Beranda / Lainnya / The Secret Of Justice / BAB 4 – ANCAMAN

Share

BAB 4 – ANCAMAN

Penulis: Nuna Grey
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-24 14:14:31

Cassandra masih duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Pikirannya masih tertuju pada berita yang baru saja dipublikasikan, membayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang merasa terusik olehnya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menunjukkan nomor yang tidak dikenal. Tanpa ragu, Cassandra mengangkatnya dan mendekatkan ke telinga.

"Cassandra," suara di seberang terdengar dalam dan berat, "kau telah melangkahi batas. Tarik beritamu sebelum kau menyesal."

Cassandra mengangkat alisnya, tidak sedikit pun terkejut. Dia sudah menduga ini akan terjadi.

"Dan jika aku tidak mau?" tanyanya santai, menyandarkan tubuh ke kursinya.

Hening sejenak. Kemudian suara itu berbicara lagi, lebih dingin dari sebelumnya. "Aku yakin kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang terlalu banyak bicara."

Cassandra tersenyum tipis. Ancaman ini terlalu klise. Dia sudah mendengarnya berkali-kali sebelumnya.

"Oh, jadi aku akan 'menghilang secara misterius' seperti mereka?" ucapnya dengan nada mengejek. "Menarik. Tapi sejujurnya, aku mengharapkan sesuatu yang lebih kreatif darimu."

Suara di telepon terdiam, seolah tidak menyangka responsnya akan seperti itu.

"Dengar," lanjut Cassandra, nadanya berubah serius. "Kau pikir aku takut? Kau pikir satu ancaman murahan bisa membuatku menarik beritaku? Tidak. Ini justru memberiku ide yang lebih gila."

Dia tertawa kecil, matanya bersinar dengan gairah seorang jurnalis yang baru saja menemukan bahan bakar untuk beritanya.

"Sekarang aku tahu bahwa aku sedang menggali sesuatu yang besar. Dan percayalah, aku tidak akan berhenti sampai semua orang tahu kebenarannya."

Tanpa menunggu jawaban, Cassandra menutup telepon dan melemparkan ponselnya ke meja.

Jika mereka mengira bisa membuatnya mundur dengan satu ancaman, mereka salah besar.

Mereka baru saja memberinya alasan untuk melangkah lebih jauh.

Di sisi lain, Alexander baru saja meletakkan cangkir kopinya ketika ponselnya bergetar di meja. Nama Thomas Gallagher terpampang di layar.

“Gallagher?” Alex menjawab panggilan itu, tapi suara yang ia dengar di ujung telepon membuatnya segera duduk tegak.

“Alexander. . . tolong. . . mereka datang ke rumah saya. Mereka merusak segalanya. . . Saya. . . Saya tidak tahu harus berbuat apa. . .”

Napas Thomas terdengar putus-putus, suaranya bergetar penuh ketakutan.

“Siapa yang datang? Apa yang terjadi?” Alexander bertanya cepat.

“Mereka. . . beberapa orang datang, memaksa masuk. Mereka bilang ini peringatan terakhir saya. Mereka mengancam akan menghancurkan semuanya jika saya terus melawan.”

Jantung Alexander berdegup kencang. Ini sudah di luar batas.

“Apa mereka masih di sana?”

“Sudah pergi. . . tapi mereka meninggalkan kekacauan di rumah saya.”

Alexander menggenggam ponselnya erat. “Aku akan ke sana sekarang.”

Tanpa berpikir panjang, ia meraih jasnya, menekan tombol panggilan darurat di ponselnya, dan melangkah keluar dengan ekspresi penuh amarah.

Mobil Alexander berhenti di depan rumah Thomas Gallagher yang kini berantakan. Pintu depan setengah terbuka, bekas tendangan terlihat jelas di kayunya. Pecahan kaca berserakan di teras, dan perabotan di dalam rumah tampak hancur.

"Thomas!" Alexander bergegas masuk.

Dari sudut ruangan, Thomas muncul dengan langkah tertatih. Ada luka di pelipisnya, dan darah mengering di sudut bibirnya. Tangannya gemetar saat ia bersandar pada dinding, napasnya berat.

"Mereka datang tadi malam," suara Thomas bergetar. "Mereka bilang aku harus pergi. Jika aku tetap bersuara. . . mereka akan memastikan aku tidak akan berbicara lagi, selamanya."

Alexander mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Apa kau mengenali mereka?"

Thomas menggeleng. "Mereka hanya preman bayaran. Tapi pesan mereka jelas."

