"Maaf karena membawa mobilmu," Ryuu akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai.
"Aku membutuhkannya untuk... mengurus sesuatu yang mendesak." Elle mengerjap pelan beberapa kali, lalu menghela napas pendek sebelum menjawab, "Tak apa... yang penting mobilnya sudah kembali." Ryuu tidak segera menjawab. Bola matanya yang gelap mengunci Elle dalam tatapan tajam yang membuat gadis itu merasa sulit untuk berpaling. Langkah Ryuu perlahan mendekat dengan gerakan yang penuh kendali, dan entah bagaimana membuat debaran di dada Elle semakin liar tak terkendali. Akio yang masih memeluknya, tiba-tiba menarik pelan kemeja oversize yang dikenakan Elle. Bocah itu mendongak seraya menatapnya dengan mata polos penuh harap. "Elle, aku sangat lapar... Apa kamu sudah masak untuk makan siang?" Elle tersentak dari pikirannya. Ia menunduk untuk mengusap lembut rambut hitam tebal Akio sebelum tersenyum kecil. "Maaf, Sayang. Hari ini aku belum memasak. Makanan di dapur sudah habis semalam, hanya tersisa beberapa lembar roti saja," ungkapnya penuh sesal, terutama setelah melihat Akio dan Ayaka yang mengerutkan kening kecewa. Tapi mungkin ia bisa melakukan sesuatu. Mobilnya sudah kembali, kan? Jadi Elle bisa pergi ke swalayan di kota, mungkin bisa berhutang untuk membeli beberapa bahan makanan yang dibutuhkan~~ "Kalau begitu, aku akan memesan makanan. Kamu tak perlu repot-repot memasak, Elle," Ryuu sudah lebih dulu menyela, sebelum Elle sempat mengutarakan pemikirannya. Gadis itu pun mengangkat wajahnya hingga kembali beradu tatap dengan manik gelap Ryuu yang menguncinya sejak tadi, tanpa ia sadari. "Uhm... tapi~~" Ryuu menggeleng. "Tidak ada tapi. Akio dan Ayaka sudah kelaparan, jadi sebaiknya kita memesan pizza untuk makan siang," ucapnya tegas dengan sorot yang lekat menatap Elle tanpa berkedip, seolah tak memberi ruang untuk penolakan. "HOREE, PIZZA!!" jerit Ayaka senang, lalu melakukan tos sepuluh jari dengan Akio yang juga tampak sama senangnya. Kedua bocah itu kemudian berlarian ke sana kemari dengan riang, suara tawa yang renyah dan polos mewarnai udara dan seketika membuat suasana menjadi ceria. Tanpa sadar, Elle pun tersenyum. Hatinya terasa hangat melihat tingkah Akio dan Ayaka yang menggemaskan. Tanpa ia tahu jika Ryuu masih terus menatapnya sedari tadi tanpa putus, seperti seorang ilmuwan yang sedang mempelajari obyek penelitiannya dengan fokus. Pria itu memandangi rambut Elle yang coklat kemerahan dikepang longgar dan tampak berkilau diterpa matahari musim gugur, dengan helai-helai halus berjatuhan di pipi dan lehernya yang putih merona. Memandangi manik hazel gadis itu yang dinaungi oleh bulu mata lentik yang cantik, serta alis yang melengkung indah di atasnya. Pandangan Ryuu pun kemudian turun ke bibir mungil namun tampak penuh dan lembut, dengan warna merah muda natural tanpa pulasan lipstik. "Nona Elle." Seketika gadis itu pun kembali menatap pria di depannya yang menyebut namanya. Manik Elle mengerjap pelan dan sedikit membelalak, kala baru menyadari jika Ryuu telah membungkukkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya, hingga kini jarak wajah mereka pun kurang dari satu jengkal. "Sepertinya... kami akan menambah beberapa hari lagi untuk menginap di Lakeview Inn," ucapnya dengan suara pelan namun dalam, serta tatapan tajam dari bola mata sehitam malam. "Apakah bisa?" tanyanya lagi. Sejenak Elle pun terdiam. "Menambah... hari?" ulangnya pelan, tak mampu menyembunyikan kebingungan di wajahnya. Ryuu mengangguk. Ia merogoh dompet dan mengeluarkan sebuah black card, lalu menyerahkannya ke tangan Elle. "Semalam