Share

6. RAJA KETIGA MENYUSUN RENCANA

Tiga hari kemudian. . .

Selama tiga hari setelah pesta penobatannya, Arsyanendra disibukkan dengan beberapa kegiatan barunya sebagai Raja Hindinia. Selama tiga hari, banyak kunjungan penting yang dilakukan oleh Arsyanendra sebagai seorang Raja. Dari berkunjung ke beberapa sektor yang berhubungan dengan pemerintahannya seperti sektor hukum, ilmu pengetahuan dan pendidikan lalu ke sektor pertahanan di ibu kota. 

Tidak hanya berkunjung ke tempat di mana kaum aristokrat, Arsyanendra pun juga berkunjung ke tempat para kaum proletar. Melihat kondisi yang sangat menyedihkan dari kaum proletar, Arsyanendra berniat memperbaiki lingkungan hidup kaum proletar dan berusaha membantu kaum proletar untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum aristokrat. Sayangnya. . . apa yang diinginkan oleh Arsyanendra tidak semudah membalikkan tangan. Rencananya itu akan sangat sulit dilakukan saat ini dan bahkan akan banyak memicu pertikaian dari kaum aristokrat. 

Arsyanendra yang sudah menyusun banyak rencana pun, hanya bisa bersabar dan menghibur kaum proletar untuk sementara waktu sampai semua rencananya berhasil dijalankan kelak. 

Tok. . . tok. . 

Suara ketukan pintu terdengar oleh Arsyanendra yang masih sibuk dengan berkas – berkas negara yang masih dipelajarinya. 

“Masuk.” 

Arsyanendra memberikan perintah kepada pengetuk pintu ruangannya. 

Pintu terbuka dan Surendra, kepala pengawal istana Arsyanendra masuk dengan membawa nampan yang berisi empat cangkir kopi dan beberapa makanan ringan.

“Yang Mulia. . . saya datang membawakan kopi dan makanan ringan yang diantarkan dari dapur istana.” 

“Terima kasih, Surendra. Kamu bahkan masih melakukan kebiasaanmu ini ketika sudah kuangkat menjadi kepala pengawal istana.” 

Arsyanendra yang melirik ke arah Surendra tersenyum kecil melihat kebiasaan lama Surendra yang masih belum hilang. Arsyanendra teringat beberapa kenangan masa mudanya ketika ayahnya telah meninggal dan dirinya hanya hidup bersama dengan Surendra. Kepala pengawalnya ini selalu melakukan banyak hal untuknya yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh ayah dan ibu Arsyanendra. 

Surendra meletakkan satu cangkir kopi di meja Arsyanendra bersama dengan sepiring makanan ringan. Lalu tiga cangkir kopi lainnya diletakkan di meja lain yang masih dekta dengan meja Arsyanendra. 

“Yang Mulia tidak berisitirahat?” 

Surendra mengajukan pertanyaan kepada Arsyanendra dengan tatapan mata yang sedikit khawatir. 

Arsyanendra mengenali tatapan itu dan menyadari apa yang sedang dikhawatirkan oleh kepala pengawalnya itu. 

“Aku baik – baik saja, Surendra. Sudah menjadi kebiasaanku hanya bisa tertidur dua sampai tiga jam dalam sehari sejak kejadian nahas itu.” 

“Saya mengerti, Yang Mulia.” 

Arsyanendra melirik ke arah Surendra dan memandang wajah kepala pengawalnya itu. Menyadari ada sesuatu yang mengganjal di pikiran kepala pengawalnya itu, Arsyanendra kemudian meletakkan berkas – berkasnya dan menopang wajahnya dengan satu tangan di meja. 

“Ada yang ingin kamu sampaikan padaku, Surendra?” 

“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Ini mengenai laporan latar belakang Nona Ravania Hargandi.” 

Senyuman cerah langsung terbentuk di bibir Arsyanendra ketika mendengar laporan yang begitu diharapkannya sejak pertemuan yang tidak disengaja di hari perayaannya itu. 

“Jadi apa yang kamu temukan, Surendra?” 

