Share

Bab 3. Hancurnya Kehidupan Deon Bagian 2.

Ke dua mata Deon tidak bisa berpaling dari dua bola mata milik bayi yang ada di dalam keranjang besar itu, karena ke dua mata itu sangat mirip dengan mata yang dimiliki Ayya, yang tak lain adalah ibu dari bayi itu. Perlahan-lahan air mata Deon membasahi ke dua pipinya dan hampir saja menetes di wajah bayi mungil yang masih terlihat sangat lemah itu.

“Bayi? Isinya bayi?” tanya penjaga kuburan itu. Dia terlihat sangat terkejut dengan isi keranjang yang dia bawa sebelumnya.

“Cantiknya, apa Mamamu sudah memberimu nama?” tanya Deon sambil mengusap pipi bayi mungil itu.

“Bayi siapa ini Nak? Sebaiknya kita berikan pada pihak berwajib saja supaya dicarikan orang tua kandungnya,” ucap penjaga kuburan itu yang tidak mengetahui jika Deon adalah salah satu orang tua bayi mungil itu.

“Bapak jangan khawatir, tidak perlu mencari karena dia datang pada orang yang tepat,” jawab Deon sambil mengangkat bayi itu keluar dari dalam keranjang yang menyembunyikan tubuh mungil itu.

Bayi itu menggeliat seakan dia ingin bermain dengan sosok yang baru pertama kali dia lihat namun terasa tak asing baginya.

“Kamu cantik seperti Mamamu, maafkan Ayahmu ini jika kedepannya kehidupan yang akan kamu jalani tidak mudah, tapi Ayah janji, Ayah akan berusaha menjadi orang tua yang baik untukmu,” ucap Deon sambil menggendong bayi itu dengan hati-hati di ke dua tangannya.

“A-ayah? Maksud Nak Deon?” tanya penjaga kuburan itu yang tidak mengerti dengan ucapan Deon.

“Maaf Pak, Saya tidak bisa menejelaskannya tapi terima kasih karena sudah membawanya kepada saya. Saya pamit dulu Pak,” jawab Deon mengakhiri obrolannya dengan penjaga kuburan itu lalu pergi dengan buah hatinya itu.

Ada perasaan aneh yang memenuhi dada Deon. Wajah bayi itu sangat mirip dengan wajahnya namun dia memiliki ke dua mata yang sangat mirip dengan Ayya, hal itu membuat Deon selalu teringat pada Ayya, gadis yang tak lain adalah Ibu dari bayi yang sedang dia gendong dengan penuh kehangatan itu.

Deon pulang ke rumahnya yang terasa berbeda tanpa kehadiran sang Ibu. Saat Deon membuka pintu dan melangkahkan kaki ke dalamnya, entah mengapa ada sesak yang memenuhi dadanya. Bayang-bayang Rania memenuhi pelupuk matanya, bahkan Deon seperti masih melihat Ibunya hidup di rumah itu.

Saat air mata Deon mulai membasahi ke dua matanya, tiba-tiba bayi mungil yang sedang dia gendong itu menangis dengan sangat kencang, seakan dia dapat merasakan kepiluan yang dirasakan Deon saat itu.

“Kenapa kamu menangis cantik? Apa Ayah membuatmu sedih?” tanya Deon sambil menciumi ke dua pipi buah hatinya yang belum memiliki nama itu.

Tiba-tiba, tangan bayi mungil itu menyentuh pipi Deon dan dengan tanpa sengaja mengusap air mata Deon, seakan dia ingin mengatakan sesuatu pada Ayahnya seperti ‘Jangan menangis’.

Deon yang melihat tingkah menggemaskan anaknya itu langsung tersenyum lebar lalu mencium kening bayi mungil itu dengan lembutnya.

“Terima kasih cantik, Ayah janji gak akan sedih lagi,” ucap Deon dengan mata yang masih memerah.

