Tiga hari kemudian. . .
Selama tiga hari setelah pesta penobatannya, Arsyanendra disibukkan dengan beberapa kegiatan barunya sebagai Raja Hindinia. Selama tiga hari, banyak kunjungan penting yang dilakukan oleh Arsyanendra sebagai seorang Raja. Dari berkunjung ke beberapa sektor yang berhubungan dengan pemerintahannya seperti sektor hukum, ilmu pengetahuan dan pendidikan lalu ke sektor pertahanan di ibu kota.
Tidak hanya berkunjung ke tempat di mana kaum aristokrat, Arsyanendra pun juga berkunjung ke tempat para kaum proletar. Melihat kondisi yang sangat menyedihkan dari kaum proletar, Arsyanendra berniat memperbaiki lingkungan hidup kaum proletar dan berusaha membantu kaum proletar untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum aristokrat. Sayangnya. . . apa yang diinginkan oleh Arsyanendra tidak semudah membalikkan tangan. Rencananya itu akan sangat sulit dilakukan saat ini dan bahkan akan banyak memicu pertikaian dari kaum aristokrat.
Arsyanendra yang sudah menyusun banyak rencana pun, hanya bisa bersabar dan menghibur kaum proletar untuk sementara waktu sampai semua rencananya berhasil dijalankan kelak.
Tok. . . tok. .
Suara ketukan pintu terdengar oleh Arsyanendra yang masih sibuk dengan berkas – berkas negara yang masih dipelajarinya.
“Masuk.”
Arsyanendra memberikan perintah kepada pengetuk pintu ruangannya.
Pintu terbuka dan Surendra, kepala pengawal istana Arsyanendra masuk dengan membawa nampan yang berisi empat cangkir kopi dan beberapa makanan ringan.
“Yang Mulia. . . saya datang membawakan kopi dan makanan ringan yang diantarkan dari dapur istana.”
“Terima kasih, Surendra. Kamu bahkan masih melakukan kebiasaanmu ini ketika sudah kuangkat menjadi kepala pengawal istana.”
Arsyanendra yang melirik ke arah Surendra tersenyum kecil melihat kebiasaan lama Surendra yang masih belum hilang. Arsyanendra teringat beberapa kenangan masa mudanya ketika ayahnya telah meninggal dan dirinya hanya hidup bersama dengan Surendra. Kepala pengawalnya ini selalu melakukan banyak hal untuknya yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh ayah dan ibu Arsyanendra.
Surendra meletakkan satu cangkir kopi di meja Arsyanendra bersama dengan sepiring makanan ringan. Lalu tiga cangkir kopi lainnya diletakkan di meja lain yang masih dekta dengan meja Arsyanendra.
“Yang Mulia tidak berisitirahat?”
Surendra mengajukan pertanyaan kepada Arsyanendra dengan tatapan mata yang sedikit khawatir.
Arsyanendra mengenali tatapan itu dan menyadari apa yang sedang dikhawatirkan oleh kepala pengawalnya itu.
“Aku baik – baik saja, Surendra. Sudah menjadi kebiasaanku hanya bisa tertidur dua sampai tiga jam dalam sehari sejak kejadian nahas itu.”
“Saya mengerti, Yang Mulia.”
Arsyanendra melirik ke arah Surendra dan memandang wajah kepala pengawalnya itu. Menyadari ada sesuatu yang mengganjal di pikiran kepala pengawalnya itu, Arsyanendra kemudian meletakkan berkas – berkasnya dan menopang wajahnya dengan satu tangan di meja.
“Ada yang ingin kamu sampaikan padaku, Surendra?”
“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Ini mengenai laporan latar belakang Nona Ravania Hargandi.”
Senyuman cerah langsung terbentuk di bibir Arsyanendra ketika mendengar laporan yang begitu diharapkannya sejak pertemuan yang tidak disengaja di hari perayaannya itu.
“Jadi apa yang kamu temukan, Surendra?”
“Ravania Hargandi berusia 26 tahun di tahun ini. Bekerja sebagai aktivis yang pelindung kaum proletar sejak empat tahun yang lalu. Memiliki gelar sarjana ahli botani dan sempat menjadi aktivis pencinta lingkungan. Saat masih bersama dengan kedua orang tuanya, Nona Ravania tinggal di distrik timur di Kota So Loo. Kemudian setelah menjadi aktivis kaum proletar pindah ke ibu kota dan mulai membela kaum proletar.”
