Share

Chapter 2 (pelarian)

Rendra baru saja tiba diapartemennya. Dia melepas jas formal dan kemudian melonggarkan dasinya. Sejenak dia tersenyum sendiri saat mengingat kejadian tadi. Yaitu saat keluarga besar mereka kelabakan karena ditinggal kabur pengantin wanita. Rendra bahkan belum sempat melihat wajah pengantin wanita itu yang nota bene adalah adik tirinya. Dulu sewaktu ibunya ingin menikah dengan Om Restu, Rendra sangat menentangnya. Bagaimana bisa ibunya mau menikah lagi sedangkan kuburan ayahnya saja masih basah? Ya, ibunya menikah lagi hanya dua bulan setelah kematian ayahnya. Super sekali kalau meminjam ungkapan kata Mario Teguh. Ibunya adalah wanita ambisius yang sangat terobsesi dengan harta. Bayangkan, dia melahirkan Rendra pada usia tujuh belas tahun karena hamil dengan seorang pengusaha yang untungnya telah menjadi duda. Dan mereka menikah dibulan berikutnya. Pernikahan itu berlangsung selama dua puluh lima tahun, dikarenakan sabar dan cintanya Ayahnya kepada ibunya. Apapun permintaan ibunya, ayahnya pasti mengabulkannya. Oleh sebab itulah, Rendra sangat mengidolakan Ayahnya. Sehingga dia sangat menentang pernikahan kedua ibunya. Akan tetapi ibunya yang sangat berambisi dengan harta, begitu gembira saat akan dilamar oleh Om Restu Wiryawan, duda beranak satu yang kaya raya pun sama sekali tidak peduli dengan keberatan anaknya.

Ketika tahu calon suami barunya hanya memiliki seorang anak perempuan berusia lima belas tahun, ibunya langsung menyetujui pernikahan itu tanpa mempertimbangkan pendapatnya. Rendra tahu, ibunya merasa akan mudah menguasai harta suami barunya, mengingat anak perempuan pasti akan menikah, dan otomatis meninggalkan rumah megah dan aset-aset berharganya pada dirinya.Walau pun Rendra sangat membenci sifat serakah ibunya, tetapi di tetaplah ibu kandungnya, yang akan selalu dia sayangi dan dihormati.

"Selamat sore Tuan, ini kopinya mau ditaruh dimana? Disini saja atau di ruang kerja Tuan?"

Rendra sejenak terpana melihat seorang remaja yang subhanallah cantik jelita memandangnya takut-takut dengan secangkir kopi ditangannya.

"Siapa kamu?"

Belum sempat Ory menjawab, terdengar suara Bik Asih memanggilnya.

"Non, itu kopinya udah diantar keruangan Tuan belum?"

Bik Asih pun muncul diruang tamu. Bik Asih tampak kaget ketika melihat majikannya rupanya sudah tiba diapartemen.

"Eh Tuan sudah pulang rupanya. Ini keponakan Bibik yang Bibik bilang kemarin Tuan. Dia mau bersekolah disini, sekalian bantu-bantu Bibik disini Tuan. Dan Tuan tidak usah menggajinya, diberi tumpangan disini saja, Bibik sudah sangat berterima kasih, Tuan."

Bik Asih langsung menjelaskan tentang kehadiran Ory yang ada dikediaman majikannya.

"Keponakan Bibik? Kenapa tidak ada mirip-miripnya? Terus kenapa Bibik malah memanggilnya Non?" Rendra heran melihat wajah dan penampilan Ory yang sangat berbeda jauh dengan Bik Asih. Kulit putih bening, jeans dan t'shirt ponakannya pun nampak keluaran dari brand terkenal. Belum lagi wajah imutnya yang nampak oriental, beda jauh bagai langit dan bumi dengan Bik Asih.

"Eh itu..itu namanya panggilannya memang Noni Tuan, dari kecil udah sering dipanggil begitu sama orang tuanya." Bik Asih nampak bingung dan tergagap-gagap saat menjawab pertanyaan Rendra. Rendra tahu dari sekilas pandang saja, bahwa gadis kecil ini pasti tidak memiliki hubungan darah dengan Bik Asih. Tapi dia pikir, tidak ada ruginya juga menampung sicantik dari negeri antah berantah yang kini berstatus sebagai pembantu rumah tangganya disini. Setidaknya ada pemandangan segar yang menyambutnya  saat pulang keapartemen setelah seharian berjibaku dengan dokumen dan laptop dikantor.

