[Dion Addison POV]
Aku terus melarikan pandangan dari anak gadis yang masih memakai pakaian yang sama sejak pagi. Tidak ingin ketahuan dengan tatapan menodong dari Quinza. Aku kembali melirik Quinza dengan ekor mata namun sedetik kemudian aku kembali kabur.
"But, it's okay. Siapa tahu kalau Leyna masih menguasai pelajaranku." Quinza bicara dan kemudian kembali duduk ke tempatnya, berbeda denganku yang merasakan jantungku memompa seperti dikejar oleh penjaga tahanan. Aku menghela napas lalu kembali memakan sereal yang telah melemas karena berenang di atas cairan putih.
"Leyna baru makan siang?"
Aku berdengung dengan mulut yang berisi sereal. Setidaknya itu cukup menjadi jawaban kilas.
"Telan dulu, baru ngomong. Bisa dimarahi Daddy kalau ketahuan. Mau kubuat roti panggang dengan sosis keju di atasnya?" tawarnya lagi. Aku menelan makanan lalu menimbang penawaran tersebut.
Aku tidak begitu suka keju apalagi sosis, tetapi pemilik nama Leyna Olivia tidak pernah menolak sajian dengan dua bahan tersebut seumur hidup. Aku menatap lurus anak terakhir keluarga Grissham, "Boleh."
Quinza tanpa membalas langsung berjalan ke arah dapur. Walaupun keperawakan gadis itu cukup tinggi dan selalu bertampang jutek, aku bisa melihat kalau dia senang atas jawabanku. Tanpa sadar, aku mengikutinya dan berdiri di ambang pemisah dua ruangan tersebut.
Quinza sibuk membuka kabinet atas dan menarik satu kotak panjang berisi roti, mentega. Lalu, berjalan ke arah kulkas dan mengeluarkan dua lapisan berwarna kuning dan yang satunya agak keputihan lebih besar dan diletakkan di kotak dan dua buah sosis.
Dengan cekatan, dia membuka plastik bungkusan keju dan mengambil keju tersebut dan membalut sosis yang telah digoreng, mozzarella juga terikut dilapisi di atas roti yang telah terisi sosis tersebut dan dimasukkan ke dalam oven. Quinza menepuk tangannya setelah menyetel oven lalu melihat ke arahku dengan senyum sumringah.
“All done. Kita hanya tinggal menunggu. Omong-omong, Leyna, bagaimana harimu?” tanya Quinza padaku.
Aku terdiam sebentar memikirkan jawaban yang pas, “Baik. Quinza bagaimana?”
Kulihat Quinza mengangguk kepalanya, “Same. Hanya saja tinggal algoritma itu mengganggu hariku.” Quinza mencebikkan bibirnya, dia mengambil susu kotak vanilla dari kulkas dan meminumnya dengan semangat. Aku tahu anak itu lebih suka vanilla daripada coklat, kalau Leyna dia tidak pemilih. Tuan Grissham sendiri yang menyetok susu dua rasa tersebut untuk kedua putrinya yang masih di Burk’s Falls.
Anak bungsu keluarga itu terlihat sendu dan tertekan, dia menatapku berkali-kali seperti ingin menyampaikan sesuatu yang penting padaku. Tetapi, dia kemudian memutuskan kontak bak merasa ragu. Aku hanya membiarkannya seperti itu sampai dia bicara semenit kemudian.
“Belakangan ini aku didekati satu cowok, Leyna. Kau tahu cowok yang suka menungguku di depan gerbang sekolah itu sebulan yang lalu?” tanya Quinza yang menyangga badan pada tepi kabinet.
Aku membeku, tentu aku tidak tahu cowo yang mana mendekatinya satu bulan yang lalu. Aku juga tidak bisa mengirim pesan kepada Leyna karena jelas dia tidak diberi kebebasan untuk memegang ponsel sekarang.
“Ya … ada apa?” tanyaku berusaha menampik rasa gugup tersebut. Mataku berusaha melihatnya agar tidak menimbulkan kecurigaan.
“Itu sungguh mengganggu. Ntah apa yang dia lakukan setelah berhenti menungguku selama sebulan sampai mengintili di jam istirahat. Padahal sudah berhenti,” kata Quinza yang melihat ke arah ventilasi. Aku hanya bertumpu pada daun pintu mesin pendingin.
Quinza yang masih sama dengan posisi tersebut kembali bersuara dengan nada sumbang, “Apa yang harus kulakukan, Leyna?”
Aku memposisikan diriku berdiri dan menarik putri bungsu itu ke dalam dekapan, “Kita akan mendapatkan caranya. Dia belum berani menyentuhmu seujung kukupun kan?”