kamu tidak meminta jaminan pembayaran apa pun padaku, dan itu aneh sekali," ucap pria itu seraya tertawa kecil. "Memangnya kamu hendak memberikan tempat menginap dengan gratis?" Elle masih diam, dengan kartu hitam yang masih berada di tangannya. Ya, sebenarnya yang semalam itu dia memang tidak berniat memungut bayaran apa pun kepada Ryuu. Bahkan Elle mengira pria ini sama sekali tidak memiliki uang sepeser pun, dan hanya berdasar belas kasihan sana ia pun menerima Ryuu dan kedua anaknya itu. Namun lihatlah apa yang sekarang berada di dalam genggaman tangannya! Sebuah black card, yang begitu santainya diberikan Ryuu kepada Elle. Sebuah pembayaran dari pengunjung yang menginap, yang sudah begitu lama tidak pernah ia terima. Elle bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya ia menerima pembayaran, karena terlalu lama tidak ada yang berkunjung ke Lakeview Inn. Elle menelan ludah, dengan tangannya yang sedikit gemetar mencengkram black card milik Ryuu. "Kenapa?" bisik Elle dengan suara lemah, namun cukup terdengar oleh Ryuu. "Kenapa... kamu memutuskan untuk menginap di... sini?" Dengan pembayaran unlimited dari black card ini, Ryuu bisa memesan hotel bintang lima terbaik di pusat kota, alih-alih berada di lokasi terpencil dan antah berantah ini. Oh, danau yang berada di dekat penginapan ini memang indah, pemandangan di sekitarnya juga cukup mengesankan. Tapi... penginapan Lakeview Inn sederhana dan bobrok miliknya ini pastilah bukan tempat yang nyaman bagi keluarga kelas atas seperti mereka. Sebuah seringai setengah yang samar terlukis di wajah Ryuu, sebelum kemudian ia pun berucap, "Well, tanyakan saja pada Akio dan Ayaka," sahutnya. Elle menatap Ryuu dengan ekspresi penuh pertanyaan, tapi pria itu hanya mengangkat bahu seolah hal ini bukan sesuatu yang terlalu penting. "Mereka yang ingin tinggal lebih lama," ulang Ryuu, tapi sorot matanya tetap tak lepas dari Elle, membuat gadis itu merasa tubuhnya semakin memanas. Elle menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan detak jantungnya yang kini berpacu lebih cepat dari biasanya. "Baiklah... kalau begitu, aku akan mencatat perpanjangan menginap kalian." Saat Elle berbalik untuk mengambil buku catatan, tiba-tiba saja Ryuu menangkap pergelangan tangannya, yang seketika menghentikan langkahnya. Jari-jari pria itu hangat dan mencengkeram dengan kuat, namun tidak menyakiti sama sekali. Elle menahan napas saat tubuhnya diputar hingga kembali menghadap ke arah Ryuu. "Tubuhmu gemetar," bisik Ryuu pelan, suaranya serak dan dalam, seperti angin malam yang berbisik di antara dedaunan. "Apa kamu baik-baik saja, Nona Elle?" Elle meneguk ludahnya, mencoba mengabaikan efek yang pria itu berikan padanya. "A-aku baik--" Ryuu menariknya sedikit lebih dekat. Tubuh mereka belum saling bersentuhan, tapi cukup bagi Elle untuk merasakan kehadiran fisiknya dengan lebih intens. Mata hitam berbentuk monolid khas seseorang keturunan Asia itu menelusuri wajah Elle dengan lekat dan tajam, seakan mempelajari setiap detailnya. Tangan Ryuu masih menggenggam pergelangan tangannya, sementara tangan satunya perlahan menyentuh pinggang Elle. Gerakan itu begitu pelan, seolah memberinya kesempatan untuk mundur. Tapi alih-alih melangkah menjauh, Elle justru tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa seperti lumpuh oleh kombinasi ketegangan dan antisipasi yang membakar setiap sarafnya. "Aku akan mengakui sesuatu tentang pertanyaanmu tadi," lanjut Ryuu, suaranya semakin rendah dan terasa semakin intim. "Sejujurnya, bukan cuma Akio dan Ayaka yang ingin kembali ke sini. Tapi, aku pun