Selang beberapa menit kemudian, lamunannya buyar saat terdengar suara ceria Amara dari belakang. "Mommy, aku sudah selesai!" seru gadis kecil itu sambil melangkah mendekat.
Emely tersentak kecil, lalu menoleh. Senyum kecil terulas di wajahnya saat ia melihat Amara berdiri di samping sofa dengan ekspresi penuh semangat."Sudah rapi, ya?" tanyanya sambil memerhatikan penampilan gadis kecil itu.Amara mengangguk antusias. "Iya, Mommy. Aku sudah siap. Ayo, kita berangkat sekarang!" ucapnya.Emely tersenyum sembari mengangguk pelan. "Ayo," ucapnya lembut, lalu mengulurkan tangan. Amara segera menyambutnya, menggenggam tangan ibunya.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, Gina, pengasuh Amara. "Nona, apakah saya akan ikut ke Mansion?"Emely menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Gina. "Tidak perlu. Kamu istirahat saja dirumah. Mungkin kami akan pulang agak malam," jawabnya tenang.Gina mengangguk patuh, tetapi ia tidakTanpa ragu, pria itu mengeluarkan kartu aksesnya dari saku, lalu menyerahkannya kepada petugas. Wanita itu dengan sigap memeriksa kartu tersebut di alat pemindai. Setelah beberapa detik, ia mengangguk sambil tersenyum ramah. “Baik, Mr. Blue Sinclair. Kartu Anda valid, dan Anda diperbolehkan masuk ke ruang VIP Exclusiva. Silakan,” katanya, lalu menunjuk ke pintu ruang VIP. “Terima kasih,” ucap pria itu singkat namun sopan. “Sama-sama, Sir. Selamat menikmati waktu Anda.” Blue Sinclair. Ya, pria itu ternyata Blue. Sosok pria tampan dan karismatik yang dikenal sebagai pewaris sekaligus CEO Sinclair Ocean Technologies. Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah, bagaimana Blue bisa berada di toko buku ini? Jawabannya sederhana. Sekitar sejam yang lalu, Blue sempat berbicara dengan Emely melalui telepon. Saat itu, ia memberitahu Emely bahwa ia dan keluarganya telah tiba di hotel di Milan. Dalam percakapan yang sama, Emely dengan santai menyebutkan bahwa ia akan pergi ke toko buku seben
Sementara itu, Emely melangkah ke ruang keluarga, tempat ayahnya, Erlan, duduk bersama kakek-neneknya serta pamannya, Gabriel. Suasana di ruangan itu tampak hangat dengan perbincangan ringan yang menyelingi pagi mereka. “Daddy, aku dan Bella pergi dulu ya. Tadi sudah pamit sama Mommy,” ujar Emely, berdiri di depan Erlan. Erlan menatap putrinya dengan tenang. “Pergi dengan sopir?” tanyanya, memastikan. Emely menggeleng pelan. “Aku bawa mobil sendiri saja, Dad. Soalnya hanya sebentar. Aku cuma mau beli buku untuk tugas kuliah.” Erlan mengangguk mengerti. “Ya sudah, tapi hati-hati di jalan. Jangan kebut-kebutan, Emely.” “Ya, Dad. Tenang saja, aku nggak akan ngebut,” sahutnya dengan senyum sebelum berpamitan. Tak lama kemudian, Emely keluar rumah bersama sepupunya, Bella, menuju toko buku untuk menyelesaikan keperluannya. Suasana rumah kembali tenang, dengan Lucia dan Caroline yang kembali sibuk di dapur, sementara Erlan dan keluarga lainnya menikmati waktu bersama di ruang keluarga
