Share

The Secret Behind The Rose
The Secret Behind The Rose
Penulis: Cia kamelida

Para Wajah Lama

Sekali lagi mendongakkan wajahnya di depan cermin besar, menarik napas pelan dan menghembuskannya perlahan. Tas yang sudah bertengger di atas meja belajar, ia ambil dan bergegas turun ke bawah. Anak tangga yang lumayan banyak, membuat ia tak kuasa menahan lapar aroma nasi goreng yang sudah tersaji di atas meja makan.

“Aina! Makanan sudah siap sayang, ayo sarapan,” panggil bu Nilam.

Gadis berusia delapan belas tahun ini bernama Aina Zeira Clarista, anak semata wayang dari pasangan suami istri pak Hilman dan bu Nilam. Terlahir dari keluarga yang sempurna dan berkecukupan, namun seperti yang diketahui Aina adalah anak yang sangat jarang bergaul, dan betah di rumah, lingkungan pertemanan begitu jauh baginya, hari-hari Aina, ia habiskan hanya untuk membaca dan menulis.

“Permisi Non, mobilnya sudah siap,” ujar pak Yogo sopir di rumahnya.

Aina langsung menghentikan suapannya, segera beranjak dan langsung mencium punggung tangan bu Nilam. “Aina berangkat dulu, Bunda,” ujar Aina lalu berlalu pergi.

Masuk ke dalam mobil, Aina menyenderkan kepalanya  tepat di kaca mobil, sepanjang perjalanan Aina menikmati pemandangan jalan raya pagi ini melalui balik jendela, sesekali pak Yogo menengok dari kaca spion melihat Aina yang dari tadi tampak diam.

Aina mendapati  beberapa anak seusianya mengamen di pinggiran jalan, terenyuh hatinya,  ekspresi sedih terukir di wajah Aina. Lagi-lagi Aina memegang dadanya yang begitu nyeri saat melihat anak-anak yang mengamen itu,  ia  masih bersyukur diberikan tempat yang layak, dan masih bisa merasakan nikmatnya hidup ini.

Anak-anak itu mengingatkan Aina tentang delapan tahun yang lalu, saat ia menemani ayahnya pergi bekerja jualan siomay keliling, begitu melelahkan dan tentunya jerih payah keringat kedua orang tuanya masih mengakar di kepala Aina. Hidup bergelimang harta seperti sekarang tentu tidak instan bagi keluarganya, banyak perjuangan dan pengorbanan yang mereka lalui hingga bisa berada di posisi sekarang.

"Aina mau ice cream?" tanya Hilman.

"Mau," sahut Aina dengan anggukannya.

Ingatan itu masih terus membayangi, betapa Aina ingat saat Hilman begitu berusaha membahagiakan seperti temannya yang lain.

Hingga kini tak terasa Aina sudah duduk di bangku SMA, yang mana merupakan sekolah terfavorit dan hanya kebanyakan di huni oleh orang-orang berada, Aina masih tidak menyangka bisa duduk di bangku SMA ini, secara setiap ia lewat di depan SMA ini, ia ingat betul ia hanya bisa mengelus tembok sekolah ini sambil memanjatkan harapan bisa menjadi bagiannya, dan sekarang Aina merupakan bagian mereka.

Logo SMA Bina Jaya sudah tampak beberapa langkah di depan. Aina turun dengan seragam andalan SMA Bina Jaya yang selalu paling terdepan dari SMA-SMA elit lainnya. Tidak lupa ia selalu berpamitan dengan pak Yogo, selaku sopir yang selalu mengantarkannya. Langkah Aina begitu pasti memasuki gerbang, akan tetapi kali ini ia tersentak terhenti. Menyudutkan muram durja di wajahnya. Terlihat beberapa temannya yang sedang duduk santai di ujung kelas, begitu jelas menggelegarnya canda tawa dari mereka.

Sudah bukan rahasia lagi jika kedatangan Aina, bukanlah suatu hal yang menyenangkan bagi mereka. Circle pertemanannya masih bersikap sama hingga sekarang. Tidak peduli, dan menganggap Aina bukan bagian dari mereka.

Sudah hampir dua tahun berlalu Aina melewati lika-liku pertemanan toxic yang membuatnya hampir depresi. Bullying, bahkan berani main tangan itu sudah menjadi makannya selama duduk di bangku SMP, hingga sekarang mereka masih bersikap sama. Bukan Aina namanya, jika ia tak memiliki sikap sabar di atas rata-rata, masalah ini ia simpan rapat-rapat tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.

