Share

Bab 2. Hancurnya Kehidupan Deon Bagian 2.

Deon bertekuk lutut di hadapan ke dua orang tua Ayya. Tatapan tajam ke dua orang tua Ayya padanya yang membuat mental Deon hancur.

“Jadi, maksud ucapanmu tadi, kamu akan menikahi anak saya sebagai bentuk tanggung jawab?” tanya Bram, Ayah Ayya.

Sambil menganggukkan kepala, Deon menjawab, “Iya Pak. Saya akan menikahi Ayya dan menanggung semua kebutuhan hidupnya sebagai istri saya.”

BRUAK! Bram membalikkan meja yang ada di depannya dengan mata yang memerah. Otot-otot wajah Bram terlihat dengan sangat jelas.

“Ayah,” ucap Ayya sambil menarik tangan Bram yang hendak menghampiri Deon dengan amarahnya.

“Lepas!” ucap Bram dengan lantangnya sambil mendorong tubuh Ayya hingga terjatuh di atas sofa.

“Kamu pikir kamu siapa! Berani-beraninya menodai anak saya lalu dengan mudah mengatakan akan menikahinya. Gara-gara kamu masa depan anak saya jadi hancur! Dia tidak bisa meraih mimpinya sebagai aktris terkenal hanya karena cinta yang menjijikan ini,” ucap Bram yang dikuasai oleh amarah.

“Ayah, Ayya mohon  jangan seperti ini. Tolong Ayah, demi Ayya dan cucu Ayah,” rintih Ayya memohon pada Bram sambil memeluk erat ke dua kaki Bram.

Deon hanya dapat terdiam dan meremas jemarinya. Bibirnya terasa kelu. Dia tidak mampu melontarkan sepatah kata pun untuk membalas ucapan Bram padanya.

“Ayya! Sadarlah!” bentak Citra, Mama Ayya yang sedari tadi hanya menyaksikan keributan di rumahnya itu.

“Ma, tolong bujuk Ayah. Tolong bantu Ayya untuk—“

“Plak!” Citra menampar wajah Ayya dengan sangat keras.

Deon yang melihat Ayya ditampar oleh Mamanya langsung menghampiri Ayya lalu mendekapnya dengan erat.

“Ayya, kamu gak papa?” tanya Deon pada Ayya sambil memegangi pipi Ayya yang memerah.

“Aku gak papa Yon,” jawab Ayya dengan air mata yang terus mengalir.

BRUAK! Bram melemparkan tubuh Deon setelah menariknya hingga menghantam sebuah lemari besar yang ada di ruangan itu.

Deon merasa sangat kesakitan. Dadanya terasa sesak begitu juga dengan punggungnya.

“Deon!” jerit Ayya yang melihat Deon terlempar dan menghantam lemari besar itu dengan sangat keras.

Saat Ayya ingin menghampiri Deon, Citra menarik tangan Ayya dan menahannya.

 Bram berjalan menghampiri Deon yang masih terduduk lemas di depan lemari yang menghantam tubuhnya itu.

Bram menarik kerah baju Deon hingga tubuh Deon terangkat.

“Kamu itu masih Anak-anak. Bagaimana bisa kamu bertanggung jawab atas hidup anak saya? Anak baru berumur 18 tahun tapi sudah berani-beraninya menghancurkan masa depan anak orang lain. Cuih! Menjijikkan!” ucap Bram dengan mata yang membesar dan genggaman yang semakin erat mencengkeram kerah baju Deon.

“Sa-saya. Saya akan melakukan apa pun asalkan Ayya bisa hidup dengan nyaman. Saya akan bekerja dengan keras dan mencurahkan hidup saya untuk membuat Ayya bahagia,” jawab Deon sambil menahan rasa sakitnya.

BUAG! Bram memukul wajah Deon dengan kepalan tangannya yang kuat.