“Ravania Hargandi berusia 26 tahun di tahun ini. Bekerja sebagai aktivis yang pelindung kaum proletar sejak empat tahun yang lalu. Memiliki gelar sarjana ahli botani dan sempat menjadi aktivis pencinta lingkungan. Saat masih bersama dengan kedua orang tuanya, Nona Ravania tinggal di distrik timur di Kota So Loo. Kemudian setelah menjadi aktivis kaum proletar pindah ke ibu kota dan mulai membela kaum proletar.” 

Arsyanendra meminum kopinya yang pahit dan kemudian mengambil beberapa makanan ringan. Sembari mengunyah makanan ringannya, Arsyanendra mendengarkan dengan saksama laporan dari kepala pengawalnya. 

“Gadis yang menarik,” gumam Arsyanendra. 

“Mengenai keluarga Nona Ravania yang tinggal di Kota So Loo, ayahnya Gulzar Hargandi adalah seorang yang memiliki darah aristokrat namun sejak lama memilih untuk hidup sederhana dan berdampingan dengan kaum proletar. Tuan Gulzar bekerja sebagai kontraktor yang mengurusi beberapa proyek Negara di distrik timur. Sedangkan ibu dari Nona Ravania, Sandhya Hargandi adalah keturunan campuran dari kaum aristokrat dan kaum proletar. Nyonya Sandhya hanyalah seorang ibu rumah tangga namun sering kali menghabiskan banyak waktu senggangnya memberikan banyak ilmu dan pelajaran kepada kaum proletar yang kurang mampu.” 

Arsyanendra memberikan isyarat dengan mengangkat satu tangannya ke atas untuk menginterupsi penjelasan Surendra. 

“Ya, Yang Mulia?” 

“Keluarga yang baik. Kamu bisa lanjutkan, Surendra.” 

Surendra kemudian melanjutkan lagi penjelasannya mengenai latar belakang dari Ravania Hargandi. 

“Nona Ravania Hargandi memiliki satu orang kakak laki – laki. Namanya Ardizya Hargandi berusia 30 tahun. Merupakan pelukis terkenal yang menggunakan nama pena Bagram.” 

Mendengar nama Bagram, sontak Arsyanendra segera berdiri dari duduknya dan berkata dengan nada yang sedikit meninggi, “Bagram??” 

“Ya, Yang Mulia. Pelukis ini adalah pelukis yang dulunya pernah diberikan penghargaan oleh Tuan Davendra semasa dirinya masih menjabat sebagai Putra Mahkota. Pelukis Bagram yang lukisannya selalu menjadi incaran banyak orang dan dijuluki sebagai maestro yang lahir setiap 100 tahun, juga merupakan idola Yang Mulia.” 

“Ba. . . bagaimana kamu bisa menemukan hal ini? Sementara kita selama ini berusaha menemukannya dan selalu berakhir dengan kegagalan??” 

Arsyanendra bertanya dengan rasa penasaran dan tidak sabaran karena sudah sejak lama dirinya ingin sekali bertemu dengan pelukis yang selalu dibangga – banggakan oleh ayahnya dan juga menjadi idolanya. 

“Mata – mata yang saya kirimkan secara tidak sengaja menemukan bahwa Tuan Ardizya membuat tanda khusus pelukis Bagram di lukisannya. Dan ketika menelusuri ke mana lukisan itu dikirim dan dijual, mata – mata yang saya kirimkan telah mengkonfirmasi bahwa lukisan itu memang benar – benar milik pelukis Bagram yang terkenal.” 

Arsyanendra kemudian tertawa kencang ketika menemukan banyak hal menarik yang berada di diri Ravania dan juga di sekitarnya. Tiba – tiba sebuah ide menarik terbersit di dalam kepalanya. Arsyanendra yang tadinya sempat berdiri karena rasa terkejutnya kemudian duduk kembali di kursinya dan mengubah arah kursinya membelakangi Surendra untuk menatap langit malam yang gelap. 

Langit malam yang sepi. 

Tanpa bintang. 

Tanpa sinar bulan. 

Sama seperti kehidupanku yang sepi. 

Tidak ada satu pun yang menemani. 

Arsyanendra membandingkan kehidupannya yang sepi dengan kesepian yang diperlihatkan oleh langit malam yang sedang dilihatnya. 

“Tidakkah kamu menyadari wajah Ravania terlihat mirip dengan Indhira, Surendra?” 