Deon memang sedang berada di titik terlemahnya. Dia kehilangan dua orang yang sangat dia sayangi dalam satu waktu, Rania yang tak lain Ibu yang sangat Deon sayangi dan Ayya, gadis yang sangat Deon cintai. Namun, di saat yang bersamaan, seorang malaikat kecil datang dan menjadi kekuatan untuk Deon sehingga Deon pun memutuskan untuk tetap bertahan. Deon sangat bersyukur karena bayi mungil itu datang padanya, meskipun dia tahu jika dia tidak dapat menjamin kehidupan yang nyaman untuk bayi mungil itu.

“Nah, sekarang kita cari nama yang cocok untukmu dulu,” ucap Deon sambil meletakan buah Hatinya di atas ranjang yang sudah dia susun sedemikian rupa supaya aman untuk keselamatan Buah hatinya itu.

Deon mengambil sebuah buku dan pena yang tersimpan di dalam laci meja yang terletak tidak begitu jauh dari ranjang lalu Deon mulai merangkai nama demi nama untuk buah hatinya itu.

“Hmm, nama apa yang cocok untuk bayi mungil yang akan tumbuh menjadi gadis cantik, pemberani dan ceria? Ayah mau kamu tumbuh menjadi gadis pemberani dan pantang menyerah. Apa pun nanti yang akan terjadi, Ayah mau kamu tetap akan terus tertawa dan menjadi pelipur lara Ayah, bagaimana kalau Ranya Nadira Nayyira? Bukankah nama itu bagus? Apa kamu suka anakku?” ucap Deon sambil memainkan kepalanya di depan buah hatinya.

Bayi mungil itu tersenyum lebar seakan dia ingin mengatakan jika dia menyukai nama yang diberikan Deon padanya. Nama yang tidak jauh berbeda dari nama perempuan yang melahirkannya.

“Kamu tertawa? Apa kamu menyukai nama itu?” tanya Deon yang belum begitu memahami bahasa bayi namun berusaha untuk memahami maksud anaknya itu dengan baik.

Lalu bayi mungil yang di berikan nama panjang dan indah itu kembali tersenyum dengan lebarnya sampai ke dua matanya terlihat sangat sipit.

“Wah, sepertinya kamu suka sekali dengan nama itu ya? Apa kamu tahu arti nama itu anakku? Nama yang Ayah berikan padamu itu artinya sama dengan nama Mamamu. Kalau Mamamu bernama Rania Nafiza Ayyara maka namamu Ranya Nadira Nayyira. Bukankah namamu sangat mirip dengan nama Mamamu? Ayah harap suatu hari nanti dia akan langsung mengenalimu meski hanya mendengar namamu saja,” ucap Deon dengan nada sendu sambil menggendong buah hati yang dia beri nama indah itu.

“Ayah akan memanggilmu dengan Anya, nama panggilan yang akan selalu mengingatkan Ayah dengan Ibumu, Ayya,” ucap Deon dengan mata yang mulai memerah dan hampir meneteskan air mata.

Bayi mungil yang dipanggil dengan Anya itu tiba-tiba kembali memasang wajah sedihnya dan tak lama kemudian dia menangis dengan sangat kencang.

“Anya, kamu kenapa Nak?” tanya Deon yang kebingungan dengan tangisan Anya yang keras itu.

Anya menggeliat seakan ingin mengatakan sesuatu dengan bibirnya yang mungil itu tapi apa yang bisa di lakukan Bayi mungil itu? dia hanya bisa menggeliat sampai Ayahnya bisa memahami apa yang dia inginkan.

Deon kebingungan bukan main saat Anya menangis dan tidak mau berhenti. Namun saat Deon tidak sengaja meletakan tangannya di sekitar mulut Anya, tiba-tiba bibir Anya mengikuti ke mana jari Deon pergi, akhirnya Deon pun mengerti maksud dari tangisan buah hatinya itu.

“Anya lapar? Anak Ayah yang cantik ini lapar?” tanya Deon yang mulai tenang karena pada akhirnya mengerti maksud tangisan itu.