“Ayah!” teriak Ayya yang berusaha untuk menghentikan Ayahnya menghakimi Deon namun Citra dengan gigihnya menahan Ayya yang semakin lemas melihat keadaan Deon yang babak belur.

“Ma, lepasin! Lepasin Ayya Ma! Ayya mau menolong Deon. Ma, lepasin Ayya!” rengek Ayya sambil berusaha melepaskan tangan Citra dari lengannya.

“Sadarlah Ayya! Kamu adalah aset terbesar dan berharga milik Mama dan Ayah. Bagaimana bisa kamu melakukan kesalahan sebesar ini? Kamu pikir kami akan diam saja? Tentu saja tidak! Masih belum terlambat untuk menutupi semua masalah gila ini. Lagi pula tidak ada yang tahu tentang kehamilanmu ini. Ayah dan Mama akan melakukan apa pun untuk mengubur aib ini, jadi kamu diam saja dan jangan ikut campur!” ucap Citra dengan mata yang melotot sembari memegang ke dua lengan Ayya dengan erat.

“Ma,  apa Mama dan Ayah hanya menganggap Ayya sebagai aset saja? Apa Mama dan Ayah tidak pernah sedetik pun memikirkan apa yang Ayya ingin lakukan? Ayya gak mau jadi aktris atau pun model. Apa pernah Ayya meminta untuk menjadi seperti itu? Gak Ma! Ayya gak pernah meminta hak seperti itu,” rintih Ayya dengan air mata yang terus menetes dengan rasa sakit yang membuat sekujur tubuhnya terasa lemas.

PLAK! Citra menampar pipi Ayya dengan bibir yang gemetaran.

“Kamu! Kamu! Sejak kapan kamu berani melawan Mama? Sejak kapan! Mama selalu bilang untuk tidak mempertanyakan apa pun yang Mama dan Ayahmu suruh. Kenapa sekarang kamu jadi pembangkang seperti ini? Bahkan kamu berani menjawabi Mama. Apa gara-gara anak itu?” tanya Citra sambil mencengkeram ke dua rahang Ayya dengan sangat erat.

“Ayya,” rintih Deon yang sudah tidak berdaya setelah dihajar berkali-kali oleh Bram.

Deon meneteskan air matanya melihat Ayya diperlakukan seperti itu oleh Ibu kandungnya sendiri. Deon sangat tahu betapa tersiksanya Ayya dengan kehidupan yang dia miliki. Hidup dengan segala rekayasa dan kebohongan tiada henti, tentu saja itu terasa amat menyiksa.

Deon adalah satu-satunya orang  yang tahu semua sandiwara itu. Deon  adalah satu-satunya orang yang melihat Ayya ala kadarnya, bukan sebagai Ayya si seleberiti dari keluarga kaya yang sedang naik daun, melainkan sebagai seorang gadis yang membutuhkan kasih sayang lebih dari siapa pun.

Perlahan-lahan ke dua mata Deon mulai tertutup. Kesadaran Deon hilang begitu saja setelah menerima pukulan berkali-kali dari Bram. Tubuhnya tidak dapat merasakan apa pun. Tubuh Deon seperti mati rasa setelah bertahan melewati pukulan yang tiada henti itu.

Terkahir kali yang diingat Deon sebelum tak sadarkan diri adalah wajah Ayya yang penuh dengan air mata. Wajah yang tak pernah ingin Deon lihat selama dia ada di sisi Ayya.

***

“Yon, Yon, bangun Yon!” ucap Rania sambil menggenggam erat tangan Deon.

Perlahan-lahan Deon membuka ke dua matanya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya masih dapat Deon rasakan dengan sangat jelas. Pukulan demi pukulan itu berhasil menghancurkan mental dan harapan Deon.

“Ibu?” Deon terbangun dan langsung memegangi kepalanya yang terasa berat dan sakit.

“Syukurlah kamu sudah sadar, Yon. ini, minumlah dulu!” ucap Rania sambil memberikan segelas teh hangat kepada Deon.

