Home / Lainnya / The Secret Of Justice / BAB 6 - PERINGATAN

Share

BAB 6 - PERINGATAN

Author: Nuna Grey
last update Last Updated: 2025-03-24 14:34:50

Suasana kantor The New York Tribune terasa lengang saat malam semakin larut. Hanya suara ketikan keyboard yang memenuhi ruangan. Cassandra duduk di depan laptopnya, matanya fokus menelusuri berkas-berkas kasus Lily, gadis yang berani melaporkan pelecehan tetapi diabaikan oleh sistem.

Ponselnya bergetar, memecah keheningan. Tanpa melihat layar, Cassandra meraihnya dan mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

Tidak ada suara di seberang. Hanya napas berat, panjang, seperti seseorang yang sedang mengawasi.

"Cassandra," suara berat itu akhirnya terdengar. Dingin. Terukur. "Kau masih belum belajar, ya?"

Cassandra menegang sesaat, tetapi tidak menunjukkan tanda ketakutan. "Kalau kau ingin aku takut, kau harus mencoba lebih keras."

Orang itu tertawa kecil, tawa tanpa emosi. "Kau berani bicara seperti itu setelah apa yang terjadi pada Gallagher? Kau ingin jadi korban berikutnya?"

Cassandra mengangkat alis, meski ia tahu pria itu tidak bisa melihatnya. "Ancaman yang sama lagi? Kalian benar-benar kehabisan kreativitas."

"Kami sudah memperingatkanmu, Cassandra. Berhenti menulis tentang Lily. Lupakan dia. Atau..."

Sambungan terputus.

Cassandra menatap layar ponselnya, rahangnya mengeras. Mereka mengawasinya.

Dia menarik napas dalam, lalu kembali membuka berkas-berkas Lily. Gadis itu mencoba melawan sistem, tetapi bukti menghilang, saksi bungkam, dan kasusnya ditutup begitu saja. Kini, jelas sudah: ada seseorang yang ingin memastikan kebenaran tetap terkubur.

Namun, bagi Cassandra, itu berarti dia semakin dekat dengan sesuatu yang besar.

Pagi Berikutnya - Ancaman nyata

Alexander Carter melangkah masuk ke kantor The New York Tribune dengan ekspresi muram. Sejak Cassandra mulai menyelidiki kasus Lily, ia tahu bahwa cepat atau lambat seseorang akan mencoba menghentikannya.

Begitu sampai di ruangannya, ia mendapati Cassandra sedang berdiri di depan mejanya, menatap sesuatu di atas meja dengan ekspresi datar.

Di sana, ada amplop cokelat besar, terbuka.

Dengan langkah cepat, Alexander mendekat dan melirik isi amplop itu.

Foto-foto.

Foto Cassandra diambil dari kejauhan—saat ia berjalan di trotoar, saat duduk di kafe, saat keluar dari apartemennya. Seseorang telah mengikutinya.

Di bagian bawah, ada secarik kertas dengan tulisan tangan:

"Kami selalu mengawasi. Jangan lanjutkan ini, Cassandra."

Alexander mengepalkan rahangnya. "Kau masih berpikir ini tidak serius?"

Cassandra mengambil salah satu foto, menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Setidaknya kali ini mereka menggunakan ancaman yang lebih canggih daripada sekadar bangkai binatang."

"Cassandra, ini bukan main-main!" Alexander hampir membentaknya. "Mereka tidak hanya mengancammu. Mereka mengikutimu. Mereka tahu di mana kau tinggal, ke mana kau pergi!"

"Tentu saja mereka tahu," Cassandra memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam amplop. "Tapi pertanyaannya, seberapa takutkah mereka sampai harus melakukan ini?"

Alexander mengusap wajahnya, frustasi. "Mereka tidak takut padamu. Mereka hanya ingin memastikan kau tidak menjadi masalah."

"Dan itu berarti aku sudah jadi masalah," Cassandra menyeringai kecil.

Alexander menatapnya tak percaya. "Kau benar-benar menikmati ini, ya?"

Cassandra menyilangkan tangan. "Aku menikmati kebenaran, Alexander. Itu hal yang berbeda."

Alexander menghela napas panjang, suaranya lebih tenang tapi tegas. "Setidaknya, jika kau tetap nekat, biarkan aku membantumu."

Cassandra mengangkat alis. "Aku tidak menyangka kau akan terlibat sejauh ini."

"Aku juga tidak menyangka," Alexander mendengus. "Tapi seseorang harus memastikan kau tetap hidup."

