Cassandra masih duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Pikirannya masih tertuju pada berita yang baru saja dipublikasikan, membayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang merasa terusik olehnya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menunjukkan nomor yang tidak dikenal. Tanpa ragu, Cassandra mengangkatnya dan mendekatkan ke telinga. "Cassandra," suara di seberang terdengar dalam dan berat, "kau telah melangkahi batas. Tarik beritamu sebelum kau menyesal." Cassandra mengangkat alisnya, tidak sedikit pun terkejut. Dia sudah menduga ini akan terjadi. "Dan jika aku tidak mau?" tanyanya santai, menyandarkan tubuh ke kursinya. Hening sejenak. Kemudian suara itu berbicara lagi, lebih dingin dari sebelumnya. "Aku yakin kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang terlalu banyak bicara." Cassandra tersenyum tipis. Ancaman ini terlalu klise. Dia sudah mendengarnya berkali-kali sebelumnya. "Oh, jadi aku akan 'menghilang secara misterius' seperti mereka?" ucapnya dengan nada mengejek. "Menarik. Tapi sejujurnya, aku mengharapkan sesuatu yang lebih kreatif darimu." Suara di telepon terdiam, seolah tidak menyangka responsnya akan seperti itu. "Dengar," lanjut Cassandra, nadanya berubah serius. "Kau pikir aku takut? Kau pikir satu ancaman murahan bisa membuatku menarik beritaku? Tidak. Ini justru memberiku ide yang lebih gila." Dia tertawa kecil, matanya bersinar dengan gairah seorang jurnalis yang baru saja menemukan bahan bakar untuk beritanya. "Sekarang aku tahu bahwa aku sedang menggali sesuatu yang besar. Dan percayalah, aku tidak akan berhenti sampai semua orang tahu kebenarannya." Tanpa menunggu jawaban, Cassandra menutup telepon dan melemparkan ponselnya ke meja. Jika mereka mengira bisa membuatnya mundur dengan satu ancaman, mereka salah besar. Mereka baru saja memberinya alasan untuk melangkah lebih jauh. Di sisi lain, Alexander baru saja meletakkan cangkir kopinya ketika ponselnya bergetar di meja. Nama Thomas Gallagher terpampang di layar. “Gallagher?” Alex menjawab panggilan itu, tapi suara yang ia dengar di ujung telepon membuatnya segera duduk tegak. “Alexander. . . tolong. . . mereka datang ke rumah saya. Mereka merusak segalanya. . . Saya. . . Saya tidak tahu harus berbuat apa. . .” Napas Thomas terdengar putus-putus, suaranya bergetar penuh ketakutan. “Siapa yang datang? Apa yang terjadi?” Alexander bertanya cepat. “Mereka. . . beberapa orang datang, memaksa masuk. Mereka bilang ini peringatan terakhir saya. Mereka mengancam akan menghancurkan semuanya jika saya terus melawan.” Jantung Alexander berdegup kencang. Ini sudah di luar batas. “Apa mereka masih di sana?” “Sudah pergi. . . tapi mereka meninggalkan kekacauan di rumah saya.” Alexander menggenggam ponselnya erat. “Aku akan ke sana sekarang.” Tanpa berpikir panjang, ia meraih jasnya, menekan tombol panggilan darurat di ponselnya, dan melangkah keluar dengan ekspresi penuh amarah. Mobil Alexander berhenti di depan rumah Thomas Gallagher yang kini berantakan. Pintu depan setengah terbuka, bekas tendangan terlihat jelas di kayunya. Pecahan kaca berserakan di teras, dan perabotan di dalam rumah tampak hancur. "Thomas!" Alexander bergegas masuk. Dari sudut ruangan, Thomas muncul dengan langkah tertatih. Ada luka di pelipisnya, dan darah mengering di sudut bibirnya. Tangannya gemetar saat ia bersandar pada dinding, napasnya berat. "Mereka datang tadi malam," suara Thomas bergetar. "Mereka bilang aku harus pergi. Jika aku tetap bersuara. . . mereka akan memastikan aku tidak akan berbicara lagi, selamanya." Alexander mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Apa kau mengenali mereka?" Thomas menggeleng. "Mereka hanya preman bayaran. Tapi pesan mereka jelas." Mata Alexander menyapu ruangan. Kerusakan ini bukan sekadar peringatan, ini adalah bentuk teror. Ia mendekati Thomas, memeriksa luka-lukanya. "Kau perlu dirawat. Aku akan membawamu ke rumah sakit," kata Alexander tegas. "Tapi rumahku—" "Rumahmu sudah tak aman, Thomas," potong Alexander. "Untuk