Deon meminum teh hangat buatan Ibunya itu dengan hati-hati. Meski terasa perih saat mencapai bibrinya namun Deon tetap meminum teh buatan Ibunya itu.

“Bu, kenapa Deon sudah ada di rumah? Ayya mana, Bu?” tanya Deon yang masih saja mengkhawatirkan kondisi Ayya.

“Dasar Anak ini! Bisa-bisanya kamu menanyakan orang yang sudah membuatmu jadi babak belur seperti ini. Padahal yang membawamu dengan tubuh penuh luka seperti ini adalah anak buah dari keluarga gadis itu. Kamu tahu Yon, bagaimana mereka membawamu ke rumah? Mereka menyeretmu seperti binatang! Sebaiknya kamu khawatirkan dirimu sendiri!” jawab Rania dengan kesal sambil memberikan kompres luka pada Deon lalu beranjak pergi dari kamarnya.

“Bu,” rengek Deon memohon pada Rania.

Rania yang melihat sorotan mata Deon merasa sangat kasihan pada putranya itu. Rania kembali ke tempatnya duduk lalu menggenggam ke dua tangan Deon.

“Yon, maafkan Ibu. Andai saja kamu tidak terlahir dari rahim Ibu, mungkin saja hidupmu tidak akan menderita seperti sekarang, maafkan Ibu. Yon!” ucap Rania dengan air mata yang membasahi punggung tangan Deon.

“Bu,” panggil Deon dengan lembutnya.

“Kalau pun Deon bisa memilih terlahir dari rahim siapa, meski diberi pilihan beribu-ribu kali pun, Deon akan tetap memilih terlahir dari rahim Ibu, terlahir sebagai puttra Ibu yang sangat tampan ini,” ucap Deon membuat Rania terharu.

“Deon.” Rania mendekap Deon dengan erat.

“Ibu janji, mereka yang menyakitimu akan menyesali ini,” sambung Rania dengan suara yang lirih.

Saat itu Deon tidak mengerti dengan maksud ucapan Ibunya itu. Deon hanya berpikir mungkin saja apa yang diucapkan Ibunya malam itu hanyalah sekadar ucapan untuk membuat perasaannya menjadi lebih baik.

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu sampai menemui bulan berikutnya. Sudah dua bulan lamanya semenjak keributan yang Deon ciptakan di kediaman keluarga Ayya dan sudah selama itu pula Deon tidak mendengar kabar dari Ayya dan calon anaknya.

Hari itu Deon sedang berjalan menyusuri tepi sungai, dia berusaha mencari harapan yang hampir musnah beberapa pekan terakhir.

“Aku sudah dinyatakan lulus bulan lalu tapi sampai sekarang aku hanya berdiam diri di rumah, sepertinya aku tidak akan bisa kuliah kalau sudah seperti ini. Entah kapan aku akan menjadi seorang Ayah, sepertinya hanya tinggal menghitung jari untuk melihat wajah anakku. Hah! Padahal umurku masih 18 tahun, siapa sangka aku akan menjadi seorang Ayah secepat ini,” gumam Deon sambil memperhatikan pantulan dirinya di dalam sungai.

“Setelah semua kesalahan yang aku perbuat ternyata aku masih bisa lulus dari SMA dengan predikat siswa terbaik tanpa ada satu pun orang yang tahu tentang masalah ini. Hah! Meski aku benci mengakuinya, tapi semua ini tidak terlepas dari pengaruh keluarga Ayya. Ternyata memang benar kalau aku ini bukan siapa-siapa,” racau Deon sambil menendang kerikil di tepi sungai.

Tiba-tiba, saat Deon sedang merenungkan hidupnya yang sudah kacau itu sebuah panggilan masuk membuat  jantungnya berdegub kencang. Ke dua matanya memerah dan ke dua kakinya dengan spontan langsung beranjak dari tepi sungai itu.