Arsyanendra meminum kopinya yang pahit dan kemudian mengambil beberapa makanan ringan. Sembari mengunyah makanan ringannya, Arsyanendra mendengarkan dengan saksama laporan dari kepala pengawalnya.
“Gadis yang menarik,” gumam Arsyanendra.
“Mengenai keluarga Nona Ravania yang tinggal di Kota So Loo, ayahnya Gulzar Hargandi adalah seorang yang memiliki darah aristokrat namun sejak lama memilih untuk hidup sederhana dan berdampingan dengan kaum proletar. Tuan Gulzar bekerja sebagai kontraktor yang mengurusi beberapa proyek Negara di distrik timur. Sedangkan ibu dari Nona Ravania, Sandhya Hargandi adalah keturunan campuran dari kaum aristokrat dan kaum proletar. Nyonya Sandhya hanyalah seorang ibu rumah tangga namun sering kali menghabiskan banyak waktu senggangnya memberikan banyak ilmu dan pelajaran kepada kaum proletar yang kurang mampu.”
Arsyanendra memberikan isyarat dengan mengangkat satu tangannya ke atas untuk menginterupsi penjelasan Surendra.
“Ya, Yang Mulia?”
“Keluarga yang baik. Kamu bisa lanjutkan, Surendra.”
Surendra kemudian melanjutkan lagi penjelasannya mengenai latar belakang dari Ravania Hargandi.
“Nona Ravania Hargandi memiliki satu orang kakak laki – laki. Namanya Ardizya Hargandi berusia 30 tahun. Merupakan pelukis terkenal yang menggunakan nama pena Bagram.”
Mendengar nama Bagram, sontak Arsyanendra segera berdiri dari duduknya dan berkata dengan nada yang sedikit meninggi, “Bagram??”
“Ya, Yang Mulia. Pelukis ini adalah pelukis yang dulunya pernah diberikan penghargaan oleh Tuan Davendra semasa dirinya masih menjabat sebagai Putra Mahkota. Pelukis Bagram yang lukisannya selalu menjadi incaran banyak orang dan dijuluki sebagai maestro yang lahir setiap 100 tahun, juga merupakan idola Yang Mulia.”
“Ba. . . bagaimana kamu bisa menemukan hal ini? Sementara kita selama ini berusaha menemukannya dan selalu berakhir dengan kegagalan??”
Arsyanendra bertanya dengan rasa penasaran dan tidak sabaran karena sudah sejak lama dirinya ingin sekali bertemu dengan pelukis yang selalu dibangga – banggakan oleh ayahnya dan juga menjadi idolanya.
“Mata – mata yang saya kirimkan secara tidak sengaja menemukan bahwa Tuan Ardizya membuat tanda khusus pelukis Bagram di lukisannya. Dan ketika menelusuri ke mana lukisan itu dikirim dan dijual, mata – mata yang saya kirimkan telah mengkonfirmasi bahwa lukisan itu memang benar – benar milik pelukis Bagram yang terkenal.”
Arsyanendra kemudian tertawa kencang ketika menemukan banyak hal menarik yang berada di diri Ravania dan juga di sekitarnya. Tiba – tiba sebuah ide menarik terbersit di dalam kepalanya. Arsyanendra yang tadinya sempat berdiri karena rasa terkejutnya kemudian duduk kembali di kursinya dan mengubah arah kursinya membelakangi Surendra untuk menatap langit malam yang gelap.
Langit malam yang sepi.
Tanpa bintang.
Tanpa sinar bulan.
Sama seperti kehidupanku yang sepi.
Tidak ada satu pun yang menemani.
Arsyanendra membandingkan kehidupannya yang sepi dengan kesepian yang diperlihatkan oleh langit malam yang sedang dilihatnya.
“Tidakkah kamu menyadari wajah Ravania terlihat mirip dengan Indhira, Surendra?”
Dengan tiba – tiba dan masih membelakangi kepala pengawalnya, Arsyanendra mengajukan pertanyaan kepada Surendra.
“Saya rasa memang terlihat sedikit familiar, Yang Mulia.”
Arsyanendra meletakkan kedua tangannya di atas meja dengan satu tangan kanannya yang mengetuk meja dan tangan lainnya menopang wajahnya.
Satu ketukan.
Dua ketukan.