sementara, tinggal di tempatku. Setidaknya sampai situasi mereda." Thomas ragu sejenak, tapi melihat keseriusan Alexander, akhirnya ia mengangguk. "Terima kasih, Aku benar-benar tidak tahu harus ke mana lagi." Alexander hanya mengangguk singkat. Alexander memarkir mobilnya dengan kasar di depan kantor The New York Tribune. Dia melangkah cepat menuju lobi, sorot matanya tajam dan penuh kemarahan. Begitu memasuki gedung, dia langsung menuju meja resepsionis. "Aku ingin bertemu Cassandra Sinclair," katanya dengan nada tegas. Resepsionis, seorang wanita muda dengan kacamata tebal, tampak sedikit terkejut dengan ketegasannya. "Maaf, tapi Cassandra sedang tidak ada di kantor saat ini. Dia sedang tugas lapangan." Alexander menghela napas panjang, berusaha menekan emosinya. "Kapan dia kembali?" Wanita itu menggeleng. "Saya tidak tahu pasti. Cassandra sering bekerja di luar kantor, mungkin nanti sore atau malam." Alexander mengepalkan rahangnya. Ia datang ke sini untuk menuntut penjelasan. Berita yang ditulis Cassandra memang berani, tapi sekarang Thomas Gallagher harus membayar harganya. Rumahnya dihancurkan, nyawanya terancam. Dan Cassandra? Dia bahkan tidak ada di sini untuk melihat akibat dari tulisannya. "Kalau begitu, beri tahu dia bahwa Alexander Carter mencarinya. Dan ini penting." Resepsionis itu mencatat namanya dengan ragu. Alexander menatap gedung megah itu dengan gusar. Jika Cassandra berpikir dia bisa bermain-main dengan api tanpa konsekuensi, maka dia salah besar. Di tempat lain Cassandra duduk di sofa tua yang warnanya mulai pudar, menatap gadis remaja di hadapannya dengan penuh empati. Di samping gadis itu, seorang wanita tua—neneknya—duduk diam dengan ekspresi penuh kecemasan. "Aku tidak mengerti. . . bagaimana bisa dia bebas begitu saja?" suara sang gadis bergetar, matanya yang sembab menunjukkan betapa banyak air mata yang telah ia tumpahkan. "Aku sudah mengatakan semuanya. . . aku sudah memberikan kesaksianku. . . tapi mereka bilang itu tidak cukup." Cassandra mengepalkan tangan di atas buku catatannya. Sudah terlalu sering ia melihat kasus seperti ini. Para pelaku berkeliaran dengan bebas, sementara para korban justru dipaksa untuk menanggung rasa sakit sendirian. "Sistem hukum itu busuk," kata Cassandra pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Sang nenek menepuk tangan cucunya dengan lembut. "Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Polisi bahkan menolak membuka kembali kasusnya. Pengacara pun bilang kita tidak punya cukup bukti. . ." suaranya terdengar lemah, hampir putus asa. Cassandra menghela napas panjang. "Kalau hukum tidak bisa menyeretnya ke pengadilan, maka kita harus mencari cara lain. Aku akan memastikan cerita ini didengar oleh semua orang." Sang gadis menatapnya dengan ragu. "Tapi. . . kalau aku bicara, mereka akan menyerangku. Aku takut." Cassandra menatapnya tajam. "Kau tidak perlu takut. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu. Dan percayalah, ketika dunia tahu apa yang terjadi, mereka tidak akan bisa mengabaikan ini begitu saja." Sang nenek tampak khawatir. "Apa ini tidak berbahaya?" Cassandra tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa yang mereka hadapi bukan hanya sekadar kepala sekolah mesum—tapi juga sistem yang melindunginya. "Kebenaran memang selalu berbahaya. Tapi itulah pekerjaanku." Cassandra baru saja hendak menenangkan gadis itu ketika ponselnya bergetar di atas meja kecil di sampingnya. Dengan sedikit enggan, ia meraihnya dan melihat layar. Panggilan dari kantor. Ia menghela napas sebelum mengangkatnya. "Ada apa?" tanyanya singkat. Suara resepsionis terdengar di seberang telepon, terdengar sedikit terburu-buru. "Cassie, seseorang datang mencarimu. Dia bilang ini sangat mendesak." Cassandra mengerutkan kening. "Siapa?" "Alexander Carter. Tapi dia terlihat tidak sabar. Haruskah aku menyuruhnya menunggu?" Sejenak, Cassandra terdiam. Nama itu tidak asing baginya. Pengacara idealis yang beradu argumen dengannya beberapa hari lalu. Ia bisa membayangkan ekspresi serius pria