Home / Lainnya / The Secret Of Justice / BAB 5 – KONSEKUENSI SEBUAH KEBENARAN

Share

BAB 5 – KONSEKUENSI SEBUAH KEBENARAN

Author: Nuna Grey
last update Last Updated: 2025-03-24 14:27:47

Cassandra melangkah santai memasuki lobi The New York Tribune, senyumnya mengembang saat matanya menangkap sosok pria yang tampak gelisah menunggu di dekat resepsionis. Alexander Carter. Pengacara itu berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, rahangnya mengeras seolah menahan emosi.

Ia bahkan tidak perlu menebak alasan pria itu datang. Sudah jelas.

Dengan tawa kecil, Cassandra berjalan mendekat, tatapannya penuh percaya diri. "Kau terlihat tidak sabar, Alexander. Apa aku harus merasa tersanjung?"

Alexander langsung menoleh, matanya tajam menatap Cassandra. Meski nada suaranya tetap tenang, Cassandra bisa merasakan kemarahan yang tertahan di balik kata-katanya.

"Kita perlu bicara," ucapnya singkat.

Cassandra mengangkat alis, masih mempertahankan senyumnya. "Tentu. Kau ingin wawancara eksklusif?"

Alexander mendengus, jelas tidak terhibur. "Jangan bercanda, Cassandra. Ini bukan soal permainan kata-kata di media."

Cassandra melipat tangan di depan dadanya. "Lalu apa? Jika ini tentang artikelku kemarin, aku rasa kau harus berterima kasih. Aku membantu menyuarakan ketidakadilan."

Alexander melangkah lebih dekat, menurunkan suaranya namun dengan ketegasan yang sama. "Kau menyulut api yang lebih besar dari yang bisa kau kendalikan. Thomas Gallagher diserang di rumahnya. Preman-preman itu hampir membunuhnya. Sekarang dia harus bersembunyi karena berita yang kau sebarkan."

Senandung kecil lolos dari bibir Cassandra. "Jadi itu salahku? Bukan mereka yang melakukan kejahatan?"

Alexander menghela napas panjang, menahan amarahnya. "Kau tidak mengerti. . ."

"Aku mengerti, Alexander," potong Cassandra tajam. "Aku mengerti betapa kotornya sistem ini. Aku mengerti betapa sulitnya memperjuangkan kebenaran di dunia yang sudah terbeli. Dan aku juga mengerti bahwa diam bukan pilihan."

Alexander menatapnya lama, lalu menggeleng pelan. "Kau terlalu sembrono."

Cassandra tersenyum miring. "Dan kau terlalu kaku."

Mereka saling menatap dalam diam sejenak, seolah mengukur satu sama lain. Kemudian Cassandra menepuk bahu Alexander ringan, seolah perdebatan barusan hanyalah percakapan biasa baginya.

"Jika kau khawatir, sebaiknya kita tidak hanya berdiri di sini dan saling menyalahkan. Kita bisa mencari solusi, bukan?" katanya, sebelum melangkah menuju lift.

Alexander menghela napas, menatap punggung Cassandra yang pergi begitu saja seolah masalah ini bukan sesuatu yang besar.

"Aku tidak percaya aku akan menyesal datang ke sini," gumamnya pelan.

Alexander mengikuti Cassandra ke ruangannya, langkahnya berat dengan kemarahan yang masih mengendap. Sementara itu, Cassandra tetap terlihat santai, seolah tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan.

Setibanya di ruangannya, Cassandra meletakkan tasnya di meja dan membuka laptop. "Kau mau kopi? Atau mungkin teh?" tanyanya tanpa menoleh, seakan Alexander hanya tamu biasa yang datang untuk mengobrol ringan.

Alexander mendengus. "Aku tidak datang untuk minum kopi, Cassandra."

Cassandra akhirnya menoleh, menyandarkan tubuhnya ke meja dengan tangan terlipat di depan dada. "Baiklah, kau datang untuk marah. Aku sudah mendengarnya di lobi. Apa ada hal lain?"

Alexander berjalan mendekat, menatapnya tajam. "Aku ingin tahu seberapa jauh kau berniat mempermainkan nyawa orang lain hanya demi sebuah berita."