merasakan hal yang sama." Elle mengerjap pelan, tidak bisa mempercayai pendengarannya sendiri. "Alasannya? Hm... mungkin karena aku ingin melarikan diri... atau mungkin karena aku ingin menemukan sesuatu," lanjut Ryuu lagi. "Dan aku rasa aku telah menemukannya di sini." Elle menelan ludah, merasa udara seolah semakin sulit untuk dihirup. "Lalu apa yang kamu temukan?" Ryuu tersenyum, senyum yang membuat perut Elle seolah dipenuhi oleh kepak sayap lembut dari kupu-kupu liar. "Seseorang yang membuatku ingin berhenti berlari," ucapnya pelan, seraya menatap manik hazel milik Elle dengan lembut. Jarak di antara mereka semakin menipis, membuat Elle bisa merasakan betapa panasnya tubuh Ryuu, meskipun mereka belum benar-benar bersentuhan. Ia tahu ia seharusnya menarik diri, atau mengatakan sesuatu yang masuk akal... tapi saat itu, akalnya seakan tenggelam oleh daya tarik magnetis pria di depannya. "Elle," bisik Ryuu, memanggil namanya dengan suara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Elle mendongak, matanya terperangkap dalam lautan hitam pekat yang begitu berbahaya... namun juga begitu menggoda. "Beri aku satu saja alasan... untuk tidak menciummu sekarang," ucap Ryuu pelan, namun penuh keyakinan. ***Sejak hari pernikahan mereka, kehidupan Ryuu dan Elle dipenuhi oleh kebahagiaan sederhana yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Rumah mereka tak pernah terasa kosong karena tawa anak-anak, obrolan hangat, serta… keluhan manja Elle yang tengah mengandung. Namun belakangan ini Ryuu mulai merasa ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Bukan soal kehamilan Elle, bukan soal pekerjaan yang menumpuk, dan tentu bukan soal anak-anak. Tapi soal tatapan para pria di sekeliling mereka yang semakin hari terasa semakin lekat. Terlalu banyak lirikan. Terlalu banyak senyuman basa-basi. Dan semuanya, ditujukan kepada istrinya. Padahal Elle hanya memakai dress hamil berwarna pastel dengan pita besar di pinggang dan cardigan ringan. Wajahnya minim riasan, tapi tetap penuh bersinar. Terutama dengan pipinya yang sedikit membulat, dan aura keibuan yang entah kenapa justru membuatnya tampak luar biasa menawan. Ryuu menghela napas untuk ketujuh kalinya pagi itu, saat mereka tengah berada di se
Tok. Tok. Suara ketukan lembut itu terdengar di pintu kamar Elle. Ia yang tengah duduk di ujung ranjang, memandangi layar ponselnya yang kosong dari pesan Ryuu, segera bangkit dan membuka pintu. Di balik pintu, tampak Akio berdiri dengan ekspresi tenang, namun bola matanya yang gelap menyiratkan sesuatu yang dalam. Elle pun tersenyum, meski di dalam hatinya masih bergemuruh. "Ada apa, Akio?" tanyanya lembut, mengelus kepala anak itu seperti biasa. Akio diam sejenak, lalu menunduk. Sebelum kemudian mengangkat wajahnya perlahan dan berkata, "Daddy sudah menemukan Ayaka." Elle tertegun. "Benarkah?" Akio mengangguk. "Ayaka ada bersama Mommy kami, Haruka." Elle terdiam. Kalimat terakhir itu menusuknya seperti jarum halus yang tak terlihat. Ayaka, ternyata berada bersama ibu kandungnya... Ada sesuatu di dalam dirinya yang seakan runtuh dengan perlahan, namun ia menahan diri dan masih tersenyum. "Syukurlah kalau Ayaka sudah ditemukan," ucapnya pelan. Tangan kecil Akio
