Di kawasan elite Manhattan, berdiri megah Sinclair Mansion, sebuah hunian yang memancarkan kemewahan sekaligus wibawa keluarga penghuninya. Mansion itu adalah gabungan arsitektur klasik dan modern, berdiri di atas lahan luas yang dikelilingi oleh taman hijau yang terawat sempurna. Pagar besi hitam dengan detail ukiran emas melingkupi properti, sementara gerbang otomatis yang tinggi menjadi pintu masuk utama ke halaman beraspal. Bangunan mansion itu terdiri dari tiga lantai dengan fasad marmer putih, pilar-pilar besar yang mengingatkan pada gaya arsitektur Yunani, serta jendela-jendela tinggi yang dihiasi bingkai emas. Di puncak atapnya, kubah kecil berlapis kaca menambah sentuhan elegan dan eksklusif. Di dalamnya, ruang tengah menjadi salah satu bagian paling mencolok. Dengan langit-langit menjulang setinggi dua lantai, ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu gantung kristal raksasa buatan tangan yang menggantung tepat di tengah-tengah, memantulkan cahaya me
Zara menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski hatinya terasa pedih. “Apa kamu tidak lelah, Ronan? Blue adalah putramu satu-satunya, dan kamu tidak pernah bisa akur dengannya,” ucapnya pelan. Suaranya bergetar, mencerminkan campuran antara rasa sedih dan kecewa. “Setiap keputusan yang Blue ambil selalu salah di matamu ...,” lanjut wanita itu. Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Ronan memotong dengan nada tinggi. “Jelas itu salah!” seru pria itu. Matanya memelotot penuh amarah. “Dia meninggalkan keluarga ini selama bertahun-tahun hanya untuk bekerja dengan orang lain? Dia adalah seorang Sinclair! Putra mahkota! Dia adalah pewaris keluarga ini! Tidakkah kau mengerti, Zara?” Ronan berdiri, menatap istrinya dengan intens. “Dan, lihatlah apa yang dia lakukan selama ini! Dia mengotori nama Sinclair dengan bergabung bersama mafia? Hah! Anak itu benar-benar bodoh!” “Blue sudah berhenti, Ronan, bahkan dia sudah mengambil alih perusahaa
“Blue, are you okay?” Suara Emely terdengar lembut, berbeda dari biasanya. Wanita itu sedikit memiringkan tubuh sehingga wajahnya ikut condong ke arah pria yang tengah fokus mengendalikan kemudi. Blue melirik sekilas ke arahnya lalu mengulas senyum tipis. “Aku baik-baik saja,” jawab pria itu tenang sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan raya yang membentang di depannya. Namun, Emely tidak puas. Ia tetap menatap Blue dengan intens. Keningnya berkerut kecil dan bibirnya sedikit tergigit, menandakan bahwa ia tengah memikirkan sesuatu. Setelah beberapa detik, wanita itu akhirnya bersuara lagi. “Aku kepikiran sama yang tadi, Blue,” katanya, hati-hati. “Lupakan saja, itu tidak penting,” balas Blue datar, tanpa menoleh. Emely mengerucutkan bibir, tanda tak setuju. “Dan, tidak perlu mencari tahu apa pun,” lanjut pria itu, seolah-olah tahu apa yang ada di pikiran wanita di sebelahnya. Emely menghela napas. “Mana bisa
Blue mengangkat sebelah alis, tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban wanita itu. Beberapa detik berlalu sebelum Emely kembali bersuara. “Nanti malam bantu aku kerjakan tugas,” katanya dengan suara yang lebih ringan. “Kamu pasti bisa, kan? Soalnya jurusan yang aku ambil itu bisnis.” Blue melirik sekilas sambil tersenyum tipis. “Hem, oke. Tapi, setelah itu, apakah ada imbalan untukku?” tanyanya dengan nada menggoda. Senyum nakal tercetak di bibirnya. Emely memutar mata dengan malas. “Iya, ada,” jawabnya tanpa ragu. “Apa?” tanya Blue antusias. Ekspresinya tiba-tiba berubah penuh harap. “Semangkuk mi,” jawab Emely santai, tanpa sedikit pun memedulikan nada nakal dalam suara Blue sebelumnya. “What?” Blue spontan memprotes. Ia menoleh sekilas ke arah Emely, matanya melebar seperti tidak percaya dengan jawaban itu. Emely hanya mendengkus kecil sambil menyilangkan tangan di dada. Ia sengaja tidak memberikan tanggapan
