Share

3. Penginapan di kebun jagung bagian pertama

Penginapan Merinda nampak seperti rumah biasa. Kecuali ukuran bangunannya yang paling besar diantara pemukiman warga.

Tapi sepertinya cukup berlebihan kalau kubilang sebagai pemukiman warga.

Jarak antar rumah sangat jauh. Sepanjang perjalanan aku bisa menghitung jumlah rumah dengan kedua tanganku.

Daerah ini lebih banyak di dominasi dengan kebun jagung yang luas. Mengingatkanku pada film horror yang diadaptasi dari novel Stephen King yang terkenal itu.

Tukang ojek yang mengantarku memberondongiku dengan jutaan pertanyaan. Tapi aku sudah terlalu malas untuk menjawab.

Ketika kami sampai di penginapan, ia menolak uang pemberianku dan langsung pergi begitu saja ketika aku turun.

"Gak sopan," keluhku sambil melangkahkan kaki ke penginapan tersebut.

Papan nama penginapan itu nampak baru saja di cat ulang dengan warna putih dan ditulis dengan cat merah yang mencolok.

Di sekelilingku dipenuhi pohon-pohon yang rindang. Aku tidak mengenali jenisnya selain pohon nangka dan jambu air yang kebetulan sedang berbuah.

Halamannya sudah disapu dengan bersih. Tapi, aku bisa melihat tumpukan rumput dan daun kering di bawah pepohonan. Sapu lidinya tergeletak tak jauh dari tumpukan sampah tersebut.

Siapapun yang menyapu, pasti orang yang ceroboh. Kemungkinan besar juga memiliki sifat malas.

Aku mendorong pintu masuk dan mendapati lobi dalam keadaan kosong.

Lobi penginapan hanya berupa bangku kecil dari kayu bewarna cokelat. Serta beberapa kursi kecil untuk tamu. Ada sebuah buku besar bewarna biru tua di meja resepsionis. Kuduga itu adalah buku untuk mencatat tamu yang menginap.

Aku menekan bel kecil yang berada di sebelah buku tersebut.

Setelah tiga kali, barulah muncul seorang perempuan berwajah manis berkulit agak gelap yang kelihatannya sebaya denganku. Ia memakai daster panjang bermotif batik dan dilapisi dengan sebuah celemek putih.

Ia tersenyum sumringah saat melihatku. Logat jawanya terdengar kental, "Sugeng rawuh, Mbak. Selamat datang, mau menginap berapa hari? Tarif semalamnya seratus ribu saja. Sudah termasuk tiga kali makan juga ada air panas,"

Aku menggeleng dan menunjukkan layar ponselku. Kupasang wajah tergarangku agar ia tahu bahwa aku tak ingin mendengar penolakan," Jalan Kenongosari nomor lima. Antarkan saya ke tempat itu,"

Alih-alih penolakan, perempuan itu membuka buku besar itu lalu jemarinya menelusuri halaman demi halaman. Ia membalikkan bukunya dan menunjuk sebuah nama yang kukenal dengan baik.

Jantungku mencelos dan tanganku gemetaran. Sensasi menyebalkan saat kutahu Gilang, bedebah brengsek yang kusayangi itu, ternyata menginap di sini.

"Mas Gilang sudah pulang kemarin lusa, Mbak,"

"Pulang ke Jakarta?" Secara refleks, aku menelpon ponsel Gilang yang ternyata masih tidak aktif.

Perempuan itu menggeleng, "Bukan, tapi ke rumahnya. Saya juga kaget pas melihat Mas Gilang. Sudah sebelas tahun lebih kalau tidak salah,"

Ada sesuatu yang asing di dalam dadaku saat mendengarnya, "Kamu kenal sama Gilang?"

"Kami dulu teman sekolah, Mbak." Jawabnya malu-malu. Namun, saat ia melihat kegusaran yang nampak pada wajahku, dia segera menambahkan, "Suami saya juga sekelas dengan Mas Gilang,"

"Gilang itu pacar saya, Mbak. Kami ada rencana menikah dalam waktu dekat," Aku merasa perlu mengatakan hal ini. Meskipun aku sendiri tidak begitu yakin dengan definisi dari kata 'dalam waktu dekat.'

"Iya, saya tahu. Mas Gilang kemarin sempat cerita kalau punya pacar yang cantik di Jakarta," Ia tersenyum ramah. "Dan, tebakannya juga benar. Katanya pacarnya nanti pasti akan kesini."

Kuharap wajahku tidak memerah. Bukan karena malu. Tapi karena sebal. Seolah-olah ia sudah memprediksi segalanya. Aku merasa sudah terjebak dalam permainannya.

"Nama saya Murni, Mbak." Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Aku meraih tangannya namun ketika aku ingin memperkenalkan diri, Murni mendahuluiku, "Namanya Mbak ini pasti Delilah,"

"Gilang cerita apa saja mengenai saya?" Tanyaku sambil melepas jabatan tangannya.

"Hal yang bagus-bagus saja. Saya yakin Mas Gilang sangat mencintai Mbak Delilah,"

Aku mengerutkan dahi. Masih tidak mengerti hal bagus apa saja yang bisa ia dapatkan dariku. Kuduga, Gilang pasti mengarang cerita.