Dan setelah beberapa ketukan, akhirnya Arsyanendra membuat keputusan.
“Undang gadis itu ke istana secara diam – diam. Buat dia mengenakan pakaian pelayan atau apapun yang bisa menutupi identitasnya dari sepuluh kepala kaum aristokrat. Aku ingin berbicara dengannya berdua saja di istana ini.”
“Apakah tidak lebih baik jika Yang Mulia menemuinya di luar istana?”
Surendra merasa rencana yang dibuat oleh Rajanya sedikit berbahaya.
Arsyanendra yang menyadari pikiran kepala pengawalnya, menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya menjawab keraguan dari kepala pengawalnya, “Tidak. Bertemu di dalam istana adalah jalan terbaik. Lebih baik bertemu di istana dari pada di luar istana. Terlalu banyak mata – mata yang akan mengikutiku nantinya ketika aku menemuinya di luar istana. Bukankah selama tiga hari ini harusnya kamu menyadari jika sepuluh kepala kaum aristokrat mengirimkan mata – mata dalam setiap kunjungan yang kulakukan?”
Surendra menganggukkan kepalanya sebelum menjawab pertanyaan Arsyanendra, “Benar, Yang Mulia. Mata – mata yang menyamar menjadi kaum proletar dan pengunjung dalam kunjungan yang dilakukan oleh Yang Mulia memang dikirimkan oleh sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat. Sepertinya ucapan Yang Mulia ketika di pesta perayaan itu benar – benar mengusik ketenangan dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat.”
“Itu yang aku harapkan. Dengan begini, aku dapat dengan jelas melihat kecurigaan yang mulai timbul di antara sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat.”
Arsyanendra tersenyum kecil sebelum meminum kopi pahit di cangkirnya.
“Yang Mulia. . .”
“Ya,” Arsyanendra menjawab setelah menenggak habis cangkir kopi pertamanya. “Ada yang ingin kamu tanyakan Surendra?”
“Mohon maafkan kelancangan saya ini, Yang Mulia. Apakah Yang Mulia benar – benar akan menikahi salah satu dari putri kepala keluarga kaum aristokrat?”
Arsyanendra menatap kepala pengawalnya itu dan kemudian perlahan senyuman di bibirnya menghilang. Surendra yang menyadari hal itu, segera menundukkan kepalanya karena merasa pertanyaan yang diajukannya itu adalah sebuah kesalahan.
Tidak lama kemudian senyuman yang hilang di wajah Arsyanendra kembali lagi, kali ini senyuman itu lebih lebar dari sebelumnya disertai dengan tawa kecil yang terdengar hingga ke telinga Surendra.
Surendra mengangkat kepalanya dan menyadari Rajanya itu sedang tertawa kecil menatap dirinya.
“Tenang saja, Surendra. Kamu tahu dengan benar aku sangat membenci kaum aristokrat. Aku tidak ingin terikat dengan mereka maupun keluarga aristokrat lainnya karena kamu tahu dengan benar apa keinginanku setelah semua ini berakhir. . .”
Senyuman kecil pertanda kelegaan muncul di sudut bibir Surendra. Kekhawatiran yang terlihat selama tiga hari di wajah Surendra pun kini telah menghilang.
“Saya mengerti, Yang Mulia.”
Mendengar jawaban Surendra, Arsyanendra hanya bisa tersenyum sembari mengambil makanan ringan dan kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah makanannya, Arsyanendra berbicara sendiri di dalam hatinya.
Dasar kau, Surendra.
Harusnya kamu bertanya sejak tiga hari yang lalu dan bukannya merasa khawatir yang tidak perlu selama tiga hari berturut – turut.
Terima kasih. Sekali lagi, terima kasih, Surendra.
Ravania yang baru bisa kembali seminggu kemudian setelah menemani Zia Pramanaya yang terluka, berharap bisa bertemu dengan Arsyanendra ketika kembali ke ibu kota. Namun bukan kebahagiaan yang didapatkan Ravania ketika kembali ke ibu kota.Ini tidak mungkin, pikir Ravania.Begitu tiba di ibukota, seluruh bendera hitam di pasang di sepanjang jalan. Bendera yang sama seperti bendera di mana Raja Pertama dan Raja Kedua dinyatakan meninggal.“Maafkan aku, Nona Zia. Aku harus segera ke istana. Yang Mulia, aku harus bertemu dengan Yang Mulia.”Ravania berlari lebih dulu menuju ke istana dengan harapan bahwa apa yang terlintas di dalam benaknya saat ini adalah salah. Ravania mengabaikan para penjaga gerbang istana yang menundukkan kepalanya ketika melihat Ravania tiba. Ravania terus berlari dan mengabaikan banyak pelayan istana dan pengawal istana yang menundukkan kepalanya kepada Ravania dan memberikan salamnya kepada Ravania.