Quinza menggeleng. Gadis ini lebih tegar dari yang kupikir sebelumnya, sejak tadi pagi duduk bersama untuk sarapan, putri bungsu itu memang termasuk memiliki wajah datar yang alami nan tampak menakutkan. Dia bisa jadi terlihat rapuh di dalam seperti yang kupikir ternyata dia cukup mampu bertahan.
“Tenang lah, tidak akan ada yang terjadi.” Aku berkata dengan tenang tetapi berbeda dengan apa yang menghujam pikiranku bertubi-tubi seperti berada di lapangan perang. Aku akan membicarakan ini setelah makan malam di bawah tanah dengan Leyna berdua.
Karena, aku mendapatkan perasaan yang cukup buruk sekarang.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
“Lepas, aku mau makan.” Quinza berusaha memberi jarak pada kakak perempuannya dan mengambil gloves khusus memasak. Menarik turun pintu oven dan mengeluarkan roti panggangnya dari dalam, menatanya ke dua piring dengan cepat. Dion berasumsi kalau bisa jadi anak itu kelaparan. Quinza meletakkannya ke meja dengan Dion mengekor dari belakang lalu duduk di samping anak itu dan segera melahap roti panggang. “Tidak bersama Daddy dan Mommy?” tanya Dion mencairkan suasana. Yang ditanya menggeleng kepala dengan adonan tersebut menempel di bibir. Dia mengunyah makanan di dalam sebelum menelan yang terasa halus, “Daddy masih harus memonitor restoran. Kemarin yang kau lakukan itu belum menyelesaikan, Uncle masih datang. Cukup merepotkan.” Lalu kembali mengunyah roti panggang menjadi tersisa setengah. Yang lebih tua hanya mengangguk walaupun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh putri bungsu, lalu ikut memakan suapan terakhir. Banyak yan
"Apa dia mengatakan seperti itu?" Lena bertanya dengan raut terkejut. Dion mengangguk ragu. "Itu saat dia membuat roti panggang sesudah pulang sekolah. Dia ingat kalau dia pernah membuat kegosongan parah denganmu. Itu memang terjadi, kan?" Jiwa pria itu semakin gusar ketika melihat Leyna yang terdiam tidak mau menjawab apapun. Sepertinya rahasia mereka akan terbongkar. Leyna mengangguk, "Ya, kami pernah." Bisikan halus dari suara serak itu membuat Dion menghembuskan napasnya dengan lega. "Itu bukan sesuatu yang pantas untuk diceritakan," kata Leyna yang menunduk malu. "Aku tahu. Tapi, sekecil apapun yang kau lakukan, sebesar apapun kejadian memalukan, kau haruslah mengatakannya padaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa." Dion menjulur tangannya mengangkat dagu yang menunduk di depannya, tersirat jelas kalau lawan bicaranya menahan malu. "Hey, it's okay. You did a great job," kata Dion yang mempertahankan posisinya. Sedangkan L
"Duluan saja, Pak. Daddy lebih butuh bantuan." Dion tersenyum tipis saat melihat mobil yang ditumpangi kembali bergerak setelah pintu mobil ditutup olehnya. Sembari mengamankan tas yang dipikul oleh bahu kiri, dia melihat ke arah gedung di depannya. Gedung yang bertingkat tiga berdiri dengan kokoh di salah satu kumpulan barisan di sisi kiri jalan raya, tiga mobil terparkir apik di depan. Dia melihat plat bertulis 'Classic Studio' sejenak lalu melangkah mendorong pelan pintu yang dipasang. Aroma vanilla menyerbak ketika telapak kaki yang terbalut high heels dua sentimeter itu menapak di dalam gedung. Dingin menyeruak karena pendingin ruangan dinyalakan. Dion bisa melihat seorang wanita berpakaian semi-formal berdiri di belakang customer service menyapanya dengan hangat."Good afternoon, Dorine." sapanya ketika mengingat nama-nama yang dijelaskan Leyna mengenai orang di sekitar balerina tersebut. Dion kembali berjalan di sebuah lorong,
Dion langsung merebahkan badannya di atas kasur setelah mencapai kamarnya. Walaupun dia belum membersihkan diri, untuk sekarang dia lebih butuh istirahat daripada berada di kamar mandi mewah. Hanya untuk lima menit saja, dia terlalu lelah untuk berjalan setelah tungkai kakinya terus menerus terangkat hanya berdiri dengan pointe shoes dan area betisnya juga. Kepalanya terus berputar seperti ada bintang berkelip di depan matanya. Dia tahu itu hanya sekedar ilusi semata dan kembali memejam mata untuk mengarungi samudra mimpi yang telah menunggu sejak lima menit yang lalu. Karena, demi apapun yang ada di semesta, dia tidak pernah selelah ini, dia sanggup mengoreksi puluhan buku dengan tulisan berantakan dan masih bisa berjalan kaki setelahnya. Marahi jiwanya yang kurang suka bergerak. “Leyna.” Dia ingin mengerang kesal karena seseorang mengusik jam tidurnya, dengan mata yang sayu dia melihat Quinza berdiri di samping kasurnya dengan berkacak ping