“Ayah belikan susu dulu untuk Anya, ya. Kita jalan-jalan keluar, ok?” ucap Deon pada Anya dengan penuh semangat.

“Oh iya, kita sekalian beli baju dan perlengkapan untuk Anya.  Ayah lupa kalau Anya belum punya baju ganti dan juga perlengkapan yang lainnya. Hari ini kita akan menghabiskan uang Ayah, ok?” Deon terus mengajak Anya mengobrol meski Anya hanya bisa menjawabnya dengan senyuman dan sesekali memainkan ke dua tangan dan kakinya dengan penuh semangat.

Pada akhirnya di hari di mana Deon seharusnya larut dalam kesedihan Deon justru tanpa sadar dapat mengusir perasaan itu dengan kehadiran malaikat kecil yang membawa tawa dan warna itu. Anya adalah warna terang yang Deon dapatkan di hari di mana semua warna mengabu.

Deon pergi ke luar rumah dengan membawa Anya yang dia gendong di depan dadanya. Sontak semua orang memperhatikan Deon yang baru berumur 18 tahun itu. semua mata menuju ke arahnya dan bayi yang sedang dia gendong dengan penuh kasih sayang.

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menghampiri Deon, dia adalah tetangga Deon yang tinggal di sekitar rumah Deon.

“Nak Deon, bayi siapa ini?” tanya wanita itu sambil mengusap pipi Anya yang tertidur pulas di ke dua tangan Deon.

“Oh ini, ini, ini.” Deon tidak bisa menjawab pertanyaan tetangganya itu.

“Kok diem? Apa ini anaknya Nak Deon? Apa kabar itu bener?” tanya wanita itu dengan pertanyaan yang langsung menusuk Deon.

“Maksud Ibu apa? Kabar apa yang Ibu maksud? Kenapa Ibu bisa mengira kalau bayi ini anak saya?” tanya Deon kebingungan.

“Loh-loh, Nak Deon belum denger? Padahal tanah kuburan Bu Rania belum kering tapi kabar tentang kematiannya sudah jadi seperti berita selebriti gara-gara Nak Deon. Apa Nak Deon benar-benar tidak tahu?” jawab wanita itu yang tidak langsung pada inti dari jawabannya.

“Maaf Bu kalau saya terdengar lancang tapi saya harus bergegas menuju super market untuk membeli susu, saya permisi dulu,” ucap Deon yang tahu dengan pasti gelagat dari wanita itu.

Deon tidak tahu sejak kapan para tetangganya membicarakannya. Dia tidak menyangka jika ada rumor yang sudah berkembang di lingkungannya selama beberapa pekan terakhir.

Butuh beberapa jam untuk Deon membeli semua perlengkapan Anya dan selama beberapa jam itu pula Deon menahan diri dari sorotan mata yang selalu menatapnya dengan tatapan yang tidak Deon sukai.

Sepulang dari super market Deon bergegas untuk kembali ke rumahnya namun di perjalanan, Deon mendengar obrolan yang sama sekali tidak ingin dia dengar.

“Kalian lihat sendiri kan? Bayi yang Nak Deon bawa, itu sudah pasti anaknya dengan wanita itu. bisa-bisanya dia menunjukkan wajah bayi tak berdosa itu. Padahal gara-gara bayi itu, Ibunya memilih mati dengan bunuh diri,” ucap salah seorang tetangga Deon yang sedang berkumpul bersama tetangga yang lain untuk membicarakan tentang dirinya.

“Katanya nih ya,  Ibunya gak merestui hubungannya dengan wanita itu,” sambung tetangga yang lain dengan semangatnya.

“Ya jelas lah gak setuju! Orang hubungannya sama wanita kayak gituan. Aku pun kalau jadi Bu Rania pasti udah jantungan pas tahu kebenarannya.”

Obrolan demi obrolan yang tak sepenuhnya salah itu terdengar di telinga Deon. Sesak kembali memenuhi ruang hampa di dada Deon. Deon mempercepat langkah kakinya dan kembali ke rumahnya dengan perasaan yang tidak menentu.

