memang harus begitu, Mas Aga.”“Tidak ada untungnya bagiku. Jika mereka tidak ingin ikut. Justru akan membuat susah saja di pabrik.”“Iya, Mas Aga. Jadi kita putuskan pergi ke pabrik?”“Iya, Ben.”Aga membiarkan Ben untuk mengantarnya ke pabrik. Tentu Aga akan membayar gaji berbeda padanya karena sebagai sekretaris dan sopir pribadi. Bukan hal mudah untuk mempunyai dua pekerjaan dengan satu orang.
“Mas Aga, baik-baik saja?”
“Baik-baik saja, Ben. Aku bisa mengatasi dengan baik.”“Iya. Aku melihat Mas Aga melakukannya dengan baik. Aku juga sempat khawatir. Kalau-kalau Mas Aga akan pingsan di ruang rapAga berjalan melewati pimpinan pabrik diikuti Ben berjalan di belakangnya.“Tunggu, Mas Aga,” teriak Ben. Aga mempercepat langkahnya supaya bisa bertemu dengan petani-petani anggur. Dia merasa kesal dengan semua pihak tanpa terkecuali.“Mas Aga, tunggu.” Ben dapat menarik tangan Aga.“Ada apa?” tanya Aga.“Mas Aga tidak bisa menemui mereka dengan perasaan mendidih begini. Mas Aga harus lembut. Mas Aga ingin sambutan baik dari mereka bukan. Lakukan hal yang sama.”“Iya. Aku akan lembut dengan mereka.”“Iya.” Ben memberikan jari jempol sebagai tanda setuju. Aga melihat mereka masih duduk di pinggir. Dia tahu alangkah tidak sopan jika datang pada mereka dengan marah-marah tidak jelas.“Selamat siang, Pak.” Aga menyapa mereka semua.“Selamat siang.”“Boleh duduk di sini?”“Silakan. Duduk saja pemilik pabrik juga tidak akan melarang.” Aga dan Ben saling
Aga mengejar pria tersebut, tetapi tiba-tiba menghilang seperti ditelan bumi. Dia berusaha mengatur napas. Sementara di belakang, sebaliknya Ben mengejar Aga.“Mas Aga,” teriak Ben walaupun Aga sudah berhenti mengejar. Tiba-tiba.“Auw, sakit Ben,” kata Aga mengusap tangannya yang memerah.“Ada apakamu menarikku?” tanya Aga. Aga melihat Ben memberikan ponselnya.“Apa ini?” tanya Aga lagi. Aga melihat Ben menunjuk ponsel. Sementara Ben mengatur napasnya juga.“Ada apa sih?” Penasaran Aga tidak sampai situ saja. Ben membisikkan sesuatu dan raut wajah Aga berubah.“Apa iya?” tanya Aga pada Ben dan dijawab dengan anggukan oleh Ben.“Lihat di sini.” Ben memberitahu dengan napasnya yang masih terengah-engah.“Tunggu. Aku kirimkan saja ke ponsel Mas Aga.” Ben mengambil ponsel miliknya.“Aku tidak percaya, Ben.”“Itu. Aku sud
“Gimana ini Mas Aga gak bangun-bangun.” Ben cemas dengan bosnya yang duduk di belakang. Beruntungnya Ben dapat mengendalikan kemudi mobil walaupun bantingannya sangat terasa.“Ben,” panggil Aga mengucek matanya.“Mas Aga sudah bangun?” tanya Ben masih menoleh ke belakang.“Iya. Aku sudah bangun. Apa yang terjadi?” tanya Aga menyadari posisi duduknya tidak seperti awal.“Ada truk bermuatan banyak dan berbeda jalur, tetapi mobil tersebut mengikuti jalur mobil ini. Aku pikir ada orang yang tidak suka denganmu.”“Jangan katakan seperti itu.”“Buktinya truk itu mau menabrak mobil ini.”“Mobil ini baik-baik saja?” tanya Aga.“Tidak. Kaca spionnya pecah dan terjatuh.”“Iya sudah. Nanti akan ada montir datang. Tidak perlu cemas masih ada mobil yang lain.”“Mas Aga tidak sedikit pun merasa cemas?”“Untuk apa? Apa dengan cemas dan memiliki sikap berlebihan bisa mengembalikan mobil dalam keadaan semula? Tidak kan? Santai saja. Kita
Plak.“Auw,” teriak Aga memegang pundaknya yang kesakitan.“Kamu kenapa Ben?” tanya Aga masih memegang pundaknya yang kesakitan.“Mas Aga kenapa melihat awanita itu? Mas Aga kenal dengan wanita tersebut.”“Tidak. Aku hanya terpesona saja dengannya.”“Mas Aga bisa diulangi lagi perkataannya,” pinta Ben karena penasaran.“Bagian mana yang diulangi?”“Aku apa tadi?”“Oh, aku terpesona dengannya.”“Mas Aga tidak salah dengan apa yang dikatakan?”“Tidak. Tidak ada yang salah.”“Dari segi mana, Mas Aga bisa terpesona dengan wanita itu?” tanya Ben berbisik.“Dia cantik.”“Aku harus membawamu ke rumah sakit, Mas Aga.”“Untuk apa? Tidak perlu, Ben. Aku baik-baik saja.”“Tidak, tidak. Mas Aga tidak baik-baik saja. Apakah tadi terbentur dimobil? Mas Aga pingsan tadi.”“Tidak. Aku tidak terbentur apa pun.”“Katakan saja, Mas Aga tidak perlu malu.”“Apa yang harus aku katakan? Tidak ada, Ben. Aku baik-baik saja.”“In