"Tolong kamu antarkan kopi ini ke ruang kerja saya, sekalian ambilkan pakaian ganti saya ke kamar ya? Bik Asih sudah tahu pakaian seperti apa yang biasa saya pakai saat dirumah. Saya mau mandi dulu."

Setelah memberi tugas Rendra langsung masuk ke kamarnya.

"Bik, Tuan minta kopinya Ory antar ke ruang kerja, terus Tuan minta baju gantinya diantar ke kamarnya Bik. Mana baju gantinya?"

Ory segera mencari Bik Asih didapur. Dia tidak mau mengecewakan Tuannya, yang sudah mau berbaik hati menerimanya disini.

Bik Asih yang sedang menyiapkan makan malam, menoleh mendengar kata-kata Ory,

"Bajunya ada di lemari Tuan Non. Non buka aja disebelah kiri atas ada kaus-kaus santai yang suka Tuan pakai kalau di rumah. Yang sebelah bawah letak celana-celana pendek dan di laci bawah letak daleman Tuan. Non pilihkan saja sesuai selera Enon. Tapi jangan lama-lama dikamar Tuan ya Non, nggak baik."

Bik Asih memberi arahan pada Ory sambil memanaskan lauk pauk.

"Tapiiii..masak Ory buka-buka daleman laki-laki sih Bik. Ory kan malu!" Ory mengerucutkan bibirnya sambil duduk dikursi makan.

"Non lupa ya kalau kita sekarang adalah pembantunya Tuan Rendra disini? Jadi kita harus sabar dan menuruti aturan per-pembantu-an ya Non?" Bik Asih mengelus sayang surai indah Ory sambil tertawa geli. Bayangkan saja, Ory yang biasanya jadi nona muda sekarang harus jadi pembantu. Roda memang sungguh berputar.

"Oh iya Bik, Ory lupa hahaha....Sekarang Ory laksanakan tugas dulu ya Bik." Ori langsung mengambil cangkir kopi dan menaruhnya di ruang kerja. Dan sekarang sambil bersenandung kecil dia masuk ke dalam kamar Rendra.

Ory membuka lemari dan memilih kaos body fit berwarna putih dan celana selutut coklat untuk dipakai tuannya. Ragu-ragu dia membuka dalaman pria dan memilih warna coklat muda secara cepat dan melemparnya ke ranjang. Dia risih memegang-megang dalaman pria.

Rendra yang sebenarnya sedari tadi selesai mandi memperhatikan tingkah polah Ory sambil tersenyum geli. Apalagi saat melihat Ory melemparkan boxernya dengan cepat ke ranjang, seolah-olah takut memegangnya.

"Kenapa kamu membuang boxer Saya Non?" Tanya Rendra sambil berdiri bersedekap. Bulir-bulir air tampak menetes dari rambut hitamnya. Rendra cuma mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Dada bidang dan liatnya terpampang nyata didepan mata Ory.

"Kyaaaaaa!!! Tu—Tuan kenapa nggak pakai baju? Malu dong Tuan. Nanti Tuan masuk angin."

Ory langsung mengangsurkan kaus putih ketangan Rendra sambil memandang ke arah lemari. Mukanya sudah merah padam karena malu.

"Pakaikan kaus ini Non." Rendra menarik dagu Ory dan menatap matanya dalam-dalam. Ory menelan ludahnya sendiri karena gugup. Bagaimana tidak gugup kalau wajah Tuannya hanya berjarak sejengkal dari wajahnya sendiri.

"Ta—tapi...tapi.."

"Kamu tidak mau Non?"

Rendra kembali menatap Ory dalam-dalam. Cara Ory membasahi bibirnya dan menelan ludah membuat sesuatu diantara kakinya menggeliat bangun. Shitt!!Rendra merasa sangat bergairah sekarang.

"Ma—mau koq Tuan. Si—sini Tuan agak membungkuk sedikit agar saya bisa memasukkan kepala Tuan ke kaus ini."

Saat mendengar Ory mengatakan kepala, Rendra langsung membayangkan untuk memasukkan kepala yang lain. Fixed! otaknya memang sudah kotor akibat sudah sangat lama tidak mendapatkan pelampiasan. Akhirnya Rendra duduk ditepi tempat tidur dan Ory berhasil memakaikan kausnya.