Cassandra tersenyum tipis meski matanya menyala dengan tekad. "Kita lihat saja siapa yang akan berhenti lebih dulu."

Cassandra masih memandangi foto-foto di atas mejanya. Wajahnya tetap tenang, tetapi Alexander bisa melihat ketegangan di matanya.

“Sejauh ini mereka hanya mengancam.” Cassandra menyentuh salah satu foto, memperhatikan detailnya. “Tapi jika mereka mulai mengikuti, itu berarti mereka tidak ingin aku punya ruang untuk bergerak.”

Alexander mengepalkan tangannya. “Ini bukan hanya ancaman, Cassandra. Mereka memberitahumu bahwa setiap langkahmu diawasi. Mereka ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian—dengan cara yang salah.”

Cassandra menyeringai kecil, tetapi ekspresinya lebih tajam. “Bagus. Itu berarti aku mengarah ke sesuatu yang benar.”

Alexander menatapnya tak percaya. “Kau serius? Cassandra, ini bukan sekadar permainan kucing dan tikus. Ini peringatan bahwa kau bisa jadi target berikutnya.”

Cassandra mengambil secarik kertas dari dalam amplop dan mengangkatnya di depan Alexander. Tulisan tangan yang sedikit berantakan namun tegas tertera di sana:

"Hentikan sekarang, atau kami akan membuatmu diam selamanya."

Cassandra menatap Alexander dan tersenyum kecil. “Kau tahu, aku mengharapkan sesuatu yang lebih kreatif.”

Alexander mengusap wajahnya, jelas frustasi. “Mereka tidak butuh kreativitas, Cassandra. Mereka hanya butuh kau untuk berhenti.”

“Dan aku tidak akan berhenti.”

Alexander menatapnya tajam. “Mereka ingin memastikan kau tahu betapa seriusnya ini. Hari ini foto-foto. Besok?”

Cassandra bersandar di kursinya, memainkan pena di tangannya. “Besok mungkin mereka akan mencoba sesuatu yang lebih ekstrem.”

Alexander mendekat, suaranya lebih rendah tetapi penuh ketegangan. “Itu bukan hal yang bisa kau ucapkan dengan santai, Cassandra.”

Sebelum Cassandra sempat menjawab, ponselnya bergetar di atas meja. Nomor tidak dikenal muncul di layar.

Alexander menatapnya tajam. “Jangan angkat.”

Cassandra tetap mengangkatnya, menekan tombol speaker. “Cassandra Sinclair.”

Sejenak, tidak ada suara. Lalu sebuah napas panjang terdengar, dingin dan dalam.

“Peringatan terakhir, Cassandra.” Suara itu tenang, tetapi ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang membuat udara di dalam ruangan terasa lebih dingin. “Aku harap kau menikmati harimu, karena kau tidak akan pernah tahu kapan itu akan menjadi yang terakhir.”

Ruangan itu hening setelah panggilan terputus.

Lalu, tiba-tiba—

Cassandra tertawa.

Bukan tawa gugup atau terpaksa, tetapi tawa yang benar-benar tulus, seolah baru saja menyaksikan pertunjukan yang sangat menghibur.

Ia bahkan bertepuk tangan pelan, seakan menghargai usaha orang di balik ancaman itu.

“Luar biasa,” katanya dengan nada penuh ironi. “Akhirnya, ancaman yang terdengar serius.”

Alexander menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. “Kau bercanda? Cassandra, mereka baru saja mengancammu secara langsung!”

Cassandra mengangkat bahu. “Tapi dengan eksekusi yang lebih dramatis dibanding sebelumnya. Aku menghargai peningkatan usaha mereka.”

Alexander menggeram. “Ini bukan permainan, Cassandra.”

“Tentu saja ini permainan.” Cassandra menatapnya tajam, senyumnya masih tersisa di sudut bibirnya. “Permainan yang sudah mereka mulai sejak dulu. Bedanya, aku tidak berniat menjadi pion yang patuh.”

Alexander mengepalkan tangannya, lalu menghela napas panjang. Ia tahu Cassandra tidak akan mundur.

“Kau tahu ini tidak akan berakhir baik, bukan?” suaranya lebih tenang, tapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya.

Cassandra tersenyum tipis, lalu menatap langsung ke matanya. “Aku tidak mencari akhir yang baik, Alexander. Aku mencari kebenaran.”

Alexander menggeleng, jelas tidak setuju. “Dan kau akan mati karenanya.”

Cassandra terkekeh kecil. “Mungkin. Tapi setidaknya aku tidak akan mati dalam ketidaktahuan.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan.