Mata Alexander menyapu ruangan. Kerusakan ini bukan sekadar peringatan, ini adalah bentuk teror. Ia mendekati Thomas, memeriksa luka-lukanya.

"Kau perlu dirawat. Aku akan membawamu ke rumah sakit," kata Alexander tegas.

"Tapi rumahku—"

"Rumahmu sudah tak aman, Thomas," potong Alexander. "Untuk sementara, tinggal di tempatku. Setidaknya sampai situasi mereda."

Thomas ragu sejenak, tapi melihat keseriusan Alexander, akhirnya ia mengangguk. "Terima kasih,  Aku benar-benar tidak tahu harus ke mana lagi."

Alexander hanya mengangguk singkat.

Alexander memarkir mobilnya dengan kasar di depan kantor The New York Tribune. Dia melangkah cepat menuju lobi, sorot matanya tajam dan penuh kemarahan. Begitu memasuki gedung, dia langsung menuju meja resepsionis.

"Aku ingin bertemu Cassandra Sinclair," katanya dengan nada tegas.

Resepsionis, seorang wanita muda dengan kacamata tebal, tampak sedikit terkejut dengan ketegasannya. "Maaf, tapi Cassandra sedang tidak ada di kantor saat ini. Dia sedang tugas lapangan."

Alexander menghela napas panjang, berusaha menekan emosinya. "Kapan dia kembali?"

Wanita itu menggeleng. "Saya tidak tahu pasti. Cassandra sering bekerja di luar kantor, mungkin nanti sore atau malam."

Alexander mengepalkan rahangnya. Ia datang ke sini untuk menuntut penjelasan. Berita yang ditulis Cassandra memang berani, tapi sekarang Thomas Gallagher harus membayar harganya. Rumahnya dihancurkan, nyawanya terancam. Dan Cassandra? Dia bahkan tidak ada di sini untuk melihat akibat dari tulisannya.

"Kalau begitu, beri tahu dia bahwa Alexander Carter mencarinya. Dan ini penting."

Resepsionis itu mencatat namanya dengan ragu. Alexander menatap gedung megah itu dengan gusar.

Jika Cassandra berpikir dia bisa bermain-main dengan api tanpa konsekuensi, maka dia salah besar.

Di tempat lain Cassandra duduk di sofa tua yang warnanya mulai pudar, menatap gadis remaja di hadapannya dengan penuh empati. Di samping gadis itu, seorang wanita tua—neneknya—duduk diam dengan ekspresi penuh kecemasan.

"Aku tidak mengerti. . . bagaimana bisa dia bebas begitu saja?" suara sang gadis bergetar, matanya yang sembab menunjukkan betapa banyak air mata yang telah ia tumpahkan. "Aku sudah mengatakan semuanya. . . aku sudah memberikan kesaksianku. . . tapi mereka bilang itu tidak cukup."

Cassandra mengepalkan tangan di atas buku catatannya. Sudah terlalu sering ia melihat kasus seperti ini. Para pelaku berkeliaran dengan bebas, sementara para korban justru dipaksa untuk menanggung rasa sakit sendirian.

"Sistem hukum itu busuk," kata Cassandra pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Sang nenek menepuk tangan cucunya dengan lembut. "Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Polisi bahkan menolak membuka kembali kasusnya. Pengacara pun bilang kita tidak punya cukup bukti. . ." suaranya terdengar lemah, hampir putus asa.

Cassandra menghela napas panjang. "Kalau hukum tidak bisa menyeretnya ke pengadilan, maka kita harus mencari cara lain. Aku akan memastikan cerita ini didengar oleh semua orang."

Sang gadis menatapnya dengan ragu. "Tapi. . . kalau aku bicara, mereka akan menyerangku. Aku takut."

Cassandra menatapnya tajam. "Kau tidak perlu takut. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu. Dan percayalah, ketika dunia tahu apa yang terjadi, mereka tidak akan bisa mengabaikan ini begitu saja."

Sang nenek tampak khawatir. "Apa ini tidak berbahaya?"

Cassandra tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa yang mereka hadapi bukan hanya sekadar kepala sekolah mesum—tapi juga sistem yang melindunginya. "Kebenaran memang selalu berbahaya. Tapi itulah pekerjaanku."

Cassandra baru saja hendak menenangkan gadis itu ketika ponselnya bergetar di atas meja kecil di sampingnya. Dengan sedikit enggan, ia meraihnya dan melihat layar. Panggilan dari kantor.

Ia menghela napas sebelum mengangkatnya. "Ada apa?" tanyanya singkat.