"Renjin!" Pria yang dipanggil Renjin itu pun menoleh, dan matanya segera bertemu pandang dengan sosok pria yang melangkah dengan langkah tegas ke arahnya. Seketika Renjin pun membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat. "Ryuu-sama," ucap Renjin. "Syukurlah Anda sudah tiba." Ryuu dan Renjin bertemu di area parkir hotel dimana Haruka berada, sosok yang diduga membawa Ayaka. "Bagaimana dengan Haruka?" tanya Ryuu langsung tanpa tedeng aling-aling. "Dia masih ada di dalam kamar," sahut Renjin. "Dan kami sudah meretas CCTV hotel ini, Ryuu-sama. Ayaka-san ada bersama Haruka-san," lapor Renjin. Helaan napas penuh kelegaan pun menguar dari Ryuu. Setidaknya, Ayaka akan terjamin keselamatannya jika dibawa oleh Haruka dibanding jika Ayaka berada di tangan penjahat yang ingin menjatuhkan perusahaan Ryuu seperti waktu itu. "Kalau begitu, aku akan segera masuk ke dalam kamarnya," putus Ryuu, yang segera dibalas oleh anggukan persetujuan dari Renjin. "Haruka-san berada di kamar J
"Ryuu, tunggu!" Langkah panjang pria bersurai legam itu sontak terhenti begitu suara yang begitu dikenalnya menerobos keheningan lorong depan. Ia berbalik cepat, dan sepasang manik gelapnya langsung menangkap sosok wanita yang tengah berlari kecil ke arahnya. Nafasnya tersengal, bahunya naik-turun, dan wajah cantiknya terlihat begitu cemas. Elle. Rambut cokelat ikal wanita itu tampak sedikit kusut, seolah ia baru saja bangkit dari tempat tidur tanpa sempat merapikan diri. Namun yang paling mencuri perhatian Ryuu adalah sepasang mata hazel-nya yang mulai berkaca-kaca, digenangi rasa sesal dan kecemasan yang mendalam. "Aku ikut," ucap Elle dengan suara bergetar. Wajahnya dipenuhi kesungguhan yang menyayat hati. Suaranya lirih namun penuh tekad. "Ini... ini salahku," lanjutnya dengan suara parau dan tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya. "Seharusnya akulah yang menjemput Ayaka di studio balet, Ryuu. Maaf. Dan sekarang tolong biarkan aku ikut denganmu untuk menemuka
"Natsumi?" Ayaka tampak heran ketika alih-alih Elle, ternyata malah salah satu pengasuhnya yang berdiri menunggunya. Hari ini adalah jadwal Ayaka les balet yang bertempat di sebuah studio tari di pusat kota, sepulangnya dari sekolah. Wanita muda itu tersenyum kepada Ayaka. "Elle-san kelelahan setelah membuat kue coklat yang enak untukmu, Ayaka-san. Jadi aku tak berani membangunkan saat tiba waktunya untuk menjemputmu," sahut Natsumi. Wajah bingung Ayaka pun seketika sumringah. "Jadi Elle membuatkanku kue coklat?" cetusnya gembira, membayangkan makanan kesukaannya. Akhir-akhir ini pipi Ayaka semakin tampak gembil karena Elle selalu memasak yang enak-enak untuknya dan Akio. Semenjak Elle tinggal bersama mereka, Ayaka dan Akio hanya mau memakan masakannya, padahal Ryuu telah memperkerjakan koki handal di Mansion. Tapi entah kenapa anak-anaknya justru lebih cocok dengan masakan Elle yang jauh lebih sederhana tapi tak kalah lezatnya. "Hm... Natsumi?" panggil Ayaka, setelah dir
"Elle, lihat! Aku jago kan berkuda?!" Gadis cantik bersurai ikal coklat kemerahan itu tersenyum sambil mengacungkan kedua ibu jarinya, kepada seorang anak perempuan yang sedang berada di atas kuda dan melambaikan tangan dengan penuh semangat ke arahnya. "Kamu hebat, Ayaka!" sahut Elle, yang diam-diam merasa sangat lega karena Ayaka yang kini kembali ceria seperti biasanya, setelah seharian kemarin anak itu tiba-tiba saja menjadi pendiam. Saat ini Elle sedang menemani Ayaka dan Akio yang sedang les berkuda di istal peternakan kuda milik Keluarga Takahashi. Ayaka masih memamerkan ketrampilannya di atas kuda, ketika Akio dan kudanya lewat dengan gesit di sampingnya. Gaya anak lelaki itu keren sekali, dan membuat Elle takjub dengan kemahirannya mengendalikan tali kekang kuda, serta gerakannya yang sangat luwes seolah ia terlahir untuk hal ini. Elle tersenyum, membayangkan Akio yang sebenarnya sangat mirip dengan Ryuu, meskipun sama sekali bukan darah dagingnya. "Kamu lambat s