“Ibu, Ibu, kenapa? Kenapa? Apa yang terjadi? Itu bohong kan, Bu? Apa yang aku dengar barusan tidak benar-benar terjadi kan, Bu?” tanya Deon di dalam hati dengan air mata yang menetes. Deon berusaha keras untuk menyangkal apa yang dia dengar dari panggilan yang tiba-tiba itu. Tapi, sekeras apa pun Deon menyangkalnya, dia tidak bisa menghindar dari kenyataan pahit dan kejam itu.

Deon berlari dan terus berlari sampai akhirnya dia tiba di depan rumah sakit yang beberapa menit lalu menghubunginya.

Dengan kaki yang gemetaran, Deon melangkah melewati pintu masuk rumah sakit itu.

“Nak Deon?” tanya seorang lelaki yang tak lain adalah kuasa hukum Ibunya.

“Di mana Ibu saya, Pak Dimas?” tanya Deon pada Dimas.

Dimas hanya diam saja sambil memegangi sebuah berkas yang dia bawa dengan terburu-buru.

“Di mana Ibu saya Pak!” bentak Deon yang benar-benar tidak bisa menahan emosi yang meluap di dalam dirinya itu.

“Kamu yang kuat ya, Nak Deon. Ibumu tidak bisa diselamatkan,” jawab Dimas sambil menepuk-nepuk lengan Deon.

Sontak Deon pun berlari mencari-cari ruangan yang menjadi tempat terakhir Ibunya menghembuskan napas itu. Deon merasa masih tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi pada Ibunya itu. Deon masih terus menyangkal kenyataan meski dia sudah mengetahui jika tidak akan ada yang berubah meski dia terus menyangkalnya.

“Ibu, Ibu, ini gak mungkin Ibu kan?” ucap Deon yang tidak bisa tenang saat melihat jasad Ibunya sudah ada di ruang kremasi.

“Kenapa kalian membawa Ibuku ke sini? Apa kalian pikir Ibuku sudah mati! bawa Ibuku keluar dari ruangan ini. Siapa yang mengizinkan kalian membawanya ke ruangan ini? Siapa!” ucap Deon dengan lantangnya membuat seisi ruangan itu merasa kasihan padanya.

“Nak Deon, tolong jangan mempersulit keadaan. Ibu Rania sendiri yang meminta supaya jasadnya segera di kremasi dan sebelum itu, dia menitipkan berkas-berkas ini pada Nak Deon. Selain itu, Ibu Rania juga minta supaya saya segera mengurus semuanya secepat mungkin jadi untuk itu saya perlu tanda tangan Nak Deon secepatnya,” ucap Dimas, bukannya mencoba menenangkan Deon yang sedang kalut dalam kesedihan, dia justru membahas hal yang melukai perasaan Deon jauh lebih dalam.

BRAK! Deon menepiskan tangan Dimas yang hendak memberikan dokumen penting itu padanya.

“Apa Bapak pikir sekarang adalah saat yang tepat untuk mengurus dokumen ini? Aku bahkan belum percaya jika Ibu sudah tidak ada. Bagaimana bisa? Beberapa jam yang lalu aku masih mendengar suara dan tawa Ibu, tapi kenapa? Kenapa ini bisa terjadi? Sebenarnya apa yang terjadi pada Ibu?” tanya Deon yang tidak bisa menemukan alasan kenapa maut datang begitu cepat menghampiri Ibunya.

Dimas yang melihat Deon hancur hanya bisa diam dan menunggu hingga Deon menyelesaikan urusan dengannya. Dimas sebenarnya tahu apa yang terjadi pada mitra hukumnya itu, tapi sesuai permintaan Rania, Dimas tidak bisa memberi tahu Deon kebenaran di balik kematian Ibunya itu.