Mereka bertiga akhirnya duduk di sofa. Amara duduk di tengah, diapit oleh Emely di satu sisi dan Blue di sisi lain. Percakapan pun mengalir meskipun hanya antara Emely dan Amara. Blue memilih diam, mendengarkan keduanya sambil sesekali melirik putri kecilnya yang tampak ceria. “Mommy, nanti malam tidur di kamar aku saja, ya? Aku mau tidur bareng Mommy. Boleh, kan? Mommy mau, kan?” pinta Amara dengan mata berbinar penuh harap. Namun, sebelum Emely sempat menjawab, Blue langsung menyela, “Ranjangmu kecil, Nak, tidak muat. Tidur di kamar Daddy saja.” Ia berujar dengan santai, hanya melirik sekilas pada Amara sebelum kembali fokus ke layar TV. Emely sontak menoleh ke arah Blue, memandang pria itu dengan tatapan tajam penuh arti. Sementara itu, Amara terlihat begitu senang mendengar ucapan ayahnya. “Kita akan tidur bertiga, ya, Daddy? Daddy juga ikut, kan?” tanya Amara polos. “Tentu, Nak,” jawab Blue tanpa ragu. Suaranya terdengar ri
Kepalang kesal, Emely menoleh tajam ke belakang, menatap Blue dengan sorot mata penuh peringatan. “Kamu bisa diam tidak?” geramnya dengan nada rendah. Hampir berbisik, tetapi jelas mengandung nada protes yang tidak bisa disembunyikan. Tangannya refleks mencengkeram pergelangan tangan Blue yang berada di dadanya, berusaha menghentikan sentuhan pria itu yang mulai terasa makin lancang. Meremas-remas buah dadanya hingga membuat tubuhnya meremang. Blue, bukannya merasa bersalah, malah menyeringai kecil. Ia menarik wajahnya sedikit ke belakang, cukup untuk bisa menangkap ekspresi Emely dengan jelas. Senyuman tipis muncul di sudut bibirnya—menggoda—ketika ia melihat kemarahan sekaligus kekalutan dalam tatapan wanita itu. “Aku nggak tahu caranya diam. Kalau kau bisa, coba ajarkan aku,” balas pria tersebut santai. Suaranya rendah tetapi penuh ironi. Emely mendengkus kesal. “Kamu, ya, tua-tua tapi kelakuannya menyebalkan!” desisnya tajam. Blue ter
Tatapan pria itu kini terfokus sepenuhnya pada pemandangan di hadapannya. Lekuk indah tubuh Emely terlihat begitu memikat dalam cahaya redup kamar. Matanya menyala penuh kekaguman menatap squishy bulat dan kenyal itu. Ia menelan ludah berulang kali, berusaha menenangkan diri dari gairah yang makin memuncak. “Blue, kamu gila,” bisik Emely. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang mulai merambat. Tangannya refleks menarik selimut, berusaha menutupi dirinya. Namun, Blue dengan tegas menghentikan gerakan Emely. Tangan kokohnya memegang tangan wanita itu, menariknya lebih dekat. Wajahnya mendekat, ia mengalihkan perhatian Emely dari segala sesuatu di sekeliling mereka. Tanpa banyak bicara, Blue membawa pucuk dada wanita itu ke dalam mulutnya yang hangat. Menciptakan sensasi yang menggigilkan sekujur tubuhnya. Tubuh Emely seketika menggelinjang, merasakan aliran rasa yang begitu hangat dan menggelitik. Matanya terpejam rapat, seolah-olah berusaha menyerap s
Sejenak, waktu seakan-akan berhenti. Mata Emely terbuka lebar, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang temaram. Sensasi asing yang menyusup ke dalam dirinya membuat tubuhnya menegang sesaat sebelum kembali lemas. Di sisi lain, Blue juga terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti jari tengahnya. Untuk beberapa detik, keduanya terjebak dalam momen tanpa kata, hanya dihiasi oleh tarikan napas yang berat dan suasana kamar yang sunyi. Beberapa saat kemudian, Blue menjauhkan wajahnya dari dada Emely, mengangkat kepala perlahan hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh gairah. Sementara itu, tangannya yang berada di dalam liang kenikmatan Emely tetap bergerak lembut. Jari-jarinya menusuk masuk dan keluar dengan irama yang menggoda, menciptakan gelombang sensasi yang terus menghantam tubuh Emely tanpa henti. “Shhh ....” Emely mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru napasnya sendiri.
