Share

The Seven Phoenix Shards
The Seven Phoenix Shards
Author: Nona_El

Ambisi

Author: Nona_El
last update Last Updated: 2022-06-16 22:02:05

"Saya Achillio Isacco Bonaventura bersumpah akan menjaga kestabilan alam, dengan jiwa, dan seluruh darah yang saya miliki."

Hari itu, pengangkatanku sebagai guardian—malaikat pelindung, atas perintah Dewa Naga berkepala tujuh, disaksikan oleh seluruh rakyat Sorcgard. Namun, aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih, karena di hari yang selalu kutunggu itu, Allyn—saudari tiriku yang lebih tua lima tahun, juga diangkat menjadi pewaris tahta.

"Berhentilah bersikap seperti orang bodoh, Achilio!" Ratu Elena—ibu tiriku, setengah berbisik padaku. Wanita yang memakai gaun khas Kerajaan Sorcgard itu menatapku tajam. Kemudian, dia memberikan sebilah pedang di depanku.

Aku pun mengambil pedang—pertanda bahwa seseorang telah resmi menjadi guardian, itu tanpa berkata apa pun pada Ratu Elena.

"Aku tidak akan membiarkanmu hidup lebih lama lagi," ucapku dalam hati. Seulas senyum sinis kutampilkan di depan wanita, yang mirip dengan mendiang Ratu Felicia—ibuku, itu.

Suara riuh tepuk tangan memenuhi ruangan bertema interior klasik. Aku melambaikan tangan, dan berpura-pura bahagia. Sebelumnya, aku tidak pernah menyangka, bahwa Raja Eric—ayahku, akan memilih anak tirinya untuk menempati singgasana, dibandingkan dengan putranya sendiri.

Dar!

Ledakan besar menghancurkan setengah bangunan kerajaan. Seketika, rakyat di depan sana berlari berhamburan. Keadaan yang semula hening, berubah drastis menjadi penuh ketakutan.

"Elena, kepemimpinanmu sepertinya tidak sekuat Eric, ya!?" Seorang pria perkasa yang memakai zirah hitam, berjalan mendekat ke arah kami. Di belakangnya, ribuan prajurit yang membawa kapak berlambang bintang kejora, mengiringi langkahnya.

Seluruh prajurit kerajaanku mencoba untuk menghalanginya. Namun, hanya dengan satu kibasan pedangnya, pasukan terbaik Sorcgard jatuh berlumuran darah di lantai. Saat itu, aku benar-benar merasakan ketakutan yang luar biasa.

"Terlalu lemah tapi berpotensi menjadi yang terkuat." Pria bermata hitam pekat bak gelapnya malam itu, memerhatikan diriku dari atas hingga bawah. "Jadi, kamu sudah bangun dari tidur panjangmu, ya?" tanyanya kemudian.

"Arkan, cepat serang penyusup itu!" Ratu Elena berteriak seraya menunjuk ke arah lelaki berambut hitam itu—yang berada di anak tangga paling bawah singgasana—pria bertopeng yang menyerang kerajaan.

Pertarungan antara ksatria terbaik Sorcgard, dan pria bertopeng itu terjadi begitu cepat. Aku tidak menyangka, orang sekuat Arkan pun dapat dikalahkan dengan mudah olehnya. Apakah ia lebih hebat dari mendiang ayah?

Tidak cukup sampai di sana, pria itu juga membantai seluruh garis murni Bonaventura, yang menyerang dirinya. Aku mengarahkan pedang ke arah pria itu, berniat melawannya dengan kemampuan yang kumiliki.

"Ikutlah denganku, Pangeran!" Nona Lily tiba-tiba menarik lenganku, lalu menjauhkanku dari sana.

Ketika berlari meninggalkan ruangan itu, aku melihat Allyn dan Ratu Elena mengeluarkan sihir sempurna mereka. Ya mungkin, mereka akan berlagak menjadi pahlawan seperti biasanya. Namun, aku tidak yakin sihir mereka akan berpengaruh pada pria itu.

Siapa sebenarnya pria dibalik topeng iblis itu? Kenapa rasanya ... mata itu tampak tidak asing?

"Aku sudah cukup kuat sejak lulus dari akademi. Kenapa aku tidak boleh melawan orang jahat itu?" Aku menghentikan langkah saat mencapai puncak bukit—tidak jauh dari ruangan khusus upacara penting itu.