Ravania bersama dengan Virya dan Narendra butuh waktu dua hari untuk memastikan seluruh pasukan bantuan datang, membaginya menjadi empat dan membawanya ke ibu kota. Dalam perjalanannya, pasukan bantuan yang dikomandoi oleh Narendra masih harus melawan pasukan milik empat dewan penjaga perbatasan Hindinia yang akan berangkat ke ibu kota.Untuk melawan pasukan perbatasan yang dipimpin oleh empat kepala keluarga kaum aristokrat, Narendra dan pasukan tambahannya membutuhkan waktu tiga hari untuk menjatuhkan semua pasukan perbatasan. Di hari terakhir, Narendra bersama dengan pasukan bantuannya berhasil menyelamatkan pasukan yang dipimpin oleh Zia Pramanaya yang ditawan oleh pasukan perbatasan milik empat kepala keluarga kaum aristokrat.“Nona Zia,” teriak Ravania.“Akhirnya kalian datang, meski sedikit terlambat. . .”“Jangan banyak bicara, Nona Zia. Luka – luka Nona bisa semakin parah karena Nona ber
Persediaan makanan yang semakin menipis, jumlah pasukan yang terluka yang semakin banyak serta suara ledakan dari perang di ibu kota terdengar oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra yang terus menyusun pasukannya bersama dengan panglimanya.“Pasukan milik Nona Zia juga mengalami hal yang sama, Yang Mulia. Mereka tidak akan bertahan lebih dari tiga hari menahan pasukan perbatasan yang datang dari empat penjuru arah.”“Lalu bagaimana jika pasukan milik Zia berhasil ditembus, berapa lama lagi kita bisa menahan pasukan milik Arkatama dan pasukan milik perbatasan?”Arsyanendra memikirkan kemungkinan terburuk dalam peperangan yang akan terjadi beberapa hari ke depan.“Paling lama tiga hari setelah pasukan milik Nona Zia ditembus, Yang Mulia. Jumlah makanan yang semakin menipis, obat – obatan yang juga semakin banyak serta banyak menimbang jumlah pasukan yang tersisa bersama dengan jumlah granat dan p
Keesokan harinya, Ravania bersama dengan Ardizya, Virya dan Narendra Balakosa pergi keluar istana dengan menggunakan jalur rahasia yang tersembunyi di hutan istana.“Guru, apa benar jika kita meninggalkan Yang Mulia seorang diri?”“Ini perintah Yang Mulia. Apapun yang terjadi kita harus melaksanakan perintahnya. Terlebih lagi. . . aku dan Virya punya tugas khusus yang harus kami kerjakan ketika berhasil keluar dari Jako Arta.”“Tugas? Tugas apa itu?”“Membawa pasukan dari negara tetangga,” jawab Virya Balakosa.“Apa maksudnya dengan itu, Nona Virya??”“Selain kalah jumlah, pasukan milik Yang Mulia lebih banyak berisi kaum proletar yang tidak ahli dalam berperang. Jadi Yang Mulia sengaja mengirimku keluar untuk meminta bantuan kepada negara tetangga dan membuatku untuk bernegosiasi dengan mereka.”Mulut Ravania tertutup sembari m
“Bagaimana dengan pasukan kita, Surendra? Jika seandainya kita berperang dalam waktu dekat, apakah kita akan siap untuk melawan mereka?”Arsyanendra yang menyadari perang sudah dekat kemudian mulai menyusun strategi dengan keadaan pasukan miliknya.“Mereka siap, Yang Mulia. Meski pasukan kita mungkin hanya setengah dari jumlah pasukan milik kaum aristokrat, tapi pasukan di bawah pimpinan Yang Mulia sudah siap untuk berperang.”“Kalau begitu seperti taktik perang sebelumnya, masukkan semua pasukan kita melalui jalan rahasia yang terhubung dengan hutan istana dan biarkan mereka membangun tenda di hutan istana untuk persiapan perang. Lalu siapkan titahku untuk dibawa oleh Virya dan Ravania nantinya. Sebelum perang terjadi, kita harus sudah mengeluarkan Ravania dan Virya dari ibu kota jika kita ingin menang dalam perang ini.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra hendak kelua