Zara menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar bisa memberikan kenyamanan pada cucunya. Perlahan, ia melepaskan pelukan itu, menciptakan jarak kecil di antara mereka. Zara mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah mungil Amara, menatap langsung ke matanya yang sembab dan merah.“Amara tidak boleh bersedih. Mommy hanya pergi sebentar,” ucap Zara dengan lembut. Ia melirik Gina yang duduk di dekatnya. “Benar begitu, kan, Nanny?” lanjutnya, meminta dukungan.Gina tersenyum kecil dan mengangguk pelan, menatap Amara dengan penuh kasih. “Iya, betul sekali, Sayang,” jawab Gina lembut. “Amara dengar apa yang Grandma bilang? Mommy hanya pergi sebentar saja. Beberapa hari, bukan selamanya seperti yang Amara pikirkan. Mommy pasti kembali.”Amara menatap Gina dengan mata berkaca-kaca, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke neneknya. “Tapi… tapi kenapa, Grandma? Aku tidak bisa telepon Mommy. Ponselnya… tidak aktif,” ujarnya terbata-bata, i
Zara memperhatikan wajah lebam putranya dengan cermat. Matanya menyipit, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Pun begitu dengan Ronan dan Talia. Keduanya sama-sama menatap Blue dengan penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Apa yang terjadi padamu, Blue?” tanya Zara akhirnya.Blue hanya menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak. Ia tahu pertanyaan ini tak terhindarkan, dan kali ini ia tak bisa menghindar. Semua tatapan kini tertuju padanya, menanti jawabannya.“Kamu bertengkar dengan Emely, Nak?” tanya Zara lembut, penuh kehati-hatian.Blue menggeleng pelan, menundukkan pandangannya. “Tidak, Mom,” jawabnya singkat. “Lalu kenapa dia pergi? Mommy kaget sekali ketika tadi Amara menelepon sambil menangis. Apa yang sebenarnya terjadi, Blue?” tanya Zara lagi.Blue menarik napas panjang. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Dia dijemput oleh ayahnya.”Ronan, yang sedari
***“Sayang, yuk, makan dulu. Sedikit saja, please?” Bujuk Gina. Namun, Amara tetap menggeleng keras, isak tangisnya makin menjadi. “Aku nggak mau makan! Aku mau Mommy, Nanny!” suaranya pecah, napasnya tersendat-sendat diantara tangisnya. Tangan mungilnya mengusap wajah, menghapus air mata yang terus mengalir di pipinya.Gina menatap Amara dengan iba. Hatinya tersayat melihat gadis kecil itu menangis begitu keras sejak pulang sekolah. Masih jelas dalam ingatan Gina, saat Blue menjemput Amara di sekolah, gadis kecil itu sudah mulai bertanya, “Kenapa bukan Mommy yang jemput?” Namun, Blue hanya diam, tak memberikan jawaban apa pun.Sesampainya di rumah, Amara langsung sibuk mencari Emely. Ia berlarian ke setiap ruangan, memeriksa kamar tidur, dapur, hingga halaman belakang. Namun, sosok ibunya tetap tak ditemukan. Ketika akhirnya Amara kembali ke ruang tengah dengan wajah penuh harapan, Blue terpaksa berbohong, mengatakan bahwa Emely sedang per
Tamparan itu menggema di seluruh ruangan. Namun bukan pipi Emely yang menerima tamparan itu. Dalam hitungan detik, Blue tiba tepat waktu. Ia menarik Emely ke dalam pelukannya, menjadikan tubuhnya sebagai perisai. Tamparan keras Erlan menghantam pipi Blue, meninggalkan bekas merah yang langsung memanas.Suasana membeku sejenak.Napas Emely terengah. Matanya yang membesar menatap Ayahnya dengan syok dan ketakutan. Sepanjang hidupnya selama 21 tahun, ini adalah kali pertama ia melihat Ayahnya mencoba melayangkan tangan padanya. Namun, kenyataan bahwa Blue yang menerima tamparan itu justru membuat hatinya semakin hancur.Emely menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isak tangis yang semakin keras. Tubuhnya bergetar hebat, air matanya terus mengalir tanpa henti. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya terasa seperti diiris.Namun, Erlan tetap berdiri tegap. Tatapannya dingin dan penuh amarah. Tidak ada sedikitpun penyesalan di wajahnya. Bahka
Di tempat lain, tepat di depan gerbang rumah mewah Blue yang terbuat dari baja hitam kokoh dengan ornamen ukiran modern, sebuah mobil mewah berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan Erlan melangkah keluar. Langkahnya lebar saat ia mendekati gerbang besi. Pandangannya tajam, langsung tertuju pada pintu pagar yang dilengkapi dengan celah kecil untuk memantau siapa yang berada di luar.Seorang bodyguard yang bertugas di depan gerbang segera menghampiri celah tersebut. Matanya menyipit, mencoba mengenali pria berwibawa yang berdiri di hadapannya. “Selamat siang. Anda ingin bertemu dengan siapa?” tanyanya sopan namun tegas.Erlan, yang sudah tidak sabar, langsung menjawab dengan nada tegas, “Aku ingin bertemu dengan Emely. Buka pintunya, cepat!”Bodyguard itu mengernyitkan dahi, merasa ragu untuk langsung mematuhi perintah dari pria asing yang baru pertama kali dilihatnya. Melihat reaksi tersebut, Erlan langsung melanjutkan, “Aku Ayahnya E