itu—mungkin sedikit kesal karena liputannya yang mengguncang situasi. "Dia bilang ini mendesak?" tanyanya akhirnya. "Ya, dan dia tidak terlihat seperti orang yang suka menunggu lama." "Katakan padanya aku sedang di luar, tapi akan segera kembali." "Baik, aku akan menyampaikannya." Cassandra melirik gadis di hadapannya, yang masih menunduk dengan tangan gemetar. Ia ingin tetap di sini, memastikan korban merasa cukup nyaman untuk berbicara. Tapi instingnya mengatakan bahwa apa pun yang sedang terjadi di kantornya juga bukan hal sepele. Ia menutup telepon dan kembali menatap sang gadis. "Aku harus pergi sebentar, tapi aku berjanji akan kembali. Aku tidak akan meninggalkan cerita ini begitu saja." Gadis itu menatapnya dengan penuh keraguan, tetapi akhirnya mengangguk. "Terima kasih. . . karena sudah peduli." Cassandra tersenyum kecil sebelum berdiri dan merapikan barang-barangnya. Saat ia melangkah keluar dari rumah sederhana itu, pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan. Apa yang membuat seorang Alexander Carter datang mencarinya?Cassandra menatap layar laptopnya sambil menyesap kopi yang sudah dingin. Berkas-berkas kasus Lily masih terbuka, tetapi pikirannya terus melayang pada ancaman yang ia terima.Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya mendesah panjang.Elias Rowe.Cassandra menekan tombol jawab. "Jika kau menelepon hanya untuk menggangguku, aku akan memblokirmu sekarang juga.""Cassie, kau sungguh kejam. Aku menelepon karena rindu, tapi kau malah mengancamku," Elias merajuk, terdengar dramatis seperti biasa."Elias, kalau kau rindu, aku bisa mengirimmu sekotak batu bata supaya kau bisa membenturkan kepalamu sendiri.""Astaga, betapa manisnya kau."Cassandra memutar matanya. "Katakan saja apa maumu, Elias.""Baiklah, baiklah," suara Elias berubah sedikit lebih serius. "Aku ingin kau membuka laptopmu dan periksa folder baru yang muncul di desktopmu."Cassandra mengernyit dan segera mengecek layar laptopnya. Benar saja, ada folder baru berjudul "For My Favorite Pain in the Ass."
Suasana kantor The New York Tribune terasa lengang saat malam semakin larut. Hanya suara ketikan keyboard yang memenuhi ruangan. Cassandra duduk di depan laptopnya, matanya fokus menelusuri berkas-berkas kasus Lily, gadis yang berani melaporkan pelecehan tetapi diabaikan oleh sistem.Ponselnya bergetar, memecah keheningan. Tanpa melihat layar, Cassandra meraihnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?"Tidak ada suara di seberang. Hanya napas berat, panjang, seperti seseorang yang sedang mengawasi."Cassandra," suara berat itu akhirnya terdengar. Dingin. Terukur. "Kau masih belum belajar, ya?"Cassandra menegang sesaat, tetapi tidak menunjukkan tanda ketakutan. "Kalau kau ingin aku takut, kau harus mencoba lebih keras."Orang itu tertawa kecil, tawa tanpa emosi. "Kau berani bicara seperti itu setelah apa yang terjadi pada Gallagher? Kau ingin jadi korban berikutnya?"Cassandra mengangkat alis, meski ia tahu pria itu tidak bisa melihatnya. "Ancaman yang sama lagi? Kalian benar-benar keha
Cassandra melangkah santai memasuki lobi The New York Tribune, senyumnya mengembang saat matanya menangkap sosok pria yang tampak gelisah menunggu di dekat resepsionis. Alexander Carter. Pengacara itu berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, rahangnya mengeras seolah menahan emosi.Ia bahkan tidak perlu menebak alasan pria itu datang. Sudah jelas.Dengan tawa kecil, Cassandra berjalan mendekat, tatapannya penuh percaya diri. "Kau terlihat tidak sabar, Alexander. Apa aku harus merasa tersanjung?"Alexander langsung menoleh, matanya tajam menatap Cassandra. Meski nada suaranya tetap tenang, Cassandra bisa merasakan kemarahan yang tertahan di balik kata-katanya."Kita perlu bicara," ucapnya singkat.Cassandra mengangkat alis, masih mempertahankan senyumnya. "Tentu. Kau ingin wawancara eksklusif?"Alexander mendengus, jelas tidak terhibur. "Jangan bercanda, Cassandra. Ini bukan soal permainan kata-kata di media."Cassandra melipat tangan di depan dadanya. "Lalu apa? Ji