"Murni, jeding e di kamar sebelas kok mati yo air e?" Seorang wanita paruh baya yang berwajah mirip seperti Murni datang dengan kepanikan yang tergambar di mukanya. Meski bertubuh kurus dan rambutnya penuh uban, ia masih terlihat dalam kondisi yang prima. Langkahnya pun terdengar mantap.

"Memang kamar mandinya sering mampet, Bu. Ini juga masih dibenerin Mas Tono," Murni kemudian menoleh ke arahku, "Itu ibu saya, Mbak. Namanya Ngatminah, tapi biasa dipanggil Bu Minah,"

Aku mengangguk memberi salam sedangkan Bu Minah sendiri langsung menyalamiku, "Iki pasti pacar e Gilang 'kan? Mirip sama di foto,"

"Di foto?"

Bu Minah mengangguk lalu ia mengalihkan pandangannya ke anak perempuannya, "Nduk, kamu siapkan makan siang yo. Pacar e Gilang ini pasti belum sempat makan,"

Aku berusaha menolak karena tak ingin membuang banyak waktu tapi Murni sudah menghilang dari pandanganku.

Bu Minah menepuk-nepuk lenganku dengan hangat, "Sudah biarkan, Mbak. Enggak baik menolak makanan. Lagipula, Gilang itu sudah saya anggap seperti anak sendiri. Jadi, Mbak santai saja,"

"Terimakasih, Bu. Tapi saya belum lapar. Lagipula saya juga ingin segera bertemu dengan Gilang dan kembali ke Jakarta,"

"Jakarta itu ndak pindah-pindah kok, Mbak. Jadi ndak perlu dikejar. Wes lah, mendingan kita ngobrol dulu ya di ruang makan. Kebetulan tamu lagi sepi,"

Aku tidak tahu apakah karena Bu Minah sangat kuat atau tubuhku saja yang lemah. Tapi, satu lengannya sudah sanggup menyeret tubuhku dengan mantap. Aku merasa seperti berjalan sambil setengah melayang.

Ruang makannya nampak sederhana. Cukup luas meski hanya terdiri dari tujuh meja dari kayu bercat cokelat gelap. Masing-masing meja berisi empat kursi yang saling berhadapan.

Temboknya bewarna oranye muda dan ada beberapa lukisan bergambar wayang menghiasai tembok. Dua buah pot besar berisi tumbuhan seperti pohon palem berada di sudut ruangan. Memberi nuansa teduh yang menyenangkan.

Kami duduk berhadapan. Bu Minah menggenggam kedua tanganku sambil bertanya bagaimana caraku menemukan penginapan ini. Lalu kuceritakan pengalaman perjalananku ini secara singkat.

Senyumnya terus mengembang dan aku baru menyadari kalau giginya masih utuh serta bewarna putih cemerlang, "Supir yang Mbak temui itu pasti Mas Giman. Kakak mbarep saya. Eh, maksudnya kakak sulung. Yang paling tua. Dia memang suka membanggakan tempat ini, Mbak. Maklum, kami dulu tinggal bersama disini. Lima bersaudara, saya yang paling terakhir. Meskipun begitu, semua saudara saya sudah jarang pulang ke sini. Sibuk sama usahanya di kota,"

Aku mengangguk dan sedikit tersenyum karena tak tahu harus berkomentar apa. Bu Minah mengingatkanku pada mayoritas wanita tua yang suka berbicara.

"Pasti sulit sekali ya, Mbak. Karena memang endak banyak orang datang ke sini. Orang-orang dari stasiun tivi yang malah sering kesini. Mau meliput apa sih itu namanya ya. Makhluk as, as, as apa ya?"

"Mungkin maksudnya astral," Kataku mencoba mengoreksi. Aku separuh menduga kalau mungkin karena sering bertemu dengan kru dari stasiun tivi, bahasa Indonesia-nya setingkat lebih baik daripada Murni.

Bu Minah mengangguk mantap, " Iya itu. Meskipun menurut saya, ada beberapa jenis manusia yang lebih menyeramkan daripada setan,"

"Itu benar, Bu." Sayangnya, aku tak tertarik atau bahkan mempercayai omong kosong semacam hantu atau makhluk gaib semacam itu. Semua hal itu hanya akal-akalan stasiun tivi untuk menarik penonton. Lagipula, aku sudah pernah bertemu hal yang lebih menakutkan dari sekedar dedemit yang tak berwujud.

"Tapi bukan berarti hal-hal yang tak kasat mata itu tidak ada," katanya sambil menepuk tanganku dengan lembut. "Saya berharap, baik Mbak Delilah dan Gilang ini terus berbahagia. Sepertinya hubungan kalian juga tidak mudah,"

Dasar Gilang! Apa saja yang sebenarnya dia ceritakan pada orang-orang?

Mata cokelat milik lawan bicaraku tiba-tiba terlihat sendu, "Mungkin, Gilang sudah menyadarinya. Makanya dia pulang ke tempat itu,"

"Apa maksudnya, Bu?" Tanyaku dengan rasa ingin tahu.

Untuk pertama kalinya, perempuan itu memandangku serius. Mata cokelatnya menatapku lekat-lekat,"Tentu saja, Gilang ingin melepaskan diri sepenuhnya dari kutukan itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status