***“Tuan…” seru Porter dengan napas terengah-engah saat memasuki ruang kerja Blue. Matanya membelalak saat melihat kondisi ruangan yang kacau balau—meja terbalik, dokumen berserakan di lantai, dan tanda-tanda perkelahian jelas terlihat. Kekhawatiran terpancar dari wajahnya. “Apakah Anda terluka?” tanyanya dengan nada penuh kecemasan, berdiri tak jauh dari posisi Blue.Blue menggeleng pelan, mencoba menenangkan pria itu. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, suaranya tenang namun terdengar lelah.Porter tetap tidak puas dengan jawaban tersebut. “Tadi saya mendengar suara tembakan, Tuan. Benar Anda tidak apa-apa?” tanyanya lagi, kali ini lebih mendesak.Blue mengangguk kecil. “Yeah… aku baik-baik saja,” balasnya datar sambil melangkah ke arah meja kerjanya yang sudah berantakan. Ia berhenti di sisi meja, lalu mengambil dua lembar tisu dari salah satu laci. Dengan gerakan perlahan, ia menekan tisu tersebut ke sudut bibirnya, menyeka darah seg
Blue memilih untuk diam, bukan karena tidak bisa membalas tuduhan itu, melainkan karena ia tahu bahwa berbicara dalam situasi ini hanya akan menjadi sia-sia. Amarah Erlan sudah menguasainya sepenuhnya, dan penjelasan apa pun tidak akan bisa menembus tembok prasangka yang telah terbentuk.“Dengar baik-baik, Blue.” Erlan melangkah maju. “Kau tidak lebih dari seorang pria brengsek, asal kau tahu. Pria yang hanya tahu memanfaatkan situasi untuk keuntungan sendiri!” Desisnya tajam."Pria brengsek?" suara Blue terdengar dalam, nyaris berbisik. "Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita, lalu setelah menikmati tubuhnya, meninggalkannya tanpa rasa tanggung jawab. Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita dalam keadaan mabuk, menyakitinya tanpa dia sadari. Sedangkan aku? Dari segi mana kau menilai bahwa aku adalah pria brengsek?"Deg!Kata-kata Blue bagaikan tamparan keras, membuat Erlan terdiam. Blue tidak berhenti di sana. la mengambil napas dalam. "Aku meninggalkan Emely karena s
***Mendengar ucapan penuh keberanian dan tantangan dari Blue, amarah Erlan kian membara. Dadanya yang bidang terlihat naik turun, napasnya memburu, dipenuhi oleh kemarahan yang tak lagi bisa dibendung. Matanya menyala tajam, menatap Blue yang terbaring di lantai seperti seorang predator yang siap melahap mangsanya.Tanpa sepatah kata, Erlan melangkah maju. Sepatunya yang berkilau berhenti tepat di sisi tubuh Blue yang tampak lemah di lantai. Dengan gerakan tegas, Erlan mengangkat kakinya tinggi, bersiap menginjak dada Blue tanpa ampun, seolah ingin menghancurkan segala perlawanan yang tersisa dari pria itu.Namun kali ini, Blue tidak tinggal diam. Meski tubuhnya terasa remuk, insting dan pelatihannya selama bertahun-tahun sebagai mantan anggota klan Mafia segera mengambil alih. Dengan gesit, Blue menggulingkan tubuhnya ke samping, menghindari injakan Erlan yang mematikan.Tubuh Blue berulang kali mengguling di atas lantai yang dingin, mencoba menjauh dari serangan Erlan. Sementara it
Erlan memutar tubuhnya dengan tenang, tak memedulikan tatapan ketakutan yang mengiringinya. Langkahnya lebar saat ia berjalan menuju lift. Orang-orang di sekitar lobi hanya bisa menatap, beberapa mencoba mundur perlahan untuk menjaga jarak.Lift terbuka. Erlan melangkah masuk tanpa ragu—diikuti oleh bodyguard-nya, pintu logam itu tertutup dengan bunyi yang nyaris tidak terdengar, membawa pria paruh baya itu naik ke lantai 32—menuju ruang kerja Blue Sinclair, Direktur Utama sekaligus CEO Sinclair Ocean Technologies. Setelah berlalu dari lobi, Erlan akhirnya tiba di lantai yang dituju. Lift berhenti dengan lembut, dan pintunya terbuka lebar, memperlihatkan lorong panjang dengan pencahayaan modern yang menuntun ke ruang kerja Blue. Tanpa ragu, Erlan melangkah keluar. Di sisi lain, di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya serius, fokus sepenuhnya pada laporan yang sedang ia pelajari. Namun, konsentra