“Ayo, Ben. Buruan ada yang mau dikatakan Papa,” ajak Aga buru-buru.“Iya, Mas Aga.” Mereka berdua berlari kecil menuju mobil. Aga melihat Ben segera mengambil kunci mobil.“Kita pulang, Mas Aga?” tanya Ben.“Iya. Kita pulang.”“Baik.”“Tidak perlu buru-buru, Ben. Jangan terlalu santai juga.”“Iya, Mas Aga.” Aga melihat Ben mengendarai mobil sesuai dengan ritme. Tidak buru-buru juga tidak santai. Dia terpikir untuk menghubungi Papa As untuk menanyakan meminta Aga untuk pulang cepat. Aga hanya menekan satu angka dan tersambung pada panggilan telefon Papa As.“Halo, Pa,” sapa Aga secara sopan.“Halo. Kamu di mana Ga?”“Di jalan, Pa. Ini mau pulang. Papa minta pulang ke rumah kan?”“Iya, Ga.”“Pa, kenapa meminta A
Aga diam sejenak sementara mobil masih berada di tepi jalan.“Mas Aga,” panggil Ben melihat perlahan wajah bosnya.“Iya, Ben. Aku mendengarmu. Sebentar.”“Iya.” Aga berpikir untuk menemui youtuber tersebut, tetapi dengan minimnya informasi. Dia berpikir bagaimana cara bertemu dengannya.“Katakan saja, Mas Aga. Bagian mana yang harus aku kerjakan?” tanya Ben. Aga langsung menoleh ke arah Ben. Dia berpikir untuk mencari informasi youtuber tersebut.“Bisa tolong carikan informasi tentang youtuber tersebut? Aku mau bertemu dengannya. Tidak ada salahnya berbicara baik-baik. Jika berbicara secara baik-baik sudah tidak bisa, baru pergunakan cara hukum.”“Bagianku hanya mencari informasi saja?” tanya Ben karena mudah baginya.“Iya, Ben.”“Mas Aga tunggu sebentar.”“Iya, Ben.” Aga melihat Ben dengan cekatan menggunakan ponselnya untuk menghubungi teman-temanny
Tatapan yang dimiliki Aga masih sama tidak berubah. Dia kesal dengan sikap dan perkataan yang dimiliki Etta.“Apakah kamu tidak mau meminta maaf untuk apa yang telah kamu lakukan?’ tanya Aga lagi tanpa tedeng aling-aling.“Minta maaf? Apakah saya bersalah mengatakan apa yang saya rasakan?”“Tidak salah. Hanya saja yang kamu rasakan salah. Aku sudah mengatakannya berulang kali. Jika wine yang kamu minum adalah wine yang dibuat skeitar sepuluh tahun yang lalu. Jadi kamu salah jika melakukan protes sekarang. Rasa wine justru akan semakin nikmat dengan bertambahnya waktu.”“Saya mengatakan yang sebenarnya.”“Aku tidak yakin jika kamu mengatakannya yang sebenarnya. Lakukan perbandingan saja sekarang? Mau? Kita beli wine di sini dengan mereka yang sama. Bagaimana?” tanya Aga menantang Etta. Aga yakin dengan melihatnya saja. Dia tidak berpikir jika Etta akan setuju dengan tantangan yang diberikan oleh Aga. Terlihat dari wajahn
Aga melihat Ben membukakan pintu untuknya. Dia masuk saja tanpa menutup pintu mobil kembali. Dia memukul-mukul jok mobil. Ben yang melihatnya membiarkan dengan begitu adalah cara dia meluapkan emosinya. Daripada tidak sama sekali akan meletus seperti gunung berapi. Aga berusaha mengatur napas dan mengendalikan emosinya.“Mau minum, Mas Aga?” tanya Ben memegang air mineral.“Tidak. Terima kasih.” Aga menatap ke depan dengan pandangan kosong. Ketika dia marah akan meluapkan emosinya dan melupakan seperti amnesia.“Apa yang terjadi Mas Aga?” tanya Ben lembut.“Aku kesal. Kenapa juga orang itu yang harus buat kesal?”“Pakai cara di sana tidak bisa?”“Tidak bisa. Aku tidak tahu lagi. Aku tidak mau memakai cara hukum karena akan mempersulit semuanya. Kalau pihak kita tidak akan sulit dan aku sudah tahu siapa yang melakukan semua ini.”“Siapa Mas Aga? Bukannya Mos?”“Bukan, tetapi bapaknya