HAH! Dimas menghela napasnya lalu berkata,

“Baiklah, kalau begitu saya akan datang satu minggu lagi. Saat itu, saya harap Nak Deon mau untuk menyelesaikan urusan dokumen ini. Dokumen ini harus segera Nak Deon tanda tangani karena ini sangat penting. Saya pergi dulu.”

Setelah berkata seperti itu Dimas pergi meninggalkan Deon yang masih menangis di depan ruang kremasi Ibunya.

Deon masih belum bisa menerima kenyataan akan kepergian keluarga satu-satunya yang dia miliki. Bagi Deon, hanya ada Rania yang dia anggap sebagai keluarga. Ayah yang selalu menjadi pelindung sebuah keluarga tidak pernah ada di dalam kamus kehidupannya. Deon sudah membuang jauh-jauh rasa ingin tahunya tentang siapa Ayahnya dan kenapa dia tidak pernah melihat wajahnya. Bagi Deon, Ayah adalah sosok yang tidak pernah ada.

Meski Deon menolak kenyataan namun dia tetap harus bangun dan menghadapi kenyataan itu.

17 September 1997.

Hari di mana Deon benar-benar hancur dan menjadi seorang diri dan hari di mana dia mendapatkan keluarga baru.

Tepatnya di hari pemakaman Ibunya, ada warna lain yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat Deon berkabung.

Deon masih berdiri di depan batu nisan Ibunya dengan mata yang sembab dan hidung yang tersumbat. Tanah kuburan yang masih basah dan bunga-bunga yang masih segar bertaburan di atasnya menjadi saksi kepiluan Deon.

“Dengan Nak Deon?” tanya Seorang Lelaki tua pada Deon dengan membawa sebuah keranjang besar.

“Iya,  Bapak siapa?” tanya Deon sambil mengusap air matanya dengan sapu tangan yang dia bawa.

“Saya penjaga kuburan ini, perkenalkan nama saya Suprapto,” jawab lelaki tua itu sambil memasang senyuman di bibirnya.

“Ada apa Bapak mencari saya?” tanya Deon pada Penjaga kuburan itu sambil memperhatikan keranjang besar yang dibawa penjaga kuburan itu.

“Oh ini, tadi ada orang yang menitipkan keranjang ini pada saya. Katanya, saya harus memberikan keranjang ini pada anak berumur 18 tahun yang bernama Deon. Awalnya saya ragu apakah itu Nak tampan yang sedang berkabung ini, tapi setelah saya lihat-lihat ternyata di sini sudah tidak ada siapa pun kecuali kamu jadi ini, saya tidak tahu apa isi dari keranjang ini tapi sepertinya sesuatu yang sangat berat,” jawab penjaga kuburan itu, menjelaskan maksud kedatangannya mencari Deon dan memberikan keranjang besar yang dia bawa itu.

“Memangnya siapa yang menitipkan ini Pak?” tanya Deon sambil menerima keranjang itu.

“Saya tidak tahu Nak. Wajahnya tertutup dengan kacamata, masker dan topi  jadi saya tidak bisa mengenali wajahnya,” jawab penjaga kuburan itu.

Deon hanya menganggukkan kepalanya lalu membuka penutup keranjang yang terasa berat dan juga bergerak-gerak itu.

Saat Deon membuka penutup keranjang itu, ke dua matanya langsung membesar dan nafasnya tertahan dengan sendirinya. Dadanya terasa sesak namun bersamaan dengan hal itu ada kehangatan yang mengalir di pembuluh darah Deon.

“Ka-kamu?”

Note:

Terima kasih banyak bagi para pembaca yang masih stay untuk membaca kelanjutan dari cerita ceo kita. Semoga Reader sekalian tidak bosan dengan alur cerita The Secret of Ceo ini. untuk ke depannya, Author akan terus berusaha menyajikan cerita yang lebih menarik dan jangan lupa untuk meninggalkan jejak kalian di kolom review ya,  terima kasih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status