Deon meletakkan Anya di atas ranjang dan langsung pergi ke dapur untuk membuatkan susu, setidaknya begitualah niatan awal Deon.

Saat Deon sedang menunggu air mendidih, entah mengapa obrolan yang dia dengar dari para Tetangganya itu seperti di putar kembali di dalam kepanya. Kata demi kata itu seperti seakan sedang berusaha menyerang Deon.

“Heh! Mereka bicara tanpa berpikir rupanya,” ucap Deon setelah mendesah.

“Terkadang pedang tidak jauh lebih tajam dari lisan. Aku akan melakukan apa pun demi Anya. Dia adalah hartaku yang paling berharga, untuknya aku akan melakukan apa pun dan akan ku buat mereka yang sudah membicarkan hal yang tidak perlu itu kecewa dan menelan kembali apa yang sudah mereka ucapkan malam ini,” ucap Deon mengikrarkan sebuah janji.

Cit! Cit! Bunyi dari teko yang Deon gunakan untuk merebus air.

Deon mulai meracik susu yang dia belikan untuk buah hatinya. Meski belum terbiasa dan terasa rumit namun Deon berusaha membiasakan dirinya setelah itu Deon bergegas menuju kamarnya dan menghampiri Anya yang sedang asyik bermain dengan ke dua tangan mungilnya.

“Susunya sudah jadi cantik. Ayo minum dulu,” ucap Deon sambil memainkan botol susu itu di depan Anya.

Anya tertawa melihat tingkah Deon. Tangannya berusaha menggapai botol susu yang ada di tangan Deon. Melihat itu, Deon pun tertawa dengan gelinya.

“Putri Ayah mau ambil botol susu ini?” tanya Deon sambil mendekatkan botol susu itu ke tangan Anya sehingga Anya dapat meraih botol itu.

Anya terlihat berusaha meminta Deon untuk segera memberikannya botol susu itu dengan menarik-narik jemari Deon. Melihat itu, Deon pun tersenyum lalu meletakan botol itu di atas ranjang kemudian mengangkat tubuh Anya.

“Sekarang Anya minum susu dulu ya. Ayah memang belum bisa memberikan susu dengan kualitas terbaik untuk Anya tapi ke depannya Ayah akan berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk Anya,” ucap Deon sambil memegangi botol susu itu sehingga tidak lepas dari cengkeraman ke dua tangan Anya yang masih lemah untuk memeganginya seorang diri.

Melihat buaah hatinya dengan lahap meminum susu yang dia buatkan Deon merasa sangat senang sekaligus terharu.

“Maafkan Ayah Anya, mungkin ke depannya kehidupan kita tidak akan mudah namun Ayah janji akan berusaha membuat Anya terus tersenyum dan merasa senang. Ayah akan berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Anya meski tanpa sosok Ibu, Ayah harap Anya tidak akan pernah sedih karena hal itu. Anya harus tahu, Mama Anya adalah orang baik dan dia tidak akan meninggalkan Anya tanpa suatu alasan jadi jangan membencinya ya Nak!” ucap Deon di dalam hati dengan perasaan yang teriris.

Entah mengapa Deon merasa bersalah karena dirinya, sosok malaikat kecil itu tidak dapat merasakan kasih sayang seorang Ibu. Deon merasa semua yang terjadi adalah kesalahannya sehingga Deon berjanji pada dirinya akan berusaha untuk memberikan kehidupan yang lebih baik demi malaikat kecilnya itu.

Note:

Terima kasih untuk para pembaca yang masih stay di The Secret of Ceo.  Author ucapkan banyak terima kasih dan untuk kedepannya terus nantikan kelanjutan kisah Bang Deon yang akan menjadi semakin complicated. Oh iya, di bab 4 besok sudah memasuki babak baru ya,  jadi persiapkan hati para Reader sekalian dan jangan lupa untuk tinggalkan jejak di kolom review, terima kasih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status