Cassandra tersenyum kecil. "Bukan aku yang mempermainkan nyawa orang lain, Alexander. Mereka yang memiliki kuasa, mereka yang mempermainkan keadilan. Aku hanya menyuarakan apa yang seharusnya didengar."

Alexander menggeleng, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Tapi sebelum dia bisa berbicara lagi, Cassandra melanjutkan dengan nada yang lebih serius.

"Kalau kau benar-benar ingin membantu orang-orang yang tidak berdaya, kenapa tidak sekalian membantu kasus lain?"

Alexander menatapnya dengan tatapan skeptis. "Maksudmu?"

Cassandra menggeser beberapa dokumen di mejanya lalu menyerahkan satu berkas kepada Alexander. "Kasus ini. Seorang kepala sekolah yang seharusnya dihukum karena pelecehan seksual malah bebas karena kurangnya bukti. Aku baru saja bertemu dengan korban dan keluarganya."

Alexander membaca cepat dokumen itu, rahangnya menegang. "Dan kau ingin aku melakukan apa?"

"Membantu, tentu saja." Cassandra mengangkat bahu. "Kau pengacara, bukan? Jika kau benar-benar peduli pada keadilan, ini kesempatanmu untuk membuktikannya."

Alexander terdiam sejenak, lalu meletakkan berkas itu kembali di meja. "Aku masih belum selesai membahas kasus Thomas Gallagher, Cassandra. Dan sekarang kau ingin menambah masalah lain?"

"Aku tidak menambah masalah. Aku hanya menunjukkan bahwa ada lebih banyak orang yang butuh bantuan," sahut Cassandra dengan nada ringan, tapi matanya tajam. "Dan aku tahu, meskipun kau kesal padaku sekarang, kau tidak akan bisa mengabaikan ini."

Alexander mendesah, jelas enggan mengakui bahwa Cassandra ada benarnya. "Aku akan melihatnya lebih dalam."

Cassandra tersenyum puas. "Bagus. Sekarang, mau kopi?"

Alexander menutup mata sejenak, menenangkan dirinya. Dia tidak tahu apakah Cassandra ini jenius atau hanya seseorang yang terlalu nekat untuk memahami bahaya. Tapi satu hal yang pasti—perempuan ini bukan tipe yang akan mundur hanya karena ancaman atau konsekuensi.

Dan entah bagaimana, itu membuatnya semakin sulit untuk mengabaikan ajakannya.

Saat Cassandra dan Alexander masih membahas kasus Thomas, seorang rekan kerja Cassandra mengetuk pintu dan masuk, membawa sebuah kotak berukuran sedang.

"Ini baru saja dikirim ke meja resepsionis," katanya, meletakkan kotak itu di atas meja Cassandra. "Tidak ada nama pengirim, tapi jelas ditujukan untukmu."

Cassandra mengangkat alis, melirik kotak itu dengan rasa ingin tahu. "Menarik. Sepertinya aku memiliki banyak penggemar, mereka sering memberi kejutan."

Alexander yang masih duduk di depannya mengerutkan dahi, tatapannya penuh curiga. "Kau yakin ini aman?"

Cassandra menoleh ke rekannya dengan senyum jahil. "Mungkin kau harus berlindung di bawah meja sebelum aku membukanya. Siapa tahu ini bom."

Rekannya mendecak sambil mendesah. "Kau selalu saja bercanda, Cassie." Tapi dia tetap mundur selangkah, seolah-olah benar-benar mempertimbangkan saran itu. Dan dia tahu betul, kotak seperti itu bukanlah yang pertama kalinya.

Cassandra membuka kotaknya dengan satu gerakan cepat. Begitu tutupnya terbuka, bau anyir langsung menyengat. Alexander menyipitkan mata, sementara Cassandra tetap tenang. Di dalamnya tergeletak seekor kelinci mati, bulunya basah oleh darah. Di sampingnya ada secarik kertas putih dengan tulisan berwarna merah.

"Berhenti sekarang. Atau kau yang berikutnya."

Ruangan mendadak sunyi. Rekan Cassandra menutup mulutnya, sementara Alexander menatap kelinci itu dengan rahang mengeras.

Cassandra, di sisi lain, hanya menatap isi kotak itu selama beberapa detik sebelum—tertawa kecil. "Betapa klasiknya."