Di depan gerbang ia terdiam, kakinya tiba-tiba kaku untuk melangkah, lagi-lagi napasnya terasa pendek, Aina mencengkram erat dadanya, begitu sesak. Membuatnya merunduk menahan nyeri. Padahal libur panjang, sudah hampir membantunya bangkit dari rasa keterpurukan, namun kini ia harus terbayang lagi.

Aina berusaha menahan sesak dadanya , sekilas ia lihat mobilnya telah jauh pergi, sekitarnya tak ada siapapun, Aina berusaha menyadarkan pikirannya yang mulai pusing, di tampaknya sekelilingnya seakan begitu mendekat, begitu pengap sesulit ini Aina mencari rasa untuk bernapas, Aina berusaha menarik napas kasar, menghembuskan berkali-kali, namun tak juga napasnya terasa nyaman, malah semakin sesak dan pengap.  

Bruk!!!

Bumi seakan bertolak pada porosnya, pohon-pohon serasa mendekat di depannya. Aina berusaha membuka pelupuk matanya, pelan. Dan merasakan tumpuan tangan di pinggangnya erat menyadarkan Aina dari pusing yang teramat sakit ini. Tepat di atas matanya kini, ia menyadari timpaan cahaya matahari terik begitu panas terasa, menyilaukan matanya,  hingga Aina menyadari suatu siluet yang membentuk sebuah wajah seseorang di balik telapak tangannya, saat Aina memindahkan tangan ini dari depan wajahnya, Aina menemui suatu siluet wajah yang sulit ia kenali.

"Kamu gak papa? tanyanya.

"Gak, gak papa." Aina melepaskan pangkuan tersebut dan menjauh beberapa langkah, namun pandangannya masih tidak bisa fokus, buram. Ia mencoba merunduk beberapa detik untuk menghilangkan rasa pusingnya. Aina masih memegang pelipis kepalanya, begitu nyeri.

Ketika Aina menengadahkan wajahnya, masih begitu terasa berat. Alhasil hanya keburaman yang ia lihat. Aina berusaha menyeimbangkan posisi tubuhnya yang agak sempoyongan.

"Kamu gak papa?" ujar seseorang yang langsung menopang tubuh Aina.

"Kepalaku sakit sekali," ucap Aina lirih sambil menekan erat pelipis kepalanya.

Orang ini pun segera membantu Aina menuju UKS. Lima belas menit berlalu, Aina yang masih berbaring di tempat istirahat, perlahan bisa tenang dan sadar, setelah meminum obat yang diberikannya. Aina yang  terbangun dari tempat tidurnya. Menyadari ada sepucuk surat di bawah telapak tangannya.

Maaf aku gak bisa nungguin kamu.

Tadi aku dipanggil untuk segera ke kantor.

Salam kenal Dea.

Membaca secarik surat tersebut membuat kepala Aina bak berkontraksi nyeri lagi. Aina menekan hebat pelipis kepalanya lebih kuat,  Ia langsung terbawa kepada kejadian di depan gerbang tadi.

"Dea? Dea siapa?" pikir Aina.

"Suaranya, bukan seperti suara perempuan," batin Aina.

"Melainkan suara laki-laki," pikirnya sekali lagi.

Aina berusaha merilekskan badan dan pikirannya. Aina berusaha menenangkan dan pikirannya kalau yang ia lihat tadi adalah perempuan, tapi lagi-lagi Aina masih begitu yakin kalau itu adalah seorang laki-laki.

"Nama Dea agak asing," pikir Aina.

"Tapi dia siapa? Murid baru?" batin Aina lagi.

Ingatan Aina kepada garis wajah yang tertimpa cahaya terik tadi. Masih menjadi bahan pikiran Aina sekarang, hingga sakit kepalanya tak kunjung hilang.

Aina benar-benar penasaran, tangan yang pertama begitu berbeda dengan tangan kedua, Aina meyakini itu. Sekali lagi Aina memegang tanganmu merah pinggangnya, untuk membedakan kekuatan pegang antara seorang perempuan dan laki-laki.

"Argh! Kenapa aku memikirkan itu! Yang penting ia sudah menolongku," ucap Aina kesal sejak tadi tak menemukan jawabannya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sinta_Alda
lanjut kak, ceritanya bagus. Tpi sedikit masukan y kak, Ada kata"yg pergi d benahi lagi. ...
goodnovel comment avatar
Yetti
lanjut kak penasaran sama ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status