“Blue sudah ada calon, Mom. Sangat cantik.”Ucapan itu seketika mengubah suasana di meja makan. Zara dan Ronan yang sebelumnya sibuk dengan pikiran masing-masing, kini menatap Talia dengan intens. Keduanya tampak kompak menuntut penjelasan sang putri lebih lanjut meski ekspresi mereka berbeda. Zara terlihat penuh antusias, sedangkan Ronan lebih skeptis dengan alis sedikit terangkat.Sejenak, Talia menarik napas pendek. “Kalau sudah waktunya, Blue pasti akan membawa kekasihnya ke hadapan kalian,” ucap wanita itu sambil menatap ibunya.“Kamu serius, Sayang?” tanya Zara dengan nada penuh harap.Talia mengangguk pelan, meyakinkan. “Hmm, mana mungkin aku bercanda, Mom?”Namun, sebelum Zara sempat bertanya lebih jauh, Ronan tiba-tiba membuka suara. “Siapa wanita itu? Gadis atau janda?” tanyanya dengan nada tajam.Talia terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia spontan mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya, menatap pria itu dengan kening berkerut dalam. “Kalau janda, memangnya kenapa, Dad? To
Di dalam, suasana begitu ramai, tetapi tetap tertata dengan elegan. Lantai berkilau dengan marmer mengilap, sementara deretan toko-toko mewah berjajar dengan tampilan etalase yang memukau. Amara tampak kagum melihat dekorasi Natal yang mulai dipasang di berbagai sudut mal.“Daddy, lihat! Ada pohon Natal besar sekali!” seru gadis kecil itu sambil menunjuk ke arah atrium utama, di mana pohon Natal raksasa berdiri dengan ornamen emas dan lampu berkelap-kelip.Blue tersenyum. “Iya, cantik sekali? Nanti kita foto di sana kalau Amara mau.”Amara mengangguk penuh semangat. “Mau, Daddy! Kita foto bertiga, ya!”Blue balas mengangguk sambil melirik Emely. “Tentu, Sayang. Mommy setuju, kan?”Emely tersenyum kecil. “Tentu saja. Foto bersama pasti menyenangkan,” jawabnya.Mereka terus berjalan, mengelilingi berbagai toko. Amara terlihat kegirangan ketika mereka masuk ke sebuah toko mainan besar. Dia berlari kecil ke rak boneka, memperhatikan satu per satu boneka yang dipajang.“Mommy, ini lucu sek
Talia tiba di depan Per Se, restoran mewah dan terkenal di Columbus Circle, New York. Mobilnya, sebuah Rolls-Royce Ghost hitam berkilau, meluncur mulus ke area parkir valet yang eksklusif. Setelah menghentikan kendaraan, ia mematikan mesin dengan gerakan halus, membiarkan suasana hening menyelimuti sejenak.Talia kemudian mengulurkan tangan ke kursi penumpang, mengambil tas Hermès Birkin berwarna merah marun yang elegan, merefleksikan selera tingginya. Sebelum keluar dari mobil, ia menyempatkan diri memeriksa penampilannya di kaca spion samping. Bibirnya yang dipulas lipstik merah klasik tampak sempurna, dan riasan matanya mencerminkan percaya diri tanpa kesan berlebihan.Pertemuan ini penting. Orang yang akan ia temui adalah salah satu mitra besar dalam perusahaannya, Sinclair Ocean Technologies. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri.Talia melangkah keluar dari Rolls-Royce dengan anggun, menyerahkan kunci mobil kepada valet yang segera menundukkan kepala hormat. Sepatu Chri