*** Pagi itu, tepat pukul 08.00 waktu setempat, Blue bersama keluarganya tiba di Bandara Internasional Milan-Malpensa, Italia. Udara dingin khas musim dingin menyapa mereka begitu keluar dari pesawat. Setelah menyelesaikan urusan imigrasi dan bagasi dengan lancar, mereka segera dijemput oleh mobil mewah yang telah disiapkan sebelumnya. Tujuan mereka berikutnya adalah Hotel Principe di Savoia, salah satu hotel berbintang lima paling bergengsi di kota Milan, yang terkenal dengan arsitektur klasiknya serta layanan kelas dunia. Perjalanan dari bandara menuju hotel berlangsung sekitar 45 menit, melewati lanskap kota Milan yang memadukan keanggunan tradisional dengan modernitas yang dinamis. Sesampainya di Hotel Principe di Savoia, staf hotel menyambut mereka di lobi yang mewah, dihiasi lampu kristal berkilauan dan ornamen khas Italia. Proses check-in berjalan cepat, berkat pelayanan eksklusif yang disediakan untuk tamu VIP seperti mereka. Kini, Blue dan keluarganya telah tiba di kamar
Ronan menepukkan tangannya ke meja dengan keras, membuat Lidya tersentak. “Ibu kandung?!” sergahnya dengan nada sinis. “Ibu kandung yang meninggalkan putrinya dengan pria yang bahkan bukan ayah kandungnya? Itukah yang kau maksud?!” Wanita itu terdiam, tercekik oleh rasa malu dan penyesalan yang mendadak menyerangnya. Ia mencoba membuka mulut untuk membalas, namun Ronan dengan cepat memotong. “Jangan beri aku alasan, Lidya,” lanjut Ronan dengan nada dingin. “Sekarang aku akan memberimu dua pilihan. Pertama, kau pergi dari kehidupan Blue dan Amara, dan jangan pernah lagi mengusik mereka. Atau…” ia berhenti sejenak, matanya menyipit penuh ancaman. “…segala perbuatanmu selama ini akan sampai ke telinga suamimu.” Deg! Kata-kata itu membuat Lidya terhenyak. Wajahnya memucat, napasnya tertahan di tenggorokan. “Aku punya buktinya, Lidya,” ujar Ronan lagi, menegaskan ancamannya. “Ini bukan sekedar omong kosong. Kalau kau tidak percaya, coba saja melanggar batas. Maka detik itu juga…” Rona
Beberapa Hari Kemudian… New York, USA Di sebuah restoran mewah bernama La Belle Étoile, Lidya duduk di ruang VIP dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam cangkir teh yang kini mulai dingin, tetapi bibirnya tetap mengecap rasa kegelisahan. Pikirannya tidak bisa lepas dari pesan singkat yang ia terima dua jam lalu dari nomor tak dikenal. Nomor itu ternyata milik Blue. Itulah yang diketahui oleh Lidya pada akhirnya. Pesannya singkat, namun cukup untuk membuat Lidya melambung tinggi: “Amara mau bertemu denganmu. Temui aku di La Belle Étoile dua jam lagi. Aku akan datang bersama Amara. Kau datang sendiri.” Mata Lidya berbinar saat membaca pesan itu. Hatinya berdebar-debar, rasa bahagia yang begitu mendalam menyeruak dalam dirinya. Amara ingin bertemu dengannya! Akhirnya! Blue juga akan datang! pikirnya dengan antusias. Nasib baik sedang berpihak padanya. Suaminya, Thomas, sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis dan baru akan pulang sore nanti. Ini memberi Lidya bany
Erlan menelan ludah dengan kasar. Kata-kata putrinya seperti pukulan telak. Ia tidak suka Blue bukan hanya karena perbedaan usia, tetapi juga karena ia tahu bagaimana masa lalu pria itu—playboy yang gemar berganti pasangan. ’Kurang ajar kamu, Blue. Pelet apa yang sudah kau gunakan pada putriku sampai dia sebegitu tergila-gilanya padamu?!’ batinnya penuh geram. Erlan mendesah gusar. Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, mencoba meredakan emosinya yang berkecamuk. Setelah menarik napas panjang, ia menatap putrinya lagi. “Kamu benar-benar ingin bersamanya?” tanyanya sekali lagi, berharap Emely akan mempertimbangkan ulang keputusannya. Namun, jawaban Emely hanya berupa anggukan mantap, membuat Erlan semakin frustrasi. “Kenapa kamu tidak pikir-pikir lagi, Nak? Atau begini, bagaimana kalau kita pergi liburan ke Indonesia? Kita bertemu keluarga di sana. Siapa tahu kamu berminat dengan salah satu dari mereka,” tawarnya penuh harap. Namun, Emely menggeleng tegas. “Aku hanya ma
