Share

13. Paparazzi

[Dion Addison POV]

Aku terus melarikan pandangan dari anak gadis yang masih memakai pakaian yang sama sejak pagi. Tidak ingin ketahuan dengan tatapan menodong dari Quinza. Aku kembali melirik Quinza dengan ekor mata namun sedetik kemudian aku kembali kabur.

"But, it's okay. Siapa tahu kalau Leyna masih menguasai pelajaranku." Quinza bicara dan kemudian kembali duduk ke tempatnya, berbeda denganku yang merasakan jantungku memompa seperti dikejar oleh penjaga tahanan. Aku menghela napas lalu kembali memakan sereal yang telah melemas karena berenang di atas cairan putih.

"Leyna baru makan siang?" 

Aku berdengung dengan mulut yang berisi sereal. Setidaknya itu cukup menjadi jawaban kilas.

"Telan dulu, baru ngomong. Bisa dimarahi Daddy kalau ketahuan. Mau kubuat roti panggang dengan sosis keju di atasnya?" tawarnya lagi. Aku menelan makanan lalu menimbang penawaran tersebut.

Aku tidak begitu suka keju apalagi sosis, tetapi pemilik nama Leyna Olivia tidak pernah menolak sajian dengan dua bahan tersebut seumur hidup. Aku menatap lurus anak terakhir keluarga Grissham, "Boleh."

Quinza tanpa membalas langsung berjalan ke arah dapur. Walaupun keperawakan gadis itu cukup tinggi dan selalu bertampang jutek, aku bisa melihat kalau dia senang atas jawabanku. Tanpa sadar, aku mengikutinya dan berdiri di ambang pemisah dua ruangan tersebut.

Quinza sibuk membuka kabinet atas dan menarik satu kotak panjang berisi roti, mentega. Lalu, berjalan ke arah kulkas dan mengeluarkan dua lapisan berwarna kuning dan yang satunya agak keputihan lebih besar dan diletakkan di kotak dan dua buah sosis.

Dengan cekatan, dia membuka plastik bungkusan keju dan mengambil keju tersebut dan membalut sosis yang telah digoreng, mozzarella juga terikut dilapisi di atas roti yang telah terisi sosis tersebut dan dimasukkan ke dalam oven. Quinza menepuk tangannya setelah menyetel oven lalu melihat ke arahku dengan senyum sumringah.

“All done. Kita hanya tinggal menunggu. Omong-omong, Leyna, bagaimana harimu?” tanya Quinza padaku.

Aku terdiam sebentar memikirkan jawaban yang pas, “Baik. Quinza bagaimana?”

Kulihat Quinza mengangguk kepalanya, “Same. Hanya saja tinggal algoritma itu mengganggu hariku.” Quinza mencebikkan bibirnya, dia mengambil susu kotak vanilla dari kulkas dan meminumnya dengan semangat. Aku tahu anak itu lebih suka vanilla daripada coklat, kalau Leyna dia tidak pemilih. Tuan Grissham sendiri yang menyetok susu dua rasa tersebut untuk kedua putrinya yang masih di Burk’s Falls.

Anak bungsu keluarga itu terlihat sendu dan tertekan, dia menatapku berkali-kali seperti ingin menyampaikan sesuatu yang penting padaku. Tetapi, dia kemudian memutuskan kontak bak merasa ragu. Aku hanya membiarkannya seperti itu sampai dia bicara semenit kemudian.

“Belakangan ini aku didekati satu cowok, Leyna. Kau tahu cowok yang suka menungguku di depan gerbang sekolah itu sebulan yang lalu?” tanya Quinza yang menyangga badan pada tepi kabinet.

Aku membeku, tentu aku tidak tahu cowo yang mana mendekatinya satu bulan yang lalu. Aku juga tidak bisa mengirim pesan kepada Leyna karena jelas dia tidak diberi kebebasan untuk memegang ponsel sekarang.

“Ya … ada apa?” tanyaku berusaha menampik rasa gugup tersebut. Mataku berusaha melihatnya agar tidak menimbulkan kecurigaan.

“Itu sungguh mengganggu. Ntah apa yang dia lakukan setelah berhenti menungguku selama sebulan sampai mengintili di jam istirahat. Padahal sudah berhenti,” kata Quinza yang melihat ke arah ventilasi. Aku hanya bertumpu pada daun pintu mesin pendingin.

Quinza yang masih sama dengan posisi tersebut kembali bersuara dengan nada sumbang, “Apa yang harus kulakukan, Leyna?”

Aku memposisikan diriku berdiri dan menarik putri bungsu itu ke dalam dekapan, “Kita akan mendapatkan caranya. Dia belum berani menyentuhmu seujung kukupun kan?”

Quinza menggeleng. Gadis ini lebih tegar dari yang kupikir sebelumnya, sejak tadi pagi duduk bersama untuk sarapan, putri bungsu itu memang termasuk memiliki wajah datar yang alami nan tampak menakutkan. Dia bisa jadi terlihat rapuh di dalam seperti yang kupikir ternyata dia cukup mampu bertahan.

“Tenang lah, tidak akan ada yang terjadi.” Aku berkata dengan tenang tetapi berbeda dengan apa yang menghujam pikiranku bertubi-tubi seperti berada di lapangan perang. Aku akan membicarakan ini setelah makan malam di bawah tanah dengan Leyna berdua.

Karena, aku mendapatkan perasaan yang cukup buruk sekarang.

_The Stranger’s Lust_

To Be Continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status