"Non, namamu sebenarnya siapa? Jangan bohong ya?Terus hubungannu dengan Bik Asih apa? Saya tidak percaya kalau kamu adalah keponakannya. Kalau kamu nggak mau jawab juga tidak apa-apa. Asal jangan bohong. Saya sangat tidak suka dibohongi."

Rendra memulai sesi introgasinya pada mahkluk cantik imut ini. Rendra bisa melihat kegelisahan dan kecemasan dimata si Non ini dari caranya meremas-remas ujung kausnya.

"Nama saya Oryza Sativa, Tuan. Hubungan Saya dengan Bik Asih itu, karena si Bibik mau nolongin saya yang sedang kesulitan Tuan. Untuk saat ini cuma itu yang saya bisa katakan Tuan. Tapi saya tidak bohong koq Tuan. Sungguh!"

Ory makin menundukkan wajahnya yang sudah mulai mendung menahan tangis. Dia sangat takut kalau Tuannya ini mengusirnya karena ketahuan dia bukanlah keponakan Bik Asih yang sesungguhnya. Ory bahkan tidak menyertakan nama Wiryawan dibelakang namanya tadi karena takut identitas aslinya terbongkar. Kalau dia mau jujur namanya sekarang harusnya adalah Oryza Sativa Dewangga, mengingat suka atau tidak suka dia adalah istri sah dari Airlangga Putra Dewangga.

"Jangan nangis Non, kan saya cuma bertanya. Untuk saat ini Saya cukup puas dengan penjelasanmu. Tetapi Saya menunggu kerelaan hatimu untuk menjelaskan semuanya secara mendetail, bila kamu memang sudah siap menjelaskan semuanya. Saya tidak ingin di tuduh melarikan anak gadis dibawah umur Non. Saya harap Non faham maksud Saya. Ya sudah, sekarang Non boleh kembali kedapur. Bilang sama Bik Asih, agar menyiapkan makan malam."

Kata Rendra sambil menghapus air mata Ory dengan ibu jarinya.

Ory langsung menghambur keluar setelah sedari tadi jantungnya berpacu secara tidak beraturan karena takut ketahuan membohongi Tuan nya.

"Syukurrr selamettt!!" Ory mengelus-elus dadanya berulang kali. Dia merasa sudah lepas dari situasi yang paling tidak mengenakkan. Seumur hidupnya, kedua orang tuanya selalu mengajarkan tentang arti sebuah kejujuran kepadanya. Mereka mengatakan bila sekali saja kita berbohong,maka kita akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan yang lainnya. Bahkan ibunya mengatakan untuk tidak berbohong, walaupun itu bohong putih sekalipun. Whether it's small or big, a lie is still a lie. Makanya Ory selalu tergagap-gagap bila harus berbohong. Dia amat sangat tersiksa melakukannya.

"Lah si Enon kenapa ketakutan kayak gitu?Diapain sama si Tuan didalem?" Bik Asih nampak heran melihat Ory yang tampak kebingungan sehabis keluar dari kamar Rendra.

"Tadi di dalam Tuan nanyain Ory, dia udah tahu Bik kalo Ory itu bukan ponakan Bibik. Ory bilang kalau Bibik cuma nolongin Ory yang lagi kesusahan, gitu aja.Tapi Tuan nggak marah koq Bik, cuma Tuan bilang, dia minta Ory jelasin semuanya kalau Ory udah siap."

"Oalahhh syukur ya Non, Tuan nggak marah. Ayo sekarang kita makan, dan Non beres-beres gih. Setelah  itu tidur. Besok kan Non udah harus sekolah. Eh Non, besok pulang sekolah jadi mau nyari kerja? Kalau jadi, biar bibik bawain bekal, biar si Non gak kelaperan."

Ory langsung memeluk erat Bik Asih. Dia sangat terharu melihat kebaikan Bik Asih dan rasa sayangnya yang tidak pernah berubah dari Ory kecil.

"Terima kasih ya Bik. Bibik sangattttt baik sama Ory. Ory nggak tau kalau nggak ada bibik, entah bagaimana nasib Ory yang yatim piatu ini."

Ory mencoba tersenyum ditengah derai air matanya. Dia tahu mata Bik Asih pun sudah basah berurai air mata. Mereka berdua saling berpelukan dan saling menguatkan.

Mereka tidak menyadari, ada sepasang mata hitam pekat yang melihat kejadian itu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status