Dia mengangkat surat itu dengan santai, membaca ulang isinya seolah itu hanya catatan belanja biasa. "Setidaknya mereka berusaha kreatif."

Alexander berdiri dari kursinya, ekspresinya tak bisa ditawar. "Cassandra, ini bukan main-main."

Cassandra meletakkan surat itu di meja, bersandar ke kursinya dengan ekspresi santai. "Aku tahu. Dan itu artinya aku sedang berada di jalur yang benar."

Alexander menatapnya, seolah tidak percaya dengan reaksinya. "Mereka mengancammu. Ini bukan sekadar peringatan biasa. Mereka ingin kau berhenti sebelum semuanya menjadi lebih buruk."

Cassandra tersenyum tipis. "Dan justru karena itu aku tidak akan berhenti. Lagipula, ini bukan pertama kalinya." jawabnya dengan santai seolah ancaman itu tak ada arti baginya.

Alexander menggeleng, rahangnya mengencang. "Kau benar-benar gila."

Cassandra menyeringai. "Dan itulah kenapa aku selalu selangkah lebih maju dari mereka."

Namun meskipun dia terlihat santai, Alexander tahu satu hal—Cassandra baru saja memasuki permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang pernah dia bayangkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Secret Of Justice   BAB 17

    Alexander berdiri diam beberapa saat di depan layar utama, memperhatikan peta digital yang terus bergerak mengikuti posisi Cassandra secara real-time. Di sampingnya, Elias duduk santai di kursi putar, tangan kanan memainkan pena elektronik sementara tangan kirinya sesekali menggeser tampilan monitor.“Kadang aku heran,” gumam Alexander pelan, “bagaimana dia bisa tetap hidup sejauh ini, dengan semua ancaman, semua langkah nekatnya. Seolah tak ada rasa takut sedikit pun.”Elias mengangkat alisnya, lalu menjawab enteng, “Karena dia memang keras kepala. Keras kepala kelas satu. Kalau ada kejuaraan nasional untuk jurnalis paling nekat, dia menang tanpa lawan.”Alexander menghela napas. “Dan aku semakin yakin ... tak ada yang benar-benar bisa mengendalikannya.”Elias tak langsung menjawab. Dia hanya tertawa kecil—pelan, hampir seperti bisikan. “Mengendalikan Cassie? Mustahil. Bahkan sistem keamanan CIA pun mungkin menyerah duluan.”“Lalu bagaimana kau bisa tenang, sementara dia berkeliaran

  • The Secret Of Justice   BAB 16

    “Maaf, wahai pekerja keras negara. Sebelum kalian menyelamatkan dunia dari balik meja kantor masing-masing, izinkan aku menghentikan langkah heroik kalian barang lima menit.”Suara Elias terdengar dari atas tangga, diiringi derap langkah buru-buru dan—entah bagaimana—dentingan sandal jepit yang hampir lepas dari kaki. Rambutnya berantakan, hoodie-nya terbalik, dan ekspresinya seperti ilmuwan yang baru menemukan planet baru setelah tiga malam tanpa tidur.Cassandra yang hendak membuka pintu menoleh dengan tatapan lelah. Alexander sedang merapikan dasinya, berhenti sejenak dan menghela napas panjang.Sebuah suara melayang dari speaker kecil di dapur. Tenang, datar, tapi penuh sindiran.“Kalau ini soal teori konspirasi alien lagi, kuharap kalian abaikan saja.”Elias menoleh ke arah sudut ruangan, ke arah proyektor hologram kecil tempat suara itu berasal. “Lyra, sayang, hari ini bukan soal alien. Ini serius.”“Kau juga bilang begitu waktu membobol sistem keamanan NASA cuma karena penasara

  • The Secret Of Justice   BAB 15

    Cassandra berbalik, berjalan menuju pintu. Namun sebelum membuka, ia sempat menoleh dan tersenyum kecil. “Jangan tidur terlalu malam. Kita lanjut besok.”Elias mengangkat dua jari seperti hormat. “Aye, Kapten Cassie.”Lampu di laboratorium meredup perlahan, menyisakan layar-layar biru yang masih menyala. Di antara kerlip cahaya data dan grafik pergerakan satelit, satu pesan kecil dari sistem Lyra menyala otomatis:“Satu simpul telah ditemukan. Tapi benang masih panjang.”Malam telah larut. Seluruh mansion Rowe tenggelam dalam keheningan, seakan seluruh dunia sedang menarik napas panjang untuk esok hari. Namun, di lantai dua mansion, tepat di balik dinding logam tersembunyi yang dulunya adalah markas rahasia masa kecil Elias dan Cassandra, cahaya biru dingin dari puluhan layar masih menyala terang.Laboratorium pribadi Elias Rowe tak ubahnya pusat kendali rahasia milik organisasi global. Dinding-dinding kaca pintar menampilkan aliran data real-time, grafik statistik, serta jaringan kea