[Dion Addison] Aku memilih melamun subuh ini di balkon kamarku sendiri. Tidak, maksudnya kamar Leyna Olivia. Kamar wanita muda itu mengarah ke belakang gedung ini berada di tingkat tiga seperti yang dikatakan sebelumnya. Dia menghirup napas sebanyak mungkin dan menghembuskannya pelan sebanyak lima kali dan melihat berbagai macam pohon menjulang di depannya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku dan menyangga tangan di balkon. “Your uncle came again this morning.” Perkataan Tuan Chayton membuatku pusing karena tidak mengerti kemana arah topik ini berjalan. Tetapi, satu sisi Leyna sudah menceritakan semuanya membuatku merasa lebih baik. Aku melirik ponsel yang menunjuk gambar seorang pria yang dipanggil paman oleh keturunan Tuan Chayton. Tanpa sadar aku mengacak surai rambut yang tergerai karena terlalu pusing mengingatnya. “Dia ingin bertemu denganmu, Leyna. Katanya dia ingin mengatakan sesuatu pa
"Good Morning, Uncle." sapa Dion yang memberikan senyum tipis pada seorang pria yang duduk di depan meja kerja pemilik restoran. Jujur saja, dia gugup setengah mati melihat raut wajah yang berhadapan dengannya sangat datar dan tidak bersahabat. Bahkan, Dion berani bersaksi kalau tatapan mata Lancelot bisa membunuh nyawanya jika terus-menerus melihat dengan ekspresi seperti itu. Lancelot masih menatapnya dengan tatapan yang sama sejak kehadiran Dion yang datang dengan setelan yang lebih formal dari biasanya. Sebuah kemeja putih dengan blazer pink pastel yang senada dengan rok span di bawah lututnya, dipadu high heels tiga sentimeter beradu dengan lantai adalah pakaiannya untuk seharian ini. Dion perlu menghabiskan waktu malamnya untuk berjalan di atas tumpuan sepatu tersebut berjam-jam setelah di atas jam sepuluh dengan lampu yang meredup. Usaha tidak akan mengkhianati hasil ternyata bergerak di dalam kehidupan aneh pemuda Addison itu. "Leyna
[Leyna Olivia POV] Aku menikmati sepiring roti isi sebagai hidangan makan malam. Kudengar itu atas perintah Nona Muda Olivia dari para penjaga. Tentu saja itu berarti adalah perintah Dion yang mungkin sedang mengistirahatkan dirinya tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu. Satu-satunya yang mengganjal adalah hubunganku dengan Uncle Lancelot. Entah apa yang terjadi tadi pagi dengan pria yang menjadi favoritku kalau berhubungan tentang hunting food. Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar. Dion juga bukan tipikal pria yang ceroboh atau tidak bisa berpikir dengan cepat dan matang. Apapun yang terjadi juga dia harus bisa menjalaninya dengan baik. Lagipula, kalaupun dia salah melangkah. Masih ada alasan yang bermutu untuk menopang langkah tersebut untuk tidak terendus oleh siapapun. “Aku bosan,” kataku sambil duduk di papan kayu yang menjadi tempat tidurku selama ini. Aku diinterogasi oleh Kepala Divisi Hukum tadi pagi dan berjalan d
[Dion Addison POV] Aku mengencangkan ikatan tali sepatu di sekitar pergelangan kakiku. Masih ada lima jam sebelum latihan di studio dimulai. Dengan skirt di tanganku, kubawa ke ruang rapat yang sebenarnya cukup luas dijadikan studio tari. Kemarin Hakim Johnson mengatakan hasil sesi wawancaranya dengan Leyna. Aku mengiyakan dan meminta hari esok aku yang akan mengintrogasinya. Di sinilah sekarang, di jam sembilan pagi. Leyna dibawa ke dalam ruang rapat. Aku membiarkan para pengawal tahanan berdiri di luar ruangan rapat, menyisakan aku dan Leyna yang berseberangan. "Hakim Johnson sudah mengatakan semuanya padamu?" tanyanya memulai sesi percakapan. Aku tahu dia mulai menerima kehadiranku di sekitarnya karena kondisi aneh ini. Aku mengangguk, mataku bertabrakan dengan matanya dengan seulas senyuman di wajah, "Thank you for telling the truth." "That's what I've to do," katanya dengan tenang.