"Dia bukanlah orang yang bisa dilawan dengan kekuatan physical, My Lord. Anda masih terlalu muda untuk menyambut maut, Yang Mulia."

Bibirku terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata. Apa yang dikatakan Nona Lily—pengasuhku, itu benar. Aku memiliki kekuatan magic yang lemah, dan mungkin tidak akan bisa mengalahkan orang itu.

"Pergilah ke Blood Forest, Tuan! Tolong, selamatkan masa depan Sorcgard!" Nona Lily menggenggam jemariku lembut. Air matanya mengalir deras.

"Apakah Anda tidak ikut bersamaku, Nona?" Aku bertanya dengan sorot mata penuh harap.

"Kita akan bertemu lagi, dan jangan pernah menemuiku sebelum saatnya tiba! Aku akan selalu menjagamu, Tuan." Wanita berparas cantik yang mengenakan gaun putih bersih itu, memberikan tas, dan sepucuk surat padaku.

"Lari, Pangeran!" Di seberang sana, Arkan berteriak keras, sebelum akhirnya, terpenggal oleh pedang pria itu.

Ruang upacara pengangkatan Sorcgard seketika banjir darah. Aku mundur beberapa langkah, merutuki diri atas ketidakmampuan melindungi mereka. Derai air mata mulai mengalir deras di pipi.

Aku membatin, "Aku belum memiliki kekuatan magic yang cukup. Tapi, kenapa Dewa Naga memilihku? Sungguh, aku tidak ingin melihat semua kehancuran ini!"

"Aku pasti akan membunuhmu, Guardian!" Suara bariton pria itu terdengar sangat lantang. Ia kemudian berjalan sambil menyeret ujung pedangnya, hingga membentuk garis memanjang di lantai.

"Pangeran Achilio, cepatlah pergi dari sini!" Nona Lily tampak menahan pergerakan pria misterius itu, dengan sihirnya.

Tanpa pikir panjang, aku melarikan diri ke Blood Forest—di sebelah utara Sorcgard, dengan berlari secepatnya. Satu-satunya yang kuingat adalah kalimat, "Harvey sang kaisar Darkiles" di bendera yang dibawa oleh para prajurit menyeramkan itu.

Bagaimana pun caranya, aku pasti akan membunuh Kaisar Harvey. Saat itu, aku bertekad untuk menjalankan tugasku sebagai guardian, dan menaklukkan Kekaisaran Darkiles suatu hari nanti.

Selama seminggu aku berlari tanpa tujuan, akhirnya kuputuskan untuk bermalam di gua tengah hutan. Ditemani cahaya api unggun, aku membaca surat wasiat ibu yang kubawa. Tulisan dalam surat itu terlalu sulit untuk dimengerti, karena hanya sedikit kalimat yang memakai bahasa Sorcgard.

Pada tengah isi surat, terdapat kalimat yang membingungkan. Ibu menulis,

"Zay ... bangkitnya kegelapan. Dia berhasil dikalahkan oleh ... mengumpulkan tujuh pecahan kristal phoenix yang jatuh."

Apakah ibu memintaku untuk mencari Zay, lalu menyatukan tujuh kristal? Ah, entahlah aku hanya menebak!

Gar!

Badai petir di luar sana, membuyarkan lamunan. Belum habis detak kencang jantungku karena petir itu, tiba-tiba muncul bayangan lima serigala di mulut gua.

Kawanan serigala yang menyeramkan itu perlahan-lahan menghampiri. Tergesa-gesa, aku menyembunyikan surat yang belum selesai terbaca di tasku.

Salah satu serigala itu berubah menjadi seorang pria yang sangat tampan. Kemudian ia berkata, "Wah, kita sepertinya kedatangan tamu istimewa! Kenapa Anda kemari, Yang Mulia?" Ia menampilkan senyuman yang begitu memikat.

Kenapa rasanya, aku juga seperti pernah melihatnya di suatu tempat? Senyuman itu nampak tidak asing. Kira-kira, dia siapa, ya?

''Aku sedang pergi mencari Zay," jawabku tanpa ragu. Namun, ia tiba-tiba marah dan menyerang. Tidak sempat menghindar, lenganku terkena cakar tajamnya. Tubuhku mati rasa, sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Sial! Racunnya menyebar begitu cepat.

Kemudian, pria berambut cokelat itu berubah kembali menjadi seekor serigala. Tatapannya yang tajam, serta gigi runcingnya terlihat seakan ingin membunuh. Ia sepertinya akan menyerang untuk yang ke-dua kalinya.