  • The Secret Of Justice   BAB 14

    Tak banyak yang tahu bahwa lantai dua mansion keluarga Rowe menyimpan ruang paling rahasia sekaligus paling canggih di seluruh bangunan itu. Dahulu, ruangan tersebut hanyalah loteng kosong yang dijadikan markas rahasia oleh Elias dan Cassandra kecil—tempat mereka bermain detektif, membangun benteng dari bantal, dan menyusun rencana-rencana konyol untuk “menghukum” para guru galak.Kini, tempat itu telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih luar biasa.Laboratorium pribadi Elias tampak seperti hasil kawin silang antara pusat komando NASA dan sarang hacker berteknologi mutakhir. Seluruh dinding dipenuhi layar digital resolusi tinggi, menampilkan grafik, data terenkripsi, peta satelit, dan jejak-jejak sinyal yang terus dianalisis. Di satu sisi ruangan, rak-rak penuh perangkat elektronik eksperimental tertata rapi seolah museum teknologi masa depan. Bahkan aroma ruangannya pun steril, seperti ruang kontrol di dalam pesawat luar angkasa.Meja kerja Elias dipenuhi keyboard mekanik, ti

  • The Secret Of Justice   BAB 13

    Cahaya dari layar komputer di Brooklyn masih membekas dalam benak mereka saat Elias, Cassandra, dan Alexander keluar dari gedung tua itu. Udara malam terasa lebih dingin, tapi pikiran mereka justru semakin panas oleh fakta mengerikan yang baru saja terkuak.“Jadi, anak-anak ‘populasi uji coba’ itu benar-benar nyata,” gumam Cassandra, matanya masih terpaku pada layar ponsel yang menampilkan dokumen-dokumen rahasia.Alexander mengangguk, “Dan semuanya tersembunyi di balik kedok lembaga pendidikan dan fasilitas medis yang seharusnya dipercaya. Sungguh kotor, kalau dipikir-pikir.”Elias menyengir, “Yah, dunia ini memang penuh kejutan... dan kebusukan. Tapi cukup ngobrol soal horor buat malam ini. Aku mau tunjukkan sesuatu yang lebih ‘menyenangkan’.”Alexander memandang curiga. “Menyenangkan? Maksudmu lab gila lain seperti tadi? Yang penuh kabel kusut dan bau asap?”Elias terkekeh, “Tidak, tidak. Labku ini bukan lab cerutu atau kantor pemadam kebakaran. Tunggu saja. Ini jauh lebih keren.”

  • The Secret Of Justice   BAB 12

    Cahaya biru dari layar komputer menyinari wajah Elias Rowe yang untuk pertama kalinya terlihat serius lebih dari lima menit penuh. Rambutnya acak-acakan seperti habis bertarung dengan angin topan, dagunya dihiasi brewok tipis yang jelas-jelas bukan pilihan gaya, dan sorot matanya menusuk deretan kode yang terus berlari di layar seperti marathon tanpa garis akhir.Cassandra duduk di sisi meja, menyilangkan tangan sambil mengetukkan ujung sepatunya ke lantai. Di dekat jendela, Alexander berdiri bersandar ke dinding, satu tangan di saku, ekspresinya nyaris seperti orang yang menyesal hidup bersama dua manusia aneh di ruangan yang sama.“Berapa lama lagi kau mau menatap kode itu sampai kau berubah jadi Matrix?” tanya Cassandra akhirnya, nada suaranya setengah sabar, setengah mengantuk.Elias menghela napas panjang seperti baru ditampar realita. “Sebagian besar file ini terenkripsi dengan sistem militer. Tapi... aku kenal polanya.”Alexander mengangkat alis, mendekat dua langkah. “Kenal po

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status