Kemudian, Erlan menggiring putrinya masuk kembali ke kamar dan mengarahkannya ke sofa tempat Emely sebelumnya duduk. Mereka duduk berdampingan, dengan suasana yang terasa lebih hangat daripada sebelumnya. Emely menunduk, tangannya gelisah di pangkuan. Namun akhirnya, ia memberanikan diri untuk berkata, “Aku minta maaf, Dad. Untuk semua yang sudah aku lakukan.” Erlan menghela napas panjang, tangannya terangkat dan dengan lembut menyentuh puncak kepala Emely, mengusapnya perlahan. “Ya, Daddy maafkan,” ucapnya pelan. Emely tertegun. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bahkan ia sempat berpikir mungkin ia salah dengar. Tapi sebelum ia sempat bertanya atau memastikan, Ayahnya kembali melanjutkan. “Kamu cantik, Nak,” ucap Erlan pelan, menangkup wajah sembab Emely dengan kedua tangan besarnya. “Bahkan sangat cantik. Kamu persis seperti Ibumu. Daddy yakin, di luar sana banyak pria yang tertarik padamu. Tapi kenapa kamu justru memilih Blue?” Deg! Pertanyaan itu
*** Meminta maaf sambil bersimpuh, ternyata tak juga mampu membuat Emely mendapatkan maaf dari Ayahnya. Air matanya, kata-katanya, bahkan niat tulus yang ia tunjukkan tampaknya tak cukup untuk menembus tembok keras yang dibangun oleh Erlan. Merasa percuma, Emely akhirnya bangkit berdiri. Pandangannya tak beralih dari sang Ayah yang tetap saja enggan menatapnya. Dengan tangan gemetar, Emely mengusap air mata yang membasahi pipinya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa sesak yang menghimpit dadanya. Setelah beberapa saat, ia memutar tubuh dan melangkah pergi. Pintu ruang kerja pun ia tutup perlahan di belakangnya, meninggalkan keheningan yang menggantung di ruangan itu. Namun, apakah Emely menyerah? Tidak. Tidak ada sedikitpun keinginan dalam dirinya untuk berhenti mencoba. Dia tahu, kesalahan yang ia perbuat sangat besar. Ayahnya berhak marah, kecewa, bahkan enggan memaafkan dalam waktu dekat. Emely cukup sadar diri untuk menerima kenyataan itu. ‘Aku yang salah,’
*** Malam Harinya… Suasana di meja makan malam ini masih terasa sama tegangnya seperti pagi tadi—penuh ketegangan dan dingin. Erlan, pria keras kepala itu, tetap mengabaikan putrinya meskipun Emely berulang kali mencoba membuka percakapan dengan menawarkan beberapa menu kesukaan ayahnya. "Dad, mau coba ayam goreng nggak?" Emely bertanya dengan nada ceria, berharap Ayahnya akan merespons seperti biasanya. Namun, Erlan tetap tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Dia justru mengalihkan pandangannya ke istrinya, Lucia, dan berkata dengan nada datar, "Aku mau ikan bakar, Cia," ujarnya tanpa menoleh sedikitpun pada putrinya. Emely terdiam sejenak, senyumnya memudar, dan hanya tersisa senyum kecut di wajahnya. Lucia melirik putrinya dengan tatapan penuh kesedihan. Gamal dan Megan hanya bisa menghela napas panjang. Sementara Early, jelas-jelas menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak suka, menunjukkan betapa ia merasa muak dengan sikap dingin ayahnya terhadap kakaknya. Lucia menahan nap