Alexander akhirnya mendesah panjang, lalu meraih jasnya. “Aku akan memastikan kau tetap hidup cukup lama untuk menemukan kebenaran itu.”

Cassandra mengangkat alis. “Alexander, apakah itu berarti kau mulai peduli?”

Alexander menatapnya tajam sebelum akhirnya berbalik menuju pintu. “Aku hanya tidak ingin melihat mayat seseorang terpampang di halaman depan koran yang sama tempat dia bekerja.”

Senyum Cassandra semakin melebar. “Bagus. Karena aku juga tidak berencana mati dalam waktu dekat.”

Saat pintu tertutup di belakang Alexander, Cassandra menatap amplop di mejanya sekali lagi.

Di luar sana, seseorang masih mengawasi.

Mereka sudah memberi peringatan.

Langkah berikutnya, tidak akan ada lagi peringatan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Secret Of Justice   Bab 7 – BAYANGAN

    Cassandra menatap layar laptopnya sambil menyesap kopi yang sudah dingin. Berkas-berkas kasus Lily masih terbuka, tetapi pikirannya terus melayang pada ancaman yang ia terima.Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya mendesah panjang.Elias Rowe.Cassandra menekan tombol jawab. "Jika kau menelepon hanya untuk menggangguku, aku akan memblokirmu sekarang juga.""Cassie, kau sungguh kejam. Aku menelepon karena rindu, tapi kau malah mengancamku," Elias merajuk, terdengar dramatis seperti biasa."Elias, kalau kau rindu, aku bisa mengirimmu sekotak batu bata supaya kau bisa membenturkan kepalamu sendiri.""Astaga, betapa manisnya kau."Cassandra memutar matanya. "Katakan saja apa maumu, Elias.""Baiklah, baiklah," suara Elias berubah sedikit lebih serius. "Aku ingin kau membuka laptopmu dan periksa folder baru yang muncul di desktopmu."Cassandra mengernyit dan segera mengecek layar laptopnya. Benar saja, ada folder baru berjudul "For My Favorite Pain in the Ass."

  • The Secret Of Justice   BAB 6 - PERINGATAN

    Suasana kantor The New York Tribune terasa lengang saat malam semakin larut. Hanya suara ketikan keyboard yang memenuhi ruangan. Cassandra duduk di depan laptopnya, matanya fokus menelusuri berkas-berkas kasus Lily, gadis yang berani melaporkan pelecehan tetapi diabaikan oleh sistem.Ponselnya bergetar, memecah keheningan. Tanpa melihat layar, Cassandra meraihnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?"Tidak ada suara di seberang. Hanya napas berat, panjang, seperti seseorang yang sedang mengawasi."Cassandra," suara berat itu akhirnya terdengar. Dingin. Terukur. "Kau masih belum belajar, ya?"Cassandra menegang sesaat, tetapi tidak menunjukkan tanda ketakutan. "Kalau kau ingin aku takut, kau harus mencoba lebih keras."Orang itu tertawa kecil, tawa tanpa emosi. "Kau berani bicara seperti itu setelah apa yang terjadi pada Gallagher? Kau ingin jadi korban berikutnya?"Cassandra mengangkat alis, meski ia tahu pria itu tidak bisa melihatnya. "Ancaman yang sama lagi? Kalian benar-benar keha

  • The Secret Of Justice   BAB 5 – KONSEKUENSI SEBUAH KEBENARAN

    Cassandra melangkah santai memasuki lobi The New York Tribune, senyumnya mengembang saat matanya menangkap sosok pria yang tampak gelisah menunggu di dekat resepsionis. Alexander Carter. Pengacara itu berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, rahangnya mengeras seolah menahan emosi.Ia bahkan tidak perlu menebak alasan pria itu datang. Sudah jelas.Dengan tawa kecil, Cassandra berjalan mendekat, tatapannya penuh percaya diri. "Kau terlihat tidak sabar, Alexander. Apa aku harus merasa tersanjung?"Alexander langsung menoleh, matanya tajam menatap Cassandra. Meski nada suaranya tetap tenang, Cassandra bisa merasakan kemarahan yang tertahan di balik kata-katanya."Kita perlu bicara," ucapnya singkat.Cassandra mengangkat alis, masih mempertahankan senyumnya. "Tentu. Kau ingin wawancara eksklusif?"Alexander mendengus, jelas tidak terhibur. "Jangan bercanda, Cassandra. Ini bukan soal permainan kata-kata di media."Cassandra melipat tangan di depan dadanya. "Lalu apa? Ji