Suara resepsionis terdengar di seberang telepon, terdengar sedikit terburu-buru. "Cassie, seseorang datang mencarimu. Dia bilang ini sangat mendesak."

Cassandra mengerutkan kening. "Siapa?"

"Alexander Carter. Tapi dia terlihat tidak sabar. Haruskah aku menyuruhnya menunggu?"

Sejenak, Cassandra terdiam. Nama itu tidak asing baginya. Pengacara idealis yang beradu argumen dengannya beberapa hari lalu. Ia bisa membayangkan ekspresi serius pria itu—mungkin sedikit kesal karena liputannya yang mengguncang situasi.

"Dia bilang ini mendesak?" tanyanya akhirnya.

"Ya, dan dia tidak terlihat seperti orang yang suka menunggu lama."

"Katakan padanya aku sedang di luar, tapi akan segera kembali."

"Baik, aku akan menyampaikannya."

Cassandra melirik gadis di hadapannya, yang masih menunduk dengan tangan gemetar. Ia ingin tetap di sini, memastikan korban merasa cukup nyaman untuk berbicara. Tapi instingnya mengatakan bahwa apa pun yang sedang terjadi di kantornya juga bukan hal sepele.

Ia menutup telepon dan kembali menatap sang gadis. "Aku harus pergi sebentar, tapi aku berjanji akan kembali. Aku tidak akan meninggalkan cerita ini begitu saja."

Gadis itu menatapnya dengan penuh keraguan, tetapi akhirnya mengangguk. "Terima kasih. . . karena sudah peduli."

Cassandra tersenyum kecil sebelum berdiri dan merapikan barang-barangnya. Saat ia melangkah keluar dari rumah sederhana itu, pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan. Apa yang membuat seorang Alexander Carter datang mencarinya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Secret Of Justice   BAB 17

    Alexander berdiri diam beberapa saat di depan layar utama, memperhatikan peta digital yang terus bergerak mengikuti posisi Cassandra secara real-time. Di sampingnya, Elias duduk santai di kursi putar, tangan kanan memainkan pena elektronik sementara tangan kirinya sesekali menggeser tampilan monitor.“Kadang aku heran,” gumam Alexander pelan, “bagaimana dia bisa tetap hidup sejauh ini, dengan semua ancaman, semua langkah nekatnya. Seolah tak ada rasa takut sedikit pun.”Elias mengangkat alisnya, lalu menjawab enteng, “Karena dia memang keras kepala. Keras kepala kelas satu. Kalau ada kejuaraan nasional untuk jurnalis paling nekat, dia menang tanpa lawan.”Alexander menghela napas. “Dan aku semakin yakin ... tak ada yang benar-benar bisa mengendalikannya.”Elias tak langsung menjawab. Dia hanya tertawa kecil—pelan, hampir seperti bisikan. “Mengendalikan Cassie? Mustahil. Bahkan sistem keamanan CIA pun mungkin menyerah duluan.”“Lalu bagaimana kau bisa tenang, sementara dia berkeliaran

  • The Secret Of Justice   BAB 16

    “Maaf, wahai pekerja keras negara. Sebelum kalian menyelamatkan dunia dari balik meja kantor masing-masing, izinkan aku menghentikan langkah heroik kalian barang lima menit.”Suara Elias terdengar dari atas tangga, diiringi derap langkah buru-buru dan—entah bagaimana—dentingan sandal jepit yang hampir lepas dari kaki. Rambutnya berantakan, hoodie-nya terbalik, dan ekspresinya seperti ilmuwan yang baru menemukan planet baru setelah tiga malam tanpa tidur.Cassandra yang hendak membuka pintu menoleh dengan tatapan lelah. Alexander sedang merapikan dasinya, berhenti sejenak dan menghela napas panjang.Sebuah suara melayang dari speaker kecil di dapur. Tenang, datar, tapi penuh sindiran.“Kalau ini soal teori konspirasi alien lagi, kuharap kalian abaikan saja.”Elias menoleh ke arah sudut ruangan, ke arah proyektor hologram kecil tempat suara itu berasal. “Lyra, sayang, hari ini bukan soal alien. Ini serius.”“Kau juga bilang begitu waktu membobol sistem keamanan NASA cuma karena penasara