“Lalu ke mana Indhira Darmawangsa yang asli selama ini berada?” tanya Narendra. “Kenapa kau harus bersusah payah membuat kembaran dari Indhira Darmawangsa untuk menggantikannya membantumu dan membuat keadaan semakin rumit, Arsyanendra??” “Tuan Narendra,” sela Surendra untuk kedua kalinya. Surendra hendak membuka mulutnya untuk berbicara menggantikan Arsyanendra namun niat Surendra yang terbaca oleh Arsyanendra lebih dulu, dengan cepat dihentikan oleh Arsyanendra dengan mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk kedua kalinya. “Tapi, Yang Mulia. . .” kata Surendra. “Harus aku yang mengatakannya sendiri, Surendra,” jawab Arsyanendra kepada Surendra. Setelah berusaha untuk menenangkan Surendra, Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada Narendra dan memberikan jawaban yang diinginkan oleh Narendra. “Indhira Darmawangsa sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.” “Men
Setelah mempermalukan tujuh kepala kaum aristokrat di depan istana, Arsyanendra kemudian memerintahkan kepada Surendra untuk membawa Bagram ke dalam istana dan menyembunyikannya di kamar Ravania. Sementara itu, Arsyanendra bersama dengan Ravania kemudian menikmati pesta yang diadakan untuk penobatan Ratu Hindinia yang digelar oleh istana. Dalam pesta penyambutannya, Arsyanendra kemudian mengenalkan banyak orang kepada Ravania dari presiden negara tetangga, Raja dari negara tetangga dan perwakilan dari beberapa negara yang sengaja datang ke Hindinia hanya untuk mengucapkan selamat kepada Ravania. Setelah empat jam pesta lamanya digelar, Ravania yang sudah sangat merasa lelah dengan jadwalnya yang padat selama sehari ini kemudian diperbolehkan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. “Aku akan mengantarmu, Ratuku,” ucap Arsyanendra yang tiba – tiba muncul di samping Ravania dan menggandeng tangan Ravania. “. . .” Ravan
Arsyanendra yang sedang duduk di takhtanya kemudian bangkit ketika mendengar bisikan dari Surendra.“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Tapi Tuan Narendra mengirim pesan bahwa sesuatu yang buruk mungkin sedang terjadi saat ini gerbang istana.”Berusaha untuk tetap tersenyum dan bersikap seolah tidak terjadi apapun, Arsyanendra kemudian bertanya kepada Surendra.“Apa yang terjadi?”“Delapan kepala kaum aristokrat menghadap Nona Indhira yang baru saja memasuki istana.”“Kita pergi ke sana. Sepertinya kaum aristokrat sudah berusaha untuk melancarkan rencananya untuk menjatuhkan ratuku dan berusaha untuk memberi tahu padaku jika aku tidak akan pernah bisa menang dari mereka.”Setelah membalas ucapan Surendra, Arsyanendra kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan menuju ke luar aula di mana saat ini Ravania sedang bersama dengan Narendra menghadapi tujuh kepala kelu
“Bagaimana?” tanya Surendra dari luar ruang ganti Ravania ketika Ravania sedang mengenakan gaun untuk penobatan dan mencoba jubah kerajaan yang tidak berbeda dengan yang selama ini dikenakan oleh Arsyanendra. “Apakah Nona Indhira merasa kurang pas?”“Tidak, Tuan Surendra. Tuan bisa memberitahu pada Yang Mulia, jika semua pakaian yang harus aku kenakan besok telah sesuai dan cocok denganku.”“Baiklah kalau begitu, Nona. Setelah ini saya akan memberi kabar kepada Yang Mulia jika Nona sudah mencoba semua pakaian yang ada. Lalu, Nona. . .”“Ya, Tuan Surendra,” potong Ravania yang masih berada di dalam ruang ganti sembari mengganti pakaiannya kembali.“Saya hanya ingin memberitahu kepada Nona, jika besok Nona akan mendapatkan pengawal pribadi seperti saya.”“Siapa yang akan jadi pengawal pribadi, Tuan Surendra?” tanya Ravania penasaran.