Cassandra masih duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Pikirannya masih tertuju pada berita yang baru saja dipublikasikan, membayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang merasa terusik olehnya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menunjukkan nomor yang tidak dikenal. Tanpa ragu, Cassandra mengangkatnya dan mendekatkan ke telinga."Cassandra," suara di seberang terdengar dalam dan berat, "kau telah melangkahi batas. Tarik beritamu sebelum kau menyesal."Cassandra mengangkat alisnya, tidak sedikit pun terkejut. Dia sudah menduga ini akan terjadi."Dan jika aku tidak mau?" tanyanya santai, menyandarkan tubuh ke kursinya.Hening sejenak. Kemudian suara itu berbicara lagi, lebih dingin dari sebelumnya. "Aku yakin kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang terlalu banyak bicara."Cassandra tersenyum tipis. Ancaman ini terlalu klise. Dia sudah mendengarnya berkali-kali sebelumnya."Oh, jadi aku akan 'menghilang secara misterius' seperti mereka?" ucapnya den
Cassandra mendorong pintu kaca kantor The New York Tribune dan melangkah masuk dengan cepat. Redaksi masih ramai meski malam sudah mulai larut. Suara ketikan cepat dari rekan-rekannya bercampur dengan dering telepon dan diskusi singkat antar reporter yang berlalu-lalang. Tapi Cassandra tak memedulikan semua itu. Pikirannya masih tertuju pada kasus Thomas Gallagher—dan ekspresi frustasi Alexander Carter saat persidangan tadi.Ia melempar tasnya ke meja, menyalakan laptop, lalu mulai mengetik dengan cepat.**“Ketika hukum berpihak pada yang berkuasa, siapa yang melindungi mereka yang tak punya suara? Thomas Gallagher hanya seorang pria biasa, seorang petani kecil yang tanahnya diambil begitu saja oleh korporasi raksasa yang berlindung di balik celah hukum. Hari ini, pengadilan menolak tuntutannya—bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena sistem yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keadilan.Ini bukan hanya tentang Thomas. Ini tentang kita semua. Tentang bagaimana mereka yang pu
Lorong luar ruang sidang terasa berat dengan keheningan yang mencekam. Thomas Gallagher duduk di bangku panjang, bahunya merosot, matanya masih menatap kosong ke lantai. Kekalahan yang baru saja ia alami membuatnya kehilangan segalanya—tanahnya, rumahnya, dan keyakinannya terhadap keadilan.Alexander Carter berdiri di sampingnya, berusaha memberikan penghiburan meskipun ia tahu kata-kata tidak akan cukup. Kliennya telah menjadi korban permainan kotor, dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya.Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang dengan penuh percaya diri berjalan ke arah mereka.“Tuan Gallagher?”Suara seorang wanita membuat Alexander mendongak. Seorang wanita muda berdiri di depan mereka, mengenakan blazer hitam yang pas dengan tubuhnya, dipadukan dengan jeans gelap yang memberikan kesan santai namun profesional. Rambut cokelat keemasannya tergerai dengan rapi, dan sorot matanya tajam, penuh determinasi.“Saya Cassandra Sinclair, jurnalis dari The Ne
“Yang Mulia,” Alexander Carter berdiri tegap di balik meja pengacara. Setelan hitamnya rapi, dasinya terikat sempurna, namun sorot matanya tajam dan penuh determinasi. Suaranya bergema di dalam ruangan, tenang namun penuh penekanan. “Kasus ini bukan sekadar sengketa kepemilikan tanah. Ini adalah bukti nyata bagaimana hukum sering kali berpihak kepada mereka yang memiliki kekuatan dan uang, sementara rakyat kecil dipaksa menyerah tanpa perlawanan.” Ruang sidang dipenuhi atmosfer tegang. Deretan kursi dipenuhi oleh wartawan, pengamat hukum, dan beberapa orang yang memiliki kepentingan dalam kasus ini. Lampu-lampu kristal di langit-langit aula pengadilan memancarkan sinar redup yang terasa dingin, mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Di bagian depan, ia menatap hakim dengan percaya diri sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada berkas di tangannya. “Klien saya, Thomas Gallagher,” Alexander melirik ke arah seorang pria tua yang duduk dengan wajah penuh harapan, “tela