  • The Secret Of Justice   BAB 15

    Cassandra berbalik, berjalan menuju pintu. Namun sebelum membuka, ia sempat menoleh dan tersenyum kecil. “Jangan tidur terlalu malam. Kita lanjut besok.”Elias mengangkat dua jari seperti hormat. “Aye, Kapten Cassie.”Lampu di laboratorium meredup perlahan, menyisakan layar-layar biru yang masih menyala. Di antara kerlip cahaya data dan grafik pergerakan satelit, satu pesan kecil dari sistem Lyra menyala otomatis:“Satu simpul telah ditemukan. Tapi benang masih panjang.”Malam telah larut. Seluruh mansion Rowe tenggelam dalam keheningan, seakan seluruh dunia sedang menarik napas panjang untuk esok hari. Namun, di lantai dua mansion, tepat di balik dinding logam tersembunyi yang dulunya adalah markas rahasia masa kecil Elias dan Cassandra, cahaya biru dingin dari puluhan layar masih menyala terang.Laboratorium pribadi Elias Rowe tak ubahnya pusat kendali rahasia milik organisasi global. Dinding-dinding kaca pintar menampilkan aliran data real-time, grafik statistik, serta jaringan kea

  • The Secret Of Justice   BAB 14

    Tak banyak yang tahu bahwa lantai dua mansion keluarga Rowe menyimpan ruang paling rahasia sekaligus paling canggih di seluruh bangunan itu. Dahulu, ruangan tersebut hanyalah loteng kosong yang dijadikan markas rahasia oleh Elias dan Cassandra kecil—tempat mereka bermain detektif, membangun benteng dari bantal, dan menyusun rencana-rencana konyol untuk “menghukum” para guru galak.Kini, tempat itu telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih luar biasa.Laboratorium pribadi Elias tampak seperti hasil kawin silang antara pusat komando NASA dan sarang hacker berteknologi mutakhir. Seluruh dinding dipenuhi layar digital resolusi tinggi, menampilkan grafik, data terenkripsi, peta satelit, dan jejak-jejak sinyal yang terus dianalisis. Di satu sisi ruangan, rak-rak penuh perangkat elektronik eksperimental tertata rapi seolah museum teknologi masa depan. Bahkan aroma ruangannya pun steril, seperti ruang kontrol di dalam pesawat luar angkasa.Meja kerja Elias dipenuhi keyboard mekanik, ti

  • The Secret Of Justice   BAB 13

    Cahaya dari layar komputer di Brooklyn masih membekas dalam benak mereka saat Elias, Cassandra, dan Alexander keluar dari gedung tua itu. Udara malam terasa lebih dingin, tapi pikiran mereka justru semakin panas oleh fakta mengerikan yang baru saja terkuak.“Jadi, anak-anak ‘populasi uji coba’ itu benar-benar nyata,” gumam Cassandra, matanya masih terpaku pada layar ponsel yang menampilkan dokumen-dokumen rahasia.Alexander mengangguk, “Dan semuanya tersembunyi di balik kedok lembaga pendidikan dan fasilitas medis yang seharusnya dipercaya. Sungguh kotor, kalau dipikir-pikir.”Elias menyengir, “Yah, dunia ini memang penuh kejutan... dan kebusukan. Tapi cukup ngobrol soal horor buat malam ini. Aku mau tunjukkan sesuatu yang lebih ‘menyenangkan’.”Alexander memandang curiga. “Menyenangkan? Maksudmu lab gila lain seperti tadi? Yang penuh kabel kusut dan bau asap?”Elias terkekeh, “Tidak, tidak. Labku ini bukan lab cerutu atau kantor pemadam kebakaran. Tunggu saja. Ini jauh lebih keren.”

  • The Secret Of Justice   BAB 12

    Cahaya biru dari layar komputer menyinari wajah Elias Rowe yang untuk pertama kalinya terlihat serius lebih dari lima menit penuh. Rambutnya acak-acakan seperti habis bertarung dengan angin topan, dagunya dihiasi brewok tipis yang jelas-jelas bukan pilihan gaya, dan sorot matanya menusuk deretan kode yang terus berlari di layar seperti marathon tanpa garis akhir.Cassandra duduk di sisi meja, menyilangkan tangan sambil mengetukkan ujung sepatunya ke lantai. Di dekat jendela, Alexander berdiri bersandar ke dinding, satu tangan di saku, ekspresinya nyaris seperti orang yang menyesal hidup bersama dua manusia aneh di ruangan yang sama.“Berapa lama lagi kau mau menatap kode itu sampai kau berubah jadi Matrix?” tanya Cassandra akhirnya, nada suaranya setengah sabar, setengah mengantuk.Elias menghela napas panjang seperti baru ditampar realita. “Sebagian besar file ini terenkripsi dengan sistem militer. Tapi... aku kenal polanya.”Alexander mengangkat alis, mendekat dua langkah. “Kenal po

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status