Jleb!

Cahaya biru tiba-tiba muncul, membentuk sebuah perisai. Seseorang berjubah hitam, dan pedangnya telah menyelamatkanku. Ia begitu cepat berteleportasi, membawaku ke sebuah ngarai.

"Akhir dunia ini ditentukan olehmu, Guardian." Cahaya putih keluar dari tangannya, menyembuhkan lukaku.

"A ... apa maksudmu?"

Tiba-tiba, ribuan panah melesat ke arah kami. Ia langsung memasang pelindung dengan cepat. Celaka! Rombongan prajurit Darkiles telah menemukan keberadaanku.

Lelaki itu membantuku berdiri. "Waktumu sudah tidak banyak lagi, Pangeran Sorcgard."

Ketika ia membuka portal, aku terdorong masuk ke dimensi yang aneh. Semua terjadi begitu cepat. Sial! Aku terjebak dalam ruang yang berdinding cermin.

Sudah tiga hari berkeliling, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bekal makananku pun sudah habis. Aku mulai dilanda kegundahan, yang bercampur dengan keputusasaan.

"Apakah riwayat hidupku akan berakhir di tempat ini?" Aku bersimpuh sambil menatap sendu ke arah langit-langit. "Tolong, beri aku satu kesempatan untuk kembali, Dewa Kematian!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Seven Phoenix Shards    Semoga Bahagia!

    Aku tersenyum manis, terpesona pada keahlian memasaknya. "Bagaimana kalo kita jalan-jalan minggu depan?" tawarku pada wanita yang sibuk menghitung takaran gula, di depan sana."Tumben ngajak jalan." Eunoia–yang mengenakan daster merah muda, tampak sibuk menyiapkan secangkir kopi hangat untukku. Toples kopi terlihat berantakan karenanya. Ya, namanya juga baru belajar masak, makanya seperti itu. Aku cukup memaklumi kondisinya–latar belakang sebagai orang kaya membuatnya manja.Kami berada di dapur berukuran luas, berdesain ala-ala restoran mahal. Sepertinya arsitek yang kurental tidak lagi memikirkan desainnya. Mereka selalu membuat ruangan luas di rumahku, dan itu bukan yang pertama kalinya. Untunglah, aku hanya perlu membayar, dan menikmati hasilnya. Lagian, menasehati mereka hanya membuang tenaga."Kamu nggak sibuk, kan? Lagian, jalan-jalannya di hari Minggu kok. Apa iya, kamu nggak bisa juga?" Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Refreshing dong sekali-sekali juga." "Iya, boleh

  • The Seven Phoenix Shards    Reuni Para Pahlawan

    Sebuah meja makan yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan, tampak menggiurkan perut kosongku. Aku berdiri di antara orang-orang yang sibuk dengan santapannya. Memperhatikan mereka dengan tajam, sepertinya membuat Degree meningkatkan kewaspadaannya.Lampu kristal yang tergantung, di atas langit-langit ruangan interior klasik, terlihat begitu indah. Ada dua jenis kursi, yaitu sofa dengan bantalan empuk, dan kursi kayu berdesain batik. Lantai yang terbuat dari keramik mahal, membuat bibirku tak berhenti mengucapkan ketakjuban.Pandanganku berpindah ke sana kemari. Ya, ada seseorang yang ingin sekali kutemui. Sudah lama rasanya, semenjak peristiwa kehancuran alter ego. Rasa rindu ingin bertemu, dan bercengkerama memang ingin kulakukan, setelah lepas dari kesibukan menjadi seorang kepala negara.Masa jabatan yang baru setahun kujalani, dan masih terlalu cepat untuk lengser. Lagi pula, penduduk sudah memilih, dan mengembankan tugas penting itu padaku. Suatu amanah harus dilakukan,

  • The Seven Phoenix Shards    Kembalinya Kedamaian

    Apa yang telah berlalu, dijadikan sebagai pelajaran berharga. Aku menghirup udara segar Kota Scramble. Seluruh penduduk telah dibuat amnesia tentang kejadian di masa lalu. Biarlah, apa yang menjadi rahasia dunia, tetap seperti itu.Aku melepaskan jas hitam formal. Kemudian, meletakkannya di dekat meja kerja. Dokumen yang telah menumpuk seperti gunung kecil, kubiarkan saja. Menjadi pekerja keras, dan pemimpin Negara Erreala sungguh berat.Secangkir teh hangat dengan daun pandan yang dibentuk segi empat, kuminum perlahan. Menyeruput segelas teh adalah ketenangan yang sangat kurindukan. Di balik kaca, para karyawan muda tampak berlalu-lalang. Beberapa di antaranya saling bertegur sapa. Menu sarapan di pagi hari itu adalah telur dadar buatan Eunoia. Makanan yang dia buat sudah mampu menyaingi chef ternama, tetapi tidak dengan Sera.Hidup dengan bayangan masa lalu tidak akan habisnya. Aku mencoba untuk menjalani semuanya, tanpa adanya Aoi lagi. Kebisingan di istana kepresidenan sudah menj