Percakapan berlanjut dengan pembahasan lebih dalam mengenai jadwal, laporan kemajuan, dan langkah berikutnya untuk memastikan kelancaran proyek. Suasana hangat mencerminkan hubungan kerja yang sudah terjalin erat selama beberapa bulan terakhir, meski fokus mereka tetap pada kesuksesan bersama.Di tengah obrolan yang terdengar profesional itu, Han Jae-Min tak dapat menyembunyikan kekagumannya terhadap wanita di depannya. Talia berbicara dengan penuh keyakinan, menjelaskan solusi teknis dengan kejelasan yang luar biasa, sambil tetap menjaga suasana diskusi tetap hangat. Bagi Han, kemampuannya untuk berpikir strategis dan memahami detail teknis proyek adalah kombinasi yang jarang ia temui, terutama di dunia eksekutif.Saat Talia menjelaskan rencana Sinclair untuk pengujian antena komunikasi baru, Han tak dapat menahan diri untuk berkata, "Nona Talia, Anda benar-benar menguasai proyek ini dengan luar biasa. Saya harus akui, saya jarang menemukan seseorang yang begitu memahami aspek teknis
Di tempat lain, Blue, Emely, dan putri mereka, Amara, baru saja selesai menikmati makan siang di sebuah restoran dalam pusat perbelanjaan mewah—The Shops & Restaurants at Hudson Yards. Sebelum makan, Emely dan Amara sempat berbelanja, mengisi tas belanja mereka dengan barang-barang pilihan. Amara membeli beberapa baju anak-anak, boneka Barbie, dan mainan lain yang disukai, semuanya atas rekomendasi dan pilihan Ibunya.Sementara itu, Emely membeli dua set baju tidur seksi berbahan satin dan bikini baru. Rencananya, ia dan Amara akan berenang bersama lusa di kolam renang rumah mereka.Blue, yang tak membeli apapun untuk dirinya sendiri, hanya mengemban tugas utama: membayar semua barang belanjaan mereka. Ketika makan siang usai, Emely menatap Amara dengan lembut. "Sayang, sudah kenyang ‘kan? Atau Amara masih mau pesan makanan yang lain?" tanyanya penuh perhatian. Amara menggeleng sambil menyengir manis. "Aku sudah kenyang, Mommy," jawab gadis kecil berusia empat tahun itu.Emely ters
***Matanya terpaku pada sosok pria itu, tampan, berkharisma, dan penuh aura yang tak pernah benar-benar sirna dari ingatannya. Ia menatap tanpa berkedip, seolah waktu berhenti untuk beberapa detik yang terasa begitu panjang.“Blue…,” gumamnya dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar, menyebut nama pria yang dulu pernah menjadi suaminya. Pria yang, meski sudah bertahun-tahun berlalu, tetap sulit ia lupakan.Wanita itu adalah Lidya. Ibu kandung Amara, sekaligus mantan istri Blue. Sudah empat tahun berlalu sejak kepergiannya, menghilang tanpa jejak dari kehidupan mereka. Namun kini, langkahnya kembali menapak di New York, membawa segudang misteri yang tak terungkap.Apa alasan Lidya kembali? Apakah untuk Amara, putri kecil yang dulu ia tinggalkan? Apakah untuk Blue, pria yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya? Ataukah ada tujuan lain yang hanya dirinya sendiri yang tahu?Lamunannya terpecah ketika sebuah suara lembut menyapanya dari belakang.“Lidya, apa kau sudah selesai?”L
Empat tahun yang lalu, Lidya hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu. Kehidupannya berantakan. Perusahaan keluarganya, yang selama ini menjadi pilar penopang kehidupannya, bangkrut secara tiba-tiba dan diambil alih oleh pihak lain. Kekayaan yang dulu melimpah lenyap dalam sekejap, meninggalkan Lidya tanpa apa-apa selain tubuh dan kehormatannya sendiri.Setelah itu, tragedi lain menimpanya. Sebuah kecelakaan merenggut nyawa kedua orang tua dan kakak laki-lakinya dalam satu malam yang tak pernah ia lupakan. Lidya kehilangan semua orang yang pernah menjadi sandarannya. Dunianya runtuh, dan ia jatuh ke titik terendah dalam hidupnya.Saat itu, ia tahu dirinya tidak lagi mampu memberikan kehidupan yang layak bagi Amara. Ia tidak memiliki pekerjaan, tempat tinggal, atau bahkan uang untuk makan. Maka, dengan berat hati, Lidya memutuskan untuk meninggalkan Amara bersama Blue. Meski pria itu adalah mantan suaminya dan bukan Ayah kandung Amara, Lidya yakin, hanya Blue yang mampu menjamin kebaha