  • The Secret Of Justice   BAB 4 – ANCAMAN

    Cassandra masih duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Pikirannya masih tertuju pada berita yang baru saja dipublikasikan, membayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang merasa terusik olehnya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menunjukkan nomor yang tidak dikenal. Tanpa ragu, Cassandra mengangkatnya dan mendekatkan ke telinga."Cassandra," suara di seberang terdengar dalam dan berat, "kau telah melangkahi batas. Tarik beritamu sebelum kau menyesal."Cassandra mengangkat alisnya, tidak sedikit pun terkejut. Dia sudah menduga ini akan terjadi."Dan jika aku tidak mau?" tanyanya santai, menyandarkan tubuh ke kursinya.Hening sejenak. Kemudian suara itu berbicara lagi, lebih dingin dari sebelumnya. "Aku yakin kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang terlalu banyak bicara."Cassandra tersenyum tipis. Ancaman ini terlalu klise. Dia sudah mendengarnya berkali-kali sebelumnya."Oh, jadi aku akan 'menghilang secara misterius' seperti mereka?" ucapnya den

  • The Secret Of Justice   BAB 3 – MENULIS KEBENARAN

    Cassandra mendorong pintu kaca kantor The New York Tribune dan melangkah masuk dengan cepat. Redaksi masih ramai meski malam sudah mulai larut. Suara ketikan cepat dari rekan-rekannya bercampur dengan dering telepon dan diskusi singkat antar reporter yang berlalu-lalang. Tapi Cassandra tak memedulikan semua itu. Pikirannya masih tertuju pada kasus Thomas Gallagher—dan ekspresi frustasi Alexander Carter saat persidangan tadi.Ia melempar tasnya ke meja, menyalakan laptop, lalu mulai mengetik dengan cepat.**“Ketika hukum berpihak pada yang berkuasa, siapa yang melindungi mereka yang tak punya suara? Thomas Gallagher hanya seorang pria biasa, seorang petani kecil yang tanahnya diambil begitu saja oleh korporasi raksasa yang berlindung di balik celah hukum. Hari ini, pengadilan menolak tuntutannya—bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena sistem yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keadilan.Ini bukan hanya tentang Thomas. Ini tentang kita semua. Tentang bagaimana mereka yang pu

  • The Secret Of Justice   BAB 2 – PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA

    Lorong luar ruang sidang terasa berat dengan keheningan yang mencekam. Thomas Gallagher duduk di bangku panjang, bahunya merosot, matanya masih menatap kosong ke lantai. Kekalahan yang baru saja ia alami membuatnya kehilangan segalanya—tanahnya, rumahnya, dan keyakinannya terhadap keadilan.Alexander Carter berdiri di sampingnya, berusaha memberikan penghiburan meskipun ia tahu kata-kata tidak akan cukup. Kliennya telah menjadi korban permainan kotor, dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya.Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang dengan penuh percaya diri berjalan ke arah mereka.“Tuan Gallagher?”Suara seorang wanita membuat Alexander mendongak. Seorang wanita muda berdiri di depan mereka, mengenakan blazer hitam yang pas dengan tubuhnya, dipadukan dengan jeans gelap yang memberikan kesan santai namun profesional. Rambut cokelat keemasannya tergerai dengan rapi, dan sorot matanya tajam, penuh determinasi.“Saya Cassandra Sinclair, jurnalis dari The Ne

  • The Secret Of Justice   BAB 1 - RUANG PERSIDANGAN

    “Yang Mulia,” Alexander Carter berdiri tegap di balik meja pengacara. Setelan hitamnya rapi, dasinya terikat sempurna, namun sorot matanya tajam dan penuh determinasi. Suaranya bergema di dalam ruangan, tenang namun penuh penekanan. “Kasus ini bukan sekadar sengketa kepemilikan tanah. Ini adalah bukti nyata bagaimana hukum sering kali berpihak kepada mereka yang memiliki kekuatan dan uang, sementara rakyat kecil dipaksa menyerah tanpa perlawanan.” Ruang sidang dipenuhi atmosfer tegang. Deretan kursi dipenuhi oleh wartawan, pengamat hukum, dan beberapa orang yang memiliki kepentingan dalam kasus ini. Lampu-lampu kristal di langit-langit aula pengadilan memancarkan sinar redup yang terasa dingin, mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Di bagian depan, ia menatap hakim dengan percaya diri sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada berkas di tangannya. “Klien saya, Thomas Gallagher,” Alexander melirik ke arah seorang pria tua yang duduk dengan wajah penuh harapan, “tela

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status