Dengan tiba – tiba dan masih membelakangi kepala pengawalnya, Arsyanendra mengajukan pertanyaan kepada Surendra. 

“Saya rasa memang terlihat sedikit familiar, Yang Mulia.” 

Arsyanendra meletakkan kedua tangannya di atas meja dengan satu tangan kanannya yang mengetuk meja dan tangan lainnya menopang wajahnya. 

Satu ketukan. 

Dua ketukan. 

Dan setelah beberapa ketukan, akhirnya Arsyanendra membuat keputusan. 

“Undang gadis itu ke istana secara diam – diam. Buat dia mengenakan pakaian pelayan atau apapun yang bisa menutupi identitasnya dari sepuluh kepala kaum aristokrat. Aku ingin berbicara dengannya berdua saja di istana ini.” 

“Apakah tidak lebih baik jika Yang Mulia menemuinya di luar istana?” 

Surendra merasa rencana yang dibuat oleh Rajanya sedikit berbahaya. 

Arsyanendra yang menyadari pikiran kepala pengawalnya, menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya menjawab keraguan dari kepala pengawalnya, “Tidak. Bertemu di dalam istana adalah jalan terbaik. Lebih baik bertemu di istana dari pada di luar istana. Terlalu banyak mata – mata yang akan mengikutiku nantinya ketika aku menemuinya di luar istana. Bukankah selama tiga hari ini harusnya kamu menyadari jika sepuluh kepala kaum aristokrat mengirimkan mata – mata dalam setiap kunjungan yang kulakukan?” 

Surendra menganggukkan kepalanya sebelum menjawab pertanyaan Arsyanendra, “Benar, Yang Mulia. Mata – mata yang menyamar menjadi kaum proletar dan pengunjung dalam kunjungan yang dilakukan oleh Yang Mulia memang dikirimkan oleh sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat. Sepertinya ucapan Yang Mulia ketika di pesta perayaan itu benar – benar mengusik ketenangan dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat.” 

“Itu yang aku harapkan. Dengan begini, aku dapat dengan jelas melihat kecurigaan yang mulai timbul di antara sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat.” 

Arsyanendra tersenyum kecil sebelum meminum kopi pahit di cangkirnya. 

“Yang Mulia. . .” 

“Ya,” Arsyanendra menjawab setelah menenggak habis cangkir kopi pertamanya. “Ada yang ingin kamu tanyakan Surendra?” 

“Mohon maafkan kelancangan saya ini, Yang Mulia. Apakah Yang Mulia benar – benar akan menikahi salah satu dari putri kepala keluarga kaum aristokrat?” 

Arsyanendra menatap kepala pengawalnya itu dan kemudian perlahan senyuman di bibirnya menghilang. Surendra yang menyadari hal itu, segera menundukkan kepalanya karena merasa pertanyaan yang diajukannya itu adalah sebuah kesalahan.

Tidak lama kemudian senyuman yang hilang di wajah Arsyanendra kembali lagi, kali ini senyuman itu lebih lebar dari sebelumnya disertai dengan tawa kecil yang terdengar hingga ke telinga Surendra. 

Surendra mengangkat kepalanya dan menyadari Rajanya itu sedang tertawa kecil menatap dirinya. 

“Tenang saja, Surendra. Kamu tahu dengan benar aku sangat membenci kaum aristokrat. Aku tidak ingin terikat dengan mereka maupun keluarga aristokrat lainnya karena kamu tahu dengan benar apa keinginanku setelah semua ini berakhir. . .” 

Senyuman kecil pertanda kelegaan muncul di sudut bibir Surendra. Kekhawatiran yang terlihat selama tiga hari di wajah Surendra pun kini telah menghilang. 

“Saya mengerti, Yang Mulia.” 

Mendengar jawaban Surendra, Arsyanendra hanya bisa tersenyum sembari mengambil makanan ringan dan kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah makanannya, Arsyanendra berbicara sendiri di dalam hatinya. 

Dasar kau, Surendra. 

Harusnya kamu bertanya sejak tiga hari yang lalu dan bukannya merasa khawatir yang tidak perlu selama tiga hari berturut – turut. 

Terima kasih. Sekali lagi, terima kasih, Surendra. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status