Di tempat lain, Blue menghentikan mobilnya perlahan di depan sebuah apotek kecil yang terletak di tepi jalan. “Kenapa berhenti di apotek?” tanya Emely sambil melirik ke arahnya. Tanpa menjawab langsung, Blue melepas sabuk pengamannya, kemudian meraih dompet yang tergeletak di atas dashboard. “Beli obat…” jawabnya singkat, lalu berhenti sejenak. Pandangannya beralih ke kursi belakang, tempat Amara sedang duduk dengan boneka barunya. Mata gadis kecil itu terlihat sayu, hampir terpejam, sepertinya terlalu lelah.“Obat kontrasepsi,” lanjut Blue dengan suara rendah, nyaris berbisik, memastikan agar kata-katanya tidak terdengar oleh Amara.“Oh,” gumam Emely pelan. Tatapannya ikut beralih ke belakang, memperhatikan Amara yang kini mulai bersandar di kursinya, memeluk boneka itu erat-erat.Blue kembali menatap Emely. “Dia kelihatan mengantuk. Kau tunggu di sini saja, hmm? Temani Amara. Biar aku saja yang beli,” ucapnya dengan nada lembut, lebih seperti perintah halus daripada permintaan.Em
Zara menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar bisa memberikan kenyamanan pada cucunya. Perlahan, ia melepaskan pelukan itu, menciptakan jarak kecil di antara mereka. Zara mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah mungil Amara, menatap langsung ke matanya yang sembab dan merah.“Amara tidak boleh bersedih. Mommy hanya pergi sebentar,” ucap Zara dengan lembut. Ia melirik Gina yang duduk di dekatnya. “Benar begitu, kan, Nanny?” lanjutnya, meminta dukungan.Gina tersenyum kecil dan mengangguk pelan, menatap Amara dengan penuh kasih. “Iya, betul sekali, Sayang,” jawab Gina lembut. “Amara dengar apa yang Grandma bilang? Mommy hanya pergi sebentar saja. Beberapa hari, bukan selamanya seperti yang Amara pikirkan. Mommy pasti kembali.”Amara menatap Gina dengan mata berkaca-kaca, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke neneknya. “Tapi… tapi kenapa, Grandma? Aku tidak bisa telepon Mommy. Ponselnya… tidak aktif,” ujarnya terbata-bata, i
Zara memperhatikan wajah lebam putranya dengan cermat. Matanya menyipit, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Pun begitu dengan Ronan dan Talia. Keduanya sama-sama menatap Blue dengan penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Apa yang terjadi padamu, Blue?” tanya Zara akhirnya.Blue hanya menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak. Ia tahu pertanyaan ini tak terhindarkan, dan kali ini ia tak bisa menghindar. Semua tatapan kini tertuju padanya, menanti jawabannya.“Kamu bertengkar dengan Emely, Nak?” tanya Zara lembut, penuh kehati-hatian.Blue menggeleng pelan, menundukkan pandangannya. “Tidak, Mom,” jawabnya singkat. “Lalu kenapa dia pergi? Mommy kaget sekali ketika tadi Amara menelepon sambil menangis. Apa yang sebenarnya terjadi, Blue?” tanya Zara lagi.Blue menarik napas panjang. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Dia dijemput oleh ayahnya.”Ronan, yang sedari