  • The Seven Phoenix Shards    Menghancurkan Alter Ego

    "ini demi kebaikan semua orang, dan untuk dunia yang akan kembali utuh. Tolong aku, Saudaraku! Aku berjanji akan memberikan peluang padamu." Aku berlari cepat ke arah Dewa Naga berkepala tujuh. "Tidak. Jangan lakukan hal sebodoh itu, Yang Mulia!"Pantulan bayangan hitam yang menyerupai Naga Neraka–dalam sejarah Sorcgard disebut alter ego negatif (kepribadian ganda bersifat jahat), mendekat, lalu melahap Dewa Ergonza. Aku gemetar, tetapi tetap melangkah maju.Pedang di tangan kanan, dan tameng pelindung di tangan kiri. Aku menendang cermin perjanjian itu dengan tendangan maut. Berharap akan menjadi lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Ya, semuanya telah terlambat.Dinding kebaikan antara jiwa-jiwa orang hidup, dan mati tengah mengalami kehancuran. Semua catatan batas kematian berterbangan ke mana-mana. Bola-bola kristal kematian pecah. Kekacauan di ruangan tanpa atap itu membuat telingaku berdenging. Berisik sekali. Gendang telingaku rasanya ingin pecah. Di hadapan, Dewa Naga telah b

  • The Seven Phoenix Shards    Sebelas VS Satu Kekuatan OP

    Sebuah kerajaan yang dibangun bertingkat-tingkat tampak berantakan. Semua pasukan Aksa–para ksatria titisan anak Dewa, berkumpul memadati api pengorbanan. Kejadian serupa pernah terjadi juga di masa lalu. Entah apa yang membuat mereka se-naif itu.Aku memerintahkan Nona Filia, untuk mendaratkan pesawat lima belas meter dari pusat istana. Mengingat kegentingan tengah terjadi, aku membagi tim menjadi dua kelompok.Satu kelompok terbagi menjadi lima anggota, kecuali tim dua. Ya, Harvey tidak mungkin berpisah denganku. Mereka–anggota Tim D yang lainnya, takut Harvey malah berkhianat di tengah jalan. Oleh karena itulah, aku selaku kapten memutuskan sendiri pembagian tim.Benteng besar dengan tumpukan bebatuan dari permata, menjulang tinggi bak gunung terbesar di Scramble–Gunung Zu. Pintu gerbang yang telah terbuka, memungkinkan kami masuk, tanpa harus memecahkan sandi.Peradaban kuno masih terikat dengan dinding-dinding Kerajaan Aksa. Tiga patung besar di masa Azo telah dihancurkan. Dulu,

  • The Seven Phoenix Shards    Setelah Kepergiannya

    "Ya, bisa dibilang, aku dapat berubah wujud menjadi apa saja, dan menyamarkan identitasku sebagai Dewi Phoenix."Kalimat itu memenuhi alam pikiranku. Setelah Degree memberitahukan segalanya padaku, barulah kesadaran mencintai dengan tulus itu timbul. Penyesalan memang selalu di akhir, itulah yang mereka katakan padaku.Dia yang sudah pergi meninggalkan, mungkinkah 'kan kembali? Dewi Phoenix ingin mewujudkan dunia yang adil, dan penuh dengan kebahagiaan. Namun, akulah yang menghanguskan segala asanya itu.Abu yang sudah tertiup angin, melayang entah ke mana. Aku kehilangan belahan jiwa, yang selama ini tidak pernah mengecap kata, "dihargai". Mencintainya adalah keterlambatan yang paling disesalkan.Kusandarkan kepala ke sebuah dinding beton–penghalang antara daratan dan lautan, yang ada di dekat tempat terakhir kepergiannya. Aku lelah menghadapi segala hal, yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Kewajiban yang telah kuambil, terucap sumpah, hingga jiwa menjadi saksinya, berat. Kejadia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status