***“Sayang, yuk, makan dulu. Sedikit saja, please?” Bujuk Gina. Namun, Amara tetap menggeleng keras, isak tangisnya makin menjadi. “Aku nggak mau makan! Aku mau Mommy, Nanny!” suaranya pecah, napasnya tersendat-sendat diantara tangisnya. Tangan mungilnya mengusap wajah, menghapus air mata yang terus mengalir di pipinya.Gina menatap Amara dengan iba. Hatinya tersayat melihat gadis kecil itu menangis begitu keras sejak pulang sekolah. Masih jelas dalam ingatan Gina, saat Blue menjemput Amara di sekolah, gadis kecil itu sudah mulai bertanya, “Kenapa bukan Mommy yang jemput?” Namun, Blue hanya diam, tak memberikan jawaban apa pun.Sesampainya di rumah, Amara langsung sibuk mencari Emely. Ia berlarian ke setiap ruangan, memeriksa kamar tidur, dapur, hingga halaman belakang. Namun, sosok ibunya tetap tak ditemukan. Ketika akhirnya Amara kembali ke ruang tengah dengan wajah penuh harapan, Blue terpaksa berbohong, mengatakan bahwa Emely sedang per
Tamparan itu menggema di seluruh ruangan. Namun bukan pipi Emely yang menerima tamparan itu. Dalam hitungan detik, Blue tiba tepat waktu. Ia menarik Emely ke dalam pelukannya, menjadikan tubuhnya sebagai perisai. Tamparan keras Erlan menghantam pipi Blue, meninggalkan bekas merah yang langsung memanas.Suasana membeku sejenak.Napas Emely terengah. Matanya yang membesar menatap Ayahnya dengan syok dan ketakutan. Sepanjang hidupnya selama 21 tahun, ini adalah kali pertama ia melihat Ayahnya mencoba melayangkan tangan padanya. Namun, kenyataan bahwa Blue yang menerima tamparan itu justru membuat hatinya semakin hancur.Emely menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isak tangis yang semakin keras. Tubuhnya bergetar hebat, air matanya terus mengalir tanpa henti. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya terasa seperti diiris.Namun, Erlan tetap berdiri tegap. Tatapannya dingin dan penuh amarah. Tidak ada sedikitpun penyesalan di wajahnya. Bahka
Di tempat lain, tepat di depan gerbang rumah mewah Blue yang terbuat dari baja hitam kokoh dengan ornamen ukiran modern, sebuah mobil mewah berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan Erlan melangkah keluar. Langkahnya lebar saat ia mendekati gerbang besi. Pandangannya tajam, langsung tertuju pada pintu pagar yang dilengkapi dengan celah kecil untuk memantau siapa yang berada di luar.Seorang bodyguard yang bertugas di depan gerbang segera menghampiri celah tersebut. Matanya menyipit, mencoba mengenali pria berwibawa yang berdiri di hadapannya. “Selamat siang. Anda ingin bertemu dengan siapa?” tanyanya sopan namun tegas.Erlan, yang sudah tidak sabar, langsung menjawab dengan nada tegas, “Aku ingin bertemu dengan Emely. Buka pintunya, cepat!”Bodyguard itu mengernyitkan dahi, merasa ragu untuk langsung mematuhi perintah dari pria asing yang baru pertama kali dilihatnya. Melihat reaksi tersebut, Erlan langsung melanjutkan, “Aku Ayahnya E
***“Tuan…” seru Porter dengan napas terengah-engah saat memasuki ruang kerja Blue. Matanya membelalak saat melihat kondisi ruangan yang kacau balau—meja terbalik, dokumen berserakan di lantai, dan tanda-tanda perkelahian jelas terlihat. Kekhawatiran terpancar dari wajahnya. “Apakah Anda terluka?” tanyanya dengan nada penuh kecemasan, berdiri tak jauh dari posisi Blue.Blue menggeleng pelan, mencoba menenangkan pria itu. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, suaranya tenang namun terdengar lelah.Porter tetap tidak puas dengan jawaban tersebut. “Tadi saya mendengar suara tembakan, Tuan. Benar Anda tidak apa-apa?” tanyanya lagi, kali ini lebih mendesak.Blue mengangguk kecil. “Yeah… aku baik-baik saja,” balasnya datar sambil melangkah ke arah meja kerjanya yang sudah berantakan. Ia berhenti di sisi meja, lalu mengambil dua lembar tisu dari salah satu laci. Dengan gerakan perlahan, ia menekan tisu tersebut ke sudut bibirnya, menyeka darah seg
Blue memilih untuk diam, bukan karena tidak bisa membalas tuduhan itu, melainkan karena ia tahu bahwa berbicara dalam situasi ini hanya akan menjadi sia-sia. Amarah Erlan sudah menguasainya sepenuhnya, dan penjelasan apa pun tidak akan bisa menembus tembok prasangka yang telah terbentuk.“Dengar baik-baik, Blue.” Erlan melangkah maju. “Kau tidak lebih dari seorang pria brengsek, asal kau tahu. Pria yang hanya tahu memanfaatkan situasi untuk keuntungan sendiri!” Desisnya tajam."Pria brengsek?" suara Blue terdengar dalam, nyaris berbisik. "Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita, lalu setelah menikmati tubuhnya, meninggalkannya tanpa rasa tanggung jawab. Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita dalam keadaan mabuk, menyakitinya tanpa dia sadari. Sedangkan aku? Dari segi mana kau menilai bahwa aku adalah pria brengsek?"Deg!Kata-kata Blue bagaikan tamparan keras, membuat Erlan terdiam. Blue tidak berhenti di sana. la mengambil napas dalam. "Aku meninggalkan Emely karena s
***Mendengar ucapan penuh keberanian dan tantangan dari Blue, amarah Erlan kian membara. Dadanya yang bidang terlihat naik turun, napasnya memburu, dipenuhi oleh kemarahan yang tak lagi bisa dibendung. Matanya menyala tajam, menatap Blue yang terbaring di lantai seperti seorang predator yang siap melahap mangsanya.Tanpa sepatah kata, Erlan melangkah maju. Sepatunya yang berkilau berhenti tepat di sisi tubuh Blue yang tampak lemah di lantai. Dengan gerakan tegas, Erlan mengangkat kakinya tinggi, bersiap menginjak dada Blue tanpa ampun, seolah ingin menghancurkan segala perlawanan yang tersisa dari pria itu.Namun kali ini, Blue tidak tinggal diam. Meski tubuhnya terasa remuk, insting dan pelatihannya selama bertahun-tahun sebagai mantan anggota klan Mafia segera mengambil alih. Dengan gesit, Blue menggulingkan tubuhnya ke samping, menghindari injakan Erlan yang mematikan.Tubuh Blue berulang kali mengguling di atas lantai yang dingin, mencoba menjauh dari serangan Erlan. Sementara it
Erlan memutar tubuhnya dengan tenang, tak memedulikan tatapan ketakutan yang mengiringinya. Langkahnya lebar saat ia berjalan menuju lift. Orang-orang di sekitar lobi hanya bisa menatap, beberapa mencoba mundur perlahan untuk menjaga jarak.Lift terbuka. Erlan melangkah masuk tanpa ragu—diikuti oleh bodyguard-nya, pintu logam itu tertutup dengan bunyi yang nyaris tidak terdengar, membawa pria paruh baya itu naik ke lantai 32—menuju ruang kerja Blue Sinclair, Direktur Utama sekaligus CEO Sinclair Ocean Technologies. Setelah berlalu dari lobi, Erlan akhirnya tiba di lantai yang dituju. Lift berhenti dengan lembut, dan pintunya terbuka lebar, memperlihatkan lorong panjang dengan pencahayaan modern yang menuntun ke ruang kerja Blue. Tanpa ragu, Erlan melangkah keluar. Di sisi lain, di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya serius, fokus sepenuhnya pada laporan yang sedang ia pelajari. Namun, konsentra